24 Days Remaining

THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur

24 Days Remaining

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

AGENDA Patra hari ini hanya bedah minor implan PICC, kemudian visite beberapa pasien, lalu selesai. Asia adalah pasien terakhir yang didatanginya, sekalian meminta izin kepada orang tua gadis itu. Patra menjelaskan bahwa Asia akan dibawa ke rumahnya, bukan keluyuran di luar, sebab dia sudah berjanji akan memasak untuk Asia. Yana mewanti-wanti putrinya untuk menjaga sikap selama berada di kediaman orang lain.

Sedangkan Fajar menepuk lengan Patra dan tersenyum penuh arti. "Terima kasih, dokter Patra."

Begitu keluar dari pintu utama Gema Medika menuju parkiran, Asia membusungkan dada dan merentangkan tangan lebar-lebar. Kepalanya menengadah menantang langit biru dengan mata terpejam.

"Jadi ini rasanyaaa ...." Gadis itu meraup napas dalam-dalam.

"Aroma dunia luar?" terka Patra geli.

"Aroma kebebasan!" Asia tertawa setengah berteriak. "Dokter Patra, saranghae! Borahae! Piu piu piu piu!"

Patra celingukan ketakutan. Syukurlah tidak ada orang.

Kaki Asia terasa ringan sekali. Gadis itu berputar-putar, melompat ke sana ke mari, menyapukan matanya ke setiap sudut alam tanpa batas. Senyum cerahnya hadir menyaingi terik matahari. Namun detik berikutnya, keseimbangannya terganggu karena Patra menarik tubuhnya hingga berbenturan dengan pria itu.

Asia mendengar deru mesin mobil dari balik punggungnya yang ditahan Patra. Sementara wajahnya yang terbenam di dada kukuh pria itu membuatnya menahan napas.

Setelah suara mobil hilang karena jarak, Asia mendorong dada itu dan kembali bernapas.

"Yee! Dokter nggak usah cari kesempatan, ya!" hardiknya.

Patra mengamankan jemari Asia dalam genggamannya. "Terserah. Yang jelas Papa kamu menitipkan kamu sama saya." Lalu ditariknya gadis itu berjalan lagi.

Oh Tuhan, Asia rela mati sebagai bucin Patraksa Basudewa.

Sesampainya mereka dalam si Gladiator hitam, Patra tidak segera menyalakan mesin meski Asia sudah mengenakan sabuk pengaman. Pria itu justru memutar duduknya dan menatap Asia lurus-lurus.

"Sebelum kita ke rumah saya, saya mau minta tolong sama kamu."

Asia mendekat antusias. "Siap, Omku! Apa itu?"

"Kamu ... jadi pacar saya selama di rumah."

•°•°•

Perjalanan dari rumah sakit menuju Perumahan Griya Samanta ditempuh dalam waktu lebih kurang 20 menit.

Tepat seperti dugaan Asia, rumah Patra tergolong sederhana. Sederhana sebab Asia membandingkan dengan mansionnya sendiri yang nyaris menyentuh satu hektar. Rumah dua tingkat Patra yang 'cuma' sepertiganya jelas bukan apa-apa.

Tetapi yang jadi sumber kekaguman Asia terhadap rumah ini adalah nuansa asrinya, kebersihannya, kerapiannya, dan tentu saja penghuninya. Begitu Asia menginjakkan kaki di parkiran, seorang wanita dibilangan 50 keluar dari pintu, menyambutnya dengan wajah berseri-seri.

"Ini yang namanya Akasia?" seru wanita itu takjub. "Masya Allah, ayune talah [cantik sekali]! Saya Gita, ibunya Patra."

Asia mengambil tangan Gita untuk dicium. "Iya, Ibu. Saya Asia. Mesti ayu, dong, Bu. Kan pacarnya anak Ibu yang ganteng itu tuuuh."

Di belakang Gita, Patra menepuk dahi.

"Ya ampun!" Gita tergelak lepas hingga secara reflektif merangkul Asia, kemudian berbalik menarik lengan Patra. "Sueneng Ibu, Le, pacarmu ndak malu-malu. Apalagi sama orang baru. Ibu seneng bener yang begini! Ayo ayo masuk, Nduk. Ibu tadi bikin jus sama kue. Kita makan itu dulu, biar si Patra yang masak makan malam."

Asia melempar senyum jemawa ke arah Patra. Pria itu hanya mampu memijat pelipis mendengar celoteh riang ibunya.

•°•°•

Suara pisau beradu dengan talenan dari arah dapur memancing lirikan Asia beberapa kali, namun dia tidak bisa beranjak dari ruang keluarga karena ditahan oleh Gita. Ya, tentu saja Gita ingin menginterogasi Asia tentang beberapa hal. Sedangkan Marsha turut hadir di situ karena penasaran dengan sosok kekasih gadungan abangnya.

"Oh, jadi ketemunya pas koas, ya?" Gita mengangguk-angguk. "Pasti waktu stase bedah, ya, makanya sering ketemu. Sekarang Asia stase apa? Masih sering ketemu?"

"Stase ...." Kening Asia berkerut, mencoba mengingat apa-apa yang diajarkan Patra sepanjang perjalanan tadi. "Ah, saya sudah lulus semua stase. Sekarang persiapan OSCE. OSCE yang ujian final itu, lho, Bu. Saya sih yakin insya Allah lulus soalnya diajarin terus sama Mas Patra." Asia menengok dapur lalu berseru, "Iya kan, Mas? Habis ini Mas ajarin aku, kan?!"

Patra menyahut cepat. "Siap, Sayangku!"

Marsha tersedak jus jeruknya.

"Lho, Nduk, kenapa?" gumam Gita polos, menepuk-nepuk punggung putrinya yang mengelap mulut dengan tisu. Teringat sesuatu, perhatian Gita kembali pada Asia. "Oh, iya, berarti sering ketemu Marsha juga? Marsha di Instalasi Gizi, lho."

Asia melongo.

Dari reaksi itu saja, Marsha langsung mengerti dan menyesuaikan cerita. "Gizi masuknya stase IKM biasanya disebar ke puskesmas, Bu. Nggak di RS. Kalaupun kita ketemu pasti nggak inget, sih, waktu itu belum jadian sama Mas Patra, kan?"

"Iya, iya, Mbak." Asia mengonfirmasi. Dia selamat.

"Marsha di Instalasi Gizi, salah satunya yang ngatur menu-menu makanan pasien rawat inap itu, lho. Asia main-main ke sana gih, nanti diajak ikut icip-icip menunya pasien," saran Gita ramah.

"Oh?" Asia membulatkan mata. "Mbak Marsha yang ngatur menu pasien?"

"Yaaa ... dengan memperhatikan catatan dokter." Marsha tersenyum.

"Sekali-kali menunya bakso bakar, pangsit, gudeg, ayam betutu, atau nasi padang. Terus minumnya es teler, rootbeer, apa boba gitu, Mbak. Biar pasiennya enak."

Marsha menganga lebar.

"Sayaaang! Bantuin!" seru Patra tiba-tiba.

"Bu, Mbak, saya mau ke dapur, ya? Kesian Mas masak sendiri, hehe," pamit Asia, segera bangkit dan berlari ke dapur sebelum Gita mencegahnya lagi. Dihampirinya Patra yang sedang menumis bumbu di atas kompor listrik. "Gimana, Mas? Dibantuin apa?"

Patra melepas tangan lalu mematikan kompor.

"Kamuuu!" desisnya geram, serta-merta mencubit keras satu pipi Asia. "Jangan ngomong aneh-aneh! Ngapain request nasi padang sama boba segala di depan Ibu, hah?!"

"Me-memangnya kenaph ... aduh lepasin!" Asia mengentakkan tangan besar itu dari wajahnya. "Kenapa, sih? Gitu doang marah!" Dia menggerutu sambil mengusap-usapnya pipi yang berkedut nyeri. "Astaga, bau bawang! Aish, Dok!"

"Jangan ngomong aneh-aneh, Asia. Sudah jangan ke sana lagi. Di sini saja bantu aku," putus Patra lelah.

"Ya sudah. Bantu apa? Sini!"

"First of all, Asia, are you okay?" Patra menggamit kedua tangan Asia, menatap gadis itu lekat-lekat. "Apa nyeri? Pusing? Mual? Sesak? Berdebar-debar?"

Asia mengerjap. Uh, mana bisa dia tidak berdebar jika ditatap seintens ini?

"Nggak." Dia menggeleng kaku.

"Benar?" Patra menyelisik setiap sudut wajah pasiennya. "Perubahan sekecil apapun beri tahu aku ... ya? Aku bawa obat-obatan kamu, kita minum di kamarku. Kalau mau istirahat, tidur di kamarku."

"Kalau butuh kehangatan dari pacar?"

Patra meringis membuang tangan Asia dari genggamannya, mencubit pipi gadis itu lagi. "Nih, berdiri sebelah kompor!"

•°•°•

Menu makan malam Asia hari ini adalah mac n cheese dan fire chicken wings. Bukan karena Patra tidak mampu menyeduh Pop Mie, hanya saja, dia pasti dihajar ibunya jika menyuguhkan Pop Mie untuk pacar yang baru pertama dibawa ke rumah. Tentu saja gadis itu melahap apapun yang dimasakkan Patra dengan senang hati. Kesenangan itu terpancar jelas dari kedua matanya ketika minta tambah, yang otomatis juga melambungkan hati Gita.

Dan kebahagiaan Gita adalah kunci kebahagiaan Patra. Pria itu lebih banyak diam mengamati tawa lepas sang ibu saat berdiskusi dengan Asia perihal skandal video panas seorang artis janda. Diskusi keduanya terlihat seru, Asia yang selalu memantau Lambe Turah tapi tidak pernah nonton infotainment, dan sebaliknya, Gita yang tidak pernah main sosial media tetapi selalu update gosip televisi. Pertukaran informasi mereka berjalan dua arah.

Di lain sisi, Marsha memiliki kesamaan dengan Asia dalam hal nonton drama. Keduanya seperti punya dunia sendiri ketika berdebat karena Asia ada di tim Han Jipyeong sedangkan Marsha tim Nam Dosan. Patra tidak kenal siapa dua tim itu, hanya bisa garuk-garuk kepala mengamati adu argumentasi.

Tetapi saat disadarinya wajah Asia lebih merah dari sebelumnya, Patra menggenggam jemari gadis itu di bawah meja makan. Dingin, dan berkeringat.

Asia menoleh tak paham. "Kenapa, Dok—eh, Mas?"

Asia masih terdengar ceria, tetapi napas pendeknya mencemaskan Patra. Ditariknya gadis itu beranjak dari duduk. "Ikut sa—aku."

Patra tidak mungkin melakukan apapun di depan sang ibu, maka setelah meminta izin dibawanya Asia ke kamar di lantai dua tanpa menunggu persetujuan. Patra membongkar isi totebag di meja, mengambil spuit untuk selanjutnya diinjeksikan pada Asia yang sudah duduk di tepi ranjangnya.

Masih dalam posisi berlutut, Patra memeriksa jantung gadis itu dengan stetoskop. Mendapati detak kencang namun masih dalam range normal, Patra tertunduk dan mengembus lega.

"Maaf," lirihnya pelan. "Maaf aku terlambat. Aku lupa jadwal terapi malam kamu."

Asia tertawa mengambil stetoskop dari tangan dokternya. "Wajar lah, kalo malem yang nyuntik kan suster. Dokter siang doang pas visite."

"But I feel stupid. Aku yang ngatur jadwal kamu, justru aku sendiri yang lupa." Patra menengadah kembali. "Ini nggak sepele. Terlambat sekian menit bisa fatal. Kamu bisa saja kena serangan di sini, dan di rumah ini nggak ada defib, nggak ada—"

"Nyatanya nggak, kan?" Asia memperlebar tawanya, menangkup kedua pipi Patra dan menggoyang-goyangkannya dengan gemas. "Uwu wuu wuu, aku tuh dari tadi senang tau, Dok. Ngobrol sama Ibu sama Mbak Marsha, makan masakan Dokter, berjam-jam habisin waktu ada Dokter di samping aku ... aku sesenang itu, sampai aku lupa aku ini sakit dan mau mati."

"Aku nggak senang. Berhenti bicara bahwa kamu mau mati." Patra menahan kedua pergelangan Asia.

Ketegangan raut pria itu turut melunturkan tawa Asia. "Maaf ...."

Namun tak ingin menciutkan hati gadis itu, Patra segera mengembangkan senyumnya dan menepuk-nepukkan telapak Asia di pipinya lagi. "Anyway, kamu senang begini? Uyel-uyel begini?" Merasa geli, Patra tertawa kecil. "Lakukan kalau kamu senang. Lakukan sepuasnya. Khusus di rumah ini aku pacarmu."

Binar cerah mata hitam Asia kembali, tetapi diturunkannya tangan dari wajah Patra dengan malu-malu.

"Dokter kesambet apa, sih, jadi manis begini?"

"Hmm? Kamu nggak senang?"

Asia menggeleng cepat. "Senang. Banget malah. Saking senangnya, aku takut."

"Karena?"

"Kemarin aku belum berpikiran begini, tapi ...." Senyum Asia menipis. "Sekarang aku takut, jatuh cinta bikin aku lupa diri dan berharap waktuku bisa sedikit lebih lama."

•°•°•

Kota Malang pukul delapan malam masih seramai siangnya. Sepanjang perjalanan pulang, Asia merapatkan diri di pintu, matanya tertuju pada bangunan-bangunan terang yang bergerak semu. Sesekali dia berseru gembira saat menemukan outlet kuliner langganan GoFood-nya. Bahkan cahaya lampu-lampu jalan seakan kalah dari sorot takjub mata gadis itu.

Melintasi perempatan jembatan Soekarno-Hatta, Patra sengaja mengambil jalur kanan yang berlawanan arah dengan Gema Medika. Asia menoleh si pengemudi.

"Kok nggak ngiri, Dok?"

Tanpa mengalihkan pandangan, Patra bergumam. "Pulang lewat jalan berbeda sepertinya menarik."

"Dokter mau lewat mana?"

"Kamu maunya lewat mana?"

"Mmh ... lewat UB bisa?"

Kawasan dalam Universitas Brawijaya bukan jalan umum yang boleh dilalui sembarang kendaraan. Hanya yang berstiker khusus saja yang boleh masuk: dosen, staf, dan mahasiswa. Patra bukan salah satunya, tetapi mobilnya diizinkan masuk berkat stiker khusus yang diperolehnya dari teman sesama dokter.

Patra membawa mobilnya mengelilingi bundaran rektorat, di mana sebuah air mancur besar dengan menara jam tinggi di tengahnya membuat Asia berdecak kagum. Setelah melewatinya, Asia menunjuk sebuah gedung lalu menoleh Patra dengan antusias.

"Dokter kuliah di situ?"

Patra mengangguk. "Hampir 20 tahun yang lalu."

"Wow!" Asia terbeliak. "Serius, Dokter nih umur berapa, sih?"

Mengerling sekilas, Patra menaik-turunkan alis. "Ayo tebak."

"Tiga puluh?"

"Mikir kamu. Masa' iya aku kuliah umur 10?"

"Terus Dokter kuliah umur berapa? Eh, lulus SMA 18 kan, ya?"

"Aku 16 lulus SMA."

"Wow!" decak Asia makin kagum, "Dokter akselerasi? Ya ampun ya ampun! Pinter, ganteng, pekerja keras, terus biarpun mulutnya boncabe level 30 tapi penyayang ...."

"Penyayang?" Penyayang sebelah mana? Patra melirik geli.

Asia mengangguk lugas. "Penyayang Ibu, pake banget! Dokter tuh baru masuk rumah cium Ibu, mau pergi cium Ibu, dikit-dikit melukin Ibu, nggak malu padahal ada aku. Sebagai perbandingan, Mas Gala nggak pernah kayak gitu ke Mama. Ada temen ke rumah, Mama disuruh minggir. Sungkem cium tangan cuma pas lebaran. Laki-laki yang nggak malu mengekspresikan sayang ke ibunya itu treasure banget!"

Patra bergeming menatap jalan.

Sejak sang bapak pergi, dia terbiasa berpikir bahwa ibunya adalah tanggung jawabnya. Patra melakukan semua seperti yang seharusnya. Namun pujian Asia barusan membuat hal itu terdengar sebagai pencapaian tertinggi dalam hidup Patra. Dia menikmati momen-momen ini, di mana hatinya terasa hangat dalam diam, hingga mereka sampai di Gema Medika.

Di lobi depan, Fajar dan Yana yang sudah menunggu segera bangkit dari duduk. Keduanya menyambut putri mereka dengan pelukan hangat, yang dibalas Asia dengan tawa riang. Tak banyak basa-basi, Patra menyuruh Asia masuk dan segera beristirahat. Setelah berterima kasih, Fajar dan Yana membawa putri mereka mengarah ke perawatan.

Patra masih di sana, berdiri memandang punggung ketiganya menjauh. Hingga kemudian Asia sengaja memperlambat langkahnya, berbalik, dan mengarahkan tembakan-tembakan heart sign pada Patra. Mulutnya menyerukan sesuatu tanpa suara.

Menahan tawa, Patra membekap mulut dengan satu tangan. Dia sudah tahu apa yang kira-kira diserukan gadis itu.

•°•°•

Gaes kalo suka undang yang lain untuk baca, ya. Jan lupa ramekan 😆

Kusatsu, Shiga, 6 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top