Silent 01: Konstanta
Analisis Regresi menjadi mata kuliah yang bisa dilalui dengan baik seharusnya. Cowok berkulit cokelat itu bisa menyelesaikan soal yang diterangkan dosen terkait hubungan antara jumlah jam belajar per minggu yang menjadi variabel independen untuk sekelompok Mahasiswa. Apalagi data tabel nilai dari 10 mahasiswa sudah lengkap. Namun, belakangan konsentrasinya terusik dengan hal kecil. Tidak terlalu penting, tetapi cukup mengganggu. Seperti sekarang, kelas yang hanya berisi segelintir orang itu mulai bising ketika salah satu mahasiswanya kepergok melamun.
"Arvian Arai!" Suara rendah nan tegas itu tak mampu menyelinap dalam kebisingan dalam kepala Arai. Pria tua itu sudah berdiri di sisinya tanpa Arai sadari. Sesaat Arai bingung, dia celingukan mendapati seluruh mahasiswa melihat ke arahnya sekarang. Seketika wajah Arai merah padam menyadari situasinya. Dia melakukan kesalahan!
Melamun di kelas dosen yang terkenal killer seantero kampus bukan hanya sebuah kesalahan, melainkan dosa besar!
Seisi kelas masih menghunjamnya dengan tatapan seakan ingin membunuh, Arai menelan ludahnya dengan kasar. Dia menempatkan mereka dalam situasi yang tak menyenangkan. Bagaimana tidak, di era digital saat teknologi mempermudah matematika, dosen itu menolak menggunakannya dan mengandalkan skill bawaan, menghitung manual.
Jangankan sistem perangkat lunak yang membantu mempermudah pembelajaran, kalkulator saja haram di kelas itu.
"Tentukan regresi linier sederhana sesuai dengan data," kata dosen sambil mengetuk meja Arai. Meski ketukan itu tak terlalu keras, tetap saja memberi efek kejut jantung baginya. Terlebih ekspektasi yang tersemat dalam diri Arai menuntutnya harus sempurna. Tidak boleh ada kesalahan dalam setiap jawaban yang keluar dari mulutnya.
"I-itu ...Y=β0+β1X+ϵ." Setelah mengusir keraguan atas jawabannya, Arai melanjutkan, "Y adalah variabel dependen (nilai ujian), X adalah variabel independen (jumlah jam belajar per minggu), β0 adalah konstanta (intersep), β1 adalah koefisien regresi (gradien), ε adalah kesalahan acak."
"Kamu sudah menghitung hasilnya?"
Arai menunduk dan mengetuk-mengetuk telapak tangan kirinya dengan jari-jari kanan, dia mendongak setelah menyelesaikannya. "Nilai Ujian=61.7+2.8 Jam Belajar. Untuk mendapat nilai itu, langkah pertama kita harus–"
"Cukup," sela sang dosen. Matanya yang setajam elang seakan siap melahapnya tanpa ampun.
"Lain kali perhatikan ke depan ketika jam kuliah saya atau lebih baik keluar saja sekalian. Itu lebih baik daripada tubuhmu di sini, tetapi pikiranmu melayang entah ke mana. Mengerti? Satu hal lagi, jangan merasa hebat hanya karena kamu bisa menghitung lebih cepat daripada yang lain."
Suasana kembali berubah tegang ketika dosen itu menunjuk salah satu mahasiswa lain untuk menjabarkan lebih rinci jawaban yang Arai berikan.
"Suaramu kurang jelas, Meila. Saya tahu kamu bisa. Lain kali, lebih tegas lagi. Kalian ini bukan lagi anak SMA hal seperti ini seharusnya sudah bisa dipahami."
Jumlah mahasiswa yang sedikit menambah ketegangan ruangan. Di kampus, peminatan Matematika murni kurang dari selusin orang. Satu prodi saja hanya kisaran 150-an tahun ini. Keadaan kelas kembali kondusif, tetapi suasana hati Arai belum membaik. Kuliah pagi hari itu pun berakhir, tetapi dia enggan sekali pulang.
"Balik bareng, yuk." Ajakan itu membuatnya mendongak mendapati seorang gadis. Bulu matanya lentik, tetapi memiliki sorot mata yang tajam. Wajahnya yang bulat dibingkai rambut panjang bergelombang. Ketika berbicara, lesung pipi ganda tercipta di sana, manis sekali. Gadis itu menarik lengan Arai. "Balik bareng ke parkiran doang, kok."
Mendengar Arai mengembuskan napas lega, cewek itu terkikik pelan. "Gue tahu, lo itu makhluk langka. Diajak pulang bareng cewek secantik gue malah grogi sampai keringetan gitu."
Arai menjitak kepala gadis itu dan mendahuluinya. "Lo bangun dong, Gea ... halu mulu. Mana ada yang mau antre pulang bareng sama lo?"
"Bukan anak Matematika yang jelas ya. Lo sih, nggak pernah percaya sama gue. Di luar sana banyak yang nungguin gue, tapi gue malah nungguin orang berhati batu yang nggak peka." Gea berjalan cepat agar bisa menyamakan langkah. "Rai, lo lagi ada masalah ya sampai bengong gitu?"
"Kelihatan banget, ya?"
"Dih, tadi itu apaan. Orang tuli juga bakal tau dari wajah lo tuh kusem banget kayak kurang perawatan. Ada masalah apa, sih? Lo tuh bisa loh cerita ke gue kalo lo masih anggep kita ini sahabatan."
Arai mengulas senyum tipis, dia terus berjalan melintasi koridor.
"Tuh, cuma mesem sok kecakepan."
"Gue duluan, ya." Arai berjalan lebih cepat kemudian berlari sambil melambaikan tangan. Dia masih mendengar suara Gea meneriakinya ketika dirinya berbelok di persimpangan koridor.
Jarak dari koridor tempat dia berpisah dengan Gea tak terlalu jauh. Namun, dia tak yakin bisa menghindari pertanyaan gadis itu jika dia menemukan stiker aneh di motornya lagi.
Kemarin adalah permulaannya, Arai menemukan sticky notes merah muda sudah menempel di jok motor pagi-pagi sekali sebelum dia pergi ke kampus. Siangnya, dia mendapati sebuah keychain dengan warna senada. Keduanya memiliki kesamaan adanya sebuah pesan, Keisengan ini membuat resah. Jika Gea menemukannya, dia khawatir gadis itu akan berpikir macam-macam.
April Mop bukan adat dan kebiasaan yang dirayakan kebanyakan mahasiswa di kampus ini, beberapa orang masih mempercayai dan memanfaatkan momen itu untuk mengisengi orang lain.
Tentu saja Arai sangat ragu dia akan mendapat perlakuan seperti itu. Memiliki kecepatan menghitung dengan tepat, menganalisis segala sesuatu dengan rinci membuatnya dicap sebagai orang yang sangat serius. Setiap kali dia berusaha membaur dalam obrolan orang lain, tiba-tiba suasana berubah drastis menjadi kaku. Tawa-tawa dan jokes terhenti seketika. Arai tidak terlalu bermasalah dengan hal itu, karena pada momen tertentu mereka masih menyapa, kadang makan bersama di kantin fakultas, sesekali duduk-duduk santai di kursi taman yang tersebar di sudut-sudut kampus. Namun, jujur saja Arai merasa kesepian setiap dia merasa kebingungan dalam urusan akademik.
Banyak orang menganggapnya genius dan tak membutuhkan orang lain. Itu salah besar!
Arai butuh orang lain untuk brainstorming bersama, berbagi ide serta pemikiran. Namun, hal yang menjengkelkan adalah setiap kali dia baru saja berkata, "Gue bingung teorema yang disampein tadi."
Paling banter akan dapat respons, "Kalo lo aja bingung, apalagi gue?"
Setelah itu, Arai tak terlalu peduli lagi dengan nongkrong-nongkrong di kafe ataupun jalan ke mal. Pada akhirnya dia tetap terpisah dari yang lain secara emosional. Buku-buku dan koneksi internet lah yang akan menemaninya sepanjang hari. Siang dan malam ketika dia kebingungan dalam hal akademik. Tak jarang juga dengan hal-hal abstrak terkait hati dan perasaan. Sejujurnya dia merasa kesepian.
Singkatnya, kebanyakan orang bisa dikatakan segan terhadap Arai. Kemungkinan seseorang mengerjainya di April Mop sangat kecil. Jadi, ketika sebuah stiker menempel di jok motor dan sebuah keychain berbentuk lingkaran sudah tersemat di ranselnya, dia agak kebingungan. Benda itu cuma dilesakkan di saku tanpa dibaca. Namun, kemarin sangat letih. Arai langsung terkapar ketika pulang. Ketika kantuk nyaris menguasainya, Arai terkejut melihat sekelebat hitam melintas di jendelanya.
"Motor lo kenapa, Rai?" Arai menoleh ke arah Gea yang melajukan mobilnya dengan lambat ketika keluar area parkir. "Mau nebeng, nggak? Hari ini lo ngajar, kan?"
Arai yang sedang mendorong motornya berhenti sejenak, dia tampak berpikir. Jarak bengkel terdekat memang tak terlalu jauh, tetapi akan memakan waktu juga jika memaksakan diri mendorong motor sampai tempat itu. Dia juga heran mengapa ban motornya bisa gembes keduanya.
"Ayo, buruan gue anter. Ntar telat loh. Motor lo biar diambil sama orang bengkel aja."
Memesan ojek daring pasti lebih memakan waktu, tetapi saran Gea boleh juga. Motor pun Arai tinggal, tetapi dia menolak tumpangan Gea. Arai akan berlari ke depan gang dan menaiki angkutan umum dari sana. Di sanalah ketika dia mengambil dompet dari ranselnya menemukan gantungan kunci dan menyadari pesan itu menyerupai quotes atau justru teka-teki?
#2: F(6) adalah aku.
8 Diputar 45° adalah perasaanku.
Kedua alisnya yang mengerut nyaris bersatu, tetapi teriakan kondektur menyentaknya. Dia buru-buru turun setelah membayar sejumlah uang. Dia merogoh celana kemarin yang kebetulan dipakai lagi. Stiker berbentuk lingkaran itu masih ada di sana. Bentuknya sama persis dengan gantungan kunci di ransel. Hanya saja pesan yang tertera berbeda.
#1: Arvian Arai adalah konstanta dalam hidupku.
Jantung Arai berdegup kencang melihat namanya tercetak di sana. Sepanjang hari itu Arai mengajar dengan sangat lambat, tidak konsentrasi, dan mendapat teguran dari atasan atas keterlambatannya. Dia mendapat surat pemecatan di hari itu juga, 2 April. Dadanya sesak sekali, di saat kebutuhan lagi banyak-banyaknya, dia hanya diberi uang pesangon yang tak seberapa. Arai menghela napas melihat nominal rupiah yang baru ditransfer atasannya itu sebesar Rp. 112.358,- untuk membayar bengkel saja bisa jadi masih kurang. Dia lemas sekali saat kembali ke bengkel. Dia menyadari ada yang aneh dengan jumlahnya. Lagi-lagi dia terlalu lelah untuk peduli.
Alih-alih memungutnya, Arai menendang gelas plastik yang tergeletak di trotoar saat melewatinya. Dia berjalan menunduk lalu berhenti saat mendapati seorang gadis tengah berkutat dengan rantai sepeda yang lepas. Gelas plastik yang mendarat di sisinya membuat gadis yang wajahnya belepotan oli itu memandangnya sesaat. Keduanya terlibat saling pandang beberapa detik sebelum mereka secara bersamaan memutus kontak mata.
Arai kembali berjalan, sementara gadis dengan rambut dikepang tunggal itu mencoba memperbaiki rantai. Setelah mengembuskan napas panjang, dia mundur dan memperbaiki rantai. Suara rantai yang berdentingan saja rasanya membuatnya kesal.
===>Paradoks<===
>Trivia<
*
Konstanta adalah nilai tetap yang tidak berubah dalam suatu konteks tertentu, seperti dalam matematika, fisika, atau ilmu komputer.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top