16 Days Remaining (b)

THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur

16 Days Remaining (b)

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

"AKU benci kamu."

Meski penampilan band akustik jalanan di depannya terbilang menarik dengan kesan klasik, dan meski semua penonton yang mengelilingi memberi aplaus meriah, Asia tetap lebih terlena dengan ingatan tentang ciuman beberapa menit lalu. Dibandingkan dengan ciuman sebelumnya yang mengerikan, yang barusan itu sangat memabukkan, perut Asia seakan terlilit kenikmatan, dia kecanduan dan tidak ingin menghentikan cumbuan.

Duh, seandainya tukang parkir tidak mengetuk jendela karena posisi mobil kurang rapat ke kanan.

Tapi tenang, kaca mobilnya riben gelap, kok.

Hingga detik ini, Asia masih sulit mempercayai bahwa piu-piunya bekerja efektif tepat sasaran. Mungkin belum cukup kuat untuk meruntuhkan kukuhnya denial seorang Patraksa, tetapi Asia yakin sudah menimbulkan efek ninuninu di hati pria itu. Buktinya, nyosor terus kan.

Asia—yang seumur-umur baru tahu ciuman bisa segurih itu—memejam perlahan. Mengingat bagaimana rasa Pop Mie dari bibir kenyal Patra, membuat mulutnya refleks membuka-menutup.

Patra—dokter siaga—menyerongkan tubuh dan menatap cemas pasien di sebelahnya yang menutup mata dengan mulut bergerak-gerak.

"Kamu nggak apa-apa?" Diselipkan tangannya meraba kening Asia, membuat Asia spontan membuka mata. "Pusing? Berdebar? Sesak?"

Asia menyingkirkan tangan besar itu dengan malu karena kelewat halu, tetapi Patra mempererat genggaman tangan mereka kemudian menegaskan sesuatu.

"Jawab, Asia. Kamu lelah? Ayo kembali."

"A-ayo duduk dulu." Asia menunjuk trotoar hitam-putih yang tidak begitu jauh dari band.

Menuruti gadis itu, Patra setuju untuk duduk di sana, menikmati sebungkus batagor kacang berdua. Patra cukup lega karena Asia baik-baik saja. Beberapa waktu mereka habiskan untuk mengamati keramaian car-free day: kelompok pemain skateboard dan roller blades sedang berlatih, klub pecinta hewan, delman kuda berkeliling menarik minat calon penumpang, atau warga Malang yang sekadar lalu-lalang.

Hal-hal remeh yang terlalu biasa bagi Patraksa, adalah anugerah yang berharga untuk dikenang Akasia. Gadis itu tersenyum, sesekali tertawa atau berkomentar, saat melihat apapun yang melintas di depannya.

Sungguh Patra malu, berdampingan dengan Asia membuatnya sadar bahwa selama ini dia kurang bersyukur terhadap nikmat-nikmat kecil yang didapatnya gratis setiap hari.

Selesai makan, Asia penasaran dan mencoba minum dari drinking fountain yang disediakan di banyak titik. Dia tertawa dengan binar kekaguman sambil menyeka mulut yang basah.

"Terakhir kali aku CFD-an waktu SMP, ini tuh belum ada, Dok. Air reverse osmosis begini. Kalo nggak salah baru diadain zamannya Abah Hamzah, aku baca di ig-nya Arema. Mantul lah beliau!"

Patra tidak ingin, dan tidak mampu, menanggapi ucapan itu meski hanya sekadar senyum tipis.

"Eh, Dok," Asia kembali bergelayut di lengan Patra, "aku mau tanya sesuatu."

"Hmm?"

Gadis itu makin merapat dan menengadah. "Dokter tuh sebenernya cinta sama aku, kan?"

Patra melengos sebal. "Apa lagi, sih? Tadi di mobil kurang?"

"Kurang, kan belum bilang cinta, Om Jin. Dicium doang. Ehm, hot sih ciumnya, aku suka, diobok-oboknya lebih berperikemanusiaan daripada kemarin." Jemari Asia menggerayangi dada Patra yang otomatis membuat pria itu bergidik geli.

Patra mengamankan tangan nakal gadis itu dengan menautkan jemari mereka.

"Aku sudah berbohong seperti yang kamu mau," tegasnya, menatap Asia tepat di kedua mata.

Asia mencebik. "Apa? Aku benci kamu, itu? Kalau itu bohong terus sebenarnya gimana?!"

"Lawannya benci. Kamu nggak tahu?"

"Cinta?"

Patra mengernyit. "Sejak kapan benci lawannya cinta?"

"Hah?"

"Kamu pernah belajar Matematika, kan? Pernah belajar logika? Lawannya A adalah tidak A. Lawannya B adalah tidak B. Lawannya benci adalah tidak benci."

Asia melongo.

"Jadi yang sebenarnya, aku tidak benci kamu."

Asia makin mangap.

"Aku benci Dokter!" Emosi, dipukulnya lengan Patra yang spontan berjengit. "Aku benci, benci, dasar mbladus!"

"Aku tidak." Patra menahan tangan itu, sekarang kedua pergelangan Asia dikuasainya sepenuhnya. "Aku tidak benci kamu. Mau ke mobil dan mengulangi yang tadi?"

"Nggak! Keenakan di Dokter!"

"Barusan kamu bilang itu hot dan kamu suka."

"Hih! Dokter yang congek! Sana periksa telinga!"

Asia meronta dan Patra melepasnya, namun gadis ceroboh itu tergelincir di tepi trotoar dan nyaris jatuh andai Patra tidak lebih cepat menarik tubuhnya dalam dekapan. Bertubrukan satu sama lain.

"Kamu benar-benar tidak boleh aku lepas."

Kencang debar jantung Patra mengaburkan fokus Asia untuk sesaat, sebelum dia kembali menegakkan diri dan berdeham kikuk. "Denial aja terus sampai Gempi nikah sama Rafathar."

Mengabaikan gerutuan Asia, tawa Patra kembali mengudara. Dirangkulnya pinggang gadis itu, mereka berjalan menyusuri sepanjang car-free day.

•°•°•

Asia berlarian mendahului Patra, dia senang sekali karena dibelikan pistol balon sabun. Sementara Patra berjalan maju, Asia mundur dan mengacungkan pistolnya di depan Patra.

"Dokter Patra, borahae! Blubub blubub blubub!"

Patra mengangkat telapak tangan, menghentikan serangan bubbles dengan gaya ala The Matrix.

Asia mencibir malas. Patra tertawa, menepuk-nepuk puncak kepala Asia untuk mengusir bubbles yang tersisa di sana.

Parkiran kini ramai dengan mobil, meski sepi manusia karena sudah jelas mereka ada di car-free day. Sementara Patra membayar parkir, Asia berputar-putar menembakkan pistolnya. Hingga kemudian punggung gadis itu membentur sesuatu ... atau seseorang, yang baru disadarinya ketika menoleh.

Asia terbeliak. "Ris? Ngapain?"

"Ah," Risty mengucek mata, "Sya? Jalan-jalan, ka-kamu?"

Tentu saja maksud pertanyaan Asia bukan itu, tetapi ... "Kamu ngapain nangis? Kenapa?" tanyanya bingung, cemas, kemudian berputar. "Aku sama dokter Pa ...."

Patra yang dicari sudah ada di belakangnya. Pria itu berdiri dengan raut mengeras, menatap lurus kepada dua orang lain beberapa meter di depan sana.

Asia mengikuti arah mata dokternya, menemukan seorang pria yang tidak kalah tegang, dan seorang wanita berwajah marah dengan air mata. Asia ingat benar. Wanita itu ... Patra memeluknya di parkiran rumah sakit.

Tak ingin teralihkan dari urusan yang belum selesai, wanita itu menarik kasar pergelangan Risty. Patra menarik mundur Asia, yang tadinya hendak maju, tetapi gadis itu lebih gesit melepaskan diri. Satu tamparan hampir mendarat di wajah Risty andai saja Asia tidak lebih cepat mencengkram tangan wanita itu.

Wanita itu kemudian ditarik mundur oleh pria lain yang langsung memaki.

"Rani! Gila kamu jangan drama di ruang publik!"

Rani mendengkus. "Maumu di mana, Mas? Kantor polisi? Ayo!" Kemudian meraih tangan Risty lagi dan mendelik marah pada Asia, mencegah gadis itu bersuara. "Siapa kamu?! Jangan ikut campur!"

Patra yang mengerti situasinya, kali ini menahan Asia lebih kuat. "Kita pulang, jangan terlibat."

"Tapi Risty temen aku—"

"Kamu temannya?" Rani bertanya, kemudian beralih pada Patra. "Siapa ini, Mas? Adik kamu?" Dia terkekeh hambar. "Yah ... suamiku tidur dengan teman adik mantan pacarku. Ironis."

Asia mencerna kalimat itu. Mantan pacar.

"Mohon maaf, Asia ini pacarnya, bukan adiknya," sela Risty, sengaja memanasi.

"Diam kamu, Jalang!" maki Rani geram, tangannya sudah terangkat lagi, tetapi dicekal pria lain sebelum terayun mengenai Risty.

"Kita bahas di rumah."

"Nggak! Nggak mau, lepas—" Rani meronta putus asa, namun tenaga wanita membuatnya terseret tak berdaya. "Mas, lepas!" Dia menatap arah lain. "Mas ... Mas Patra, please ...."

Asia melihat sendiri, kaki Patra sudah bergeser maju selangkah.

Namun entah mengapa pria itu mengurungkannya. Dia hanya terpaku di tempat, memandangi perempuan yang pernah berada di puncak teratas hatinya dihempas paksa masuk ke mobil. Dadanya ngilu menyaksikan itu, tetapi akal sehatnya membenarkan pilihan untuk tidak terlibat lebih jauh.

•°•°•

Putri mereka kembali dengan aura gelisah yang tak dapat dipahami, membuat Fajar dan Yana bertanya-tanya. Apa yang salah? Bukankah gadis itu sangat menantikan kencan barusan?

Patra juga tak menjelaskan apapun. Setelah mengembalikan Asia, dia masih harus visite pasien lain sekalipun ini hari Minggu.

Asia bergelung dalam selimutnya, mencerna semua yang terjadi setelah mantan kekasih Patra pergi bersama suaminya.

Merasa tak nyaman karena menutupi ini dari Asia, Risty menjelaskannya dalam perjalanan pulang. Dia bertemu dengan Wahyu, lelaki itu, berkat Madam Rose. Mulanya tak tahu bahwa pria itu telah beristri, mulanya hanya kencan demi cuan, namun akhirnya telanjur main hati.

"Aku hamil. Istrinya tahu dari hape Mas Wahyu, aku mengirimkan test pack," aku Risty di mobil.

Patra tidak berkata sepatahpun, tentang apapun.

Asia tenggelam dalam mood buruknya, berlarut-larut, hingga tengah hari waktunya makan siang. Asia hanya memakan telur dadarnya sekadar mengisi lambung. Setelahnya dia kembali diam, dengan tatapan mengawang seakan nyawanya tidak di sini.

Kemudian Patra selesai dengan visitenya dan kembali ke kamar 219 untuk terapi siang hari. Gadis itu tetap bergeming hingga akhir sesi. Tidak tahan dengan ini, Patra menyimpan peralatannya di meja, lantas menggenggam tangan Asia.

Dia bertanya hati-hati, "Apa kamu butuh pendengar?"

Asia menggeleng pelan.

"Mau dipeluk?"

Asia tersenyum, tetap menggeleng.

"Boleh aku tahu apa yang kamu pikirkan?"

Asia balas menatap, lekat. "Apa dia mantan yang pernah Dokter ceritakan?"

Napas Patra tertahan, dia mengangguk. "Ya."

"Dokter masih suka?"

Patra menggeleng. "Tidak."

"Aku lihat. Aku lihat Dokter meluk dia di parkiran, malam itu."

Pupil Patra melebar, terkejut.

"Itu tidak—" Patra mengalihkan mata sesaat, "itu bukan apa-apa. Dia menangis, makanya—"

"Tadi dia juga menangis, Dokter mau nolongin, kan?" Asia tersenyum, sekuat yang dia bisa. "Dokter memang kang denial, aku ngerti. Dokter masih peduli sama dia, sebaiknya Dokter hubungi dia daripada cemas bertanya-tanya."

"Tidak, Asia." Patra mempererat genggaman. "Itu masalah rumah tangganya, lagipula aku punya masalah lain di sini. Kamu."

" ... aku?"

"Ya, kamu. Makan siangmu sisa banyak, itu masalah besar untukku. Bilang sama Om Jin, mau makan apa? Jangan Pop Mie lagi, tadi pagi sudah."

Asia berpikir. "Indomie boleh?"

"Dilarang mi instan." Patra tersenyum sabar.

Asia tertawa pelan, merangkum wajah dokternya dengan kedua tangan. "Aku mau Om Jin di sini, jangan pulang sebelum aku tidur malam."

Patra mengecup salah satu telapak Asia sebagai tanda persetujuan.

•°•°•

Sudah setahun lebih Asia tidak merasakan udara luar di malam hari karena dilarang orang tuanya.

Selagi ada Patra di sini, Asia memanfaatkan pria itu untuk membawanya keluar. Tidak jauh, hanya di taman rumah sakit yang rupanya sangat sepi di malam hari. Ralat, tidak ada orang sama sekali. Hanya ada lampu-lampu, playground, kolam air mancur, bulan purnama, serta Asia dan Patra yang duduk di bangku panjang.

Asia, yang mengenakan jaket rangkap dua plus celana training, menoleh Patra yang hanya berkaus longgar dan jins.

"Dok, di sini kan waktu aku ngasih DP, ya?"

Patra bereaksi, rona wajahnya jelas di bawah sinar bulan.

"Mau diulang, nggak? Kemarin itu aku amatir bener, aku taunya cuma nempel doang. Sekarang lumayan lah, udah dua kali diajarin Dokter yang pro obok-obok."

Patra menatap sengit. "You stole my first kiss, you know?"

Asia terbeliak. "Serius?!" Dia memastikan kanan-kiri, sebelum bertanya dengan keseriusan tinggi. "Dulu sama mantan cantik begitu nggak ngapa-ngapain? Dokter normal, kan? Atau Dokter main sendiri, ya? Ngabisin sabun?"

Patra menyugar frustrasi. "Kamu tahu, kami laki-laki sering mendapat yang namanya mimpi bas—" Kemudian memejam dan mengentakkan kepala. "Shit. Ngapain aku cerita begini ke kamu?!"

"Oh ... mimpi." Asia manggut-manggut.

Jeda hening canggung menyelubungi keduanya selama sekian menit. Asia merapatkan jaket, menghalau embusan angin yang mencoba menggigit kulit. Patra memperhatikan sejenak, kemudian lengannya bergerak merangkul gadis itu dalam pelukan.

Asia membalas melingkarkan lengan. Meski udara masih dingin, setidaknya mendengar debar dada Patra membuat hatinya hangat.

Patra merebahkan dagu di puncak kepala Asia.

"Apa kamu tahu bagaimana aku hampir gila karena takut kehilangan kamu?"

"Hmm?" Asia tidak yakin apa yang didengarnya.

"Aku berlutut di kaki walikota karena takut kehilangan kamu."

Sekarang Asia benar-benar bingung dan secara reflektif melepaskan diri, menatap Patra yang di matanya tampak lemah dan putus asa.

"Apa hubungannya Abah Hamzah sama—"

"Dia ayahku," potong Patra, "Abah Hamzah, ayah biologisku."

Untuk sekian detik, Asia lupa caranya bernapas.

Hingga Patra mengungkapkan segalanya. Tentang bagaimana ayah tersebut pergi. Tentang bagaimana dia berkesimpulan WHF bisa memberi jalan keluar untuk Asia. Tentang bagaimana dia telah memohon bahkan berlutut, tetapi sang walikota menginginkan ibunya lah yang 'berlutut' padanya.

Mengesampingkan itu semua, tiba-tiba saja ketakutan datang mencengkram Asia. Pupilnya bergerak-gerak gamang.

"Apa ... apa ini boleh diceritakan ke sembarang orang, Dok? I-ini rahasia keluarga. Apa boleh aku tahu ini? Bu-bukannya aku bakal bocorin ke semua orang, tapi—"

"Aku percaya kamu." Patra meraih kepala gadis itu, mencium keningnya. "Aku mau dengar pendapatmu. Ibu bilang, perempuan senang dijadikan teman diskusi karena itu artinya mereka bisa diandalkan."

"A-aku ... I don't know what to say, Dok, aku—" Asia memejam, merasakan debar jantungnya mulai berantakan. "Maaf, aku payah—"

"No, no. Kamu nggak payah." Patra memeluk gadis itu lagi. "This is too sudden, kamu bingung itu wajar. Kalau begitu jangan berpikir, aku nggak ingin membebani kamu. Mengerti?"

Kepala Asia tertunduk, panas sekali rasanya dipaksa menerima banyak kejadian serentak dalam sehari.

Patra menciumnya dan berbohong dengan 'aku benci kamu'.

Mantan pacar Patra diselingkuhi suaminya.

Selingkuhan itu adalah sahabatnya, Risty.

Risty hamil.

Dan Patra adalah anak masa lalu walikota.

Asia butuh waktu untuk mencerna. Kepalanya berdenyut sakit. Lalu Patra segera berlutut memunggunginya, kepalanya berputar dan menyungging senyum.

"Butuh tumpangan?"

Asia tidak berpikir panjang untuk naik ke punggung bidang itu, mengalungkan lengan di leher pemiliknya. Patra melangkah berhati-hati menuju gedung utama Gema Medika. Lelah, Asia menumpukan keningnya pada tengkuk Patra, menghirup dalam-dalam aroma tubuh pria yang kelak akan sangat dirindukannya.

"Dok, aku nggak pintar ngasih saran ...," lirihnya.

"Aku cuma butuh pendengar." Patra mengoreksi.

"Tapi aku mau bilang sesuatu."

"Silakan."

"Thank you." Asia mengeratkan dekapannya, memindahkan bisiknya di dekat telinga Patra. "Terima kasih, sudah jadi cinta pertama yang sempurna untukku."

•°•°•

Kusatsu, Shiga, 16 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top