26 Days Remaining
THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur
26 Days Remaining
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
JAM dinding besar yang tergantung di atas seperangkat iMac menunjukkan hampir pukul satu ketika Patra tiba-tiba saja membuka mata. Temaram langit-langit kamar adalah yang pertama dilihatnya. Napasnya terembus kasar, entah sejak kapan udara terperangkap di paru-parunya. Mungkin karena ayah yang tidak ingin diingatnya baru saja hadir dalam mimpi.
Patra menyibakkan cover putih tebal yang menyelimutinya, kemudian duduk di sisi ranjang. Bertumpu siku di kedua lutut, Patra menangkup wajah diikuti menyugar rambut lelah. Setiap kali ini terjadi, Patra tahu tidurnya tak mungkin nyenyak lagi. Dia beranjak menuju meja kerja, membangkitkan iMac untuk pengalihan pikiran.
Seperti biasa, yang Patra lakukan adalah usaha-usaha membuat kantuknya kembali. Cara terampuh adalah membaca online medical record pasien-pasiennya. Di depan layar, matanya bergerak kiri ke kanan. Tangan kanannya sesekali mengeklik mouse, sementara tangan kirinya bergerak mencari sebuah toples.
Toples itu mudah dibuka dengan sekali tekan. Tanpa mengalihkan pandangan, Patra mengambil satu nastar yang segera dimasukkan ke mulut.
Enak juga. Selai nanasnya banyak.
"Dokter Patra, saranghae! Piu piu piu piu!"
Patra tersedak kunyahan nastar yang nyaris menyembur ke layar iMac, andai saja dia tidak lebih cepat membekap mulutnya. Dia tersentak dari duduk, menyambar tumblr di lemari buku, minum, kemudian duduk kembali setelah tenggorokannya bersih. Namun napasnya masih terengah-engah, bersama dengan benaknya yang memaki.
Sialan.
Bisa-bisanya bocah edan itu lewat di pikiran Patra tanpa permisi. Apa mungkin nastar-nastar itu sudah dipelet? Astaga, bahkan 'piu piu piu piu' norak itu masih terngiang di kepala Patra.
Didorongnya toples itu menjauh dari jangkauan, terselip di antara tumpukan buku anatomi dan lemari. Patra kembali berselancar di depan layar, kali ini karena pengaruh nastar, dia membaca medical record Asia. Mencari apa yang mungkin dia lewatkan dari gadis itu, terutama mengenai displasia jantungnya.
Dinara, almarhumah dokter yang sejak awal menangani Asia, meninggalkan banyak catatan tentang gadis itu dalam lima tahun terakhir. Patra sudah melihat-lihat catatan ini ratusan kali, namun memang tak ada peluang survive bagi Asia kecuali jantung baru.
Senyum Patra terulas samar. Pasien selalu datang dan pergi. Tugasnya sebagai dokter hanya memastikan pasien pergi dengan kesembuhan ... atau kematian yang ditekan sebisa mungkin.
Telunjuk Patra menghentikan gerakan mouse scrolling karena matanya menangkap objek aneh.
Di sudut kanan-bawah salah satu lembar scan, terselip potongan sudut kertas lain yang tertumpuk. Hanya terlihat ikon merah kecil dengan lingkaran putih, dan lambang hati di tengah-tengah. Patra mengenalinya sebagai logo World Heart Federation—federasi jantung dunia di bawah naungan WHO. Menilai dari posisinya, mungkin itu bagian kop surat, pamflet, atau ... kartu nama?
Sependek ingatan Patra, Dinara bukan anggota organisasi itu.
Patra tidak yakin. Karena itu sekali lagi dia memindai lembar demi lembar medical record Asia, menyelisik setiap sudut tanpa terkecuali, tapi tak menemukan apapun lagi. Yang dia dapat hanya kantuk berat, hingga tanpa sadar tertidur di depan layar hingga alarm subuh membangunkannya.
•°•°•
"Lha, jadi udah putus? Dokter tampan-somehow-single yang kemaren itu?"
"Hmm." Masih menutup mata, Asia mengangguk. Risty menahan kepala gadis itu agar tetap tegak untuk menyamakan alis kanan dan kiri. "Kata dia aku ganggu privasi lah, perbuatan tidak menyenangkan lah, padahal dia sendiri ngelarang aku pacaran."
Risty mulai menggoreskan pensil alisnya pada Asia. "Kenapa?"
"Tauk! Katanya nanti dia yang repot." Asia mendengkus.
"Terus ngapain masih make-up begini?"
"Nggak pacaran, tapi pedekatenya masih." Asia nyengir.
Separuh hatinya miris sekaligus kagum melihat semangat Asia yang sama sekali tidak mencerminkan gadis sekarat. Risty tak bertanya lebih jauh, hanya tersenyum diiringi dukungan. "Good luck, deh. Itu dokter kelihatan laki bener-bener."
"Emang ada laki jejadian?"
Risty tertawa sejenak. "Nggak gitu. Sejauh aku main Madam Rose, isinya tuh mostly cowok-cewek gabut. Alasan terbesar main itu aplikasi ya buat seneng-seneng aja. Biarpun ada juga yang bisa sampai pelaminan, tapi pada dasarnya semua diawali dari iseng. Dan dokter ganteng itu nggak kelihatan kayak orang-orang yang ke sana buat iseng."
"Kan yang pasang itu aplikasi adeknya. Katanya sekarang udah delete account dan uninstall."
"Ya itu maksud aku. Dokter itu nggak kelihatan segabut itu sampai iseng main Madam Rose segala. Kalo mau serius cari pasangan nggak usah jauh-jauh lah, circle dokternya banyak yang high quality, ngapain coba-coba cari yang belum pasti?"
"Apes dapetnya malah bocah begini, hahaha!"
Asia terkesiap karena kepalanya mendapat toyoran dari Manggala. Meski pelan, tetap saja Asia kaget dan refleks memukul lengan sang abang.
"Ngapain masih di sini? Ngais cuan sana!"
"Cuan ngalir sendiri, Sya. Kamu don't like people difficult, dong." Tertawa-tawa, Gala membuat berantakan puncak kepala Asia yang mulanya ditata rapi oleh Risty. Sengaja demi melihat adiknya marah.
"Ya intinya nggak usah di sini! Bikin emosi! Dokter sebentar lagi dateng, aku belum selesai—"
"Selamat siang."
Ketiganya menoleh serempak ke arah pintu. Patra masuk kemudian menutup pintu, tersenyum, sementara Asia kelimpungan menyisiri rambut dengan jari. Setelah itu mendorong punggung Gala dan Risty kuat-kuat ke arah pintu. "Keluar semua, keluar!"
"Sya, tapi alis—"
"Keluar!" Asia memelotot geram.
Keduanya pasrah menuruti Asia, meninggalkan gadis itu berdua Patra.
Patra tertawa mendekati Asia setelah pintu tertutup. "Kenapa diusir, sih? Kan biasa saya visite ada mereka."
"Maunya berdua aja." Asia memasang senyum termanisnya, lagi-lagi merapikan rambut dengan jari. "Mas Gala itu ke sini cuma buat, satu, tebar pesona sama Risty. Dua, bikin aku emosi. Bangke!"
"Jangan marah-marah, cepet tua," gumam Patra, turut duduk di sisi ranjang.
"Nggak bakal tua. Bentar lagi mati." Asia menjulurkan lidah. "Dokter jangan sedih, ya?"
"Bisa hentikan sikap pesimis itu?"
"Pesimis?"
"Jangan lagi bilang mati, mati, mati," Patra menoleh dengan tatapan penegasan, "saya nggak suka dengar itu."
Kening Asia berkerut. "Kan Dokter yang bilang ...."
"Saya hanya menyampaikan prediksi yang saya sendiri nggak ingin sampaikan, tapi itu bagian dari kerjaan saya jadi apa boleh buat. Sekarang gini. Kamu suka sama saya, kan? Kalau suka, nurut sama saya. Saya mau kamu berhenti bicara mati-mati lagi."
Asia tertunduk lesu. "Ya udah. Maaf." Takut-takut, dia menaikkan pandangannya. "Terus kalo aku nggak ngomong mati-mati lagi, memangnya Dokter bisa suka sama aku?"
Patra terbeliak. Kesimpulan macam apa itu? Tidak segera menjawab, pria itu memipihkan mata sejenak, mencermati wajah Asia dengan seksama hingga menemukan apa yang salah di sana.
"Saya nggak suka perempuan yang alisnya sebelah dicetak sebelah nggak."
"HAH?!"
Segera Asia menyambar cermin di atas meja pasien, membuang muka dari Patra, dengan panik meratapi pantulan wajahnya. Di sudut cermin tertangkap pula Patra yang menutup mulut dengan jari, berdeham geli di balik punggung Asia. Membuat gadis itu makin gusar saat menarik tisu makeup remover.
"Aku paling nggak bisa ngalis sendiri!" Dia beralasan meski tidak ditanya. "Makanya tadi minta Risty yang ngalisin!" Tangannya bergerak cepat menghapus kasar alis yang tergambar, namun warna cokelat gelapnya justru pudar dan merembet ke dahi serta kelopak mata. "Njir kenapa bleber gini?!"
"Sini, sini."
Geli yang kian mengaduk perut membuat Patra tidak tahan dan menarik pelan lengan Asia, membawa mereka berhadapan. Diambilnya tisu remover dari genggaman Asia.
"Clumsy banget kamu. Jangan buru-buru. Santai, oke? Saya masih di sini tungguin kamu, nggak pergi ke mana-mana," ucap Patra, dengan sabar mengusapi area sekitar alis Asia yang bermasalah.
Asia memejam rikuh ketika Patra menyentuh dagunya agar sedikit naik. Kemudian tisu yang dipegang pria itu menyapu lembut pelupuknya, dan Asia merasa wajahnya panas sekali.
"Na-nanti deh aku belajar ngalis lagi," cicitnya.
"Alis asli kamu bagus."
"Jadi nggak usah?"
"Bisa menggambar alis tidak termasuk kriteria perempuan saya."
"Tapi dapet nilai plus, dong?"
"Plus 0,1 poin dari skala 0 sampai 100."
"Kalo rambut panjang berapa?"
"Plus satu."
"Pipi tembem?"
"Plus satu."
"Tinggi 157 senti?"
"Plus satu."
"Kenapa semua cuma plus satu? Kalo nenen besar?"
"Plus—" Menghentikan lidahnya, Patra kemudian menyentil kening Asia yang sudah bersih. "Isi kepala kamu plus-plus semua."
Asia meringis setelah Patra menjauh untuk membuang tisu. "Berarti nilai aku baru tiga, ya?" gumamnya.
Patra menggeleng dan tertawa, meminta Asia kembali duduk di ranjang untuk cek tensi. "Fisik porsinya 10 persen. Artinya semenarik apapun fisik kamu, maksimal cuma 10/100."
Asia menyerahkan pergelangannya. "Masa sih? Nggak yakin. Kek Vandi kemaren, ngomongin inner beauty cantik apa adanya blablabla. Nggak tahunya hilih kinthil!"
Selesai memasang manset termometer, Patra menatap Asia lurus dan intens. Membuat Asia menelan ludah gugup.
"Kamu suka saya?"
"I-iya."
"Maka percaya saya." Patra tersenyum.
Bagaimana Asia tidak kebat-kebit sepanjang pemeriksaan rutin, coba?
Pemeriksaan berakhir dengan Patra menutup spuit yang kemudian disimpan dalam saku sneli, sebelum menatap Asia lagi.
"ICD kamu gimana, ada rasa sakit atau semacamnya waktu shock-nya aktif? Frekuensi palpitasi kamu naik beberapa hari ini."
Asia menggeleng. "Sakit sih nggak, Dok. Cuma kalo aktifnya pas aku tidur, suka kebangun karena kaget sama shock tiba-tiba itu."
Patra tersenyum. "The device works as it should. Kamu memang harus dibangunkan supaya jantung kamu "ingat" dengan tugasnya memompa darah," jelasnya, memperagakan tanda kutip dengan dua tangan. "Saya naikkan sedikit, ya? Saya ambil remote du—"
"Bentar!" Asia menahan lengan sneli Patra yang hendak beranjak.
"Ada keluhan lain?"
"Ada permintaan."
"Ya?"
Melihat bagaimana Asia menahan napas, pupil itu melebar memaksakan diri menatap matanya, bisa Patra katakan gadis itu berusaha keras melawan rasa gugupnya. Butuh jeda diam sekian detik bagi Asia untuk mengumpulkan keberanian sebelum dia mampu mengutarakan keinginan.
"Dokter mau jalan sama aku, nggak?"
Pipinya yang belum tersentuh blush on memerah dengan cepat.
"Berdua aja. Bu-bukan kencan, kok. Pokoknya berdua aja mumpung aku sehat. Waktu dan tempat terserah Dokter. Aku bayarin Dokter semuanya," tambahnya buru-buru.
Patra tersenyum miring, sebelah matanya memipih. Lucu juga melihat bagaimana pasien yang selalunya ketus dan berwajah masam, tiba-tiba hari ini gelagapan memohon dikencani—meski katanya bukan kencan.
"Aku nggak perlu dijemput, kok. Ketemuan aja di TKP. Gi-gimana?"
Seringai Patra melebar seiring kedua matanya yang menyipit membentuk sabit.
"Dok, jawab elah! Ngapain cengar-cengir! Dikira gampang apa cewek ngajak jalan duluan! Kalo ditolak sakitnya nggak seberapa, cuma malunya itu lho!" desak Asia, mengguncang kedua lis sneli Patra penuh emosi.
"Sekarang kamu ngomong malu? Jadi kamu lebih malu ngajak saya jalan daripada nawarin keperawanan?"
"Kemaren aku memang goblok!"
"Izin dulu sama Papa kamu."
Asia mengernyit tak yakin. "Izin Dokter merawanin aku?"
Patra memejam frustrasi. "Izin jalan, Asia ...."
Cengkraman Asia mengendur. Apa ini, mengapa rasanya senyum Patra kini lebih lembut? Ditatapnya pria itu lekat dengan sepasang mata membulat penuh harapan.
"Be-beneran? Dokter mau jalan sama aku? Yakin? Bukan prank, kan?" cecarnya, sangsi.
"Kamu suka saya, hmm?" Patra mencubit ringan hidung merah itu. "Maka percaya."
Asia terdiam. Lama.
Lututnya lemas hingga secara otomatis dia mencengkram seprai dan bersandar pada ranjang. Binar takjub di kedua mata gadis itu sedikit berlebihan menurut Patra, namun Asia benar-benar tidak bisa menutupi luapan bahagianya.
Kencan. Dia akan mendapat kencan pertamanya.
Lupakan kalau tadi Asia bilang itu bukan kencan, baginya mutlak kencan meski hanya dalam hati.
"Minta izin sama Papa kamu. Kalau diizinkan, segera hubungi saya," tambah Patra, di tengah bengongnya Asia.
"A-aku nggak punya nomernya Dokter."
"Papa kamu punya."
Patra mengakhiri percakapan dengan senyum, sebelum keluar kamar bermaksud mengambil remote. Tetapi setelah menutup pintu, bukan segera menjauh, pria itu merapatkan diri pada jendela kecil untuk mengintip.
Gadis remaja di dalam melompat-lompat, berputar, melakukan tarian heboh. Kedua tangannya terkepal dan bergantian meninju udara. Tawa lepasnya tampak bodoh sekaligus bersinar, memancing senyum Patra yang entah sudah berapa kali terulas sejak mengunjungi kamar 219 siang ini. Ah, mengapa matanya enggan beralih dari gadis itu?
Cantik. Sepuluh poin dari Patra.
•°•°•
"Kamu suka saya? Nurut."
"Kamu suka saya? Percaya."
Semerdeka masnya ajalah ...
Kusatsu, Shiga, 4 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top