16 Days Remaining (a)
THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur
16 Days Remaining (a)
Terima kasih dan selamat membaca 💕
•°•°•
"TERMOS Ibu mau diapain, Le?" tanya Gita, ketika baru masuk dapur dan menemukan putranya mengisi termos stainless kapasitas 2L dengan air mendidih dari atas kompor. Anehnya adalah termos itu jarang sekali digunakan sejak mereka punya dispenser, tetapi Patra bersusah-susah mengeluarkannya dari tumpukan di kabinet dapur.
Patra melirik sekilas dari sudut mata. "Pinjam, ya, Bu. Buat sarapan."
"Sarapan opo nganggo termos barang (sarapan apa pakai termos segala)?" Gita menggelung rendah rambutnya, kemudian membuka dan memeriksa isi kulkas.
Senyum Patra mengembang cerah, "Pop Mie," lalu ditutupnya termos rapat-rapat.
Gita mendengkus pendek. "Sarapan kok micin?"
Patra hanya tertawa dan meneruskan persiapannya. Dua cup Pop Mie, siap. Termos air panas, siap. Obat-obatan, siap. Defibrilator eksternal, siap di bagasi mobil. Semua siap, Patra harus segera menjemput gadisnya di rumah sakit.
"Kemarin Ibu bikin ini, titip buat Asia, ya." Gita memasukkan dua cup puding fla di tas Pop Mie, lalu menepuk lengan putranya. "Salam buat dia. Pas nggak sibuk bawa main sini lagi. Semoga ketompo (lulus) OSCE-nya. Kalau mau nikah buat semangat, Ibu restuin bener, lho. Kalau belum siap sama anak, ya kalian main pakai pengaman, KB, atau nyemburnya di luar, kamu jangan telat cabut."
"Ibuuu, kenapa, sih?!" Patra tergelak gemas dan serta-merta meraih Gita dari belakang. "Nggak mau komentar soal itu. Aku pergi dulu." Diciumnya kepala sang ibu berkali-kali. "Baik-baik di rumah. Mau titip apa?"
Alih-alih menjawab, Gita berbalik dan menatap putranya cukup lama. Patra meraba keresahan dari sorot ibunya.
"Le, semalam dari mana, baru pulang jam 11?"
Senyum Patra menghilang. "Dia ganggu Ibu lagi?"
"Dia bilang kamu mohon-mohon di kakinya .... Ada apa, Pat? Ngapain kamu ke sana?"
"Jangan didengarkan, Bu. Dari dulu aku bilang blokir dia, dia itu walikota bajingan sampah masyarakat!"
"Astagfirullah mulutmu, Le! Kamu kan tau dia nelpon dengan nomor beda-beda? Ibu blokir percuma—"
"Dengarkan aku, Bu. Dengarkan anakmu. Dengarkan."
Patra membingkai wajah di depannya, mempererat tatapan, menanamkan pemahaman dalam-dalam pada sang ibu dengan berkata lambat dan jelas.
"Apapun yang dia bilang, abaikan. Hapuskan. Itu semua salah. Jangan lakukan apapun yang dia suruh; Ibu bukan pembantunya. Jangan mau minta maaf; Ibu nggak bersalah. Jangan tanggapi dia; Ibu buang-buang waktu. Dia sudah mati dari hidup kita. Ibu paham?"
Terdiam sesaat, kemudian Gita mengangguk pelan.
Patra tersenyum samar, sebelum berpamitan mencium tangan dan memeluk wanita itu.
•°•°•
Sisa-sisa gelap masih terlihat di ujung barat langit ketika Patra memarkir mobilnya di jalan besar Dempo, yang hanya beberapa meter dari jalan Ijen—lokasi car-free day. Asia celingukan melihat sekeliling yang kosong, mereka lah yang pertama parkir di sini. Sekitar 10 meter di trotoar depan, beberapa pedagang mulai menggelar lapak pasar mingguan.
Asia melepaskan sabuk lalu menoleh Patra yang baru mematikan mesin. "Kita jalan-jalan dulu, gimana? Belum ada yang jual makanan," gumamnya.
"Kita sarapan dulu, aku nggak mau kamu lemas di tengah jalan bikin repot."
"Belum jualan, Om. Tuh!" Asia menunjuk depan. "Baru pada gelar tiker. Mau cari ke jalan Brawijaya sana?"
"Yang jelas sarapan dulu." Patra melembutkan senyuman. "Kamu mau apa? Sebutkan."
"Di dekat sini pilihannya apa?" Alis Asia melengkung. "Emang jam segini udah buka?"
"Jangan pikirkan tempatnya. Sebutkan satu makanan yang paling kamu mau. Hari ini aku Om Jin, ingat? Pakai satu dari tiga permintaanmu." Patra menepuk dada jemawa. "Makanan apapun yang kamu mau, serahkan sama Om Jin ini. Bebas. Apapun boleh."
Kontan Asia terbeliak. "Apapun banget, nih?" Dia memastikan.
"Apapun kecuali racun."
"Micin?"
Patra tertawa sejenak. "Boleh, Asia. Satu makanan yang kamu mau dari dulu, yang mungkin belum kesampaian, ayo sebutkan."
"Pop Mie!" serunya.
"Deal!"
"Heh? Gimana gimana?!"
Asia menganga tak paham ketika Patra memundurkan jok, mengeluarkan sebuah termos merah bermotif bunga dari tote bag di bawah, disusul dengan dua cup Pop Mie. Dilihatnya dokter itu membuka termos, menyeduh Pop Mie satu-persatu, lalu menutup dan meletakkan keduanya di atas dasbor. Asia membekap mulut hiperbolis.
"Tunggu tiga menit, Tuan Putri." Patra menepuk-nepuk tangan selesai melaksanakan tugas.
"Aa-astaga, Dok?! Beneran ini?!" Tak mampu menahan keterkejutannya, Asia bergerak heboh di tempat, bergantian menatap Pop Mie dan Patra. "Boleh? Aku boleh makan ini?!"
Patra memiringkan kepala. "Why not?"
"Ya ampun! Ya ampun! Ya ampuuun!" Asia mengguncang-guncang kedua lengan Patra. "Om Jin, beneran ini?! Om Jin nyiapin ini semua buat aku?!" Dipukulnya kedua pipi bergantian, mencubit berkali-kali, lalu mengguncang Patra lagi. "Ini bukan mimpi. Aku bakal makan Pop Mie. Astaga ini tuh jauh lebih enak daripada diperawanin!"
Luapan bahagia gadis itu membuat Patra kelimpungan menenangkannya. "Iya, iya. Jangan goyang-goyang di mobil begini. Ini kalau dilihat dari keluar orang mikirnya aku lagi merawanin kamu."
"Oh. Iya iya maap."
Asia memperbaiki posisi duduk, tapi detik berikutnya tetap saja berlompatan di tempat. Patra berdoa pasrah semoga tidak digerebek tukang parkir. Tiga menit dilalui Asia dengan memandangi—penuh pemujaan—sepasang cup yang berkilauan ditempa bias cahaya matahari.
Selanjutnya, Asia melakukan semuanya sendiri. Merobek saset bumbu lalu membaui tepat di lubangnya. Patra hampir tertawa melihat gadis itu merem-melek seperti orang sakau. Berhati-hati, ditaburkannya penyedap itu dalam cup, mengaduk perlahan dengan garpu, dan menghirup dalam-dalam semua asap putih beraroma umami yang menari di udara.
Asia menoleh dokternya dengan tatapan berahi. "Dok, apa nggak boleh oksigen tabung di kamarku ditaburin bumbu Pop Mie, atau cairan infusku diganti kuah Pop Mie?"
Patra menahan diri untuk tidak menyiramkan Pop Mie di tangannya ke wajah gadis itu.
Sebaliknya, dia tersenyum dan bersulang cup dengan cup milik Asia. "Selamat menikmati, Tuan Putri."
Keduanya makan berselimut hening dengan kesibukan masing-masing. Tempo makan Asia sangat lambat, dia menghabiskan satu menit untuk satu kali mengunyah. Tidak ingin kenikmatan ini berakhir di sini. Buncahan rasa haru tidak berhenti menghiasi wajahnya, dan terutama, sorot berbinar sepasang mata bulatnya.
Sedangkan Patra tak mampu melepaskan mata dari gadis itu, meski tangannya tetap bekerja menyuapi mulut.
Dia sungguh tidak habis pikir bagaimana seseorang bisa sebahagia ini hanya karena satu gelas mie seduh instan. Namun jika mengingat bagaimana Asia menjalani hidup lima tahun terakhir ini, Patra rasa dia bisa sedikit memahami. Tetapi kejutan untuk Patra belum selesai.
Pria itu terpaku setelah menyadari air mata mengalir dari sudut mata Asia.
Bumbunya sama sekali tidak pedas. Gadis itu menangis sebab pekikan dan lompatan saja masih kurang untuk mengekspresikan perasaannya. Seperti orang bodoh, dia terus makan dengan ketenangan yang membuat Patra speechless, meski sebagian air mata menetes dan bercampur dengan kuah mie.
Sadar bahwa sepasang mata di sebelahnya mengamati begitu intens, Asia menurunkan cup, menyambar tisu untuk mengeringkan air mata lalu menoleh malu.
"Dokter nggak perlu menahan diri, silakan ketawa."
"Aku tidak." Patra menarik tisu lain, menyapu kening Asia yang ditumbuhi manik-manik keringat. "Sewaktu-waktu kamu liar, di lain hari kamu polos. Kamu selalu bicara tanpa berpikir, tapi ada masanya sulit ditebak. Kemarin kamu tertawa dipaksakan, hari ini kamu menangis bahagia. Sebenarnya kamu yang mana?"
Asia berpikir sesaat, tetapi tidak paham. "Semuanya aku."
"Aku bisa benar-benar gila karena semuanya." Patra tertawa berat saat menarik diri kembali. "Ayo habiskan, setelah ini cari matahari."
Untuk sebagian besar orang, sumber kebahagiaan adalah harta, tahta, maupun cinta. Tujuan jangka panjang yang diraih dengan perhitungan matang dan terstruktur, agar dijauhkan dari konsekuensi yang tidak diharapkan.
Bagi Asia, bahagia itu sedekat sarapan Pop Mie panas berdua dengan dokter favoritnya.
•°•°•
"Uwenaaak!" Bibir Asia maju-maju menyantap puding fla cokelat yang diberikan Patra setelah Pop Mie mereka habis. "Ibu, makasih banyak. Ibu baik banget, sih, Dok? Bukannya Ibu sudah tau kita bohong? Ibu nggak kecewa sama kita?"
"Ibu belum tahu." Patra menutup kembali lengan kaus Asia selesai menyuntikkan terapinya.
Asia mengernyit. "Tapi kemarin Dokter bilang Ibu nggak mau aku mati?"
"Itu bukan Ibu."
"Terus? Mbak Marsha?"
Tidak menjawab, Patra hanya menatap gadis itu. Cukup lama dan dalam hingga kemudian Asia salah tingkah, terburu-buru menuntaskan pudingnya.
"Sudah, nih," katanya, mengumpulkan cup puding kosong bersama sampah lain dalam keresek. "Kuy, keluar cari matahari."
Tetapi lengannya lebih dulu ditahan Patra yang tersenyum teduh. "Ada permintaan lain, Tuan Putri?"
Asia menggeleng, "Belum, deh, ntaran," lalu mengacungkan tembakan heart sign. "Om Jin, saranghae! Piu piu piu piu!"
Patra berpaling ke jalanan di luar jendela, enggan memperlihatkan senyum yang jelas menghiasi wajahnya. Sialan. Meski otaknya masih saja bersikukuh bahwa tagline Asia itu menjijikkan, tetapi debaran hatinya begitu kuat dan nyata. Patra benar-benar sudah gila.
"Jadi belum ada?" Setelah mengendalikan diri, Patra menoleh lagi.
"Ada, sih," Asia menyeringai, "yang kemarin itu. Aku mau Dokter bilang cinta sama aku. Dokter siapnya bilang sekarang apa nanti, hmm?" Lalu, menjawil-jawil dagu Patra dengan telunjuknya. "Gimana, Om Jin ganteng?"
Merasa tak nyaman, Patra menepis lengan itu.
"Kenapa aku harus mengatakan itu?"
"Karena aku nggak akan mati sebelum Dokter bilang cinta. Titik!" tekan Asia, bersemangat, tak ingin mendengar bantahan. "Tinggal bilang 'aku cinta kamu' apa sulitnya, sih? Dokter bohong juga nggak papa. Aku siap. Yang jelas aku mau dengar itu sebelum mat—"
"Aku nggak mau kamu mati!" sanggah Patra frustrasi. "Jadi aku boleh berbohong? Kamu mau dengar aku berbohong?"
Asia mengangguk. "Yap."
"Dengar kebohongan ini baik-baik."
Sepasang telinga Asia siap menerima apapun yang akan dikatakan Patra. Tetapi alih-alih berkata, pria itu meraih tengkuknya dengan satu tangan, memiringkan kepala dan mencium bibirnya.
Tidak seperti sebelumnya, kali ini dengan berhati-hati, Patra melirih di antara bibir mereka. "Aku benci kamu."
Asia memejam, tak mengerti, tetapi hatinya menikmati.
Terlebih ketika Patra mulai memagutnya, berulang kali, dengan tempo yang melenakan karena lembutnya. "Aku benci kamu," dikatakan Patra lagi, sebelum melumat kembali. "Aku benci kamu," lagi, kini Asia mampu mengimbangi setiap lumatan Patra dengan lentur, begitu teratur. "Senang, Tuan Putri?"
Asia tidak menjawab, pun Patra tidak butuh jawaban. Hangat yang masing-masing rasakan dari ciuman tersebut sudah melebihi penegasan apapun.
•°•°•
Bingung saya ini denial macam apa 🙂
Kusatsu, Shiga, 15 Januari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top