Silent 13: Silent
Gadis itu hanya punya satu telinga! Dia tengah duduk di sebuah bangku dengan memainkan kaki. Rambut hitamnya diikat tunggal menampakkan leher jenjang yang mulus. Tidak, ada tato mungil bertengger di tengkuk, simbol infinity! Napas Arai menderu, jantungnya nyaris berhenti berdetak melihat Meila sudah berpindah ke bilik ini. Seingatnya, Arai meninggalkan gadis itu di bilik 13 dan tak ada akses pintu dari bilik itu ke stasiun ini, kecuali jika benar dia yang memegang semua kuncinya.
Rasa kecewa itu perlahan sangat nyata keberadaannya. Dia sama sekali tak menyangka dengan fakta di hadapannya. Kenapa harus Meila? Gadis itu bahkan terlalu lugu untuk menyakiti hati teman-temannya. Dia selalu mengalah saat orang-orang berdesakan di kantin, dia akan menunggu saat semua orang sudah memesan. Ketika semua orang di kelasnya sibuk menyalin jawaban dari tugasnya, dia tak masalah menjadikan tugasnya disalin. Meski begitu, tak ada yang mengajaknya ke kantin sekadar membeli segelas es teh bersamanya atau mengajaknya ke kafe mengerjakan tugas bersama. Namun, dia tak ambil pusing selama kuliahnya baik-baik saja.
Ternyata semua itu tidak cukup! Meila merasa setiap hari rasa irinya membengkak. Hatinya tetap nyeri meski mencoba mengikhlaskan semua yang terjadi.
"Di mana Gea?" Suara Arai terdengar sangat tenang, nadanya yang rendah mengukuhkan wajahnya yang terkenal dingin dan minim ekspresi. Meila hanya menoleh sekilas sebelum akhirnya kembali mengayunkan kaki. "Sekali lagi gue tanya sama lo di mana Gea?!"
"Lo juga, Rai? Gue pikir lo beda ... nyatanya sama aja kayak yang lain ya?" tanya Meila. "Seenggak menarik itu, ya gue di mata lo dan yang lain, Rai?"
Ada jeda cukup lama sebelum dia melanjutkan, "Saat itu temen-temen pada berbondong-bondong nyontek, nyalin catetan gue, tapi lo nggak. Hari itu tanggal 13, sejak saat itu lo menjadi objek yang paling ingin gue liat setiap waktu. Kebetulan lo duduk di dekat dosen, dari bangku nomor 8 gue bisa puas mengamati lo seakan-akan gue menyimak materi perkuliahan.
"Gue kira lo notice gue saat lo sering ngelirik ke arah gue, ternyata karena ada Gea ya? Beberapa kali gue dan Gea jaga jarak saat itu tatapan lo pun masih ke arah dia. Apa si istimewanya? Karena Gea pintar Matematika? Gue kecewa banget ternyata nggak ada yang peduli kehadiran gue di kampus, di rumah. Nggak ortu gue, ayahnya Gea, bahkan dosen kita. Dari semua itu yang paling menyedihkan adalah lo, Rai. Penolakan yang lo kasih ke gue ... rasa sakitnya sampai gue lupa, apa yang akan gue lakuin selanjutnya agar semua baik-baik aja."
"Gue, gue–"
Meila berdiri tanpa memandang Arai. Tatapannya yang kosong lurus ke depan. Dia mengembuskan napas berat, lalu kedua tangannya bersilang di depan dada. Dia meremas kedua lengannya sendiri, mengusap-usapnya kemudian. Ketika tangannya terkulai, dia berbalik dan tersenyum. Senyum tawar yang nyaris tak terlihat di malam yang mendung.
"Nggak usah merasa bersalah, Rai. Gue nggak apa-apa kok. Belakangan banyak kenangan manis kita ukir bersama di Double G. Meski, ya ... lo pasti nggak akan nyadar." Suara Meila nyaris hilang. "Di Double G, lo manggil nama gue. La, latte satu. Americano pake gula yang bikin para barista ngakak hampir seharian. Thanks, Rai atas semua yang terjadi belakangan ini."
Terdengar petir di kejauhan mulai menginterupsi keheningan yang semakin memberat. Sesekali titik cahaya di langit membentuk kilat lalu merambat begitu cepat, hilang.
Air mata Meila luruh, dagunya bergetar. Dia memejamkan mata, membayangkan kehangatan suasana saat itu. Meila tak akan lupa seseorang telah melukiskan tato infinity yang menjadi identitas Meila sejak SMA. Dia ingat benar perkataannya saat itu, tato itu adalah simbol perasaannya terhadap Meila. Namun, lelaki itu justru mencederai kepercayaannya.
"Nggak, La. Di mana Gea? Dia harus mempertanggung jawabkan semua ini."
Meila membeku. Sekujur tubuhnya seakan tak berfungsi. Tetes air langit yang mulai jatuh pun tak mampu dia rasakan. "Sampai kapan lo akan kayak gini?" tanya Arai. "Lo itu bebas. Lo nggak terikat keluarga Gea atau siapa pun. Gue tahu pasti berat bagi lo karena mereka membiayai lo sampai sekarang."
Arai bisa melihat air mata Meila menetes dan bibirnya yang terkatup bergetar. Dia mengangkat tangan kanannya, kakinya mundur selangkah.
"Katakan sama gue, di mana Gea, La?" Arai yang maju mendekat ke arah Meila menghentikan langkahnya saat gadis itu terus mundur bahkan sampai tepi rooftop. Dia melihat jempol tangan kanan sudah tertekuk di telapak tangan. Arai menanti gerakan selanjutnya, tetapi apa yang akan dia lakukan jika memang dugannya benar?
"La, berhenti. Plis ... gue udah tau semuanya. Semua ini udah nggak berguna meski lo terusin."
Pandangan Arai mengabur saat hujan semakin deras, dia benar-benar melihat Meila menangis sesenggukan di tengah hujan. Pundaknya yang basah naik turun. Rambutnya lepek, kasa yang membalut telinganya hendak terlepas.
"Gue harus gimana, La! Ngomong dong gue nggak ngertiii!!!" teriak Arai. Dia mengacak rambut dengan frustrasi. Dia bersimpuh dan menangis dengan keras seakan semua gumpalan beban dalam hatinya terlontar. "Gue bahkan nggak bisa percaya sama diri gue sendiri."
Meila menggeleng pelan, tangisnya juga pecah. Dengan gerakan lambat, keempat jari kanan yang bergetar itu terkepal erat saat Arai mendongak, tatapan mereka bertemu. Seakan saling mengunci, waktu seakan berhenti. Keduanya saling menyelami duka di balik bilik-bilik iris mata segelap jelaga. Mereka seperti hanyut dalam pintalan lembut yang hangat, tetapi dengan cepat dunia Arai seakan berputar cepat. Satu gerakan Meila menariknya ke dalam kehampaan. Gadis itu terjatuh dari ketinggian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top