Silent 06: Tak Terdefinisi
Arai berdiri di antara kekosongan, dia merasa dirinya terisap kesunyian. Tenaganya terasa habis tersedot aktivitas yang sebenarnya tidak terlalu berat. Baginya menghabiskan waktu di luar harus banyak persiapan agar emosi dan mentalnya tidak babak belur. Namun, semua itu tak sia-sia. Dia mendapati banyak petunjuk. Hari ini seharusnya dia bekerja pada shift pagi, tetapi dia mengambil cuti. Dia harus memecahkan teka-teki itu secepatnya. Siapa yang akan mati di hari Kartini? Hari itu bertepatan dengan ulang tahun Gea.
Apa ini pembunuhan berencana? Ini terlalu berlebihan untuk sebuah prank. Siapa cewek itu? Argh ....
Pertemuan kemarin benar-benar payah! Demi Tuhan, mendapat tuduhan dari orang yang paling dia khawatirkan selama ini terasa sangat berat dan menyakitkan. Perkuliahan hari ini pun akan diadakan siang hari, setelah pertemuan itu, Arai tak yakin siap bertemu dengan Gea. Entah apa yang Arai takutkan, dia yakin benar dirinya tak terkait semua itu. Perasaan macam apa ini? Apa gue suka sama Gea?
Bukankah selama ini dia mengabaikan tanggapan orang perihal dirinya? Lantas mengapa memedulikan tanggapan gadis tengil itu? Arai merebah di kasur tipisnya, dia menarik napas kemudian mengembuskannya, menariknya lagi banyak-banyak lalu diembuskan. Begitu seterusnya hingga dia tenang dan bisa berpikir jernih. Arai menoleh ke arah moodboard-nya.
Tak habis pikir mengapa Gea mendapat pesan itu, dari tatapannya ... Gea tidak bercanda. Sekarang apa? Semua kesimpulannya sia-sia dan dia harus mengaji ulang semuanya. Jika bukan Gea siapa yang paling mungkin melakukannya. Sekarang dia ragu mengenai analisisnya. Dia sangat menyesalkan mengapa rumus-rumus kalkulus dari tugas-tugas Arai bahkan terasa begitu lebih mudah dianalisis daripada semua ini.
Arai bangkit, dia ke kampus meski hari ini kelas sudah berakhir. Dia harus melakukan sesuatu untuk membuktikan semua ini bukan? Dia yakin akan mendapat sesuatu di sana.
Keadaan kampus hari tak ada yang berbeda. Para Mahasiswa bertebaran di setiap sudut. Di kantin yang baru dilalui, di perpustakan yang tergolong sepi, bahkan di sudut-sudut lapangan yang dinaungi pohon pucuk merah, pohon ketapang, dan pohon palem kecil. Arai mengabaikan mereka, sesampai di sana, dia langsung menunggu di koridor di dekat kelas Meila.
Gadis itu mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna merah. Kancing teratas yang dibiarkan terbuka mengekspos kaos putih yang membentuk lekuk dadanya. Meila berjalan gesit menghampiri Arai, dia memperbaiki posisi kacamata yang melorot untuk menutupi salah tingkahnya. Siapa sih yang tidak salting ditunggu mahasiswa kece. Tak hanya prestasinya yang membanggakan, tampangnya pun tak bisa dibilang pas-pasan. Arai memiliki garis wajah tegas terbingkai rambut lurus yang dipangkas rapi. Alis tebalnya menambah daya tarik Arvian Arai yang konon merupakan jelmaan dari sosok dewa yang bereinkarnasi. Hanya saja ada sedikit masalah, kurangnya perawatan membuat matanya dipenuhi lingkar hitam yang menunjukkan berapa lama dia begadang sepanjang malam.
"Lo nggak masuk kelas tadi, Rai. Sakit? Wajah lo pucet tuh."
"Ada urusan sebentar."
"Ah, gitu. Gea juga nggak dateng pagi ini. Gue pikir kalian janjian."
Gea nggak kuliah? Kenapa?
"Lo mau langsung ke kafe atau mau ke mana?"
"Lo sendiri gimana? Jam kerja lo dah lewat."
"Pengen ngopi sih, mau ngopi bareng?"
"Serius nih?"
Arai mengangguk lalu menunduk sambil menggaruk belakang telinga yang tak gatal.
"Ya udah, yuk! Jalan sekarang. Pake motor lo, kan?"
Seulas senyum nyaris tak terlihat mengiyakan pernyataan itu.
"Tumben banget, Rai. Lo nggak pernah giniin gue deh. Ada apa sebenarnya, nih?"
"Lo nggak suka jalan sama gue ya?"
"Lo nembak gue?" katanya terkekeh. "Bener kata Gea ya, lo itu kayak batu."
Tawanya semakin jelas membuat lekuk lesung pipinya makin dalam. "Jujur aja, deh Rai ada apa?"
Arai menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Lo kan sahabatan sama Gea, ya. Gue mau mastiin sesuatu. Bener nggak sih ulang tahun dia itu tanggal 21 bulan ini?"
Ekspresi wajah Meila membuat Arai tergagap, "Gue ... gue. Sebenarnya gue–"
"Jadi karena itu lo ajakin gue sampai rela jemput segala meski lo sendiri absen hari ini?" katanya dengan nada dibuat-buat.
Telinga Arai memanas, mungkin kini kulitnya yang cerah itu telah memerah saking malunya. Dia tak menyangka Meila akan menggodanya habis-habisan.
Meila bercerita dengan ceria bagaimana pertemuannya pertama kali sampai akhirnya berteman dekat dengan Gea. Dia juga bercerita bagaimana dirinya selalu berangkat lebih pagi agar dapat mendapat tempat duduk sesuai dengan spot kesukaan Gea
"Lo baik banget sampai mencarikan bangku setiap pagi segala."
Gadis itu tak menjawab, dia memakai helm yang diberikan Arai kepadanya. Dia ingin menikmati momen langka ini meski bukan sengaja ditujukan untuknya.
***
Dalam Matematika, "tak terdefinisi" sering kali dilambangkan dengan simbol yang disebut "∅" (phi setengah), yang merupakan lambang untuk himpunan kosong atau himpunan yang tidak memiliki anggota sama sekali. Ini menunjukkan bahwa tidak ada elemen yang termasuk dalam himpunan tersebut. Simbol ini digunakan untuk menunjukkan ketiadaan atau kekosongan. Arai terkejut mendapati simbol ini di telapak tangan kirinya yang tertutup wristband. Tiba-tiba saja, kain berwarna hitam itu tersangkut sabuk Arai ketika turun dari motor sehingga mengekspos tato Meila.
Tak ada kaitannya dengan teka-teki seharusnya, tetapi tetap saja tato dengan simbol seperti itu kurang wajar untuk cewek pendiam sepertinya. Memiliki tato saja sangat mengejutkan apalagi dengan simbol bermakna itu. Mau tak mau otak Arai merespons apa yang sebenarnya terjadi. Secara tak sadar, dia mulai menganalisis dan menarik kesimpulan.
Kisah apa dibalik tak terdefinisi itu. Bagaimana perasaannya saat ini? Arghh ... Arai sangat penasaran, tetapi tak mau membuat Meila tidak nyaman menanyainya secara pribadi terlalu detail. Arai bisa merasakan perubahan air muka ketika dirinya menatapi tangan Meila. Gadis itu salah tingkah, berusaha menghindar secepat mungkin.
"Karena ini jam kerja gue, ngopinya lain kali aja, ya. Gue harus kerja lagi. Sebentar lagi ujian dan lo tahu sendiri membayar SKS menjadi salah satu syarat mutlak seorang boleh mengikuti ujian," jelasnya. "Dan gue nggak bisa santai-santai kayak lo yang dibebasin biaya perkuliahan."
Tak ada jawaban. Hanya begitu saja, mereka berpisah tanpa kata-kata. Fakta baru itu mengusik Arai, menambah satu lagi beban di pundaknya. Melihat reaksinya, Arai yakin ada masalah yang dia sembunyikan. Arai bisa saja untuk tidak peduli hanya saja mendadak dia punya rasa tak enak. Belum lagi Meila yang menjadi silent cheersleader sangat berpengaruh dalam pemecahan teka-teki ini. Jujur saja perubahan yang tiba-tiba itu membuat Arai semakin tidak nyaman. Apa boleh buat, Arai telah mengambil keputusan untuk membantu masalah Meila terlebih dulu. Dengan langkah terburu-buru, Arai mengejar Meila yang berjalan cepat. Ketika handle pintu sudah dipegang, Arai menghentikannya.
"La, tunggu," serunya.
Meila berhenti sejenak, memutar tubuhnya untuk melihat Arai yang berlari mendekat. "Ada apa, Rai?"
Arai menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya sejenak sebelum berbicara. Sementara di sisi lain Meila menyipitkan matanya, mencoba membaca ekspresi wajah Arai. Cowok itu mengangguk ketika Meila menghentikan langkah dan tersenyum. Namun, entah kenapa senyum itu di mata Arai terlihat sangat pedih.
"Saat ini, gue nggak tahu lo lagi menghadapi masalah apa, tapi gue yakin lo bisa melewatinya." Arai menggenggam tangan Meila dan menepuk-nepuk ringan wristbrand itu. "Sama kayak lo yang selalu ada buat gue. Gue mau kalo lo butuh temen, lo bisa cerita ke gue. Lo nggak sendirian di sini."
Tato Tak Terdefinisi yang Arai lihat bukan dilukis oleh seorang profesional. Tepiannya terlalu kasar dan tidak ada keindahan seni di sana. Guratan itu membuatnya bergidik, Meila menato pergelangan tangannya sendiri. Dia berani mengambil keputusan beresiko terjadinya infeksi. Dia berani menahan rasa sakit untuk melampiaskan emosi dan perasaannya. Namun, Arai tak pernah berharap jika kemungkinan terakhir adalah yang menjadi motivasi utamanya: tidak memiliki alasan untuk hidup dan berusaha mengakhirinya.
***
Sentuhan itu, sengatannya menjalar sampai ulu hati. Tak lama, nyaman timbul setelahnya. Perasaan lama yang familier kembali hadir menawarkan kehangatan. Perasaan yang telah mendingin. Perasaan yang dilepaskan secara paksa. Perasaan itu seperti benang tak kasatmata menghubungkannya dengan memori masa lalu.
Dia pun menyentuhnya, di titik yang sama dengan cara yang sama. Angin sore itu terasa sangat hangat, cuaca pun cerah yang memungkinkan banyak orang akan senang beraktivitas di luar rumah.
Kehilangan satu-satunya keluarga meremukkan hati Meila. Satu-satunya pilar penyokong hidupnya patah dan ia kini sangat rapuh dan bisa roboh kapan pun. Namun, dia datang. Dia menggenggam tangan mungil nan kurus itu mengais-ngais tanah merah yang masih basah. Dia menyalurkan kekuatan dengan mengecup leher dan membisikkan kata-kata yang tak bisa terlupakan, "Semua nggak akan berakhir menyedihkan seperti ini. Gue akan gantiin nyokap lo, mengisi dan mewarnai hari-hari lo setelahnya."
Tentu saja itu mimpi yang sangat besar. Bagaimana bisa anak seorang penantu berharap setinggi itu. Meski begitu, sudut hatinya tersenyum. Air mata berhenti mengalir. Meila masih bisa merasakan dinginnya es krim menyejukkan sore itu berpadu panasnya sensasi isapan di leher yang entah bagaimana caranya Meila masih bisa merasakannya.
"Mau bikin tato?"
"Itu ... aku–"
"Nggak usah takut, kan ada aku."
Diam itu dianggap sebuah persetujuan, dalam keheningan total Meila hanya mengikuti jejaknya. Sesampainya di sebuah bangunan kecil berwarna monokrom. keberaniannya menciut sempurna. Lagi-lagi tangan itu menggenggam sempurna seakan menyerap semua ketakutan. Senyumnya menawan meruntuhkan semua pertahanan. Mereka memasuki tempat itu, melihat-lihat sebuah katalog tua yang berisi tato terlaris sepanjang masa. Dari tato dengan logo kuno sampai desain kontemporer yang elegan, semua ada.
Meila waswas dia pikir akan menjumpai orang berotot besar dengan kaos hitam tanpa lengan menampakkan tato di sekujur tubuhnya atau setidaknya akan menjumpai tato lebih dari tiga. Nyatanya, dugaannya meleset, di sana hanyalah lelaki tua yang justru memiliki senyum terlampau ramah dari yang seharusnya diberikan kepada orang asing.
"Membuat tato nggak bisa sembarangan, Nak. Harus dipikir masak-masak. Kamu sendiri tahu konsekuensinya, tato itu permanen dan tidak bisa dihilangkan tanpa bekas. Aku pun menyesal dan ya ... seperti yang bisa kalian lihat."
Pria tua itu menunjukkan punggung melepuh dengan lelehan warna yang menyatu dengan kulit. Bekas setrika panas yang dipake menghilangkan jejak tato. "Ini lebih menyakitkan daripada ketika menato, apa kamu yakin mau membuat tato?"
"Anda tahu infinity, bentuknya seperti ini buatkan kecil saja di sini."
"Belakangan sering melamun kenapa, La?" Sebuah suara yang begitu akrab di telinganya seakan terdengar sangat jauh. "La, kita lagi di kelas, loh."
Kali ini Meila mengerti suara itu milik Arai, sejak rencana menjauhi Gea mulai dijalankan, Meila menggantikan posisi itu. Sementara Gea jarang terlihat di kampus akhir-akhir ini.
"Gue ke toilet, deh."
Arai cukup terkejut obrolan di kelas adalah terakhir kalinya Meila terlihat di kampus hari itu. Arai akan bekerja hari ini, dia harus bergegas. Siapa tahu Meila sudah di sana.
"Em, Mas Arai, ya?"
"Iya, Pak. Ada apa?"
"Kamu siswa beasiswa pasti kenal sama Meila ya? Kalau saya lihat juga kamu sering bersama belakangan ini.
"Iya, Pak?"
Sejujurnya, Arai sangat enggan berbicara dengan pria ini. Bagaimana pun dia dosen, Arai tidak bisa mengabaikan sesuka hati.
"Beberapa waktu yang lalu, Meila terlihat berbeda. Dia mulai kurang responsif di kelas saya. Apa kamu tahu dia sedang ada masalah? Masalahnya jika berlanjut seperti itu dikhawatirkan dia akan kehilangan beasiswa."
"Saat ini, saya belum tahu apa pun, tapi saya akan berusahan mencari informasinya, Pak."
"Terima kasih, ya, Mas Arai sangat membantu saya."
Seketika, di dalam kepalanya muncull banyaknya pertanyaan yang menuntut jawaban.
Toilet perempuan berada di sudut terjauh, Arai tak bisa mendekati tempat itu, dia memilih duduk di sebuah bangku taman di halaman. Sebuah pohon rindang menaunginya. Dia membuka ponsel mengecek to do list hari ini. Dia mengenakan TWS untuk menghindari orang iseng yang suka basa-basi. Dia akan menunggunya keluar dan mengajak ke kafe bersama. Namun, Arai terkejut menemukan pesan WhatsApp yang sudah terbaca. Mungkin sudah kepencet tanpa sengaja.
Meila
Rai, bisa tolong bilangin ke Bang Geo gue izin hari ini, ya? Gue nggak enak badan banget.
Gue anter lo pulang ya?
Meila
Sori, Rai. Gue udah balik dari tadi.
Sesaat Arai loading dengan pesan itu, untung belum terlalu lama di sana. Perubahan sikap Meila membuat Arai semakin penasaran apa yang terjadi padanya.
Bang Geo, hari ini gue izin agak telat, ya. Ada urusan mendadak nih.
===>.<===
Silent Paradox
===>.<===
-AhyaBee-
25.04.24
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top