28 Days Remaining

THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur

28 Days Remaining

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

PERAWAT perempuan di balik konter nurse station tahu harus menyerahkan apa setiap Patra datang dan langsung mengangsurkan tangan terbuka. Folder biru berisi medical record pasien kamar 219, Akasia Cendrasari. Selalunya, Patra menukar folder itu dengan senyum dan ucapan terima kasihnya. Namun siang ini dia mengernyit karena perawat itu memberinya folder diiringi lirikan menggoda.

"Kenapa, Mbak Rina?" heran Patra.

"Dokter Patra ganteng maksimal hari ini. Karena mau ketemu pacar, ya?"

Patra meringis. "Itu kesalahan. Saya nggak punya pacar, Mbak Rina."

"Dih, Dokter, iya aja kenapa? Pasien kamar 219 kecil-kecil cakep, lho, Dok."

Ya tapi sebentar lagi mati, sahut Patra dalam hati. Di luar, dia hanya tersenyum formal sebelum meninggalkan nurse station menuju kamar 219.

Menggenggam handle pintu ruang perawatan, Patra meraup napas dalam. Mempersiapkan mental sebelum menghadapi tatapan sentimen Asia yang pasti akan dilayangkan padanya. Tetapi ketika dia membuka pintu, Asia tidak ada di ranjangnya. Hanya Fajar dan Yana yang terburu-buru menghampirinya dengan raut panik.

Patra merasa déjà vu.

"Dok, Asia hilang!" lapor Yana histeris.

"Nggak, Dok, bukan hilang! Ini—" Fajar menunjukkan baju pasien yang digenggamnya, "—ini bajunya. Dia WA saya mau jalan-jalan, tapi nggak bilang ke mana!"

LAGI?! Batin Patra menjerit.

Namun kemudian tatapan Fajar menajam. "Dokter nggak nyembunyiin anak saya, kan?"

"Maaf?" Patra tidak yakin apa yang didengarnya.

"Nah. Kemarin Asia cerita dia pacaran sama Dokter Patra. Dokter bawa Asia ke mana? Check-in ke hotel, iya?!" Yana berkacak pinggang mendukung tuduhan suaminya.

Jantung Patra hampir saja melorot.

"Mama, jangan sembarangan nuduh!" tegur Fajar.

"Lho, 'kan Papa yang duluan?!"

"Tapi nggak check-in juga, Ma! Mama ini korban sinetron!" Fajar menggeram gemas sebelum kembali pada Patra. "Intinya, tolong bawa kembali Asia. Dokter harus bertanggung jawab, Dokter nggak bisa seenaknya macarin terus menyembunyikan anak saya!"

Mati-matian Patra menahan diri untuk tidak membenturkan kepala ke tembok.

Ya Tuhan, tolong bunuh saja dia.

•°•°•

Matanya memejam, bibirnya tersenyum lebar, kepalanya menengadah pada langit biru. Asia mengangkat kedua tangannya, menyerap energi dari siraman cahaya cerah mentari siang ini. Dia menghirup napas panjang, memenuhi paru-paru dengan oksigen dari pepohonan taman utama RS Gema Medika.

"Enaknya bisa keluar," gumamnya, lalu mengembus perlahan-lahan. "Bosen sama oksigen tabung."

Mendengar suara tawa renyah di sebelahnya, Asia menurunkan lengan. Senyum semringahnya beralih pada pemuda berpotongan undercut itu.

"Nggak usah ketawa, Mas. Beneran, deh. Setiap saturasi oksigen turun, ners langsung ke kamar nyucuk hidung aku pake selang oksigen. Gimana nggak tambah melar ini lubang hidung, kan?!"

"Aku giniin biar mancung lagi." Vandi, pemuda itu, mencubit lembut pucuk hidung Asia. Membuat Asia tersipu dan buru-buru mengusap hidungnya. "Lagian, kamu pesek juga tetep manis, kok, Sya."

Sepasang mata Asia berbinar. "Oh, ya?"

"Hmm." Vandi mengangguk. "Aku boleh jujur sama kamu?"

"Harus, dong!" sahut Asia segera, disambut tawa Vandi lagi.

"Kamu tipeku banget, sih. Nggak banyak polesan, natural, dan masih kelihatan manis. Jaman sekarang cewek seperti kamu ini langka, Sya. Kamu nggak butuh dempul, gincu norak, parfum satu liter, tank top buat pamer dada atau hotpants buat pamer paha. Kamu punya inner beauty yang bikin kamu cantik apa adanya begini."

Meski Asia tak terlalu paham inner beauty macam apa yang sedang dibicarakan, dadanya berdebar lebih cepat. Terutama saat Vandi menumpukan telapak kirinya di tangan kanan Asia, menggenggam jemari kecil gadis itu, Asia kehilangan kata-kata. Seakan terhipnotis tatapan dan senyum Vandi yang kian lembut.

"Aku tahu ini terlalu cepat. Kita baru kenal kemarin karena Madam Rose, tapi aku nggak mau menyia-nyiakan yang seperti kamu. Aku suka kamu, Asia, would you be my girl?"

Asia membulatkan mata.

Ditembak. Astaga, dia ditembak! Oh, akhirnya setelah 20 tahun menjomlo dan sebentar lagi mau mati, ah, Asia yakin dia akan mati dengan tenang akhir tahun ini. Patra bilang aplikasi ini hanya berisi predator seks yang cari mangsa perempuan hopeless romantic?

Meh. Lihat sekarang, Asia dapat satu yang benar-benar tulus memahaminya. Pasti karena perbedaan umurnya dan Vandi yang hanya terpaut tiga tahun—dibandingkan Patra yang om-om, idih!

"Sya," senyum Vandi mendekat, "terlalu cepat, ya? Kamu boleh kenal aku dulu—"

"Mas," Asia membalas senyum itu, "umur aku nggak panjang."

Sesuai prediksi Asia, senyum pemuda itu berubah sendu. Pandangan Asia turun pada tautan jemari mereka. Gadis itu menunjukkan kateter PICC yang tersembunyi di balik lengan blusnya.

"Ini buat masukin obat, setiap enam bulan sekali ganti baru," jelasnya pelan. "Di jantung aku ada defibrillator implan. Ini penyakit jantung bawaan lahir, dan menurut prediksi dokter, aku cuma bisa bertahan sampai akhir tahun. Aku harap dokter itu salah, tapi nyatanya makin hari aku makin lemah. Dadaku rasanya selalu sakit, berat, juga sesak. Aku makin sering pingsan tiba-tiba. Apa Mas Vandi nggak mau mikir ulang sebelum—"

Ucapan Asia terputus oleh Vandi yang tiba-tiba menariknya dalam pelukan. Pemuda itu bertumpu dagu di atas kepala Asia, sementara satu tangannya mengusap lembut rambut Asia. Asia mematung, baru kali ini dia mencium wangi khas dari dada seorang cowok.

"Asia, aku nggak mau kelamaan mikir. Justru karena waktumu nggak banyak, aku ingin punya arti buat kamu. Aku ingin dikenang sebagai bahagiamu," lirih Vandi, yang kemudian turun mendekati telinga Asia. "Kamu mau, kan?"

Menuruti debaran dadanya, Asia mengangguk pelan.

Vandi mengendurkan diri, menjumput dagu Asia, membimbing gadis itu menatapnya tepat di mata. Dia tersenyum. "Aku akan kasih kamu DP."

"DP?" Asia menggumam.

"Tanda jadi, Sayang," tawa Vandi ringan, perlahan mengikis jarak wajah mereka. "Kita awali dengan yang manis ... seperti ini."

Asia memejam keras saat Vandi makin mendekat. Pemuda itu turut menutup mata, tinggal sejengkal lagi sebelum bibirnya mendarat di bibir Asia, namun satu tangan besar datang menangkup wajahnya dan mendorong kuat-kuat.

"What the f—" Vandi melompat terperanjat. Begitu pula Asia yang langsung memutar duduknya, dan seketika matanya melebar menemukan seseorang.

Patra mengibaskan tangannya dengan raut jijik seakan baru saja menyentuh najis mughallazhah. Secara reflektif ditepukkannya tangan itu pada bagian bawah sneli, kemudian dia merasa goblok. Sekarang snelinya juga terkontaminasi najis.

"Ini apa-apaan?!" Tidak terima, Vandi menghadang Patra berhadap-hadapan.

"Bukan apa-apa." Patra melirik malas pada Asia. "Saya menjemput pasien."

"Dokter kamu, Sya?!" tuntut Vandi.

Dengan berat hati Asia mengangguk, kemudian berdiri menarik lengan sneli Patra. "Dok, please, lima menit, oke? Dokter tau diri, dong. Dokter nggak lihat apa, aku ini lagi sama pacar ...."

"Karena dari yang saya lihat pacar kamu ini berpotensi mempersulit kerjaan saya, lebih baik ditertibkan mulai sekarang."

Vandi mendorong satu bahu Patra membuat tatapan mereka kembali beradu.

"Heh, gimana? Sini yang pacaran, kenapa situ yang nyolot?"

"Saran saya, cari yang lain saja." Tersenyum ringan, Patra mengacak puncak kepala Asia tanpa menoleh. "Jangan yang ini, sebentar lagi mati. Buang-buang waktu."

Vandi menyeringai. "Justru karena sebentar lagi mati, harus diambil manfaatnya semaksimal mungkin." Lalu matanya beralih pada Asia. "Bener, kan? Kamu mau have some fun sebelum itu makanya kamu main Madam Rose, kan? Ayo sini, Asia, aku bisa bantu kamu."

Asia menatap nanar uluran tangan Vandi. Rasa sakit menyentil hati kecilnya.

Patra menepis tangan pemuda itu. "Saya khawatir saya tidak bisa membiarkan hal itu."

"Kenapa, Dok?" Seringai Vandi melebar, dia mengusap bibir dengan ibu jari. "Mau juga? Giliran, deh. Per dua hari, gimana? I'm good with threesome, anyway."

"I'm not good with bastards. Go away."

Kalimat itu terdengar datar namun membuat telinga Vandi seakan terbakar. Tanpa disadari, satu tangannya mengepal keras.

Tinju amarah nyaris menghantam rahang Patra andai saja reflek Patra tidak lebih tangkas mencekal pergelangan Vandi. Vandi yang terkejut berusaha melepaskan diri, namun cengkraman Patra justru mengencang. Semakin Vandi melawan, kuku-kuku Patra semakin menancap seakan siap merobek nadi di balik kulit itu.

Rambut halus di sekujur lengan Vandi meremang ketika tatapan Patra mendekat, juga siap merobek nyalinya.

"Jangan dia. Mengerti?"

Vandi terus berontak disertai ringis kesakitan yang tak mampu disamarkan lagi. Saat Patra mengendurkan jemarinya, Vandi langsung menarik diri mundur.

"Ambil tuh cewek penyakitan!" makinya terakhir kali, sebelum berlari meninggalkan area taman.

Patra membuang napas kasar, menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sementara tangan lain bertolak pinggang. Kemudian dia berbalik pada Asia, namun apa yang dilihatnya kali ini membuat hatinya ngilu.

Asia menangis.

Tanpa suara, tanpa gerakan, tanpa isakan. Hanya air mata yang mengalir dengan sendirinya dari sepasang mata hampa.

Sepuluh detik berlalu sebelum Asia tersadar dan mengusap kedua bawah matanya. Dia tersenyum pada Patra, meski dengan bibir gemetar.

"Dia benar, aku cuma mau have some fun sebelum mati, tapi—" Asia terbahak, kembali mengusap mata. "Tapi kenapa ... rasanya sakit?"

Ingin sekali Patra berseru, "Apa kubilang?!" tapi jelas akan memperkeruh situasi. Terlebih menjaga kestabilan hemodinamik Asia adalah tanggung jawabnya.

"Aku patah hati. Belum pernah jatuh cinta tapi sudah patah hati." Senyumnya melebar di dalam tunduk. "Sad girl."

"Dia bilang apa sebelum saya datang?"

Asia mengangkat bahu. "Something sweet."

"Bukan nasty?"

"Setelah Dokter datang, yah ... he was nasty."

"Sekarang kamu paham maksud saya, kan?"

Asia mengangkat pandangan dan hanya mengerjap. Patra mengembus panjang.

"Berhenti main aplikasi jodoh itu. Hapus dari hape kamu. Semua laki-laki yang lewat kamu geser kanan, itu kamu bunuh diri namanya. Jauh lebih buruk daripada mati sebelum merasakan jatuh cinta. If you're looking for some fun, then do it right. Sama keluarga, sama teman, lakukan hobi—"

"Aku sudah lakukan itu semua, Dok," potong Asia dengan penekanan, membuat Patra mengatup. "Dokter sendiri yang bilang, aku punya orang tua. Aku punya abang. Aku punya sahabat yang sering ke sini. Aku punya semuanya, kecuali pacar ... dan umur panjang."

Suara Asia turun di ujung kalimat hingga dada Patra berdenyut nyeri.

Enggan menatap Patra, Asia melempar jauh pandangannya pada sekelompok balita yang bermain di playground. Kedua tangannya bersedekap, sesekali masih mengusap air dari sudut mata.

"Dokter bilang aplikasi itu isinya cewek hopeless romantic ... itu benar," bisik Asia gemetar. "Aku salah satunya. Ini memalukan. Ini kekanak-kanakan. Kalo boleh kasar, di mata Dokter aku ini bocah tanggung haus belaian. Tapi ... sekali lagi, Dokter benar. Kenyataannya aku memang begitu, aku akui."

Melihat tingginya langit biru membuat senyum Asia terkembang. Ditumpahkannya semua isi hati, terlepas dari Patra mendengarkan atau tidak.

Karena dengan bersuara, sedikit-banyak sesak gadis itu bisa berkurang.

"Ya, aku se-hopeless itu. Di luar sana, mereka yang seumuran aku hidup sebagai remaja normal. Mereka tahu rasanya di-cie-cie-in sama temen sebangku. Mereka saling tukeran contekan. Mereka nongkrong di kafe tiap weekend. Mereka gibahin guru dan dosen ganteng. Mereka kenalan, jatuh cinta, pedekate, pacaran, dan patah hati seperti seharusnya. Mereka main Madam Rose tanpa urgensi apapun cuma karena aplikasi itu lagi viral. Dan aku main Madam Rose ngarep banget ketemu prince charming atau knight in shining armor ... lagi-lagi, yang Dokter bilang tepat."

Asia mengernyit dan segera menunduk. Dia menggeleng cepat. Silau matahari membuatnya berkunang. Menyadari apa yang salah, Patra memegangi kedua lengan gadis itu.

"Ayo masuk, Akasia."

Asia menengadah kembali. Sekarang, matahari tidak silau lagi karena tubuh Patra menghalau sinarnya. Wajah Asia menghangat, mungkin karena mataharinya, atau Patra yang terlalu dekat.

"Ini sudah tahun kelima, sejak aku homeschool nggak ada satu cowok pun di circle-ku. Jadi waktu aku tahu siapa Aksa sebenarnya, aku mulai berpikir, mungkin dokter Patra adalah prince charming-ku?"

Sungguh rasanya Patra ingin lari saja, namun sepasang mata redup pasien ini membuatnya tertawan.

"Dokter menyelamatkan aku barusan, aku mulai melihat Dokter sebagai knight in shining arm—ah, in white sneli."

"Akasia, terima kasih. Tapi maaf saya tidak bisa—"

"Aku nggak minta Dokter jadi pacarku, tapi aku tetap punya hak untuk jatuh cinta sama Dokter. Aku cinta sama Dokter."

Seketika Patra merasa pusing.

Sedangkan Asia merasa lemah karena napasnya mulai memendek. Oksigen di sekitarnya seakan menipis. Pandangannya buram, hitam-putih berselang-seling.

Sebelum kesadaran itu benar-benar habis, Asia menggunakan sisa tenaganya untuk berjingkat lantas membingkai wajah Patra. Mencium dokter itu tepat di bibir, bahkan sebelum pemiliknya sempat berkedip.

Semua terjadi secepat kilat. Bibir mereka terpisah karena Asia tak sanggup berjingkat lagi. Jemarinya mencengkram lis sneli, kepalanya jatuh di dada Patra, napasnya terengah berat dan kasar.

"Itu DP ... ciuman pertamaku."

Sebelum akhirnya gadis itu tumbang karena serangan aritmia.

•°•°•

Ramaikan dong, biar aku semangat update tiap hari 😆

Kusatsu, Shiga, 2 Januari 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top