20 Days Remaining
THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur
20 Days Remaining
SUDAH OPEN PO, YANG BERMINAT BISA HUBUNGI MARKETER KAROS PUBLISHER / TOKBUK ONLINE KESAYANGAN MASING-MASING.
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
SHOCK bertegangan rendah yang mengenai jantung secara spontan membangunkan Akasia dari tidurnya. Gadis itu terbeliak pada langit-langit kamar.
Napasnya naik-turun berantakan. Dia mencengkram dada kuat-kuat, memejam, berusaha menormalkan ritme demi menekan serangan itu. Sekeras mungkin Asia menahan diri untuk tidak menekan nurse call button di sisi ranjangnya. Asia bersikeras akan keluar dari kepayahannya sendiri.
Tidak seperti kemarin, hari ini dia beruntung ICD-nya dapat menangani serangan tanpa perlu bantuan eksternal. Namun seperti yang sudah-sudah, tidak mudah bagi Asia untuk bisa tidur lagi meski masa kritisnya sudah lewat. Pada akhirnya, gadis itu hanya menggeser laman feed akun-akun receh sebagai pelarian dari rasa sepi.
Kemudian ibu jarinya beralih dari Instagram ke Whatsapp. Membaca ulang laman percakapan terakhirnya dengan Patra dua hari lalu. Pria itu bertanya tentang apa yang ingin dilakukannya jika bisa sembuh. Asia berdecak mengingatnya. Sembuh? Memangnya ada harapan untuk itu?
Sekarang ini, setiap tarikan napas tidak lagi mampu melegakan paru-parunya. Penglihatannya kerap kali berkunang saat berada di bawah terik lampu atau matahari. Setiap pijakan kakinya terasa seakan berjalan di atas permukaan air. Dan menggenggam ponsel seberat 200 gram membuat tangannya gemetar seperti mengangkat barbel 20 kilogram.
'Dok, are you ok?'
Asia mengetikkannya, meski belum menekan tombol kirim. Mengirim pesan pukul satu pagi akan bertentangan dengan janjinya untuk mencintai dengan sopan dan baik-baik. Tetapi raut marah yang sangat merah pria itu kemarin siang sungguh mengusik pikirannya.
Asia mengganti kalimatnya.
'Dok, Ibu gimana? Ibu kecewa sama aku, ya?'
Yang Asia ingat, kata Patra, ibunya menyukai Asia. Kalau Asia khawatir tidak salah, kan? Namun rasanya tetap saja kurang tepat, maka Asia menghapus pesan itu. Mungkin tidak usah saja. Sebaiknya sopan, dan jaga privasi.
❤piu piu: Kamu typing apa? Lama
Asia tersentak bangun.
Dia mengucek mata, lalu memelototi layar lagi. Benarkah? Oh, benar. Patra mengiriminya pesan. Jam satu pagi? Pria itu belum tidur jam satu pagi? Sedang apa? Nonton bokep?
Akasia: Dokter belum tidur?
Tepat setelah pesan itu ditandai dua centang biru, sebuah panggilan masuk. Bahkan bukan panggilan suara, tetapi video. Terdorong oleh keterkejutan yang meluap-luap, ibu jari Asia menekan tombol hijau.
Sosok pria berwajah malas sedang menggaruk kepala yang terbaring di bantal muncul di layar. Asia tidak sempat menghentikan mulutnya yang otomatis menggumam, "Astagfirullah ganteng."
Tawa yang meledak di seberang membuat Asia menjauhkan ponselnya dan menampari pipi sendiri. Gblk. Gblk!
"Jangan pukul-pukul sendiri, Asia. Nanti pas visite, aku bantu cubit."
Asia menyisir rambut cepat-cepat sebelum kembali menghadap layar. "Ehm." Dia meratakan senyum kanan-kiri. "Aku harus sopan. Aku anak baik dan kalem."
Satu sudut bibir Patra terangkat. "Aku bilang, Ibuku suka kamu yang cerewet dan nggak tahu malu."
"Itu kan Ibu. Dokter sendiri, hayo?" tembak Asia langsung. Karena Patra mengatup bibir, dia melanjutkan. "Nggak, kan? Coba kasih tau aku, tipe cewek Dokter yang gimana. Bukan berarti aku mau berubah karena Dokter, ya. Tapi kalo Dokter suka cewek berwawasan luas, nggak rugi juga aku belajar. Dan kalo Dokter suka cewek yang hobi mabok, ya monmaap Bos aku nggak bisa. Minum jeruk nipis aja udah merem-melek."
"Aku suka perempuan yang praktis," jawab Patra singkat, cepat, tapi mengambang.
"Gimana?" Asia berpikir sebentar, kemudian tersenyum paham. "Oh, Dokter mau merawanin aku?"
Patra mendelik. "Asia Sayaaang!"
"Bu ... bukan, ya?" Senyum Asia luntur, sebab meski Patra memanggilnya dengan 'sayang', tetapi raut pria itu justru lebih seperti ingin melahapnya bulat-bulat.
Di seberang sana, Patra mengurut dada, menarik napas dalam lalu mengembus perlahan. Harusnya dia tahu, bicara dengan Akasia Cendrasari mustahil bisa lurus-lurus saja. Dasarnya memang gadis edan, mau bertekad untuk sopan dan kalem pun tetap juga jatuhnya edan.
"Terus, perempuan yang praktis itu gimana?" Asia masih penasaran. "Yang nggak ribet gitu, Dok?"
"Nah!" Patra menjentikkan jari bersemangat, akhirnya Asia cerdas sedikit. "Specifically, perempuan yang mudah dipahami. Tidak main drama kode-kode picisan yang disengaja hanya untuk menguji kepekaan laki-laki."
Kening Asia mengernyit dalam. "Contohnya?"
"Contohnya, ketika ditanya 'ada apa', dia menjawab 'nggak apa-apa' padahal sebenarnya 'ada apa-apa'. Aku benci itu."
"Jadi harusnya?"
"Bilang." Patra menekankan. "Kalau suka, bilang. Kalau marah, bilang. Kalau sedih, bilang. Mau punya pacar, bilang. Mau kencan, bilang. Cemburu, bilang. Buat aku mengerti, jangan dipendam. Selalu komunikasikan meski caranya aneh atau memalukan."
Asia terdiam lagi. Kali ini cukup lama, dia butuh waktu untuk mengingat semua yang pernah dilakukannya.
"Bukannya dari kemarin aku kek gitu?" gumamnya. "Bikin malu ... dan ganggu privasi?"
"Ya," Patra mengangguk, "makanya aku suka kamu."
" ... hah?"
"No. NO!"
Patra melompat bangun dari ranjangnya. Tampilan layar Asia bergerak-berak seakan sang pemilik ponsel di seberang sedang mengelilingi kamar. Terdengar makian-makian tertahan yang entah ditujukan untuk siapa
"Tidak. Bukan itu maksudku." Pria itu kembali muncul sambil membasahi bibir. "Kamu selalu jujur. Sifat jujur itu baik, aku suka. Itu saja. Cuma itu. Jangan mengartikan terlalu jauh."
Asia menyeringai. Lebar.
"Apa maksudnya senyum itu?!"
Seringai Asia makin tinggi.
"Jangan tersenyum begitu!" Dan Patra makin gusar.
"Kenapa, sih? Cantik?"
"Bukan. Berhenti menyudutkan aku!"
"Nggak ada yang menyudutkan Dokter. Biasa aja, Samsul."
"Apa maksud senyum kamu itu?!"
"Dokter, ih, jam segini rame. Ntar Ibu bangun, lho." Asia mengucek telinga. "Dokter tuh maunya cewek yang komunikatif, kan? Sayang, bilang. Kesel, bilang. Sedih, bilang. Sekarang aku tanya, memangnya Dokter sendiri sudah bisa begitu?"
Patra mengernyit. "Ke siapa?"
"Ke aku, mungkin?"
Kemudian panggilan berakhir. Diputus sepihak oleh kontak ❤piu piu di seberang. Asia berdecak lantas membanting ponsel di sampingnya.
Apa-apaan? Mana sopan santunnya? Setidaknya pamit dan beri salam dulu sebelum memutus panggilan.
Baru saja Asia akan menarik selimut kembali, ponselnya berdering lagi. Panggilan video lagi. Om Piu Piu lagi.
"Apa?" sahut Asia galak, setelah menerima.
"Aku sampai lupa tujuan awal gara-gara kamu bicara aneh-aneh." Pria itu berubah serius, Asia segera mengerti Patra sedang dalam mode dokter. "Kenapa kamu bangun jam segini? Karena shock?"
Asia mengangguk. "Iya."
"Apa sakit? Nggak nyaman? Kalau sangat mengganggu tidurmu, aku hubungi suster supaya kamu diberi penenang dosis rendah ...."
"Nggak usah." Asia menggeleng cepat.
"Kamu yakin? Aku benar-benar kepikir—"
"Yaqueen, Om. Mamah tau sendiri!"
Patra mengerutkan hidung skeptis. "Aku tetap kepikiran."
Asia mendengkus. "Jadi sebenernya yang nggak bisa tidur itu aku atau Dokter?" Gadis itu mendekatkan senyum termanisnya, dan di seberang sana raut Patra justru kian mengeras. "Habis ini tidurku bakal nyenyak, mimpiku bakal indaaah banget. Kenapa? Karena akhirnya aku ngerti, Dokter itu cuma denial! Sudahlah om-om, random, ternyata kang denial pula! Beraninya cuma vcall, sini samperin kalo berani! Kita bobok bareng supaya Dokter nggak kepikiran—"
Panggilan terputus.
"Halo? Halo?!" Asia berseru. "Denial amat. Karena aku mau mati, ya?!" Ditatapnya layar dengan bibir maju karena kesal.
Gadis itu meringkuk kembali di dalam selimut. Dadanya masih sakit, napasnya masih sedikit tersengal, namun matanya bisa memejam bersama senyum terkembang sempurna. Disimpannya baik-baik setiap detil ekspresi Patraksa Basudewa, supaya kelak, Asia dapat melihatnya kembali sebagai satu kenangan manis di ujung usia.
•°•°•
Dinas Kesehatan Kota Malang tidak memberi jawaban yang diinginkan Patra. Pria itu membanting pintu Gladiator-nya dengan kasar hingga mobil itu terguncang. Beberapa kepala di parkiran menoleh karena suara berdebam nyaring, mengiringi langkah cepat Patra menuju gedung utama Gema Medika.
Udara panas tengah hari seakan mendukung kekesalan yang membengkak di dada. Bagaimana tidak, jika pihak Dinas Kesehatan menolak permintaannya karena (1) sesuai protokol, Patra tidak diizinkan berkomunikasi langsung dengan Archer Park, harus melalui Dinas, dan (2) program kerjasama dengan WHF itu dilaksanakan setiap tahun di bulan April. Patra diminta untuk menunggu periode selanjutnya.
April tahun depan? Gila yang benar saja. Mustahil Asia menunggu selama itu!
Sebagai rencana cadangan, Patra tetap meminta tolong Yudha untuk mencarikannya kontak personal Archer Park entah dari manapun itu. Patra menginginkannya maksimal satu minggu. Tetapi kalau Yudha tidak berhasil, Patra harus memeras otak lagi, menenggelamkan harga dirinya dalam-dalam ke dasar Bumi lalu kembali menghadapi ....
Ya Tuhan, Patra muak memikirkan itu.
"Dokter Patra? Halo?"
Patra mengerjap di nurse station ketika ners bangsal jantung menyerahkan sebuah folder biru, yang kemudian segera dia terima. Setelah folder biru, ners tersebut memberinya sebuah paper bag putih besar yang dikeluarkan dari bawah konter.
"Buat pasien kamar 219," jawabnya, untuk tatapan bertanya yang dilayangkan Patra.
"Dari siapa, Mbak Rina?"
Ners Rina mengangkat bahu. "Resepsionis yang bawa ke sini, dari kurir."
Usai berterima kasih, Patra membawa tas tersebut bersamanya ke kamar 219. Yana baru saja meletakkan nampan makan siang Asia di sudut pintu kemudian menyambut kedatangan Patra, sementara Asia berbalik memunggungi mereka. Gadis itu sedang tergesa-gesa memulas bibirnya dengan lip stain merah muda.
Setelah Yana keluar, Patra menyerahkan paper bag yang dibawanya pada Asia. "Kiriman untuk pasien kamar 219."
"Oh? Sudah datang?" Senyum Asia mengembang saat menerimanya, mengintip isinya, dan semakin cerah saat kembali menatap Patra. "Ini buat Dokter. Aku pesen buat Dokter supaya dikirim ke sini!"
Baru saja Patra akan menerima bag itu lagi, Asia menahannya dan memberikan syarat
"No. Tebak dulu isinya apa?"
Tanpa melepaskan pandangan, Patra mengambil tempat di ranjang bersama gadis itu, lalu berpikir sesaat.
"Hmm ... pakaian?"
"Bukan." Asia menggeleng.
"Gelas?"
"Bukan."
"Nastar?"
"Bukan!" Spontan Asia tertawa. "Nastar kemaren emang Dokter makan?"
Patra hanya mengangkat bahu. "Ayo kita periksa."
"Oke, oke." Asia menyerah, menjejalkan paper bag ke dada sang dokter. "Nih, sebelum periksa buka dulu. Pasti Dokter suka!"
Meski senyum Asia terkesan sangat optimistis, sebaliknya, Patra justru menaikkan satu alis. Firasatnya tidak bagus soal ini. Tetapi untuk mempersingkat waktu, dia segera membongkar sesuatu yang terbungkus kertas kado di dalam paper bag, lalu mengangkatnya keluar.
Patra melongo.
Sebuah bantal gemuk merah terang berbentuk hati dengan print foto wajahnya tepat di tengah-tengah.
"Saengil chuka hamnida! Saengil chuka hamnida! Saranghaneun Patra-ssi, saengil chuka hamnidaaa ...! Yeaaay!" Asia menyanyikan Happy Birthday dalam bahasa Korea dan bertepuk tangan heboh. "Happy birthday, Om-om random!"
Patra terdiam lama, seakan nyawanya baru dicabut dari ubun-ubun. Asia yang menyadari hal itu menggoyang-goyangkan tangan di depan wajah Patra.
"Dok? Kok diem? Nggak suka, ya?"
Patra mengerjap dan tersadar. "Ah." Dijejalkannya bantal hati tersebut kembali ke tas dengan perasaan ambyar. "Ulang tahunku bukan hari ini."
"Memang bukan. Dua Januari, kan? Tapi waktuku cuma sampai akhir tahun, jadi, aku kasih kado ini sekarang. Selamat 35 tahun, dokter Patra!" Asia mendekat, menangkup wajah pria favoritnya itu, dan tersenyum. "I wish you a happy life time, today, tomorrow, and forever. Selalu sehat, juga maksimal dalam bertugas. Semakin sayang dan disayang Ibu. Bertemu istri yang cantik dan anak-anak yang gemesin. Aku mau semua yang terbaik buat Dokter, karena buatku, Dokter adalah yang terbaik."
Asia menyatakannya dengan ringan, tanpa beban.
Tetapi ketika kemudian gadis itu menurunkan tangannya, rasa kehilangan datang mencengkram dan menggelapkan akal sehat Patra. Segera dirangkumnya wajah pucat di hadapannya, tidak berpikir apapun untuk mempersatukan bibir mereka dalam satu ciuman tanpa peringatan, yang membuat Asia terbeliak.
Patra mengabaikan paper bag yang meluncur jatuh darinya.
Yang dia inginkan hanya mengecap, melumat, dan bergantian mengisap bibir gadis kurang ajar yang belakangan membuatnya tidak berlaku seperti biasa. Dia menginginkan lebih, maka ditekannya dagu mungil itu dengan ibu jari untuk melesakkan lidah ke mulut. Membelit lidah kecil yang kebingungan di dalam sana, dan menjelajahi isi mulut dengan lidah kasarnya.
Patra berhasil merobohkan lawannya di atas ranjang tanpa melepaskan cumbuan. Suara kecapan panas berbaur desahan gelisah Asia memenuhi kamar 219. Namun saat desah itu terdengar makin berat dan terputus-putus, Patra segera menahan diri dan berhenti.
Kening mereka masih menyatu. Pucuk hidung mereka masih bersinggungan. Patra menikmati pemandangan di bawah, sisa-sisa perbuatannya. Wajah ayu yang merah menyala. Mata sayu yang menyiratkan gairah bercampur ketakutan. Serta bibir berkilat yang basah, merekah, dan terengah-engah.
Sebelum kembali duduk, Patra mengecup bibir itu sekali lagi. "Itu tanda terima kasih. Jangan mengartikan lebih."
•°•°•
Lidahnya aktif, ya, bund 🙂
Kusatsu, Shiga, 11 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top