25 Days Remaining

THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur

25 Days Remaining

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

DROP DI PODIUM SAAT APEL, ABAH HAMZAH DILARIKAN KE RSGM

Dokter: jetlag pascadinas, itu biasa.

KENYATAAN bahwa pagi ini ibunya duduk membaca koran di meja makan membuat Patraksa memiringkan kepala, ketika dia baru turun di anak tangga terakhir. Didekatinya Gita dari belakang untuk mencari tahu. Merasa ada yang datang, Gita buru-buru melipat koran dan berputar.

"Adekmu mana, Le?"

Patra membungkuk untuk mencium ringan kening ibunya. "Masih nyari penggaris busur."

"Gae opo? [Buat apa?]"

"Ngukur sudut kemiringan alis kanan-kiri sudah sama belum?"

Gita tergelak lalu beranjak memukul lengan putranya. "Makanya kamu cari istri yang jago gambar alis!" Wanita itu menggeleng ringan saat menyendokkan nasi goreng dari wajan ke piring. "Supaya pagi-pagi ndak umek ae [nggak bingung terus] gambar alis."

Masih tertawa samar, Patra menarik salah satu kursi untuk duduk. "Tapi, Bu, dia nggak bisa gambar alis. Dan aku nggak berharap dia bisa menggambar alis, itu bukan skill yang substansial."

"Dia?"

Raut Gita berubah tajam ketika duduk berhadapan dengan putranya dan menyorongkan sepiring nasi goreng yang diterima Patra dengan senyum cerah.

"Enak," komentarnya, setelah menyicipi suapan pertama kemudian mengacungkan sendok. "Ibu harus ajarin dia masak nasi goreng rumahan seenak nasi goreng rombong pinggir jalan seperti ini."

Gita mengesampingkan hal itu dan mencondongkan tubuh. Menunjukkan tatapan menuduh. "Kamu punya pacar lagi kenapa ndak ngomong sama Ibu?"

"Supaya Ibu nggak mendesak dia, karena dia belum siap untuk itu. Untuk rumah tangga dan komitmen, maksudku, Bu."

Ingatan Gita merasa tidak asing dengan percakapan ini.

"Maharani? Kamu sama dia lagi?"

"Ibu!" Patra mendesah lelah.

"Ya sudah, bagus," tutup Gita segera. Dia yang paling tahu bagaimana satu nama itu sangat menyiksa putranya sekian tahun silam, dan sepertinya luka itu membekas permanen. "Jadi siapa? Anak mana? Kenapa nggak dikenalin Ibu?"

Setelah menelan, senyum Patra kembali untuk menggoda Gita. "Ibu mau kenalan, nih?"

"Fardu ain," tegas Gita.

Patra berpura-pura menimbang sesaat. "Aku bawa ke sini. Tapi Ibu harus janji tiga hal."

"Kamu ini ngenalin calon mantu atau nawarin gadai BPKB? Ada syarat dan kondisi segala!" protes Gita.

"Ibu nggak mau? Ya sudah."

"Apa itu? Ibu pertimbangkan." Gita bernegosiasi.

Patra tidak membuang kesempatan dan segera mengacungkan telunjuk. "Satu, jangan bahas menikah, jangan singgung ke arah sana, jangan meskipun cuma sedikit. Aku sama dia sepakat untuk nggak membahas itu dulu."

"Kenapa, tho, Le?"

"Kan aku bilang dia belum siap, Bu. Dan aku nggak keberatan menunggu."

"Kamu juga bilang begini waktu sama yang itu. Nggak keberatan menunggu. Sekarang nyatanya?" ungkit Gita.

"Ibu ...."

"Yo wis, yo wis. [Ya sudah, ya sudah.]" Gita mengalah. "Yang kedua?"

Patra menambahkan jari tengahnya. "Dua, karena dia ini belum siap menikah, tolong izinkan Marsha dulu. Selama ini Ibu nggak kasih restu untuk Marsha karena aku belum menikah. Sekarang aku sama dia lagi mempersiapkan diri, sementara Marsha sama Galih sudah siap dari dulu. Meskipun belum tahu kapan, aku sama dia akan mengikuti jejak Marsha. Barang kali setelah lihat bayinya Marsha sama Galih, kami tergugah." Patra tertawa pelan, matanya berbinar dengan pengharapan. "Ya, Bu?"

Gita membalas dengan senyum yang terlalu tipis. Patra tidak yakin ibunya menyukai gagasan ini.

Tetapi Gita hanya bertanya, "Yang terakhir?"

Patra menambahkan jari manisnya. "Yang terakhir, Ibu harus bahagia."

Jantung Gita berdesir. Mulutnya terkatup rapat, terutama setelah Patra kembali berucap.

"Kalau jadi istri, secara otomatis Marsha harus menomorsatukan Galih. Untukku itu nggak berlaku. Karena aku laki-laki, aku selamanya milik Ibu." Kemudian Patra kembali menikmati sarapannya dengan lahap.

•°•°•

"Prof. Dina? World Heart Federation?"

"Mmh." Patra mengangguk. "Mas pernah dengar sesuatu?"

Lawan bicaranya tampak berpikir. "Not sure. Rasanya tidak."

Jawaban itu membuat Patra menyandarkan punggung di sofa, menutup wajah yang mendongak dengan dua tangan.

Sejawat satu departemen bedah sudah dia tanyai perihal kaitan organisasi itu dan mendiang Dinara, namun tak ada yang memberi jawaban memuaskan. Harapan terakhirnya adalah seseorang di ruang kadiv bedah yang—seharusnya—serbatahu urusan divisi bedah. Sayangnya Patra kembali menemui jalan buntu.

Patra menegak kembali dan mencondongkan tubuh. Ditatapnya sang kadiv yang tengah menyesap kopi.

"Mungkin bukan Prof. Dina? Mungkin dokter atau departemen lain ...," gumam Patra, lebih kepada dirinya sendiri, "tapi untuk apa?"

Sahara, kadiv itu, menurunkan cangkir sejenak, "WHF adalah organisasi di bawah WHO, fokus utamanya adalah fasilitas kesehatan di daerah pelosok. Saya ragu Gema Medika yang di kota besar sempat bersentuhan dengan WHF," sebelum akhirnya menghabiskan kopinya.

"Mungkin pernah kerjasama ... distribusi misalnya, Mas?"

"Mungkin saja. Tapi karena kamu tanya saya, jawaban saya tetap tidak tahu." Sahara mengembalikan cangkir di meja. "Bisa saya lihat MR yang kamu sebutkan tadi, Pat?"

Dengan segera Patra menunjukkan aplikasi online medical record dari ponselnya. Sahara yang merapat di sisinya mengernyitkan dahi.

"Oh, ini yang pacar kamu?"

"Mas ...." Patra mengerang gerah.

Sahara tertawa pelan kemudian mengambil ponsel Patra, menunjuk kanan-bawah lembar scan yang dipermasalahkan. "Logo sekecil ini pas untuk ukuran kartu nama. Di dalam folder MR aslinya apa tidak ada? Mungkin terselip."

"Aku pikir juga kartu nama, Mas. Tapi setiap hari aku pegang folder itu dan nggak ada yang seperti ini."

"Mungkin dibawa pulang ke rumah Prof. Dina?" terka Sahara.

•°•°•

Di luar konteks pekerjaan, keluarga Patra cukup dekat dengan keluarga Profesor Dinara. Ketika Patra baru memarkir Jeep Gladiator-nya di pelataran, seorang pria segera keluar dari pintu tinggi rumah itu untuk memberinya sambutan hangat. Pria itu adalah Yudha, salah satu putra Dinara diusia yang seangkatan dengan Patra.

Setelah masuk, berbasa-basi sejenak lalu menjelaskan situasinya, Patra dibimbing menuju kamar kerja Dinara di mana semua berkas masih tersimpan. Yudha mengizinkan Patra menyentuh berkas-berkas itu dan turut membantu pencarian.

Yudha mengambil dua buah kotak seukuran kotak sepatu dari atas lemari buku, kemudian meletakkannya di meja. "Kalau nggak salah Mama menyimpan kartu-kartu nama di sini." Dia menepuk kotak yang lebih besar. "Yang ini brosur-brosur penting."

Kedua kotak itu terisi penuh. Patra dan Yudha membongkar keduanya namun tidak menemukan apapun yang tampak seperti lambang WHF. Sementara waktu terus berlalu hingga dua jam kemudian, tiga puluh menit lagi masuk waktu magrib. Demi sopan santun, Patra mengakhiri semuanya setelah kembali merapikan berkas-berkas itu. Dia harus kembali ke rumah sakit.

Yudha tersenyum lelah, bercampur kecewa karena belum berhasil membantu junior ibunya. "Di MR pasien Mama yang lain, apa sudah kamu cari?"

Patra menggeleng tak yakin. "Pasien Prof. Dina ribuan, Yudha. I have no idea."

"Ah, ya. Ada pasien-pasien yang karena satu-dua alasan Mama tandai dan Mama concern ke mereka ini. Tunggu sebentar." Yudha menepuk bahu Patra, kemudian mencari sesuatu di lemari buku. Semenit berikutnya dia kembali dengan sebuah binder kulit besar. "Ini, kalau nggak salah. Mama sengaja nulis sendiri tentang mereka dengan tulisan tangan. Well, membaca dan menulis adalah dua hal yang nggak bisa dipisahkan. Kunci belajar efektif ala Mama."

Disertai senyum penghargaan, Patra menerima binder hitam tersebut. "Thanks, Bro. Ini boleh dipinjam?"

"Nggak perlu dibalikin, Bro. Pasien-pasien kamu juga 'warisan' pasien Mama." Keduanya tertawa bersama, Patra mengangguk sepakat. "Pat, habis ini kamu ke RS, kan?" tanya Yudha kemudian.

"Ya. Why?"

"Would you give me a ride? Eh, sebentar. Abah Hamzah masih ranap di GeMed atau discharge? Aku berencana besuk, kalau discharge ya nggak nebeng aku langsung ke rumah beliau."

Setiap kali nama Hamzah menyapa pendengarannya, Patra selalu tercenung linglung.

Bukan hal aneh jika keluarga terpandang Profesor Dinara kenal dengan orang nomor satu Kota Malang itu. Patra segera menyadari posisinya. Dia tersenyum dibalik kekecewaan yang telah meradang selama lebih dari 20 tahun.

"Belum. Masih di paviliun residence. Ayo."

•°•°•

Tiga pria berkalung kamera yang tampak seperti wartawan sedang duduk-duduk bosan di tepi koridor menuju paviliun residence. Ketiganya serempak menengadah dan bangkit saat Patra datang bersama Yudha. Satu orang polisi berseragam menghalangi tiga wartawan itu, sedangkan dua polisi lain menginterogasi Patra—yang sudah mengenakan sneli dinasnya untuk formalitas.

Setelah sang polisi melaporkan ke dalam, mereka diminta menunggu beberapa saat hingga izin diberikan dan keduanya dipersilakan masuk. Namun Patra yang memang tidak berniat masuk menahan lengan Yudha.

"Nggak masuk? Kenapa?" Yudha bertanya pelan.

"Kami nggak saling mengenal," jelasnya, "secara personal," tambahnya lagi, sebelum Yudha berargumen semacam mana ada warga ber-KTP Malang yang tidak kenal walikota Malang. Yudha menerima alasan Patra sebagai bentuk kecanggungan, dia tidak memaksa Patra.

Yudha menghilang ke dalam kamar perawatan termahal Gema Medika itu. Sedangkan Patra berbalik untuk kembali ke gedung utama, tetapi setelah beberapa meter langkahnya berhenti karena matanya menangkap sesuatu.

Lebih tepatnya, seorang gadis remaja yang belakangan tidak asing bagi Patra.

Gadis itu merapat di sisi lain paviliun residence, mengendap-endap seakan sengaja mencari titik buta para polisi. Sesekali dia mengintip di bingkai jendela yang jelas-jelas tertutup rapat, serta sesekali mengawasi sekitar dengan awas.

Sempat Patra berpikir untuk menegur gadis itu sebelum polisi menemukannya, tetapi gelagat gelisah gadis itu mengurungkan niatnya. Gadis itu seolah tidak ingin ditemukan oleh siapapun, termasuk Patra dan CCTV.

•°•°•

Bisa dipastikan bahwa malam ini Patra tidak ada schedule bedah atau pertemuan lain terkait pekerjaan. Seharusnya dia segera pulang, mandi, makan malam, dan melempar diri di ranjang empuknya. Tetapi lihatlah, dia justru terduduk di lantai, berlunjur kaki di ruang arsip medical record.

Di antara tumpukan folder biru yang diturunkan dari kabinet, Patra tenggelam dalam keseriusan mempelajari catatan pasien mendiang Dinara. Mencari korelasi antara medical record dari masing-masing nama yang ada dalam catatan. Sayang sekali satu jam telah berlalu, usaha Patra belum membuahkan hasil, dan ....

Ah, Patra mengerang malas saat lambungnya berbunyi karena lapar.

Ditutupnya catatan Dinara lalu ditaruh di meja. Patra menekuk sepasang kaki panjangnya, menumpukan lengan pada lutut. Pandangannya mengawang pada jemarinya yang memutar-mutar pena.

Singkirkan dulu kebuntuan tentang WHF. Hati kecil Patra mulai bertanya, apa tujuannya melakukan semua ini. Bahkan orang tua Asia sendiri belajar untuk mengikhlaskan kehilangan yang sudah di depan mata. Pun, tidak ada jaminan WHF dapat membantu apapun meski jika Patra menemukannya.

Jadi, apa yang sebenarnya dia harapkan dari ketidakpastian ini?

Nada dering ponsel yang tergeletak di lantai mengacaukan lamunan Patra. Segera diterimanya panggilan masuk dari nomor asing itu tanpa firasat apapun.

"Bisa bicara dengan om-om random yang ganteng atas nama dokter Patra?" tanya suara riang di seberang.

Senyum Patra terulas sempurna secepat lenyapnya. Ah, kenapa harus senyum, coba?

"Kamu dapat nomor saya. Selamat," gumamnya datar.

"Akasia gitu, lho. Cantik dan persuasif," decih Asia jemawa. Patra tersenyum lagi, dapat membayangkan gadis itu sedang menepuk dada atau menyibakkan rambut panjangnya.

"Papa kamu orang yang sangat baik."

"Wajar, dong, Papa baik sama anaknya," sahut gadis itu, yang kemudian melunturkan senyum Patra. "Jadi gimana? Kita jalan besok? Ke mana? Dokter beneran jemput aku, kan?"

Patra mengapit ponselnya di antara telinga dan bahu kanan. "Kamu mau makan sesuatu?"

"Mau! Aku mau ke Starbucks, Domino, Monopoli, Alun-alun Batu—"

"Saya tanya kamu mau makan apa, bukan ke mana."

"Wait. Kita mau ke mana, Dok?"

"Nggak ke mana-mana. Saya masakin kamu."

"Dokter bisa masak?" Asia terdengar memekik.

"Saya nggak ingin bicara tanpa bukti." Patra tersenyum kesekian kalinya. "Jadi, makan apa?"

"Halo? Dokter di dalam sini?"

Patra menegakkan diri. Suara Asia yang terdengar dekat menyalakan kewaspadaannya. Apa mungkin ....

"Dokter Patra? Di sini, ya?"

Begitu pintu dibuka dari luar, Patra buru-buru melompat berdiri. Akasia Cendrasari terdiam di ambang pintu menggenggam ponselnya, mengamati Patra yang lusuh dari ujung kaki ke ujung kepala.

"Dokter ngapain?"

"Kamu ngapain? Jam segini keluyuran," balas Patra.

Gadis itu masuk tak acuh, menghindari tumpukan folder di lantai untuk menuju Patra. "Aku jajan di kafe bawah."

Patra mencebik. "Jajan atau ketemu Mas Rio?"

"Aku cari roti manis tapi nggak dapet. Aku nggak cari Dokter malah ketemu di sini." Asia tertawa pelan. "Dokter adalah alternatif yang jauh lebih enak daripada roti manis."

"Saya lebih enak?" Patra memastikan.

"Bukan. Dokter terbaik!" Ibu jari Asia teracung.

"Artinya saya solusi utama kamu, bukan alternatif."

Asia tercenung di tempat. Apa yang barusan itu salah satu bentuk menggombal? Tapi tidak terdengar romantis. Meski anehnya Asia merasa itu sedikit manis.

Krucuk.

Hening sesaat antara mereka diputus oleh bunyi perut yang jelas-jelas bukan berasal dari Asia.

"Dokter ... belum makan?"

•°•°•

Hampir lima tahun ini Asia menghabiskan malam-malamnya dengan nonton drama atau membaca novel. Kadang, dia terpaksa tidur lebih cepat karena efek sedasi obat-obatan. Kecuali malam ini yang terasa sangat spesial, karena dia berlunjur kaki bersama Patra. Dan di depan matanya, Patra minum susu tanpa malu-malu lagi.

Tentu saja awalnya pria itu malu dan menolak mentah-mentah, tetapi bukan Asia namanya kalau tidak pemaksa. Penumpukan asam lambung membuat posisi Patra makin terpojok, dokter itu pasrah dan menerima susu UHT yang dibeli Asia dari kafe RS. Asia tersenyum gemas mengamati Patra menghabiskan setengah liter susu dalam beberapa kali teguk.

"Enak, Dok?" tanya Asia, berbinar-binar. Yang ditanya menurunkan kotak susu dari mulut lalu membuang muka dengan canggung. "Nastar yang aku kasih kemarin jadinya dikasihin orang atau dibuang?"

Patra tidak ingin menjawab juga tidak sanggup berbohong. Ditutupnya kembali susu kotak besar sambil berkata, "Susu ini, besok saya ganti."

"Nggak perlu. Kan besok Dokter masakin aku."

Benar juga. Patra menoleh kembali pada Asia yang setia dengan senyum riangnya.

"Kamu mau makan apa?"

"Apa aja boleh asal Dokter masakin."

"Sebutkan satu makanan."

"Apa aja boleh."

Bibir Patra tertekuk masam. "Saya nggak mau jawaban terbuka. Ini terakhir saya tanya, apa makanan yang paling kamu mau? Jawab sebelum saya berubah pikiran dan memilih batal."

"Pop Mie. Puas?!"

Patra melebarkan mata. " ... Pop Mie?"

Kali ini Asia yang mengalihkan wajah karena kesal yang meletup-letup di dadanya. "Stupid, right? Aku tahu. Mana ada cewek 20 tahun yang ngidam Pop Mie dan macam-macam mi instan lain karena lima tahun terakhir dia dilarang makan makanan instan?"

Tanpa sadar, Patra menahan napasnya.

Ingatannya mundur pada hari di mana Asia menganalogikan tangannya yang besar dan hangat dengan Pop Mie. Jadi, anak ini serius ....

"Yah, gitu, deh." Asia tertawa lirih, berusaha tidak menampakkan sisi lemahnya ketika kembali menatap Patra. "Intinya, yang paling aku mau adalah mi instan. Tapi nasi goreng omelet pun pasti aku makan dengan senang hati asal yang masak dokter Patra."

Lidah Patra mati rasa hingga tak bisa berkata.

Asia segera mencerahkan senyuman untuk mencairkan kekakuan. "Omong-omong Dokter jam segini bongkar gudang RM ngapain? Sendirian pula, nggak minta tolong siapa kek. Apa Dokter tuh tipe orang kayak di video-video konten 'kalo bisa susah kenapa harus gampang' ?"

Patra menahan senyum. Tentu saja dia bisa meminta tenaga outsourcing untuk mencarikan MR sesuai nama, tetapi tidak dilakukannya mengingat saat itu jam kerja sudah hampir berakhir. Dan dia tidak tega meminta kepada pegawai tetap yang jelas-jelas tidak kalah sibuk darinya.

"Sebaiknya kamu kembali sebelum Papa sama Mama kamu panik dan nuduh saya yang bukan-bukan," ujar Patra, mengabaikan pertanyaan Asia.

"Tadi ke kafe sama Mama, Mama balik duluan karena aku ke sini. Dokter cari apa, sih? Sini aku bantu biar cepet."

"Kembali, Asia. Udara di sini berdebu."

"Lima menit. Ayo bilang dulu Dokter cari apa."

Cengiran lebar Asia membuat Patra sadar dia tidak akan menang melawan keras kepala gadis ini. "Fine. Kartu nama."

Tubuh Asia menegak, matanya membulat sempurna berkeliling lalu secara acak mengambil sebuah folder. Patra meringis meremehkan, namun tidak menghentikan Asia yang membolak-balik setiap lembar di dalam folder itu. Hingga kemudian Asia mengambil sebuah kartu kecil yang diserahkan pada Patra.

"Nih, ada kartu nama!" serunya bangga.

Bukan satu-dua kali Patra menemukan kartu nama terselip di antara folder-folder itu. Masalahnya, tidak satupun di antaranya adalah kartu nama yang dia cari. Meski begitu Patra tetap menghargai usaha kecil Asia dengan memperhatikan kartu nama tersebut.

Kartu nama dengan logo hati di dalam lingkaran dengan kop World Heart Federation.

"Kamu—" Patra menoleh cepat. Asia bertanya dengan tatapan lugu. Tak banyak bicara, Patra menyambar folder biru dari tangan Asia.

Jantung Patra berderap seiring tangannya membolak-balik lembaran dan matanya memindai cepat isi folder. Benar, dia memang belum memeriksa folder ini. Patra juga menyambar binder milik Dinara dari lantai. Mempelajari keduanya bersamaan, sampai, Patra merasa sesuatu memberati lengan kirinya.

Gadis yang dia abaikan selama lima menit bersandar lemas dengan mata terpejam.

Patra menyingkirkan dua buku besar itu dan segera memegangi Asia, melakukan pengecekan tanda vital dan syukurlah ternyata dia hanya tertidur. Bermaksud membangunkan, Patra akan menepuk pipi gadis itu, namun sesuatu menghentikan niatnya. Entah apa yang kemudian mendorongnya untuk membopong tubuh mungil itu keluar ruang medical record.

Patra bisa masuk kamar 219 setelah dibukakan pintu oleh Risty yang ada di dalam bersama Yana. Keduanya terkejut melihat Asia pulas dalam dekapan Patra, sebagaimana para pegawai menganga ketika Patra melintasi lorong bangsal jantung. Dengan berhati-hati, Patra membaringkan pasiennya di ranjang, menyelimuti gadis itu, lalu tak lupa mengatur tabung oksigen dan terakhir memasang nasal kanul di hidung Asia. Debu ruang medical record jelas memperparah dispnea Asia, Patra merasakan itu dari napas Asia yang terputus-putus.

Setelah berpamitan, Patra keluar bersama rasa berat hati. Dia bahkan belum berterima kasih pada gadis itu, atas susu UHTnya, dan kartu nama.

•°•°•

Kusatsu, Shiga, 5 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top