17 Days Remaining

THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur

17 Days Remaining

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

MULANYA sama seperti kebanyakan bocah, jika ditanya saat dewasa ingin jadi apa, Akasia kecil dengan lantang menyerukan dokter. Alasannya supaya bisa menyuntik orang. Lalu seiring pelajaran di sekolah, dia merasa IPA itu sulit. Jadi pada tugas writing Bahasa Inggris di SMP, Asia menulis pramugari sebagai cita-cita. Alasannya pramugari itu cantik, sering jalan-jalan, dan bertemu pilot tampan. Lalu dia mendengar berita sebuah pesawat jatuh, cita-citanya bergeser jadi pebisnis. Lebih tepatnya, melanjutkan usaha showroom mobil mewah milik sang papa yang tersebar di seluruh Jawa dan Bali.

Melihat abangnya kerap bergonta-ganti pacar dan menurut Asia itu menyebalkan, gadis itu mulai menata masa depan asmaranya. Tidak pacaran sebelum lulus kuliah. Pacar harus mendukung, bukan menghambat karir. Menikah di usia 25-30. Punya anak kembar yang menggemaskan, kalau bisa tiga kali dengan jarak masing-masing lima tahun.

Hingga kemudian beberapa kali dia tumbang selepas ujian nasional. Setelah kelainan jantungnya ditemukan dan keadaan memaksanya menjalani pendidikan di rumah, Asia mengubur cita-cita itu satu-persatu. Kondisi yang kian merosot tidak memungkinkannya mengenyam bangku kuliah, dan berangkat dari situ, Asia membunuh semua harapan tentang masa depan yang bahkan belum bertunas.

Dokter, pramugari, pebisnis, kuliah, ataupun istri ... Asia tidak akan menjadi salah satunya.

Dia belajar bahwa Tuhan tidak pernah mengizinkannya memupuk asa.

Makanya, ketika adegan di parkiran semalam yang dia saksikan dari kafetaria melintasi ingatannya, gadis itu segera menertibkan hati. Bodohnya dia, sempat terbuai dan membiarkan hatinya berharap, padahal berharap adalah haram. Bagaimana bisa dia berpikir bahwa Patra bersedia membalas perasaan gadis sekarat seperti dirinya? Patra jelas tidak setolol itu.

Patra mungkin hanya lelaki yang sesekali butuh kesenangan, dan itu tidak salah. Sejak awal Asia sendiri yang bertingkah seperti barang cuci gudang. Menawarkan segala yang dimilikinya secara percuma kepada siapapun sebelum masa kedaluwarsa.

Semua sudah terjadi, Asia tidak ingin mempermasalahkannya.

Karena itu, sepanjang pemeriksaan rutin Asia memasang senyum terbaiknya. Namun Patra menangkapnya sebagai kejanggalan, pria itu menyelisik pasien kecilnya lekat-lekat di akhir sesi terapi.

"Asia, are you okay?" selidiknya, berhati-hati.

Asia tertawa hambar. "Barusan periksa, emang Dokter nggak bisa menyimpulkan sendiri?"

"Aku nggak bisa bilang kamu baik, detakmu di atas batas normal, tapi aku benar-benar ingin bawa kamu keluar besok."

Patra menangkup wajah gadis di ranjang itu, sepasang matanya meminta perhatian penuh.

"Nurut sama aku. Besok kita keluar sebelum jam enam pagi, pastikan kamu tidur cepat malam ini. Jangan bergadang, jangan nonton drama ... tidur saja. Pakai kaus kaki, sweater, selimut, dan setelah ini aku setting AC mode penghangat. Besok cukup pakai kaus dan celana longgar yang nyaman saja, bawa jaket, dan nggak perlu dandan segala. Aku nggak melihat ada bedanya."

Asia tersenyum tipis. "Tetep cantik?"

"Burik," koreksi Patra, tertawa-tawa mencubit kedua pipi Asia. "Bulat dan menarik. Pipinya."

Di titik ini Asia bingung, apakah dia bahagia atau kecewa karena dipermainkan begini?

Sayangnya Patra cukup peka, pria itu mendeteksi perih yang Asia coba sembunyikan di balik senyum.

"Wha—what's wrong?" Patra menurunkan tangan perlahan. "Kamu nggak suka? Kamu nggak mau kita jalan besok?"

Asia meraih kedua lis sneli Patra. "Mau! Mau banget! Aku janji tidur cepat malam ini. Aku janji selimutan sama kaus kaki. Besok berangkat sebelum jam enam. Jarang-jarang Dokter sebaik ini sama aku, jangan dibatalin, aku mau banget!"

Kening Patra berkerut dalam. "Maksudmu selama ini aku jahat?"

"Dokter baik hari ini. Nggak tau besok, kita lihat aja." Asia menjulurkan lidah.

Kalimat itu terdengar bagai tantangan untuk Patra. Dia memiringkan kepala, bersama senyum yang kembali menghias wajahnya.

"Fine. Ayo buat kesepakatan. Besok, selama 24 jam, aku adalah jin dan kamu boleh mengajukan tiga permintaan. Apapun itu."

Asia membulatkan mata. "Apapun?"

Patra mengangguk. "Apapun kecuali permintaan absurd semisal aku memerawani kamu, misalnya. Dan dilarang meminta tambahan permintaan."

"Okeee ...." Pandangan Asia berkeliling sejenak, kemudian, "Ah! Sudah ada satu!"

"Jangan sekarang, simpan untuk be—"

"Harus sekarang, karena persiapannya akan makan waktu. Persiapan mental lebih tepatnya."

"Baik. Apa itu?"

"Pertama ... aku minta Dokter bilang cinta sama aku."

Jantung Patra berhenti sepersekian detik.

Detik berikutnya, dia meraup wajah dengan gelisah. "Ditolak."

"Nggak. Dokter sudah janji, tolong tepati!" sentak Asia, mengguncang-guncang sneli Patra.

Patra menahan—mencengkram sepasang pergelangan kecil itu. "Kamu mau aku berbohong?"

"Ya, Dok," jawab Asia yakin, tak gentar berhadapan dengan raut Patra yang mulai berubah. "Bilang bahwa Dokter cinta sama aku meskipun itu bohong. Ini permintaanku. Aku sudah bilang ... aku nggak akan mati sebelum Dokter bilang cinta sama aku."

•°•°•

Berusaha menemui orang nomor satu Kota Malang itu sulitnya minta ampun, tetapi Patra sudah kepalang pusing dan hal pertama yang bisa dipikirkannya adalah menyambangi rumah pribadi. Sembilan puluh persen warga Malang pasti tahu rumah pribadi walikota yang berlokasi di seputaran Ijen tersebut tidak dapat diakses sembarang orang. Terbukti ketika Patra baru saja menghentikan Gladiator-nya di muka gerbang yang menjulang angkuh, seorang sekuriti bertubuh besar menghampiri dan mengetuk kacanya.

"Selamat malam. Mohon maaf, Bapak, mobil tidak diperkenankan berhenti di sini karena menghalangi akses keluar-masuk utama." Sekuriti tersebut menunjuk plang S dicoret setelah Patra menurunkan kaca.

Dia tersenyum. "Selamat malam, Pak. Saya ingin bertemu Abah Hamzah, apa beliau ada di dalam? Bisa tolong tunjukkan di mana saya harus parkir?"

"Apa Bapak sudah membuat janji?"

"Tidak, saya langsung ke sini."

"Mohon maaf, Bapak, Abah tidak bisa ditemui tanpa surat pengantar dari sekretariat di kantor walikota."

Patra tidak punya waktu untuk tetek-bengek administrasi seperti itu. Dia punya shortcut sendiri dengan merogoh iPhone-nya dari jaket, beberapa kali menggulir ibu jari di atas layar, lantas menempelkan benda itu di telinga.

"Ini saya," katanya, setelah sambungan berjalan. "Ya ... di depan. Ya. Sekarang."

•°•°•

Patra diizinkan untuk memarkir kendaraannya di halaman rumah yang bisa menampung sekitar 10 mobil tersebut. Seorang sekuriti lain membawanya ke sebuah ruangan untuk digeledah. Patra diminta meninggalkan ponsel, dompet, bahkan penanya. Semua yang melekat di tubuhnya kecuali pakaian. Protokol menemui orang nomor satu kota Malang rupanya serumit ini.

Belum selesai di situ, Patra diminta untuk menunggu di sebuah ruang 4x6 yang terasa familier. Ruang yang persis seperti ruang interogasi di film-film, hanya berisi satu meja panjang dan empat kursi. Separuh dinding ke atas adalah kaca gelap yang mengelilingi ruangan. Terdapat cctv tepat di langit-langit.

Patra duduk di salah satu kursi dan mendengkus. Tidak bisa membedakan apakah dia sedang disambut sebagai tamu atau residivis.

Sepuluh menit menunggu rasanya seperti satu jam, hingga pria yang ditunggunya masuk ruangan seorang diri. Hanya mengenakan kemeja putih santai dan celana bahan hitam. Hamzah mengambil posisi di seberang Patra dan menyandarkan tubuh.

"Dokter tidak terlihat seperti ingin menemui saya sebagai walikota," bukanya.

"Tidak." Melipat lengan, Patra mencondongkan tubuh. "Saya kemari mencari laki-laki yang meneror ibu saya selama bertahun-tahun meski sudah lama bercerai."

Hamzah menyeringai. "Beritahu ibu kamu, saya tidak meneror jika satu kali saja dia pernah membalas pesan atau mengangkat panggilan saya. Jangan mengabaikan saya, dia pikir dia bisa lari kemana?"

"Sayang sekali saya sendiri yang meminta Ibu untuk tidak meladeni Bapak. Bapak sudah berkeluarga dengan anak bahkan cucu. Bapak adalah teladan kota ini, apa tidak punya malu?"

Hamzah menghela panjang.

"Omong-omong, Patraksa, Dinkes memberitahu saya seorang dokter dari Gema Medika datang mencari informasi tentang kerjasama coronary disease dengan Mr. Park dari WHF. Apa kamu kemari untuk itu atau ibumu?"

Rahang Patra mengetat, meski masih memainkan poker face-nya dengan baik.

"Ya. Saya kemari untuk itu."

"Kita tidak sedang bicara sebagai walikota dan warga, benar?" Hamzah menuntut kepastian.

"Benar."

"Kamu butuh kontak langsung dengan Mr. Park ... segera?"

"Tidak. Sekarang."

Punggung Hamzah terhempas mundur kembali. Pria itu mengembangkan senyum, mengisyaratkan sesuatu yang tidak terbaca oleh Patra. Satu tangannya turun, satu tangan lain tetap tinggal mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan empat jemari.

Hening panjang terjadi dengan Hamzah hanya mengamati Patra bernapas. Kalau bukan karena kepentingan pasien kamar 219, Patra bersumpah dia tidak mungkin menginjakkan kaki di rumah ini meski warga satu Kota Malang setiap tahun berebut kemari saat open house besar-besaran di hari raya.

"Begini saja," ujar Hamzah akhirnya, tanpa menghentikan ketukan jari-jarinya. "Untuk memenuhi permintaan kamu ini, saya perlu, yah—" Hamzah memiringkan kepala sesaat, "—katakan saja menyalahgunakan power. Saya menolak melakukan ini dengan percuma."

"Tidak percuma. Harapan hidup salah satu pasien saya dipertaruhkan di sini."

Hamzah mengangkat kedua alis. "Saya penasaran pasien seistimewa apa yang bisa menggerakkan dokternya sampai datang dan mendesak walikota pukul 10 malam seperti ini."

"Apakah saya harus menjawab rasa penasaran Bapak untuk mendapat kontak personal Mr. Park?"

"Simpan saja. Saya akan mengetahui itu nanti." Hamzah tertawa pelan, memperlambat ketukan jemarinya. "Setelah ibumu menghubungi dan meminta maaf pada saya."

Pendengaran Patra berdenging.

"Maaf?"

"Kalau ibumu menghubungi saya, meminta maaf, dan berjanji akan bersikap baik, bisa saya pertimbangkan untuk ngasih kamu nomor pribadi Mr. Pa—"

BRAK!

Gebrakan keras di meja menghentikan ketukan jemari Hamzah.

Di depannya, Patra sudah berdiri dengan kedua tangan menekan meja kuat-kuat, bahu dan lengannya gemetar, sementara kepalanya tertunduk sangat dalam.

"Tidak perlu melibatkan ibu saya ... saya mohon."

Hamzah merapatkan bibir. "Maka saya tidak perlu melibatkan power sebagai walikota untuk permintaan kamu. Silakan tunggu program yang sama tahun depan di bulan April."

Otak Patra menggelap.

Dia tak bisa berpikir lagi, lantas memutari meja dan menghadap pria yang seumur hidup takkan diakuinya sebagai ayah. Dia roboh, bersimpuh di kaki pria itu. Kedua tangan bertumpu pada dingin lantai marmer, kepalanya lunglai, jatuh sedalam-dalamnya.

Patra mengubur harga dirinya.

"Saya bersedia bersujud jika dibutuhkan."

Hamzah tertawa menggeleng. "Tuhan saja tidak butuh hambanya bersujud, apalagi saya?"

Kepalan Patra mengencang hingga buku-buku jarinya memutih.

"Ibu tidak ada hubungannya dengan ini. Saya datang dan meminta atas kesadaran sendiri. Bukan Ibu tetapi saya. Saya tidak ingin kehilangan pasien ini."

Patra sendiri terkejut dengan apa yang didengarnya dari mulutnya, dan perlahan, dia menerimanya sebagai kebenaran.

Bukan ibunya. Dialah yang sebenarnya tidak rela kehilangan Asia.

"Makanya ... tunggu saja program berikutnya." Hamzah berdeham. "Tapi menilai cara kamu bersimpuh seperti ini, saya yakin kamu tidak punya waktu sampai tahun depan."

Patra menahan napas. "Bapak, saya mohon ...."

Seperti buah yang jatuh tidak jauh dari pohonnya, Patra yang bersikeras tidak ingin melibatkan ibunya, sejalan dengan Hamzah yang tidak akan menurunkan harga negosiasinya. Hamzah beranjak lalu membungkuk untuk menepuk lengan putranya dua kali.

"Menyembah saya tidak menghentikan waktu hitung mundurmu. Pulang dan lakukan apa yang harus dilakukan, Dokter. Selamat malam."

Sang walikota bangkit dan meninggalkan Patra yang tidak bergerak dari posisinya. Setelah mendengar pintu ditutup, Patra mendesah keras bersamaan dengan tubuhnya yang ambruk, meringkuk dalam sujud.

Bukan demi ibunya dia jadi seperti ini; sama sekali bukan.

Bukan karena ibunya yang menyukai Asia. Lantas mengapa?

Benarkah dia sudah, dengan gobloknya, jatuh cinta pada gadis itu?

•°•°•

Adakah yang nonton The World of the Married? Pasti tau Bapak Hamzah ini inspirasinya dari siapa 🙂

Kusatsu, Shiga, 14 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top