29 Days Remaining

THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur

29 Days Remaining

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"SATU departemen bedah sudah tahu aku punya pacar. Puas?"

Ketenangan gadis berambut cokelat yang sedang mengunyah truffle cokelat di sofa diinterupsi oleh kedatangan sang abang. Marshanaz, gadis itu, menepuk ruang kosong di sisinya sebagai gestur meminta Patra duduk dan tenang dulu. Patra membanting diri namun kadar kekesalannya tidak juga berkurang.

Marsha mengangkat satu truffle, didekatkan ke mulut Patra yang dengan enggan segera menepis. Ya sudah, dimasukkan ke mulut sendiri saja.

"Bagus, dong. Sudah bisa dikenalin ke Ibu, kan? Bu, Mas sudah punya pacar. Nanti juga bakal nikah, sekarang biarkan aku sama Mas Galih nikah tahun depan," putus perempuan itu.

"Kalian mau kawin kawin sana, apa perlunya bawa-bawa aku?!"

"Ibu ngotot harus Mas duluan!"

"Itu masalahmu!"

"Di sini masalahmu, Mas. Masalahnya kamu terlalu lepas tangan. Kamu nggak mau bantu minimal ngomong ke Ibu, kek. Yakinkan Ibu supaya aku boleh nikah tanpa harus nungguin kamu. But, Mas, you did nothing, so I did it my way."

"Dengan install aplikasi dating murahan di hapeku, hmm?"

"Sorry, Mas, aplikasi dating murahan itu sudah mempertemukan banyak spina dengan costae masing-masing. Dari pada kamu? Jomlo kronis et causa gagal move on dari mantan nggak ada akhlak yang kawin lari sama orang lain."

"Speaking of chronic, anak itu dispnea 24/7, takikardi sepuluh kali dan sinkop setiap hari. Kamu masih berpikir dia bisa jadi costae-ku?"

"Takikardi sepuluh kali sehari?" ulang Marsha, mengernyit. "Penyakit jantung bawaan?"

"Arrhythmogenic left ventricular cardiomyopathy, and even worse with right involvement."

Marsha berdecak, nama penyakit itu rumit sekali di telinganya. "Speak human, Mas, please. Aku bukan dokter."

"Displasia ventrikel. Pernah dengar?"

"Displasia?" Marsha menimbang. "Yang ke-kanker-kankeran tapi bukan kanker itu?"

"Ya." Patra mengangguk. "Sebelum aku yang pegang dia, Prof. Dina diskusi sama pakar lain waktu mendaftarkan namanya ke bank organ. Hasil CMR ventrikel kiri normal, nothing was wrong except 30 persen fibro-fatty yang terus menyebar. Positif displasia. Pernah implan LVAD tapi badannya terlalu kecil dan komplikasi, jadi dilepas. Sekarang umurnya tergantung defib, metoprolol, dan keajaiban donor spesifik buat dia karena dia nggak masuk top priority list bank organ."

Marsha bergeming. Meski bukan dokter, namun background pendidikan fakultas kedokteran serta sekian tahun pengalaman bekerja di dunia medis membuatnya sedikit mengerti penjelasan sang abang.

"Yah." Dia membuang pandang sekilas. "Sorry to hear that."

Punggungnya melengkung lemas, Patra berdecih pasrah sebelum mencomot satu truffle dan memakannya. Antara dirinya dan pasien sekarat itu, bagaimana pun semua sudah terjadi. Patra memutuskan untuk berhenti memperkarakan ini dan jalani saja, toh waktu Asia juga tidak lama. Patra bisa kembali bebas setelahnya. Apa yang mungkin terjadi hanya dalam sebulan—atau, maksimal dua bulan?

"Mas tahu survival chance dia almost none, kenapa mau dijadikan pacarnya?" tanya Marsha lagi, sesekali melirik rikuh. "Ya I admit, aku yang salah di sini." Perempuan itu mengangkat tangan. "Aku yang mendorong Mas ke masalah, sorry about that, but look at you. Mas sendiri yang menceburkan diri. Sebenarnya Mas punya pilihan untuk nolak dia, kasih pengertian baik-baik—"

"Dia menawarkan keperawanannya untukku. Aku menolak, oke? Setelah itu dia tawarkan ke Mas Rio kasir kafe yang kamu tahu sendiri kemarin dia hamilin anak orang lalu mohon-mohon supaya janin itu bisa abortus di sini. Dia pikir GeMed ini klinik aborsi?"

"Dan itu artinya lebih baik keperawanan anak itu buat Mas, daripada Mas Rio?"

Patra mendelik. "Menyentuh pasien di luar medical purposes jelas-jelas melanggar kode etik."

"We're not talking about the code of medical ethics here."

"She is my patient."

"And also your girlfriend, maka jadilah gentleman dan jangan mencla-mencle. Iya iya, nggak nggak. Jangan menjanjikan komitmen yang Mas sendiri ragu sanggup menjalani atau tidak."

Patra terdiam. Adiknya tidak salah.

Namun enggan melanjutkan perdebatan, pria itu beranjak lantas menyambar sneli yang segera dikenakannya.

"You're right. I need to show her what reality is," tutupnya, sebelum melangkah keluar ruang divisi Instalasi Gizi.

•°•°•

Dari luar kamar 219 bangsal jantung terdengar ramai dua gadis bersahut-sahutan. Tetapi begitu Patra mengetuk pintu dan masuk, semua suara lenyap. Seorang gadis yang tadinya membubuhkan blush on di pipi Akasia otomatis menghentikan tangannya. Gadis itu menyingkir dari ranjang, mempersilakan Patra yang tersenyum menghampiri pasiennya.

"Ris, ini pacarku. Gimana, tampan? Tampan, dong!" Dengan napas sedikit terengah, Asia tertawa-tawa melirik Patra. "Dok, ini Risty. Ris, dokter Patra. Pasti sering lihat tapi belum kenal, kan?"

Benar, Patra sering melihat gadis ini dan segera menangkap bahwa Risty satu-satunya sahabat yang masih rutin membesuk Asia. Dari cerita keduanya pula Patra tahu bahwa Risty yang menganjurkan Asia mendaftar Madam Rose, agar mendapatkan pasangan yang berlokasi dekat.

Patra terbahak dalam hati. Ya, benar-benar terlalu dekat.

"Sya, pamit, ya. Setengah jam lagi praktikum." Risty mencium pipi Asia kanan-kiri, kemudian beralih pada Patra. "Dok, titip Asia, ya. Kata dia kalau nggak bisa 4646 ya minimal ciuman lah."

Patra mengernyit. "Pat ... apa?"

Asia meninju lengan Risty yang justru terkekeh jahil. "Sialan. Pergi sana, pergi! Nggak usah balik tanpa martabak cokelat kacang!"

Sepeninggal Risty, Patra mengenakan stetoskopnya, seperti biasa harus memastikan implan ICD masih bekerja dengan baik di jantung Asia. Keduanya terdiam. Patra karena berkonsentrasi mendengar ritme pasiennya, sedangkan Asia karena gugup. Terbukti ketika tatapan keduanya tak sengaja menyatu, gadis itu membuang muka.

Ingin mencairkan suasana, Patra berdeham singkat.

"Apa itu 4646?"

Asia berbalik dengan raut tak percaya. "Dokter nggak tahu 4646? Serius?"

Patra mengangguk, mengambil lengan kiri Asia untuk membalutkan manset tensimeter. "Apa salah satu slang percakapan Madam Rose atau semacamnya?"

"Bukan, bukan!" Gadis itu mengibas pelan, menatap bersungguh-sungguh dan menjelaskan perlahan. "Gini, Dok. Empat enam empat enam. Pat-nam-pat-nam. Coba Dokter balik."

Setelah menyalakan tensimeter, satu mata Patra menyipit tak yakin. "Nam-pat-nam-pat?"

Asia memejam sesaat sebelum menggertak. "Bukan angkanya. Hurufnyaaa! Pat-nam-pat-nam baca dari belakang. Astaga, punya pacar sudahlah om-om, istilah kekinian pun nggak ngerti. Eh, Dok! Seharian di atas ranjang, gini-gini aku masih main Twitter, TikTok, Ig, YouTube, Netflix—"

"Well, then, sorry," sela Patra, setelah melepaskan manset dari lengan Asia, "om-om ini cuma main LinkedIn dan Quora."

Asia terdiam. Matanya lekat memperhatikan Patra yang tersenyum dalam tunduk, sedang mempersiapkan spuit yang terlihat familier.

"Ini apa, sih, Dok?"

"Hmm?" Patra melirik sekilas. "Setiap hari saya kasih ini, kamu baru tanya sekarang?"

"Kemarin Dokter belum pacarku. Sekarang aku mau tahu cairan apa yang dimasukkan pacarku ke badanku setiap hari."

"What?" Patra menengadah. Hanya otaknya saja yang ngeres, atau kalimat Asia barusan memang terdengar jorok di telinganya? Patra menyalahkan si pat-nam-pat-nam sialan.

"Pertanyaanku salah?"

"Tidak." Patra menggeleng, kali ini mengambil lengan kanan Asia. Disekanya katup kateter vena sentral yang terpasang di lengan gadis itu dengan alcohol swab, kemudian mengacungkan spuit di depan hidung Asia. "Beta blocker jenis metoprolol, 50 miligram, terapi antiaritmia. Aritmia, kamu paham, kan?"

"Yang heart rate di atas normal?"

"Hmm." Patra mengangguk, dan menginjeksikan obat tersebut pada kateter. Asia merasakan dingin mengaliri pembuluh lengannya. "Heart rate di atas normal namanya takikardi, menghasilkan rasa deg-degan pada jantung yang disebut ...," dengan tangan yang lain, Patra menepuk dada sendiri, "palpitasi."

"Deg-degan? Palpitasi?" Sepasang mata Asia membulat takjub.

Patra merespons dengan senyum setelah semua cairan dipastikan masuk, lantas dia mencabut spuitnya. Baru saja ditutupnya kembali jarum spuit, kemudian kedua tangan Asia mengambil tangan kanannya.

Gadis itu meraba jemari Patra, mengamati satu-persatu, hingga senyum merekah di bibir pucat itu bersama binar di mata.

"Woah!" Dia berdecak, sesekali melirik si pemilik tangan yang kebingungan. "Aku baru tau jari-jari dokter sepanjang ini." Asia menyatukan telapak mereka, "Dan besar banget," lalu terakhir, menangkupkan telapak besar itu di pipinya, "dan hangat banget!"

Dari apa yang dirasakan Patra, kehangatan tersebut berbanding terbalik dengan wajah Asia yang dingin. Patra tersenyum redup.

"Akasia, saya—"

"Dok, coba deh rasain." Asia memindah tangan Patra ke pusat rusuknya selama beberapa detik. "Ini palpitasi? Jadi ... orang-orang kalo jatuh cinta selalu ngerasain palpitasi? Jadi selama ini setiap hari aku jatuh cinta? Jadi penyakit aku ini romantis, kan, Dok?"

"Posisi jantung yang benar di sini."

Patra menggeser jemarinya sedikit ke kanan, dan benar, dia bisa merasakan debaran gadis itu, namun sudah jelas bukan debar karena cinta. Patra menarik tangannya kembali.

"Akasia, penyebab palpitasi bisa bermacam-macam. Perbedaan mendasar palpitasi saat jatuh cinta adalah sekresi katekolamin dari otak. Kamu nggak mengalami itu. Palpitasi kamu ini karena—"

"Karena ada kelainan di otot jantungku, jadi dia harus kerja keras memompa darah ke seluruh tubuh. Bla bla bla, Dokter sering ngomong begitu, aku tau, nggak usah diulang!" potong Asia setengah berseru.

Patra merapatkan bibir. "Terima kasih. Saya pikir kamu benar-benar masa bodoh."

"Itu kemarin ... sebelum Dokter jadi pacarku."

Napas Patra tertahan saat Asia meraih jemarinya lagi, diiringi senyum pucat yang malu-malu. Kemudian gadis itu tertunduk, merasakan hangat tangan sang dokter yang perlahan menjalar ke wajahnya. Memberi sedikit warna di kedua pipinya yang tertangkap oleh penglihatan Patra.

"Dokter tau? Pertama, memikirkan bahwa akhirnya aku punya pacar, itu sudah cukup bikin aku deg-degan. Dua, pacarku adalah dokter yang setiap hari visite ke sini, aku makin deg-degan. Tiga, Dokter itu hangat, mirip Pop Mie yang disiram air mendidih, didiamkan dulu tiga menit, terus—"

Patra memutus kalimat gadis itu dengan menepis tangannya.

"Pop Mie?" Dia tertawa sarkastik.

"Iya, Pop Mie," jawab Asia, menatap raut tidak suka Patra. "Untuk aku, Pop Mie itu istimewa karena—"

"Sebelum ini terlalu jauh, boleh saya bicara dulu, Akasia?"

Senyum Asia memudar perlahan, seakan tahu bahwa yang akan dikatakan Patra bukanlah hal yang diinginkan hatinya. Namun demi menghormati pria itu, Asia tidak melepas kontak mata mereka.

"Ada apa, Dok?"

Pandangannya berkeliling sejenak. Patra mencari kalimat yang tepat, namun sehalus apapun dia menyampaikan, tetap saja intinya bukan hal yang disukai Asia. Pria itu kembali tersenyum, dan kali ini mengamankan kedua tangannya dalam saku celana.

"Saya tidak bisa jadi pacar Akasia. Maaf."

Asia hanya bergeming. Lama.

Hal ini justru membuat Patra merasa makin berengsek, meski dia tahu dia punya hak sepenuhnya untuk menolak hubungan ini.

"Saya tidak ingin terlibat secara personal dengan pasien," tambahnya lagi, sebelum menegaskan senyum penutup. "Saya harap Akasia bisa mengerti. Kalau begitu, saya permi—"

"Terus kenapa?" Asia memotong.

Patra mengatup bibir. Rahangnya mengeras saat tatapan tajam gadis di atas ranjang itu menusuknya.

"Kenapa kemarin Dokter menghalangi aku cari pacar lain? Kenapa Dokter nggak biarin aku pacaran sama Mas-mas di kafe itu? Mas-mas itu lebih mau ngerespons aku daripada Dokter! Dokter sudah nolak aku, tiba-tiba datang nyerobot dan bilang kita ini pacaran sampai aku mati! Dan hari ini seenak jidat Dokter membatalkan semua itu, hah?!"

Patra mendesah berat.

"Akasia, kamu nggak bisa pacaran dengan sembarang orang seperti itu ...."

"Kenapa nggak bisa!" Asia nyaris memekik.

"Mas Rio, yang kemarin itu, saya bukan bermaksud merendahkan tetapi dia punya reputasi buruk tentang main-main dengan perempuan. Saya nggak mau Akasia terjebak—"

"Kenapa nggak? Terserah aku mau main sama siapa. Aku dimainin silakan. Mau diperawanin ayo. Lagian hidupku nggak lama lagi. Aku fine-fine aja kenapa Dokter yang sewot? Dokter nggak seharusnya terlibat urusan personal dengan pasien!"

"What?" Patra mengerjap tak percaya. Darahnya seakan mendidih, tapi baiklah, tahan dulu. "Saya berusaha mengamankan kamu dari buaya itu. Kalau kamu cari pacar cari yang bener, bukan obral keperawanan. Kamu pikir keperawanan itu barang cuci gudang, hmm? Kamu berharap dengan main aplikasi dating kamu akan ketemu prince charming or knight in shining armor? No. One in a million. Aplikasi sampah macam itu cuma sarang predator seks yang cari mangsa perempuan-perempuan hopeless romantic seperti kamu!"

Asia mendengkus keras.

Senyum menantangnya mengembang. Gadis itu merenggut sepasang lis sneli Patra, membuat pria itu menunduk, sementara Asia menengadah hingga tatapan keduanya terikat satu sama lain.

"Sekali lagi, Dok, mau aku dimakan predator seks kek, mau aku striptease di tiang lampu merah kek, mau aku ngelacur kek, terserah aku. Ini badanku. Ini sisa hidupku. Dokter bukan siapa-siapaku. Bukan pacarku. Cuma om-om random yang kebetulan adalah dokterku dan kita match karena Madam Rose. Just shut the fuck up I don't need your bullshits because we're nothing to each other. Deal?"

Untuk sekian detik, Patra terkesiap.

Gadis di bawah matanya ini sedang menuju penghabisan nyawa, namun nyalinya tetap membara. Patra melepaskan tangan Asia dari snelinya, menegakkan tubuh, tersenyum manis sebagai bentuk apresiasi atas keputusan gegabah pasien kecilnya.

"Deal. Selamat siang dan beristirahat, Akasia, dari om-om random yang bukan siapa-siapa." Patra menutup dengan ringan, sebelum melangkah keluar dari kamar 219.

•°•°•

spina: (Latin) tulang punggung

costae: (Latin) tulang rusuk

dispnea: napas pendek-pendek

ventrikel: bilik jantung (kanan-kiri), bagian jantung yang memompa darah ke luar

aritmia: detak jantung tidak teratur, bisa takikardi (sangat cepat) atau brakikardi (sangat lambat)

sinkop: pingsan

PJB (Penyakit Jantung Bawaan (lahir)), salah satunya adalah:

ALVC (arrhythmogenic left ventricular cardiomyopathy) atau displasia ventrikel kiri aritmogenik. Jaringan otot ventrikel kiri digantikan oleh jaringan parut (fibro-fatty) secara progresif. Mirip kanker tapi bukan kanker (?) lebih tepatnya displasia.

ALVC with RV (right ventricular) involvement. Sama kayak di atas, tapi jaringan parutnya nyebar ke ventrikel kanan juga. Lebih akut daripada yang ALVC saja.

LVAD (left ventricular assist device) alat bantu jantung untuk memompa darah ke seluruh tubuh. Sebenernya bagus tapi alatnya ribet. Sangat nggak nyaman buat ceue apalagi yang badan mini kayak Asia, bikin stress trus komplikasi. Alatnya kayak gini:

Defib (defibrillator). Alat untuk mengirim shock ke jantung jika terjadi gagal jantung. Kalo di film itu yg ada 2, bentuknya kek setrika, ditempel ke dada buat kejut. Tapi yg dimaksud Patra dalam hal ini defibrilator implan (ICD - Implantable Cardioverter Defibrillator) yg tertanam di bawah kulit, bukan si setrika. Alatnya kayak gini:

Metoprolol: salah satu beta-blocker buat takikardi

Kateter vena sentral (PICC - peripherally inserted central catheter). Karena Asia butuh terapi intravena jangka panjang dan gak mungkin disuntik-suntik mulu karena bisa merusak pembuluh darah, dia dipasangi PICC. Semacam kateter iv biasa, tapi selangnya ditanam dalam vena dan bisa untuk jangka panjang. Langsung terhubung ke vena setral di dekat jantung. Alatnya kayak gini:

Apa lagi, ya?

Ah, ya, selamat tahun baru 2021 buat kita semua. Selamat karena kita sudah "lulus" dari 2020 dan segala dramanya. Kita semua hebat, betul? Semoga tahun ini segala hal positif datang kepada kita—kecuali hasil rapid/antigen/swab positif.

Apa resolusi kalian untuk 2021? Cerita, dong? Hihihi.

Me: Nulis minimal 1000 kata perhari dan membaca minimal 1 buku perminggu. Aku tim ebook, sebab kirim buku cetak dari Indo sangat tyda efisien wkwk.

Kusatsu, Shiga, 1 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top