21 Days Remaining
THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur
21 Days Remaining
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
LAPORAN dari ners bahwa Akasia mengalami serangan aritmia sampai lima kali sejak pagi hari, membuat Patra mengabaikan waktu coffee break-nya. Usai menanggalkan kostum perlengkapan bedah, pria itu melesat menuju kamar 219 dan sampai di sana dengan sedikit terengah. Fajar dan Yana menyambutnya dengan tatapan bingung, dan Patra segera paham mengapa.
"Maaf, barusan saya ada bedah, belum sempat ganti," terang Patra, menjelaskan baju scrub yang masih melekat pada tubuhnya.
Saat Patra menghampiri, Asia terbujur dalam kondisi setengah sadar. Gadis itu hanya melirik sang dokter melalui celah sempit kelopaknya yang terangkat lemah, lalu kembali memejam.
Patra menahan napas putus asa.
Asia beruntung, dokter jaga saat itu segera memonitor ICD-nya, menginjeksikan metoprolol, dan terpaksa mengoperasikan defibrillator eksternal pada serangan terakhir. Serangan masif ini membuat Asia harus dipasangi EKG untuk memantau jantungnya secara real time dan komprehensif. Gadis itu lemas tak sadarkan diri, pasrah dengan apapun yang dilakukan tim medis.
Fokus Patra mencermati Asia dan perangkat-perangkat yang melekat pada gadis itu. Semua benar, kecuali bibir Asia terlalu putih hingga batas bibir dan kulit wajahnya tidak tampak.
Patra meraih tangan kiri Asia, mendapati suhu gadis itu lebih dingin dari ruang OK ditambah kuku-kukunya yang membiru. Sianosis, alias anjloknya kadar oksigen dalam darah. Dengan segera Patra mengatur tabung oksigen, memasang nasal kanul di hidung Asia, dan terakhir meminta tambahan selimut kepada staf melalui interkom.
Patra tidak akan keluar dari kamar 219. Tidak, sampai kulit Asia kembali ke rona semula dan gadis itu siuman sepenuhnya.
•°•°•
Hangat yang menyelubungi tangan kanan membuat Asia membuka mata perlahan.
Jemarinya tidak bisa digerakkan. Bukan karena mati rasa, tetapi karena Patra menggenggamnya terlalu erat. Pria itu tertidur berbantalkan tangan mereka. Asia bertanya-tanya, sejak kapan dokter ini di sini? Bahkan dia masih mengenakan seragam bedah hijau-hijau.
Asia menggerakkan tangan kirinya yang terhubung dengan infus. Menyentuh permukaan rambut Patra menerbitkan senyum kecilnya. Mengusap ringan rambut itu, kemudian menggumam lirih, "Kayak squishy."
Terusik oleh gerakan dan suara dari luar, pelupuk Patra mengerut. Asia buru-buru menarik tangan kembali, sebelum pria itu membuka mata dan mengangkat kepala perlahan.
"Hei ... gimana perasaanmu?"
Pandangan Asia tak bisa lepas dari mata mengantuk dan rambut berantakan di hadapannya. "Gemas."
Patra menunduk dalam-dalam. Jangan sampai senyum bodohnya terbaca oleh gadis ini.
Pemeriksaan vital menunjukkan respons positif yang mengundang senyum kelegaan Fajar dan Yana. Jam makan siang sudah lewat tetapi Asia tidak merasa lapar. Tidak ingin makan meski Yana dengan senang hati bersedia menyuapinya. Alih-alih makan, Asia justru ingin nonton saja untuk menyenangkan diri.
Entah mengapa hal ini mengganggu Patra. Sangat mengganggu hingga pria itu memperoleh keberanian menyuarakan keinginannya untuk bicara berdua Asia saja. Dengan kata lain, secara halus mengusir Fajar dan Yana agar bersedia keluar kamar.
Asia mengunci tabletnya setelah orang tuanya menutup pintu dari luar. Ditatapnya Patra lurus-lurus.
"Apa yang mau Dokter bicarakan?"
"Kita bicara sambil kamu makan." Patra meraih mangkuk sup.
"Aku nggak mau. Dokter bicara aja."
Patra menurunkan mangkuk dan mendesah. Ada keresahan membengkak di dadanya. Ada ganjalan yang harus disingkirkan.
"Kenapa kamu menghindari aku?"
"Aku nggak menghindari Dokter," jawab Asia tenang.
"Kamu jelas-jelas menghindari aku."
"Kalau begitu, apa Dokter mau aku ngejar-ngejar Dokter seperti kemarin?"
Rasanya seperti dihantam dari dari dalam. Patra tak bisa berkata, hanya mulutnya saja yang terbuka.
"Nggak, kan?" Asia tersenyum, menahan nyeri dadanya. "Aku sudah berpikir dari kemarin, aku selama ini ...." Gadis itu membuang pandang pada dinding. "Aku bertingkah kayak orang goblok. Sikapku menyebalkan dan bikin Dokter kesal, merusak batas-batas dokter-pasien, mengganggu privasi. Aku ... selalu bilang aku suka Dokter, tapi yang aku lakukan cuma bikin Dokter malu dan muak."
Air mata Asia menitik, membuat tangan Patra terulur tetapi gadis itu menampik lalu berpaling.
"Aku nggak mau merajuk sama Dokter. Aku nggak tantrum. Beneran." Dihapusnya sendiri air mata itu dengan pergelangan tangan. "Aku nggak mau dikasihani. Aku mau ngomong dengan tegar dan keren bukan nangis bego kayak gini! Kalau sekarang Dokter lihat aku nangis, ini karena aku memang semalu itu. Aku semalu itu sama kelakuanku, rasanya kayak diingetin sama Facebook tentang status alay sialan 7 tahun lalu yang nulisnya pake huruf besar-kecil campur angka, trus huruf A-nya aku ganti @! Dan demi apa aku ngelike statusku sendiri!"
Tidak sepantasnya Patra tertawa dalam situasi ini, tetapi perutnya sangat geli hingga bibirnya harus mengatup rapat-rapat. Tangannya gatal ingin sekali mencubit pipi gadis ini namun ditahannya sebisa mungkin.
"Calm down." Patra mengangsurkan sekotak tisu ke pangkuan Asia. "Kamu tenang dulu, aku nggak mau ada serangan aritmia gelombang dua."
Butuh sekian menit untuk Asia mengeringkan air mata dan merapikan emosinya, sebelum gadis itu siap menghadapi Patra kembali meski masih dengan mata merah. Patra menyelisik raut pasiennya lekat-lekat sebelum memulai kalimatnya.
"Soal temen kamu, itu—"
"Stop." Asia mengangkat satu tangan. "Nggak usah. Karena aku suka Dokter, aku percaya. Gitu aja."
Terdiam sesaat, Patra kemudian mengerjap.
"Kamu nggak mau tahu?"
"Bukan urusanku, kan?" Asia tersenyum yakin. "Aku suka Dokter, itu benar. Tapi bukan berarti aku perlu tahu semua tentang Dokter. Seperti yang aku bilang tadi, Dokter punya privasi yang harus aku hormati. Jadi, nggak perlu kasih tahu aku. Aku mau jatuh cinta sama Dokter dengan baik-baik. Aku mau belajar lebih sopan dan hati-hati. Janji!"
Senyum Asia berkembang jadi tawa ringan.
Namun Patra tidak. Sama sekali.
Dia benci mendengar ini. Dan dia benci harus mengakui ini.
"Bukan begini," gumamnya, lebih kepada diri sendiri.
Asia menghentikan tawanya. "Jadi?"
"Ibuku suka kamu yang kemarin. Kamu yang cerewet dan nggak punya malu."
Ibu Patra?
Tak yakin dengan apa yang didengarnya, namun Asia tersenyum lagi. "Oke. Aku bakal jadi pacar seperti itu di depan Ibu." Lalu senyum itu sedikit memudar. "Tapi, memangnya Ibu masih bisa ketemu aku lagi?"
"Kenapa nggak?" Patra menatap tajam.
"Karena aku mau ma—"
"IBUKU NGGAK MAU KAMU MATI!"
Asia terkesiap.
Meski seringkali ketus, belum sekalipun Patra pernah berteriak sekeras ini dan tepat di depan wajah Asia. Setidaknya itu yang Asia ingat. Keduanya terdiam untuk waktu yang cukup lama. Patra yang sama terkejutnya setelah lepas kendali, dan Asia yang berusaha mencerna kalimat ... atau amarah ... pria itu.
"Jadi, Ibu sudah tau ...?" berhati-hati, Asia memastikan. "Ibu tau aku sakit dan kita nggak pacaran?"
Patra mengentakkan kepala lantas beranjak. Wajahnya sesak dan panas. Fokusnya pecah, otaknya tak mampu memproses apapun, karena itu dia hanya bertanya rendah, "Apa kamu sudah lebih baik sekarang?"
Lalu, dia segera keluar setelah Asia mengangguk. Berlama-lama di kamar 219 bisa membuatnya gila.
•°•°•
Hamzah Haris Adinugraha tidak pernah mengira akan tiba hari di mana putra pertama dari mantan istri pertamanya datang untuk menemuinya.
Tiga puluh lima tahun yang lalu, Hamzah mengazaninya yang masih berwujud bayi merah dan lemah. Malam ini bayi itu datang sebagai laki-laki dewasa dalam balutan jas putih yang mencitrakan intelektualitas. Posturnya tinggi dan besar, dengan punggung lebar dan dada bidang yang proporsional terhadap kaki jenjangnya. Hamzah tak mampu menyembunyikan sorot kagum; kehidupan telah menempa putranya menjadi sosok tangguh yang kini tersenyum formal di hadapannya.
Pria yang membawa sebuah folder biru besar itu membungkuk sopan di sisi ranjang Hamzah.
"Saya Patraksa, spesialis bedah toraks dan kardiovaskular RSGM. Maaf mengganggu istirahat Abah, kalau berkenan, ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan terkait program kerjasama pemkot bidang kesehatan."
Hamzah mencerna sesaat.
Tujuan putranya belum terbaca. Pria dengan setengah rambut kelabu itu turun dari ranjang dan mempersilakan Patra membahas bersamanya di ruang tamu.
"Sebelumnya, saya adalah junior satu divisi dengan almarhumah Profesor Dinara dalam spesialisasi jantung. Dari rekam jejak beliau, saya menemukan ada kerjasama dengan pemkot di luar RSGM terkait ...."
Penjelasan Patra terus berlanjut, tidak lupa menunjuk lembaran dalam folder yang dibawanya sebagai pendukung setiap kalimatnya. Hamzah menyimak dalam diam. Pria itu segera memahami bahwa poinnya adalah Patra butuh kejelasan mengenai kerjasama pemkot dengan WHF. Tentu saja Hamzah ingat program tahunan itu.
Namun mata tuanya lebih tertarik dengan pria di depannya, daripada program kerjasama.
Lalu setelah Patra mengakhiri diskusi satu arahnya, Hamzah menutup folder biru di meja dan menatap putranya tepat di mata.
"Dokter Patra, benar, ini adalah program pemkot. Tetapi pembahasan detilnya, lebih baik Dokter tanyakan langsung ke dinas kesehatan. Kalau Dokter membahas ini dengan saya, ngapunten, latar belakang pendidikan saya bukan medis. Apa ada alasan khusus kenapa dokter Patra datang kepada saya ... bukan dinas kesehatan?"
Tepat seperti prediksi Hamzah, Patra mengetatkan rahang.
"Saya butuh kontak Mr. Archer Park dari WHF," singkat Patra.
Hamzah tersenyum. "Saya tahu. Dokter bisa bertanya ke dinas kesehatan."
"Saya butuh segera, mohon maaf."
"Apa Dokter sedang mendesak saya?"
Hamzah tidak memutus kontak mata mereka. Patra bergeming menanti.
"Begini, Dokter. Dokter bertanya pada saya, saya juga tidak tahu. Yang komunikasi dengan Mr. Park adalah orang dinas, bukan saya sendiri. Begini saja. Saya akan tanda tangani berkas ini, besok pagi jam kerja Dokter serahkan ke sekretariat kantor saya untuk dibuatkan surat pengantar ke dinas. Sebelumnya, Dokter akan diminta melengkapi berkas-berkas yang dibutuhkan. Paling cepat seminggu lagi suratnya jadi dan bisa diambil di—"
"Saya butuh sekarang."
Hamzah Haris Adinugraha tidak pernah disela saat berbicara.
Patra tidak peduli hal itu. Dia menundukkan punggung dan kepala sedalam-dalamnya, memohon serendah-rendahnya, mengiba sepasrah-pasrahnya.
"Saya butuh sekarang. Mohon maaf."
Berkali-kali Patra tegaskan pada hatinya, semua ini demi ibunya. Ibunya yang menyukai Asia. Ibunya ... bukan dia.
Hamzah tersenyum, menepuk lengan putranya sebagai isyarat untuk kembali tegak. Patra menatap lelah. Entah berapa lama lagi dia harus tersiksa dalam paviliun residence bersama pria memuakkan ini.
Siksaan Patra sedang bergerak menuju klimaks, yang dia ketahui segera dari pertanyaan Hamzah.
"Dokter datang dan memohon sampai seperti ini kepada Abah Hamzah walikota ... atau Hamzah, bapak dari Patraksa Basudewa?"
•°•°•
Kusatsu, Shiga, 9 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top