two
Begitu sampai dirumah sakit, Hema yang diantar Albert segera turun tergesa-gesa tanpa lupa mengucapkan terimakasih.
Seperti yang dijanjikan Raha, masalah Hema teratasi hari itu juga. Sorenya paman Rizal datang mengantarkan sebungkus uang setebal Batu bata, dengan wajahnya yang cemberut. Hema tak menyangka kalau paman Rizal punya uang sebanyak ini.
Lalu tak lama dokter masuk keruang Ayah Hema, setelah memeriksa kondisi Ayah Hema, sang dokter memerintahkan agar ayah Hema dipindahkan ke ruang VVIP.
Jelas Aja Hema menolak karena takut tak sanggup membayar biaya rumah sakit, meski paman rizal sudah memberinya uang.
Sayangkan karena Hema yang belum cukup umur maka keputusan dari paman Rizal lah yang didengar. Ayah Hema dipindahkan dan mulai saat itu paman Rizal berperan jadi paman yang baik, paman Rizal meluangkan waktunya untuk bisa selalu berada diruang dimana ayah Hema dirawat. Saat itu Hema sangat bersyukur dengan perubahan paman Rizal. Sesekali istri dan anak paman Rizal datang untuk membawakan kebutuhan Hema, karena Hema tak pernah beranjak dari sisi ayahnya.
Tapi meski sudah mendapatkan perawatan terbaik, kondisi Ayah Hema justru makin memburuk. sebulan dirumah sakit, ayah Hema justru jatuh dalam keadaan koma. Hema kalut, setiap hari kerjanya menangis saja sambil menggenggam tangan ayahnya dan mengajak sang ayah bicara.
Hema tak perduli lagi berapa banyak dana yang dibutuhkan untuk membuat ayahnya sadar. Hema hanya mau ayah sembuh, apapun akan Hema lakukan.
Seperti takdir mempermainkan Hema. Setelah koma selama tiga minggu, ayahnya kembali terlihat membaik dan bahkan bisa bercanda dengan Hema. Hema sudah berpikir bahwa seminggu lagi mereka bisa pulang setelah dua Bulan lebih ayahnya dirawat dan jujur Hema rindu rumah dan ranjangnya yang tak pernah terasa empuk tapi tetap membuat Hema tidur nyenyak.
Dan sepertinya dokter juga berpikir sama, karena nyatanya dokter memang mengisyaratkan bahwa ayah Hema sudah bisa rawat jalan. Namun sayang, sehari menjelang kepulangannya, tiba-tiba saja Ayahnya sesak nafas. Hema panik saat suster dan dokter mengerumuni ayahnya. Melakukan segala bantuan pertama saat ayahnya tak beraksi. Sekuat apapun usaha para dokter, ayah Hema tetap saja tak tertolong. HEMA pingsan saat sang dokter memberitahu dan memastikan bahwa ayahnya telah pergi.
Hema terbangun di kamar asing dan suara orang membaca Yasin diluar kamar. hema bingung, dia bangkit dan segera keluar kamar. Sekarang Hema tahu kalau dia berada dirumah paman Rizal. Dan diruang tamu paman Rizal yang kecil, sudah penuh sesak dengan pelayat.
Mata Hema teralihkan pada tubuh Ayahnya yang terbaring diatas kasur yang terletak dilantai. Ayah Hema ditutupi kain panjang dan wajahnya ditutupi oleh selendang putih transparan.
Perlahan Hema bersimpuh disebelah Ayahnya dan mulai membenamkan wajahnya ke atas kasur. Hema mulai terisak.
Sekarang Hema sebatang kara, satu-satunya orang yang mencintainya sudah pergi, jadi untuk apa Hema hidup. Untuk siapa Hema bertahan?
Dalam isak tangisnya, Hema merasakan bahwa ruangan ini tiba-tiba saja sunyi. Lalu seakan ada hawa panas yang mengurung Hema, isakan Hema terhenti saat perasaannya bergolak oleh sesuatu yang lain.
Hema mengangkat kepalanya dan matanya yang bengkak langsung menatap mata Raha, Hali dan lian yang tak berkedip menatapnya. Darah Hema berdesir dan segala keputus asaan yang Hema rasakan seolah terangkat. Hema bergeser begitu saja saat Raha ingin melihat wajah Ayahnya dan jantung Hema seolah melompat saat Hali tak sengaja menyentuh lengannya.
Mereka bertiga berada dirumah paman Rizal memang tak sampai sepuluh menit. Tapi tetap saja Saat ketiganya memberi usapan dibahu kepala dan punggung Hema, Hema nyaris lumpuh seketika. Apa yang salah dengannya, batin Hema.
Jam satu siang ayah Hema dimakamkan. Saat melihat tubuh ayahnya yang dikafani dimasukan ke liang Lahat dan perlahan ditutupi dengan papan dan tanah, Hema kembali merasa sendirian. Ingin sekali Rasanya Hema loncat kedalam sana untuk menemani ayahnya. Tapi entah kenapa, Hema justru terbayang wajah Raha, Hali Dan Lian. Hema urung melaksanakan niatnya.
Selesai pemakan, Hema mulai kebingungan. Dia tak ingin terlalu lama dirumah paman Rizal. Jadi sebaiknya Hema pulang dan kembali malam untuk mengikuti tahlilan yang akan diadakan dirumah paman Rizal.
Jadi saat melihat pamannya masih menunggu Hema, Hema segera mengemukakan niatnya.
"Paman, sebaiknya Hema pulang kerumah dulu. Mau beres-beres barang-barang ayah. malam nanti Hema kembali kerumah paman" usul Hema dengan lemah.
Paman Rizal tersenyum mengejek
"Pulang ke mana, rumah kontrakanmu udah paman lepas dari sebulan yang lalu. Barang-barang kalian yang tak seberapa, juga sudah paman jual. Kau pikir biaya berobat ayahmu itu murah?" bisik Paman Rizal yang tak mau para pelayat yang sedang menjauh, mendengar ucapannya lalu ikut campur. Si Rizal bosan kalau harus keluar masuk penjara lagi karena perkelahian atau memukul orang.
Hema melongo, kenapa pamannya tak bicara dulu sebelum mengambil keputusan itu.
"Aku sampai harus mengambil pinjaman dari kantor dan menjaminkan motor baruku untuk berobat Ayahmu. Aku ingin secepatnya kau mengganti seluruh biaya yang sudah kukeluarkan untukmu" tekan paman Rizal.
Bibir Hema kelu. Dari mana Hema dapat uang ratusan juta tagihan rumah sakit yang dibayarkan paman Rizal, entah darimana paman Rizal bisa mendapatkan uang sebanyak itu.
"Sekarang kembali kerumahku. Jalan keluarnya sudah ku dapatkan kau tinggal ikut apa kataku. Kau sekarang berada dibawah perwalianku" ucapan Paman Rizal membuat Hema ngeri. Tapi mau tak mau Hema harus tetap ikut pulang, habisnya kemana lagi Hema akan pergi. Mana sebentar lagi akan turun hujan.
Dirumah paman Rizal, Hema tak punya waktu untuk bersedih mengenang ayahnya. Dia selalu sibuk membantu atau lebih tepatnya melakukan apapun yang diperintahkan padanya.
Ini sudah sepuluh hari Hema jadi pembantu dirumah Paman Rizal. Seolah ketiga penghuni rumah tersebut tak tahu betapa menderitanya batin Hema yang baru kehilangan ayah dan tak diberi waktu untuk menangis melepas kesedihannya.
Hema tidur dikamar Desi. Meski ranjang Desi lebar, tapi Hema tetap harus tidur dilantai ubin yang beralaskan tikar. Setidak-tidaknya dia masih diberi selimut dan bantal, jadi Hema tak terlalu kedinginan.
Hema juga sudah berpikir, masuk dua puluh hari meninggal ayahnya, Hema akan mencari kerja dan tempat kos. Hema tak mau bergantung pada paman Rizal. Hema janji setiap sen dari pendapatannya akan dia sisihkan untuk membayar hutang ayahnya.
Malam itu saat keluarga paman Rizal berkumpul untuk menonton sinetron ALAY yang membuat Hema geli, ditemani oleh gorengan. Hema berdiri dan langsung bicara pada pamannya.
"Paman" panggil Hema yang justru tak disahuti atau dijawab oleh pamannya. Tapi Hema sudah biasa diperlakukan tak sopan seperti ini jadi bukan halangan untuk Hema melanjutkan ucapannya.
"Besok Hema cari kerja, nanti kalau udah dapat kerja, Hema mau kos aja. Hema tak enak menyusahkan paman dan bibi terus-menerus" mulai Hema.
Paman Rizal dan anak istrinya langsung menoleh pada Hema.
"Lalu hutangmu yang segunung bagaimana hitungannya"
Bentak paman Rizal segera.
"Hema bayar paman, pasti Hema sisihkan dari pendapatan Hema nanti" jawab Hema segera.
Paman Rizal dan anak istrinya langsung tertawa.
"Berapa lama kau bisa melunasinya. Aku matipun hutanmu takkan lunas. Bahkan sampai ke anak cucumu pu hutang tersebut tetap saja belum lunas" hina paman Rizal.
Hema tak tahu lagi harus menjawab apa.
"Lebih baik kau ikut Desi, biar dikenalkan pada temannya. Mana tahu ada yang bisa memberimu pekerjaan" usul pamannya.
Hema langsung melihat pada Desi yang tersenyum mendengar ucapan Ayahnya.
"Besok aku akan membawa temanku untuk bertemu denganmu" ucap desi yang kembali lanjut menonton.
Hema menggeleng panik. Dia tahu arti dari pertemuan itu. Hema bukan gadis polos yang tak tahu apa-apa.
"Tidak usah. Aku bisa cari kerja sendiri" potong Hema.
Kembali pamannya tertawa.
"Dengan ijzah smp mu itu. Paling tinggi kerjamu jadi CS. Atau kau gantikan saja kerja ayahmu yang tukang ojek itu. Tapi sayangnya motor jelek ayahmu itu juga sudah kujual" geram paman Rizal.
"Pokoknya kau besok akan diperkenalkan pada teman Desi" tekan paman Rizal yang sudah mulai merah padam. Istri pamannya langsung berdiri dan menyerahkan gelas berisi teh manis hangat yang Hema buatkan tadi.
Hema mundur dan mulai menangis.
"Kau tak bisa menolaknya. Ingat hutangmu harus lunas secepatnya" teriak paman Rizal.
Hema berlari dan paman Rizal mengejarnya. Paman Rizal terlihat bagai monster dimata Hema. Hema tak perduli dengan hujan badai yang diselingi halilintar, dia terus lari menerobos hujan.
Paman Rizal hanya bisa berteriak dari teras rumahnya.
"Kalau kau kembali nanti, kau akan mendapatkan hukumannya" yang sayup-sayup masih bisa ditangkap telinga Hema.
Hema berlari dan terus berlari ditengah guyuran hujan tanpa tahu kemana tujuannya. Meski letih dan lututnya sudah minta ampun, Hema tetap menyiksa dirinya dengan berlari.
Hema tak tahu sudah sejauh apa dan berapa lama dia berlari. Hema tak perduli itu semua. Jalanan yang dilalui Hema gelap dan sepi. Hujan membuat jarak pandang Hema terbatas.
Saat kakinya tak sanggup berlari, Hema mulai berjalan sempoyongan.
Dadanya perih dan perut Hema sesak. Hema tak mau berhenti, dia putus asa. Hema berharap ada mobil yang datang dari arah berlawanan dengan kecepatan penuh dan menabraknya hingga Hema bisa menyusul ayahnya.
Bagai sihir, keinginan Hema terkabul. Dari arah berlawan, sorot lampu mobil membutakan Hema. Kaki Hema membeku dan nafas Hema tertahan.
Hema pikir dia akan terpental jauh jika mobil tersebut menghantamnya. Dada Hema sudah tak berdetak lagi untuk menyambut kematian yang Hema pikir akan datang padanya.
Tabrakan yang Hema tunggu tak terjadi, mobil tersebut berhenti selangkah dari tubuh Hema. Hema masih terlalu shock untuk bisa beraksi. Dari pintu depan, kursi penumpang. keluar sosok pria yang tak terlihat jelas bagi Hema yang silau oleh cahaya lampu mobil dan hujan. Namun entah bagaimana Hema tau siapa orang tersebut yang sedang bergerak mendekati Hema.
"Hali" bisik Hema yang mengulurkan tanganya tanpa sadar.
Tangan Hema segera disambut dan Hema roboh. Hali menyambut tubuh Hema, memeluk Dan mengendong Hema yang melayang dalam keadaan sadar dan tak sadar.
Hema tahu saat Seorang lagi, Lian Batin HEMA. membukan pintu belakang untuk Hali yang sedang mengendong Hema yang basah kuyup.
"Lian" ucap bibir Hema yang langsung bergerak tanpa diperintahkan oleh otak Hema.
Saat HALI masuk kedalam dan duduk sambil memeluk Hema yang berada dipangkuannya, Hema bisa melihat Raha yang duduk didepan kemudi, sedang memutar badannya untuk melihat kondisi Hema.
"Raha" bisik Hema, sekali lagi hema bicara tanpa diperintahkan otaknya. Diantara pandangan buram dan tubuhnya yang lunglai. Hema bisa melihat senyum tercetak dibibir ketiga pria tersebut.
"Tenanglah sayang. Semuanya kan baik-baik saja sekarang" ucap Hali yang membelai pipi Hema yang dingin.
Raha menginjak gas dan mulai membawa mereka semua meninggalkan tempat ini.
Lian yang duduk didepan dan juga basah karen sempat turun dari mobil, kini duduk sambil menghadap belakang. Memundurkan sandarannya. Agar bisa mmebelai rambut Hema yang masih meneteskan air kelantai.
"Mulai sekarang, kau takkan lepas dari pengawasan kami" bisiknya.
Mendengar ucapan Lian, Hema membuka matanya yang berat.
"Ya" jawab Hema lemah.
Dan Hali yang sedang memangku Hema, menjepit dagu Hema, membuat Hema kaget. Hali melumat bibir Hema seketika. ada sesuatu yan keras yang menekan pinggul Hema. Hema yang tak bertenaga, pasrah saja Saat bibirnya mulai sakit oleh isapan dan lumatan rakus Hali, erangan lemah terdengar dari tenggorokan Hema.
"Hentikan Hali" geram Raha, seketika Hali melepaskan bibir dan dagu Hema lalu menghempaskan punggungnya kesandaran dengan nafas kuat, Hema ikut terhempas ke dada dan lengan Hali yang menahannya.
"Ya tuhan Raha, rasanya.. " Hali membuang nafas kuat dan tak melanjutkan ucapannya saat Lian mengeram padanya.
"Diamlah Hali" ucap Lian dengan wajah tegangnya. Hali hanya tersenyum. Tak terdengar suara lagi setelahnya. Hema yang berayun lembut dipangkuan Hali, mulai menyerah pada rasa lelah yang menguasai tubuhnya. Hema jatuh kedalam ketidak sabaran. Entah pingsan entah tertidur nyenyak.
Hema tak tahu bagaimana wajah ketiga pria tersebut menatapnya penuh rindu.
**************************
(11102017) pyk.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top