Silent 02: Infinity

Tidak ada jam kuliah di 3 April tak serta merta membuat Arai bisa bermalas-malasan di indekos. Dia baru saja kehilangan pekerjaan, mau tak mau harus berburu pekerjaan baru. Uang dari pihak kampus tak akan cukup menanggung biaya hidupnya sampai uang saku bulan depan keluar.

Saat bangun tidur, Arai hanya scrolling sosial media. Ketukan pintu kosnya sangat keras membuatnya terkejut. Jarang sekali ada yang berkunjung ke tempatnya yang sempit. Seingatnya bulan ini juga belum jatuh tempo, tidak mungkin ibu kos mendatanginya sekarang.

Pintu pun dibuka, tetapi tak ada siapa pun selain sebuah tote bag tergantung di pagarnya. Saat Arai mendekat aroma gurih menguar dari dalam sana. Arai mengerutkan alis, dia tidak memesan DoFood. Kopi, panekuk, camilan, dan sebuah kartu ucapan yang memang ditujukan untuknya.

#3: Dalam hidup, kadang lo harus nyari satu orang dengan perasaan tulus tak terputus, Arai. Itu adalah perasaan gue ke lo.

Arai memang lapar, tetapi keinginan makan sudah lenyap. Dia membuka pagar mencari siapa pengirim bingkisan itu, tetapi dia tak melihat siapa pun. Arai mengecek kembali alamat dan pesan di makanan itu memang ditujukan untuknya. Dia tahu logo di tote bag itu adalah nama sebuah kafe di dekat kampusnya. Dia akan ke tempat itu setelah melihat isinya.

Geometric Grinds merupakan sebuah kafe yang memiliki lokasi strategis dekat dengan kampus. Pada siang hari, tempat ini akan dipadati pengunjung. Hal itu membawa keberkahan tersendiri bagi Arai yang baru dipecat dari tempatnya mengajar les. Dia berharap akan mendapat sesuatu di tempat ini seperti info atau semacamnya. Arai menyukai Double G, beberapa mahasiswa juga sering menggerombol di sini. Rasa kopinya juara meski dengan harga yang terjangkau. Sayangnya, terjangkau seperti apa pun Arai tak bisa sering-sering nongkrong di tempat seperti ini. Harus Arai akui, Double G sangat nyaman dengan desain kekinian dan instagramable.

Dari luar, Double G hanya bangunan satu lantai tak begitu luas. Seluruh dinding bagian depannya terbuat dari kaca satu arah yang tak tertembus dari luar. Sama seperti kedai kopi lainnya, papan nama kayu menjadi identitas yang menarik. Ketika memasuki Double G, pengunjung akan disambut aroma kopi yang hangat, menenangkan.

"Silakan Kak kopinya," tawar seorang gadis berpakaian barista. Dia tersenyum saat meletakan cangkir.

"Sori, tapi gue belum pesen.

"Ini traktiran atas bantuannya kemarin, thanks banget, ya. Gue tertolong banget karena bantuan lo. Sori kemarin nggak langsung ucapin."

"Ah, itu ... gue yang minta maaf karena kemarin nggak langsung bantuin."

"Nggak apa-apa kok, Rai. Karena bantuan lo kemaren, gue nggak telat kerjanya. Lo kayaknya lagi ada masalah, ya? Ada yang bisa gue bantu?"

Arai menggaruk telinga yang tak gatal. "Lo tadi manggil nama gue? Lo kenal gue?"

"Ternyata lo lucu juga, ya." Meila menutup mulutnya saat tertawa. "Siapa sih yang nggak kenal lo. Arvian Arai anak tercerdas di angkatan kita."

"Kita seangkatan, ya. Maaf nggak mengenali ... nama lo?"

"Meila. Meila Adriana."

"Thanks, kopinya."

"Hm, gini ... sebenarnya gue nggak bermaksud menguping dan ikut campur tapi, lo lagi butuh kerjaan, ya?" Meila menggigit bibir tipisnya. "Jadi gini, kasir kami mendadak resign padahal kami belum sempat hunting pengganti. Kalau lo mau, gue akan rekomendasiin lo ke Bang Geo."
Atas rekomendasi Meila, kini Arai bekerja di tempat ini. Semua tentang kopi masih menjadi hal yang baru baginya, tetapi Meila mengajarinya dengan sangat baik. Arai yang awalnya sedikit canggung cepat menyesuaikan diri. Dia sendiri belum bertemu langsung dengan Geovani atau yang akrab disapa Bang Geo. Namun, namanya cukup terkenal di kalangan kating. Dari rumor yang beredar, Bang Geo cukup dingin. Arai menantikan pertemuan dengannya, mengucapkan terima kasih secara langsung sudah memberikan pekerjaan kepadanya meski tanpa melihat langsung calon pegawainya.

Pertemuannya dengan Bang Geo terjadi di hari ketiga bekerja di Double G. Di balik meja kasir, Arai dihampiri lelaki berusia tiga puluhan yang sangat fashionable. Style-nya sangat segar dipandang mata membuat kaum hawa pasti menoleh dua kali saat Bang Geo melintas. Rambutnya yang lurus terpangkas rapi, dia terlihat sempurna dengan setelan resmi yang dikenakannya.

"Arai, ya?" tanyanya. "Sori ya, Rai. Gue baru sempet ketemu sama lo. Semoga betah ya kerja di sini."

Arai mengangguk sopan yang justru ditertawai oleh atasannya itu. "Lo nggak usah sekaku itu sama gue. Panggil gue Bang Geo kayak yang lain. Di sini konsepnya karyawan, pengunjung adalah keluarga. Di sini gue berperan sebagai abang lo. Paham?"

Speechless! Itulah kesan pertama Arai terhadap Bang Geo, dia justru terlalu ramah. Tidak dingin sama sekali.

"Selamat bergabung di Double G," kata Bang Geo. Dia menepuk pundak Arai sebelum berlalu. Namun, sebuah suara nyaring mengalihkan perhatian mereka.

"Meliaaa ...." Hampir seluruh pengunjung menoleh ke arah pintu. Di sana berdiri sosok gadis yang sangat Arai kenali. Prima Gea. "Eh, Arai. Lo kerja di sini?"

Gea melihat Arai dari atas ke bawah. "Seriusan lo kerja di sini?"

"Baru beberapa hari. Lo mau pesen sesuatu?"

"Gue cari Melia, sih. Melia mana?"

"Meila." Arai mengoreksi. Cewek itu memang suka seenaknya, tetapi dia sangat asyik. Di dekatnya, suasana yang sepi pun terasa ramai dan berwarna. Jika kebanyakan 'tong kosong nyaring bunyinya', pengecualian bagi sosok Prima Gea. Seperti namanya yang sangat Matematika, Gea mencintai Matematika itu sendiri sepenuh hati. Kecintaannya pun diiringi bakat luar biasa. Dia tak hanya sekadar suka tetapi juga mampu. "Ada di belakang. Mau gue panggilin?" 

Tiga semester bersama, tetap saja ada rasa canggung menguasainya. Untung saja Gea sering kali inisiatif berinteraksi terlebih dulu, membuatnya tanpa sadar terlibat obrolan yang intens dan mengalir.

"Ntar aja, deh."

"Oke."

"Ih, kok gue ditinggal, sih."

Arai bisa memvisualisasikan gadis itu mengerucutkan bibirnya ketika dirinya berbalik. Setelah membersihkan tangan, Arai kembali fokus ke pekerjaannya. Di tempat ini, dia bekerja paruh waktu sebagai kasir, jika senggang dia akan membantu kegiatan lain seperti membersihkan cangkir, merapikan meja. Tak heran, meski tak banyak bicara dia disukai rekan-rekannya.
"Ada tamu lain, Gea. Panggil aja lagi kalau lo mau pesan sesuatu."

Bibir gadis itu masih mengerucut saat Arai kembali menghadapnya, tetapi wajahnya langsung berbinar ketika Geo, si pemilik Double G melintas. Sekilas Arai melihat Gea membenahi tatanan rambut dan genggaman erat pada tali selempangnya.

"Bang Geo!" teriak Gea.

Lelaki berkemeja hitam itu menoleh. Geovani alumnus kampus ini, prestasinya gemilang. Minim sekali informasi tentangnya. Ketika menghampiri Gea wajah itu berbinar cerah, "Lama nggak mampir, udah pesen minum?"

Gea menggeleng, dia berdecak ketika Geo mengacak rambut yang susah payah ditata rapi. Tak perlu dengan style unik, hanya dikucir kuda dengan membiarkan beberapa helai menjuntai bebas di samping telinga. Sementara di sisi lain, Arai membeku menyaksikan interaksi gadis itu dan atasannya yang begitu akrab. Arai membuang muka membiarkan mereka bercengkrama. Mendapati Arai menatapnya, Gea mengerling sebelum kembali hanyut dalam obrolan.
"Minum dulu, gih. Nih, kebetulan Meila bawa minuman favorit lo."

Meila muncul dengan secangkir latte dan roti bakar kesukaan Gea. Lain dengan Gea, Meila cenderung pendiam. Dia hangat kepada beberapa orang. Gea termasuk di dalamnya. Arai tak mengerti hubungan mereka. Hanya saja yang dilihat dari keduanya seperti saudara yang saling memahami tanpa perlu mengungkapkan apa pun.

"Kata Arai lo nyari gue ya? Ada apa?"

"Nggak ada yang khusus sih," jawabnya.

"Mending lo makan dulu, deh."

"Iya, ntar gue makan. Kapan sih gue bisa nolak lo, hm." Dengan cepat Gea meraih tablet di meja dengan ceria dan menunjukkan sesuatu kepada sahabatnya itu. Setelah memastikan kamera dalam keadaan live, Gea mulai menuliskan sesuatu dengan stylus pen kemudian berkata, "Seratus ribu buat lo kalo bisa bikin operasi bilangan ini (8+8=16) menjadi bentuk operasi bilangan yang baru tanpa memindah dan menghapus apa pun."

"Tanpa mengubah apa pun, ya?" gumam Meila. Dia menyunggingkan senyum. "Orang mau ngasih duit mah ngasih aja pakai kasih pertanyaan buat anak SD segala. Kita udah lama bareng, tapi gue masih nggak ngerti deh, kenapa lo bisa suka banget sama teka-teki?"

"Suka aja."

Arai bisa melihat gerakan alis Gea yang berkedut-kedut cengengesan. Yang dia lakukan benar-benar mencerminkan Gea yang ceria juga kekanakan. Orang kaya membuang uang dengan semudah itu. Sementara dirinya, kuliah harus dengan beasiswa, kalau tidak disambung bekerja dia bahkan tak tahu hari-hari esok akan makan apa. Arai mengembuskan napas kasar. Dia membuka laci dan merapikan tumpukan uang, tetapi telinganya tetap berkonsentrasi pada interaksi ketiga orang itu.

"Melia memang hebat, ya!" Gea bertepuk tangan kemudian bermonolog. Ternyata, dia sedang live streaming. Arai hanya menggeleng-gelengkan kepala."

"Jangan seenaknya ganti nama orang, dong Gea." Kali ini Geo bersuara. Kali ini sedang membuka-buka sebuah buku.

Tersangkanya hanya menyengir.

"Abisnya punya nama kok belibet banget. Meila. Kenapa nggak Melia aja! Iya, kan, mudah, singkat, dan nggak berbelit-belit. Sama kayak ax0=0 bukankah a selalu 0? Tetapi namanya ini ax0=0 harus melakukan pembuktian panjang melalui aljabar abstrak. Huhhh ...."

"Jadi gimana? Kata lo anak SD aja bisa!" Gea menarik atensi ke acara live-nya kembali. Ternyata cukup ramai. 

"Beneran seratus ribu buat gue, ya. Lo hanya perlu membalik tabletnya kemudian memutar tanda penjumlahan sebesar 45°. Hasilnya operasi penjumlahan 8+8=16 akan menjadi 91=8x8. Memutar 45° tidak memindah atau menghapus karena porosnya tetap di sana."

Meila kembali ke belakang meninggalkan Gea bersama Geo.

"Kok kabur, Mel. Ini duit lo. Tungguin, dong." Gea mengobrak-abrik isi tas. "Eh, dompet Gue ke mana? Perasaan udah dimasukin pas berangkat."

"Gue harus balik kerja, nih. Sori, ya gue tinggal."

"Jangan gitu, dong. Gue transfer ke DoPay lo aja deh. Nggak ada duit cash soalnya." Gea duduk dan menikmati hidangan yang disajikan untuknya, ketika dia menoleh ke arah kasir senyum langsung tersungging, dia menelengkan kepala dan berkata, "Arai nggak usah malu kalo sebenarnya lo emang suka sama gue."

Embusan napas panjang terdengar, Gea ....

Arai menunduk, pipinya terasa panas sekarang. Mungkin kini wajahnya tampak merona. Tepukan ganda di pundaknya membuat Arai nyaris berjengit. Meila menyodorkan amplop cokelat tanpa tulisan apapun selain untuk Arai.

"Wah, Rai ... ini kalo diputar 45° logo infinity kan ya?"

"Eh?" Arai dengan cepat mengambil amplop itu dan benar kata Meila. Yang tertulis di sana bukan angka 8 melainkan simbol infinity. Simbol yang menyatakan lambang tak terhingga, tak terbatas, tak berujung. Kadang-kadang diartikan dalam hal lain seperti kesetiaan. "Jadi begitu, ya? Jangan-jangan ...."

"Lo lagi ada masalah?" tanya Meila ragu-ragu.

"Ah, nggak. Gue ... Mel, kalo ntar gue pulang duluan nggak apa-apa?"

"Nggak masalah, Rai. Nggak terlalu banyak kerjaan juga hari ini."

Jam kerja Arai memang selesai, tetapi dia terbiasa membantu Meila merapikan dapur sebelum akhirnya keluar bersama. Arai sendiri tidak terlalu ingat bagaimana dia dan Meila bisa sedekat itu dalam waktu yang terbilang singkat. Ah, tidak. Mana bisa dikatakan dekat hanya karena pulang kerja bersama. Tentu saja itu dekat versi Arai yang sangat minim sosialisasi. Sepertinya bagi Meila pun demikian. Tanpa sadar, keduanya terbiasa dengan kehadiran satu sama lain.
Suasana terlihat mendung ketika Arai keluar kafe, dia harus bergegas dan memastikan sesuatu. Jika dugaannya benar cowok berkacamata itu pasti akan menemukan sesuatu dari pesan-pesan yang diterimanya selama ini. Apakah ulah iseng seseorang atau ada alasan lain dibaliknya.

Bermula dari April Mop, dua pesan diterima di hari yang sama. Dengan pola warna dan bentuk yang sama pula. Jika salah salah satu membentuk infinity, maka pesan lainnya mungkin menunjukkan identitas pengirim atau petunjuk lain. Arai berdebar kencang, apa ini sebuah pernyataan cinta yang antimainstream? Entahlah.

===>.<===
Silent Paradox
===>.<===

-AhyaBee-
21.04.24

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top