15 Days Remaining

THE COUNTDOWN - Kekasih Hitung Mundur

15 Days Remaining

Terima kasih dan selamat membaca 💕

•°•°•

NASTAR adalah salah satu camilan andalan teman nonton drama bagi Asia. Risty hapal betul sebab dialah yang selama ini jadi pemasoknya. Setelah kejadian kemarin, pagi ini dia benar-benar tidak tahu harus bersikap bagaimana saat mengantar nastar. Tak mau banyak berpikir, dia berangkat saja menuju Gema Medika terlepas dari apa yang mungkin dihadapi nanti.

Risty sama sekali tidak mengira, kedatangannya akan dihadapkan dengan kepanikan yang bersumber dari kamar 219.

Beberapa orang berseragam paramedis terburu-buru keluar-masuk berikut rentetan instruksi yang terdengar dari dalam kamar. Beberapa yang lain mengamati dari jarak sekian meter di luar, termasuk pula Risty yang langsung menghampiri salah satu dari mereka.

"Serangan lagi, ya, Sus?" tanyanya, menunjuk kamar yang dimaksud dengan kecemasan jelas di matanya.

"Gagal jantung akut, Mbak." Sang perawat melihat arloji di pergelangannya. "Ya Allah, sudah 10 menit ini ...."

Dunia Risty menggelap saat itu juga.

Perempuan itu mundur, memegangi kepala dengan satu tangan. Menahan pengar, bercampur mual, hingga dia berhasil duduk di salah satu bangku panjang. Diabaikannya tas berisi nastar yang tergeletak begitu saja di lantai saat menemukan kedua orang tua Asia juga duduk tidak jauh darinya. Yana tampak lemas dalam pelukan sang suami yang hanya mampu memejam pasrah.

"Om, Tante." Setidaknya, Risty tetap harus menyapa dan menyalami keduanya. "Tiba-tiba drop atau ...."

"Dari kemarin siang napsu makannya turun," jelas Fajar.

Yana menegakkan diri, menghapus air mata. "Tante pikir, setelah kemarin jalan-jalan dan seharian ditemani dokter Patra, dia bisa lebih ceria. Tapi malah banyakan diam, melamun, dan nggak mau apa-apa."

Risty menelan ludah. Pandangannya turun karena rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap diri. Jemarinya saling meremas gelisah, hatinya merapalkan doa-doa demi nyawa yang meregang di dalam sana. Setelah ini dia benar-benar harus membuat semuanya jelas bagi Asia.

Tuhan menjawab doa ketiga orang tersebut bersama dengan keluarnya Patra dari kamar 219.

Mereka serempak berdiri sesaat sebelum Patra menghampiri dan pria itu berkata, dengan senyum sedikit lega, "Masa kritisnya sudah lewat," lalu menjeda sejenak saat Fajar merangkul Yana penuh haru, "tapi harus observasi dua jam. Sudah 15 menit sejak Asia tidak mendapat oksigen yang adekuat, fungsi beberapa organ mungkin terganggu. Saya perlu menjalankan beberapa tes untuk mengetahui itu, mohon persetujuan dari Bapak. Ibu silakan menunggu di dalam, tapi saya sertakan dua teman saya untuk berjaga-jaga."

Fajar segera mengikuti dokter yang ditunjuk Patra, begitu pula Yana yang kembali ke kamar. Menyisakan Risty yang sedari tadi menahan napas, tak berkedip menatap Patra.

"Maksimal satu penunggu keluarga pasien," terang Patra, sebelum perempuan itu bertanya apapun.

Risty mengembus panjang lantas meninggalkan tempat itu.

•°•°•

Sesuatu menghantam dari dalam kepala Asia, bertubi-tubi, memaksa matanya untuk terbuka. Semua yang dilihatnya hanya putih, semua yang didengarnya hanya dengung tak berujung, dan semua yang dirasanya hanya kesakitan. Tenaganya tak ada bahkan sekadar untuk menggerakkan lidah agar bersuara.

Siksaan semacam ini bukan sesuatu yang baru bagi Asia, bahkan tidak jarang dia mendapat lebih. Keadaan di mana ketika matanya mulai bisa melihat, telinganya bisa mendengar, tetapi otaknya tak mampu memproses apapun. Seseorang berpakaian putih menahan kelopaknya, lalu cahaya putih menusuk pupil membuatnya mengerjap perlahan.

Penglihatannya kini kian jelas. Yang berpakaian putih tadi adalah seorang pria, disusul kedatangan beberapa orang lain yang berseragam serupa. Mereka melakukan sesuatu pada tubuhnya, entah apa, Asia terlalu lemas untuk merespons. Dia pasrah.

Asia sangat terbiasa dengan ini. Berada di antara hidup dan mati.

•°•°•

Kekurangan oksigen menyebabkan bagian otak yang mengatur sistem koordinasi Asia terganggu. Gadis itu mengalami lumpuh dalam posisi setengah duduk di ranjang. Dia hanya mampu menggerakkan tangan dan menolehkan kepala. Syukurnya, kondisi itu hanya sementara dan paling cepat besok Asia sudah bisa bangun seperti biasa. Setidaknya itu yang dikatakan Patra kepada Fajar dan Yana.

Selera makan Asia juga belum pulih, hal itu bisa dimengerti. Dia hanya makan tiga sendok nasi putih lembek tanpa pelengkap apapun. Semua terasa hambar, hingga kemudian dia teringat satu camilan yang mungkin bisa memperbaiki suasana hatinya.

"Ma, Risty nggak ke sini? Aku sudah pesan nastar," tanyanya, setelah Yana membantu minum.

"Tadi ada, mungkin masih di depan. Bentar, ya, Mama cari."

Yana segera beranjak dan keluar. Tidak butuh waktu lama sebelum Risty masuk dengan senyum canggung bercampur lega melihat Asia sudah siuman. Setelah menutup pintu, perempuan itu mendekat dan menempati kursi di sisi ranjang.

"Gimana perasaanmu, Sya?"

"Bias—" Asia terengah saat mencoba tertawa. "Biasa ... udah sering begini."

Kondisi memprihatinkan sahabatnya membuat Risty merasa perih.

"Kamu sendiri, Ris?" Asia balik bertanya.

"Aku? Kenapa?"

"Are you okay? Apa kamu pusing? Mual? Itu pasti nggak mudah, ya, Ris ... tapi kamu harus bisa, hmm?" Asia tersenyum lemah. "Dari dulu kamu kuat. Kamu selalu sekuat itu, dan tanpa sadar aku sering bergantung sama kamu. Tapi sebaliknya, dengan kondisi begini aku nggak bisa kamu andalkan. Maafin aku, ya, Ris?"

Risty menghapus air mata yang baru saja meleleh.

"Ngomong apa kamu, Sya? Jangan bilang kamu begini karena ... karena rasa insecure yang nggak guna ini, hah?" sentak Risty, menelan ludah kasar. "Bukan salahmu! Aku nggak bisa bilang sama kamu karena aku malu! Aku malu, aku kotor, aku menjijikkan, anak polos seperti kamu nggak pantas kenal pelakor murah seperti aku!"

"Ris, aku ti—"

Risty mengambil jemari Asia. "Stop blaming yourself, hmm?" Ditatapnya gadis itu dalam. "Bukan berarti kamu nggak bisa diandalkan, atau aku nggak percaya kamu, atau apapun itu ... sama sekali bukan. Aku ingin kamu kenal aku sebagai Risty yang baik, yang asik, yang receh. Bukan Risty yang jalang dan rusak kayak gini!"

"You are, Ris." Asia tertawa, menggoyang perlahan genggaman mereka. "Siapa yang bilang kamu rusak? Kamu sendiri. Buatku kamu nggak. Kamu yang masih aja kesini disaat temen-temen lain mungkin sudah lupa Akasia pernah hidup. Itu saja, kamu mau berbuat apa dengan siapa di luar sana itu bukan masalah buatku."

"Aku mungkin jauh lebih fake dari yang kamu tahu."

"Dan apa pengaruhnya buatku yang bisa saja mati satu jam lagi?"

Risty terdiam.

Bicara kematian adalah hal lumrah baginya, Asia tertawa lagi. "Kalau aku pergi nanti, apa kamu mau mengantar dan berdoa untukku? Apa kamu masih mau datang meskipun aku nggak bisa bicara seperti ini lagi? Apa kamu masih ingat sama aku meskipun aku sudah nggak di sini?"

"Iyalah. Ngapain nanya absurd begini, hah? Aku tabok mau?!" geram Risty tak terima.

Asia tersenyum senang. "Ya udah. Yang paling penting, kamu nggak fake sama aku, Ris, itu saja."

•°•°•

"Heh? Mohon-mohon ke Abah Hamzah?!" Risty mendelik begitu mendengar penuturan Asia tentang Patra yang—katanya—sedang mengusahakan umur yang lebih lama untuknya.

Asia menceritakan hal itu, minus fakta bahwa Patra adalah putra masa lalu sang walikota. Rasanya kurang etis membongkar rahasia orang lain tanpa persetujuan.

"Memangnya sudah pasti?" Risty mengerjap, kemudian menyuapkan nastar pada Asia. "Maksudku, dengan merujuk ke WHF atau apalah itu, sudah pasti harapan jantung kamu survive bisa naik?"

Asia mengunyah, mengangkat bahu tak yakin. "Prof. Dinara yang punya plan itu, tapi belum sempat diurus lalu beliau meninggal. Output program kerjasama itu rata-rata bisa survive sekitar 5-10 tahun gitu, katanya, lumayan sambil nunggu antrean donor. Dokter Patra belum diskusi sama Papa-Mama, dia bilang nggak mau ngasih false hope."

"Lumayan banget 5-10 tahun." Risty mengangguk, mencerna informasi itu. "Tapi seriusan, harus mohon-mohon di kaki si Abah gitu? Maksudku, itu kan program pemkot, apa nggak bisa kamu dimasukkan pengecualian, karena nggak mungkin kamu nunggu sampai April ...."

"Nggak bisa. Makanya Dokter nyari kontaknya orang WHF itu, tapi susah bener sih emang. Nggak dikasih begitu aja sama si Bapak." Asia meringis. "Mau cepet mana ada yang gratis."

Risty membulatkan mata. "Ada harganya?"

"Yaaa ...." Asia mengedarkan pandang sesaat. "Tapi bukan soal duit. Masalah personal, gitu. Aku kurang paham. Hahaha." Dia tertawa kaku.

Enggan membahas ini lagi karena khawatir keceplosan, Asia mengalihkan diri dengan berkata ingin beristirahat.

•°•°•

Patra sangat lelah, secara fisik maupun mental.

Tuntutan kamar OK hari ini sangat tinggi, empat bedah berturut-turut menjadi tanggung jawabnya setelah makan siang. Dari jam satu siang hingga 9 malam, dia hanya keluar dua kali untuk salat. Selebihnya, dia harus berkutat dengan scalpel mengiris tumor setipis mungkin, lapis demi lapis sampai benar-benar habis.

Begitu keluar dari kamar dingin itu, matanya berkunang-kunang. Tetapi dipaksanya kaki menuju bangsal jantung kamar 219 untuk memastikan kondisi Asia, dan syukurnya gadis itu sudah tidur. Hemodinamiknya sudah stabil, membuat Patra mengembus lega dan segera pamit agar orang tua Asia bisa beristirahat.

Patra pikir, dia pun bisa segera pulang dan beristirahat—meski dia tidak yakin akan tidur dengan nyenyak. Tetapi kemudian dia menemukan Risty sedang bersandar di kap mobilnya seakan menunggu seseorang. Patra menghampirinya, menatap perempuan itu tanpa berkata apa-apa.

Tidak membuang waktu, Risty mendekat dan merogoh sesuatu dari saku jaketnya, menyerahkan pada Patra yang otomatis menerima. Secarik kertas kecil yang dilipat dua. Patra membukanya, mendapati sebaris URL shortener yang ditulis tangan.

"Apa i—"

"Untuk Asia. Mungkin Dokter butuh itu, periksa saja isinya. Saya sarankan pakai mode incognito dan jangan nyalakan speaker."

Kernyit Patra bertambah dalam.

Tetapi Risty enggan menjelaskan lebih jauh. Perempuan itu tersenyum simpul sebelum berpamitan pergi meninggalkan Patra.

•°•°•

Patra membangkitkan iMac-nya, membuka browser, dan segera mengetikkan URL shortener seperti yang tertulis di kertas pada address bar. Tidak butuh waktu lama hingga sebuah halaman muncul. Sebuah media penyimpanan berbasis cloud milik Google.

Nama folder itu adalah 'Dibuang Sayang'.

Isinya adalah beberapa foto dan video. Foto-foto tersebut adalah screenshot ponsel yang menampilkan percakapan di aplikasi ... Madam Rose? Patra mengerutkan kening.

Percakapan mesra sebagaimana 'normal'nya dua orang beradu rayu dalam sebuah aplikasi kencan. Antara username Fristy dan Graham. Patra membaca semuanya kemudian menarik kesimpulan.

Fristy adalah Risty sendiri, sedangkan Graham mungkin suami Maharani, tetapi untuk apa semua informasi ini? Kalau ingin memanas-manasi, lebih tepat dikirimkan ke Maharani.

Patra menutup kumpulan screenshot tersebut dan beralih ke video-video mencurigakan. Mencurigakan, sebab beberapa thumbnail-nya menyajikan dada polos perempuan, dan tentu saja lawan mainnya, seorang pria tanpa busana.

Patra memainkan salah satunya. Awalnya hanya kamar kosong yang tampak seperti hotel biasa, sampai dua pemain utama memasuki jangkauan rekam dengan cumbuan-cumbuan panas. Keduanya saling membuka baju satu sama lain. Meski diambil dari jarak lebih kurang dua meter, Patra bisa melihat dengan jernih setiap detil adegan vulgar itu.

Termasuk wajah pria yang jadi pemerannya, serta alasan mengapa Risty berpikir informasi ini mungkin dibutuhkan untuk menolong nyawa Asia.

•°•°•

Hayo apaan itu ya? 🙈

Glosarium: URL shortener - penyingkat link, seperti bit.ly, TinyURL, dsb

Kusatsu, Shiga, 18 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top