Silent 05: Mood Board

Meila cantik, dia tipe yang gampang disukai orang. Sikapnya juga hangat terhadap orang-orang terdekatnya, tetap saja pengakuan Bang Geo tempo hari cukup mengejutkan. Arai mulai terusik dengan pernyataan atasannya itu. Dia mulai mengamati Meila lebih sering dari seharusnya.
Hari ini gue masak agak banyak, lo udah sarapan belum, Rai? Pesan semacam itu semakin sering dia terima. Ntar gue bawa ke kampus ya. Lo suka pake telur apa sosis?

Arai membalas pesan itu sewajarnya. Entah sejak kapan hal seperti ini membuat sudut terjauh hatinya menghangat.

"Rai, astagaaa!" Dia menepuk-nepuk pipinya. Secepatnya dia melempar ponsel ke atas kasur menyadari perasaannya. Arai memilih mengalihkan perhatian dengan melengkapi moodboard dengan pin dan benang wol menghubungkan timeline waktu pesan-pesan misterius yang diterimanya beberapa waktu terakhir dengan benda-benda seperti barcode sebuah produk, logo double G, dan pesan-pesan spesifik ditujukan khusus untuk Arai. Tiga foto yang diambil dari sosial media adalah Gea, Meila, dan sosok berjaket hitam yang kemungkinan besar diunduh dari Pinterest. Sosok itu diberi label X. Belum ada benang terhubung dengan foto-foto itu. Tanpa disadari, dia telah menghabiskan berjam-jam di depan mood board-nya itu.

Suara ponsel bergetar mengalihkan perhatiannya, setelah dilihat nama Gea terpampang di sana. Seketika Arai gugup, dia ragu akan mengangkat panggilan itu atau pura-pura tak mendengar sampai mati sendiri.

"Lama banget lo lagi ngapain sih sampai tujuh miss called loh. Tujuh Rai kebangetan banget lo." Arai bisa mendengar napas Gea terputus-putus berbicara tanpa jeda. "Bisa ketemu nggak?"

Suara dari panggilan telepon itu terdengar berbeda. Jika biasanya Arai bisa membayangkan wajah seputih tisu itu perlahan merona ketika berbicara dengan ciri khas yang meletup-letup sampai telepon berakhir kali ini suara itu terdengar serak dan agak bergetar. Yang menjadi ganjil adalah gaya bicaranya yang to the point itu sama sekali tidak mencerminkan Gea. "Lo inget ketika gue kasih teka-teki ke Meila? Waktu itu gue nggak ... Ah, kita ketemu aja deh."

Wow, Gea menyebut nama Meila dengan benar dalam sekali sebut. Arai menggeleng, itu nggak penting!

"Mau ketemu di mana? Double G?"

"Nggak, nggak jangan di Double G." Suaranya meredup. "Gue nggak mau Meila dan Bang Geo denger soal ini. Gue penasaran sama pendapat lo."

"Mau ketemu sekarang?" Arai melirik jam tangan sebelum melanjutkan, "Gue jemput atau lo mau naik mobil kita ketemu di lokasi?"

"Nggak usah jemput, gue di depan kos lo."

Eh! Ini sih Gea banget, tiba-tiba mengejutkannya itu hal yang biasa. Arai membuka tirai kamar mendapati seorang gadis memakai Jaket denim oversized melapisi kaos grafis kuning cerah dikombinasikan dengan celana jin ripped membuat penampilan edgy street wear yang menarik belum lagi sepatu chuncky menyempurnakan style fesyen Gea kali ini. Terkesan urakan, tetapi manis dengan rambutnya yang panjang tergerai bebas.

"Dadakan banget, sih, gue belum mandi loh." Arai masih berbicara melalui telepon. Kini dia berdiri di jendela mendapati Gea melambai dari balik pagar. "Sini masuk, gue siap-siap dulu."
Terdengar bunyi kunci diputar dan kenop pintu dibuka, sosok Gea sudah berada di depannya. Arai tersenyum kaku, "Lo nggak papa nungguin gue dulu?"

Gadis bergigi gingsul itu hanya mengangguk. "Nggak boleh lama-lama, ya. Gitu aja lo tetep ganteng, kok."

Arai membeku, dia melirik satu-satunya cermin di tempat itu, tingginya sekitar satu meter. Di sana, cowok dekil berambut kusut tengah berdiri dengan ekspresi yang sangat bodoh mengenakan kaos gombrong berwarna putih disertai celana pendek bermotif bunga. Arai mendengkus dia menyambar handuk yang menggantung di samping pintu dan menghilang di kamar mandi. Kos murahan lima ratus ribu sebulan tidak memiliki fasilitas mewah berupa shower air hangat apalagi bathup sehingga yang terdengar selanjutnya adalah guyuran air dari gayung berkali-kali.

Jika bukan Gea, Arai pasti menolak ajakan yang tiba-tiba itu. Dia tak cukup waktu merencanakan. Namun, ini Gea yang telah bersedia bersamanya saat anak-anak yang lain tak ada. Indekos Arai hanya memiliki satu ruangan multifungsi dan satu kamar mandi dalam, acara tanpa persiapan itu membuatnya lupa mengambil pakaian ganti. Selamanya di kamar mandi pun hal yang mustahil, kini dalam balutan handuk melilit pinggang dan bertelanjang dada, dia keluar. Seketika jantung Arai bergejolak. Dia berhenti sejenak, lemari ada di sisi sebaliknya, mau tak mau dia harus berjalan melewati Gea yang duduk di kasur lantai Arai.

Arai mengembuskan napas panjang, Gea seperti tak terusik. Gadis itu sibuk memainkan ponselnya.

Syukurlah.

Dengan cepat, Arai berpakaian dan mengenakan celana. Ketika dia berbalik, nyaris terjungkal mendapati Gea bertopang dagu mengamatinya dengan senyum jahil. Wajah Arai terasa memanas. "Lo ngapain ngeliatin gue kayak gitu?"

"Lo lucu."

Percayalah, lucu tidak menggambarkan apa pun dalam situasi seperti ini. Arai mengambil tas, dia mengecek semua printilan yang sebenarnya tak pernah keluar dari tas itu seperti dompet, kunci motor, dan catatan. Mereka pergi ke salah satu kafe ternama di daerah Kebayoran Baru. Di sana, Gea berjanji akan mentraktir karena dia yang mengajak Arai dan menyita waktu berharganya. Arai tak bisa menolak, jika menolak dirinya akan kesulitan membayar secangkir kopi dan camilan di sana, meski pun terbayar akan berdampak besar pada keuangannya yang morat-marit itu.

"Sebenarnya kita bisa loh ngobrol di kosan gue aja, malah jauh-jauh ke tempat ini."
Interior kafe yang menarik membuatnya terpikat.

"Emang di tempat lo ada makanan enak?"

"Bisa DoFood juga kan?"

"Lagian, Rai sekali-kali keluar gini nggak papa loh."

Gea lagi nggak manfaatin kesempatan, kan? Gue dah kepikiran macam-macam denger suaranya yang mengenaskan itu.

"Jadi sebenarnya ada apa sampai khawatir sama Bang Geo dan Meila segala? Ada kaitan dengan mereka?"

Sepersekian detik berikutnya gadis itu bersedekap di depan meja, menatap Arai dengan intens membuat lelaki di depannya salah tingkah dan berpikir yang tidak-tidak. Gea tak pernah menjahilinya selama ini, apa karena merasa lebih dekat jadi seenaknya? Beruntunglah tak lama Gea merogoh tas dan mengeluarkan pouch plastik ziplock bermotif daisy dan menggesernya ke arah Arai.

"Bukan mereka, tapi lo." Wajahnya merah padam dengan gigi gemeletuk menahan sesuatu, amarah.

"Gue?" Arai menjangkaunya dan berkata, "Apa ini?"

"Gue nggak tau lo lagi ngapain, Rai. Awalnya gue terus menyangkal, tapi setelah apa yang gue temuin di kos lo ... sebenarnya lo tuh ngapain sih, Rai?"

"Gue nggak ngerti maksud lo apa." Arai masih mengamati isi pouch itu.

"Lo neror gue, Rai? Ngapain coba?"

Arai melirik Gea yang menatapnya tengah melihat-lihat benda-benda dari pouch itu. Beberapa benda dan sticky notes dengan berbagai tulisan. Arai mengamati satu per satu, dia menahan diri untuk tidak skeptis dan menuduh yang bukan-bukan mengingat Gea pintar sekali membuat situasi berpihak padanya.

Gea melanjutkan, "Lo inget nggak gue kasih teka-teki buat Meila di kafe. Gue yakin banget dompet udah dibawa. Nyatanya gak ketemu di mana pun. Kemarin akhirnya gue ke kantor polisi membuat laporan kehilangan, tapi lo tahu apa yang gue dapet?"

Jadi itu alasannya buru-buru dan nggak menyahut saat disapa? Seketika Arai teringat di kelas ketika jam kuliah berakhir.

"Dompet gue balik, masih penuh malah dapet tambahan sesuatu yang seharusnya nggak ada."
Gea begidik setiap kali ingat sapu tangan penuh darah. Saat itu darahnya masih basah. Dia nggak bisa membedakan itu darah binatang atau apa pun, tetap saja darah sangat menjijikan. Setiap kali mengingatnya terasa mual. Melihat ekspresi Gea yang menjadi pucat pasi ketika menceritakannya membuat Arai iba. Beberapa hari belakangan pasti berat baginya. Tak heran beberapa hari terakhir ada yang berbeda dengan Gea.

Arai tengah mengobrol bersama Meila tentang pekerjaan di kafe, mereka berencana ke Double G bersama mengingat shift mereka bersamaan. Gea terlihat berbeda hari itu, dia tidak melakukan styling pada rambutnya, mix match yang kurang pas dengan gaya fesyennya, dia juga terlalu fokus pada sesuatu di tangannya.

"Mau ikut ke kafe bareng, nggak?" kata Meila mendekati Gea, Cewek itu justru terkesiap, wajahnya berubah pias. Dia menyembunyikan telapak tangan dan meninggalkan Meila. Arai yang tengah mengawasi tertegun melihatnya.

Gea jarang sekali menolak Meila tanpa alasan seperti itu.

"Gue diancem pakai chat untuk nggak melibatkan polisi."

"Gue ngapain neror lo?"

"Menurut lo? Ini nomor ponsel lo!" Gea menatap Arai dengan cara yang tak biasa. Dia menyodorkan ponsel berisi pesan mengerikan yang membuatnya gemetar. "Gue liat foto gue, foto Meila belum lagi benda-benda aneh yang dihubungkan dengan benang-benang di moodboard di kamar lo, lalu ada barang-barang seperti itu–"

"Lo beneran mikir gue yang lakuin ini?"

***

Gila, Gea beneran GILA! Gue juga lagi nyoba nemuin siapa pengirim semua pesan itu. Bisa-bisanya dia nuduh gue? Demi apa coba?

Arai bergegas keluar kafe, dia berjalan tergesa. Namun, perasaannya tak enak melihat seseorang seakan-akan mengikuti pergerakannya. Arai memutar ke arah toilet di dekat tempat parkir. Tujuannya untuk memastikan apa dirinya diikuti. Arai menyangkal, untuk apa seseorang mau repot menguntitnya. Hanya saja dengan semua yang telah terjadi, tak menutup kemungkinan seseorang tengah mengawasinya. Nyatanya, ketika keluar dari toilet orang itu ada di sana seakan-akan mengantre. Begitu Arai keluar dia menyerobot dengan tergesa-gesa sampai Arai nyaris roboh. Arai melihatnya masuk ke toilet. Arai berniat meninggalkan tempat itu, tetapi ketika merogoh jaketnya, ada sesuatu di dalam sana. Sepasang kakinya tertahan, dia memeriksa benda apa di sakunya. Dia terkesiap.

Arai kembali, dia nyaris akan mendobrak pintu itu sebelum petugas menghentikannya. Arai memberontak melihat orang berjaket hitam itu sudah ada di sisi jalan sangat jauh dari jangkauannya, tetapi dia tetap mengejar. Dia menyisip di antara kerumunan orang, tetapi orang misterius itu sangat gesit.

Akhirnya, Arai memesan DoGrab. Dia sudah terlalu jauh berlari dari kafe itu. Apa yang dipikirkan Gea itu urusan nanti. Dia tak bisa tinggal diam. Ancaman itu tampaknya serius. Arai harus segera memecahkannya. Setelah mengempaskan diri ke mobil, dengan berbekal ingatannya yang tajam, dia menyalin semua yang dilihatnya hari ini. 

Sticky notes berukuran paling besar memiliki catatan terpanjang: Ambil tanggal 7, kalikan dengan bulan April, dan kurangi dengan tanggal 7. Apa yang akan lo temuin?
Dibaliknya, ada tulisan lain berbunyi: Kalau udah ketemu jawabannya, tugas lo hanya nunggu sampai hari itu.

Arai membubuhkan tanda tanya besar dan melingkarinya.

Dia menulis benda yang dia lihat seperti kelopak bunga, cangkang kerang spiral, sebuah kuaci.
Apa maksud semua ini? Arai menuliskan kata itu di samping tulisan tangannya. Selagi mencoba memecahkannya, dia berpikir alasan logis mengapa Gea juga mendapat kiriman-kiriman serupa dengannya. Sialnya, mengapa Gea berpikir Arai pelakunya hanya karena mood board bikinannya? Memang di papan terbuat dari triplek itu belum banyak informasi yang Arai tulis melengkapi kepingan puzle itu, tetapi Gea menyimpulkannya dengan serampangan juga bukan hal yang dibenarkan. Lagi pula, Arai tak mau gegabah menyimpulkan. Apa dia salah?

Secarik kertas ditemukan di sakunya, tulisan itu berupa ketikan dari mesin tik kuno berbunyi: Hari Kartini, akan ada yang mati!

===>.<===

Silent Paradox
===>.<===

-AhyaBee-
24.04.24

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top