sembilan belas



Raha meletakkan telponnya, menatap adik-adik nya yang sedang berdiri di hadapannya.
"Semua sudah beres. Kalian bisa masuk ke sana" katanya dingin.
Kalau ini tidak menyangkut Hema mungkin Raha akan tersenyum karena rencana mereka hampir berhasil tapi semenjak Hema hilang tidak ada lagi senyum tulus yang terpancar dari wajahnya.

Hali dan Lian mengangguk.
"Kami tidak akan gagal. Serahkan saja pada kami" kata Lian.
"Petugas Paja sudah menunggu, aku akan menginformasikan padanya kalau kita bergerak sebentar lagi" sambung Hali.

Para Alfa sudah bicara dengan petugas Paja, mengatakan apa yang mereka yakini.
Dan saat petugas tersebut menawarkan diri untuk ikut menyusup ke Villa Varun Costa, para Alfa langsung setuju.
Selain petugas Paja berwenang untuk melepaskan peluru dengan bebas, mengingat banyaknya penjaga di Villa tersebut, petugas itu juga lebih terlatih dari Hali dan Lian yang meski terampil tapi belum pernah menyusup ke satu rumah.
Dan dengan membawa serta para penjaga dan orang-orang mereka, Para Alfa yakin misi mereka akan berhasil.

"Hati-hatilah. Jangan mengambil resiko untuk kalian ataupun Hema. Jika keadaan mendesak lakukan apa yang kalian anggap terbaik" kata Raha sambil berdiri memeluk adik-adiknya.
"Varun Costa tidak normal dan itu membuatnya jadi berbahaya"

"Tenang saja. Saat dia tidak ada di Villa maka resikonya jadi berkurang lima puluh persen. Untuk itu kau harus memastikan kalau semuanya terkendali" jawab Hali, melepas pelukan mereka.

Raha mengangguk.
"Serahkan saja padaku. Varun tidak akan kembali tepat waktu. Dia tidak akan bisa berbuat apa-apa setelah itu.
Aku akan membuatnya mengerti bahwa mencari masalah dengan keluarga Alfa adalah tindakan yang salah" desisnya.

Lian dan Hali mengangguk.
"Pergilah. Kami akan mulai begitu kau memberi kabar"
Raha mengangguk, melangkah meninggalkan kedua adiknya yang tak lama menyusul.
.
.
.

Varun tersenyum melepas pelukannya pada Hema yang tak balas memeluknya.
"Bersiap-siaplah. Bawa saja apa yang kau rasa penting. Kita bisa membeli sisanya di tempat tujuan kita nanti" usulnya pada Hema yang tak kunjung bergerak.

"Kita pergi sekarang?" tanya Hema.

Varun tersenyum.
"Tentu saja." jawabnya.

"Kau sudah bicara dengan paman Rizal dan keluarganya. Apa mereka ikut?" tanya Hema lagi.

Varun menggeleng.
"Tentu saja tidak. Mereka tetap disini. Ini adalah perjalan bulan madu kita. Quality time untuk memperdalam perasaan kita satu sama lain" jelasnya.

Hema mengangkat bahu.
"Baiklah. Terserah kau saja" jawabnya yang langsung menuju lemari, mengeluarkan apa yang dia inginkan untuk dibawa.

"Aku akan kembali setengah jam lagi. Jadi kau sudah harus siap. Aku akan menyuruh orang membantumu" katanya melangkah ke pintu.

"Tidak perlu aku bisa melakukannya sendiri. Dan kau sendiri mau kemana?" tanya Hema.

Varun menunjuk ke arah ponsel ditanganya.
"Aku harus menghubungi papa dulu. Dari tadi dia mencoba menghubungiku, tapi tak kuangkat. Dia harus tahu kalau aku akan cuti dari kantor sampai batas waktu yang aku inginkan" terangnya.

Hema mengangguk mengerti. Varun tersenyum berlari kecil keluar dari kamar Hema, terlihat lega dan gembira.
Begitu ditinggal sendiri, Hema justru menghempaskan tubuhnya ke atas kasur.
Sedikitpun dia tidak senang mendengar ide Varun.
Hatinya malah gelisah diajak pergi berlibur.
Hema merasa lemas dan kosong seketika, sperti sedang melepas barang kesayangannya saja.

Padahal sudah lama dia ingin keluar dari rumah ini.
Dia ingin mengunjungi tempat-tempat yang dulu dia kunjungi, berharap ingatannya yang hilang bisa kembali meski awalnya dia ingin membiarkan saja.
Dan terutama sekali dia ingin mengunjungi kubur sang ayah, setiap kali dia punya masalah Hema tahu dia akan kesana dan menceritakan semuanya pada sang ayah.

Tiba-tiba satu ide muncul dibenak Hema.
Dia tidak akan berkemas, dia akan menunggu Varun kembali.
Dan jika Varun heran dan bertanya kenapa dia belum juga membereskan barang-barangnya maka dia akan bilang bahwa dia tidak akan pergi kemanapun sebelum mengunjungi kubur ayahnya. Jika Varun butuh izin ayahnya yang belum pernah Hema lihat atau ingat maka untuk berlibur Hema juga butuh izin ayahnya meski ayahnya sudah dikubur dalam tanah!

Dengan penuh tekat Hema membaringkan tubuhnya, memejamkan matanya agar otaknya yang lelah bisa ikut beristirahat.
.
.
.

Sementara itu Varun masuk ke ruangannya menghubungi ayahnya.

"Kemana saja kau. Kenapa susah sekali bagimu mengangkat telpon dariku. Sebenarnya apa yang sudah kau lakukan. Jangan membuat masalah lagi"

Itu adalah kata pembuka yang Varun terima dari ayahnya yang berubah merah padam seperti Hellboy, begitu mereka terhubung melalui VC.
Varun menghela napas, menahan sabar.
Kalau saja orang tua itu sedang tidak sakit parah dan dipastikan mati sebentar lagi, mungkin dia sendiri yang akan mengirimnya bertemu tuhan.

"Aku tidak tahu kau memanggil. Aku dibawah, ponselku tertinggal di atas" jawabnya pelan.
"Aku juga sedang tidak membuat masalah. Aku justru sedang gembira tapi kau merusaknya dengan semua kemarahanmu yang tidak masuk diakal itu" tegasnya.
"Apa yang membuatmu begitu membenciku" geramnya saat kekesalan mulai menguasainya.

"Jangan lupa kau membuatku kehilangan Miyu. Apa menurutmu kau tidak pantas dibenci karena itu?"

Wajah Varun merah padam seketika, darah pemompa cepat dari jantung ke kepalanya.
Bayanyan Miyu menguasai benaknya.
Dulu dia akan mangamuk setiap kali ayahnya membahas masalah ini tapi sekarang dia bisa menahan diri, teringat sosok Hema yang berada di kamar Miyu, kamar mereka. Memakai barang-barang dan pakaian Miyu!

"Aku akan membawa Miyu kembali. Aku bersumpah
Sudah kukatakan padamu berulang kali.
Aku tidak akan membiarkan Miyu hilang dari hidupku selamanya" jawab Varun datar.

Wajah ayahnya yang terpampang di layar laptop tidak terlihat percaya. Mata tersebut menyorot dingin tanpa perasaan.
Ayahnya selalu menganggapnya gila dan tidak pernah percaya pada apa yang dikatakannya tapi nanti orang tua itu akan percaya kalau dia bersungguh-sungguh.
Miyu ada dilantai atas.
Begitu Hema sepenuhnya berubah jadi Miyu maka dia akan bertemu dengan ayahnya.
Mereka akan berkumpul lagi sebagai keluarga lagi sebelum orangtua itu meninggal!

"Jadi katakan, ada apa sampai kau menghubungiku. Sebaiknya ini sangat penting. Karena aku sudah memutuskan untuk mengambil cuti" katanya.

"Perusahaan sedang ada masalah dan kau memutuskan untuk liburan. Kemana perginya akal sehatmu! " tegur ayahnya kasar.

"Tidak terlalu kritis hingga aku tidak bisa liburan" jawabnya asal-asalan.

"Kau tidak boleh mengambil cuti sampai proyek dengan Alfa tercapai. Dan untuk itulah aku menghubungimu.
Kaulah yang memegang proyek tersebut dan akhirnya setelah menunggu cukup lama Raha Alfa merespon. Dia meminta agar bertemu denganmu sekarang juga, hari ini. Dia mau kau menjabarkan semua rencana kerja sama yang membuat kita sama-sama mendapatkan keuntungan."

Varun terkejut, keningnya berkerut.
"Tapi kau bisa menyerahkan urusan tersebut pada siapa saja. Biasanya kau juga tidak terlalu percaya padaku.
Aku tidak bisa kalau didesak seperti ini"

"Jangan banyak alasan. Sekarang juga aku menunggumu di kantor.
Setelahnya kita akan menemui Raha Alfa. Jika kau tidak datang maka jangan pernah bemimpi kau akan mengantikan posisiku setelah aku mati. Aku bahkan takkan memberikan satu senpun padamu. Kau membuatku kehilangan Miyu dan aku masih berusaha memaafkan dan melupakan semuanya. Tapi jika kau membuatku kehilangan perusahaan juga, aku akan membuatmu menyesal seumur hidupmu.
Camka kata-kataku ini! "

Dan setelah bicara seperti itu, ayahnya memutus sambungan.
Varun terdiam menatap layar yang gelap.
Otaknya bekerja cepat, dia merasa ada sesuatu yang janggal dengan permintaan Raha Alfa untuk bertemu, apalagi Desi belum kembali dari semalam.
Kalau Desi buka mulut maka habislan semuanya.
Persetan dengan perusahaan!
Yang terpenting baginya adalah Miyu.

Varun keluar untuk ke kamar Hema saat itu dia melihat Desi masuk dengan penampilan seperti pelacur yang habis di gangbang .

"Dari mana saja kau?" bentak Varun yang langsung menyambar Desi, menariknya masuk ke dalam ruangannya meski Desi sama sekali tidak melawan dan ikut saja ke mana dia ditarik.
"Dari mana saja kau?" ulangnya setelah mendorong Desi ke atas Sofa.

"Bersenang-senang. Sesuatu yang tak bisa kau berikan lagi padaku semenjak Hema datang" jawab Desi dengan senyum nakal, bersandiwara seolah semuanya baik-baik saja.
Menyembunyikan ketakutan kalau-kalau Varun tahu dia bertemu dengan Hali semalam.

Desi membuka lebar pahanya, menyingkap roknya, menunjukkan pada Varun kalau dia tidak memakai celana dalam.
"Di dalam sini sudah penuh, tapi kalau kau masih mau menyumbangkan spermamu, aku dengan senang hati menerimanya" dua jari Desi masuk ke dalam miliknya, suara erangan keluar dari bibirnya yang sensual.

Kalau bukan demi kedua orangtuanya yang masih ada di sini takkan mungkin Desi kembali dan mengambil semua resiko.
Dia akan merendahkan dirinya di depan Varun asalkan pria itu tidak mencurigainya.

Mata Varun mengikuti gerakan jari Desi yang keluar masuk.
Desi tahu meski jijik padanya tapi Varun tidak bisa menahan nafsunya.
Dasar pria! kalian semua sama saja! Umpat hati Desi tapi disaat yang bersamaan dia membayangkan sosok Hali yang bergegas meninggalkannya begitu saja tanpa alasan yang jelas.

"Ayo tunjukan padaku seberapa hebat dirimu. Semalam ada pria yang membuatku tak sanggup bergerak hingga pagi" katanya ambigu dengan tujuan memanasi Varun, meski sosok Hali tak bisa lepas dari benaknya.

Varun menerjang, menekan leher Desi.
"Jalang sialan. Dasar pelacur tidak berguna. Jangan membandingkanku dengan pria sampah diluar sana.
Jika kau ingin merasakan penisku, bilang saja. Tidak perlu memancing dengan gaya murahan" geramnya sebelum menyatukan dirinya dengan Desi yang kesakitan tapi tetap menampilkan senyum sensualnya, menunjukkan pada Varun yang kesetanan kalau dia hebat dan kuat!

*******************************
(30112020) PYK.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top