18

Hema masih jengkel kalau mengingat Raha yang mempermainkannya, dan Hali yang merajuk karena Hema berkeras tidak akan merayunya.

Sebenarnya saat itu Hema berniat untuk merajuk dan tidak memperdulikan mereka. Tapi bagaimana mau sombong jika keduanya tak kelihatan keesokan harinya hinggalah seminggu setelahnya, padahal Hema sudah mau berangkat siang nanti untuk berkemah.

Yang ada hanya Lian yang terlihat sibuk, pulang tengah malam dan sudah pergi sebelum Hema bangun, jadilah Hema merindukan semuanya.

Dalam bis yang membawa mereka, Hema duduk disebelah dokter Lian, yang dianggap sepupunya oleh anak-anak lain.
Bahkan tenda Hema hanya diisi Hema sendiri, dan berada persis disebelah tenda Lian.
Darmawisata macam apa ini??

Tak jauh Dari tempat mereka mendirikan tenda, terlihat bagian belakang Hotel yang menjadi tempat Raha dan Hali mengadakan pertemuan.

"Kalau mau, malam ini kita menemui mereka" bisik Lian ditelinga Hema ketika mendapati Hema melamun menatap hotel tersebut.

Hema menggeleng dengan muka masam.
"Tidak mau" bentaknya.

Lian tertawa.
"Kau masih marah ya pada Raha?. Padahal wajamu terlihat nelangsa menahan Rindu" ejek Lian

Hema mencubit paha Lian yang langsung mengatupkan bibir rapat-rapat agar tak berteriak kesakitan.

"Kaupun sama cabulnya dengan mereka" desis Hema agar tak didengar siapapun.

"Apa salahnya, kalau sama istri sendiri. Itu bukan cabul namanya" balas Lian yang berhasil membuat Hema merona.

Hema berjalan menjauh meninggalkan Lian yang sibuk memasang tendanya, makin jauh masuk ke kaki gunung yang dipagari hutan rindang.

Sadar kalau dia masuk terlalu jauh dan sendirian saja, Hema segera berniat berbalik, namun sayup-sayup Hema mendengar suara isaka pelan.
Seluruh tubuh Hema terasa meremang, Hema langsung mengedarkan pandangan ke segala arah sambil mmutar tubuhnya, sekalian menyiapkan jantungnya jika dia melihat sosok yang bukan manusia.

Nihil, tak ada kuntilanak, sundel bolong atau wewegombel yang terlihat, tapi suara tangisan tersebut masih terdengar. HEMA mendongak dan melihat sinar matahari yang menerobos di sela dedaunan, masih terang, jadi tak mungkin ada hantu bukan?
Jadi darimana tangisan itu berasal?

Penasaran, Hema berjalan makin jauh kedalam untuk mencari sumber suara tersebut.
Akhirnya Hema menemukan sumber suara tersebut, Hema melihat tubuh kurus dengan rambut hitam dan kulit sepucat hantu, sedang menyembunyikan wajah diantara lutut.

Nah, ini dia asal suara tersebut batin Hema.
Hema melangkah makin dekat, saat jaraknya lima langkah lagi, si pemilik suara mendongak dengan wajah berkilat dan basah oleh airmata.

Hati Hema langsung tersentuh, dia belum pernah melihat wajah di penuhi airmata dengan mata yang terlihat begitu terluka. Kalau dilihat, kemungkinan mereka seumuran.

"Kau baik-baik saja?" bisik Hema lemah.

Mata itu menatap Hema beberapa saat lalu kembali mengalirkan airmata.

"Tinggalkan aku sendiri" isaknya.

Hema tetap ditempat, tak bergerak dan tak bersuara. Entah kenapa Hema tak sanggup menggerakan kakinya. Mungkin karena Hema tahu, kalau orang ini begitu kesepian.

Setengah jam kemudian, kepala itu mendongak dan sorot terluka tersebut kembali membuat hati Hema perih.

"Kenapa kau masih disini?" bisiknya meski tak sekesal tadi.

"A.. Aku. Soalnya udah mulai gelap dan Aku takut kembali sendirian. Jadi aku harap kau tak keberatan menemaniku keluar dari hutan ini" jawaban Hema jelas membuat orang tersebut kaget.

Setelah terdiam, dia mengangguk. sebenarnya Hema yakin kalau jawaban Hema hanyalah alasan, padahal sebenarnya dia tak mau meninggalkan orang tersebut sendirian, diketahui sama yang punya diri.

Sosok tersebut berdiri, Hema langsung terperanjat saat menyadari kenyataan kalau orang ini adalah laki-laki.
Hema melongo sesaat, padahal orang tersebut sudah melangkah duluan setelah menghapus sisa airmatanya.

"Apa yang kau tunggu?" tanya, saat sadar Hema tak ikut berjalan.

"Ti.. Tidak" ujar Hema cepat-cepat dan segera berdiri disebelah si pria cantik, yang membuat Hema malu pada dirinya sendiri. Apa mungkin ada pria secantik ini?

"Namaku Tatara, aku murid kelas dua A" ujarnya terus melangkah tanpa menoleh pada Hema.
Waw.. Hema makin minder, berati dia termasuk murid unggulan.

"Namaku Hema, aku murid kelas dua E" balas Hema malu.
Sial, Hema masuk kelas dengan peringkat terendah.

Namun kelihatan Tatara tak perduli dengan itu semua.

"Aku tak pernah melihatmu" ujarnya, masih tak melihat pada Hema.

"Aku baru masuk beberapa bulan yang lalu, jadi tak punya teman dan sudah pasti jarang berada diluar kelas" jawab Hema.

Tatara berhenti tiba-tiba hingga tertinggal di belakang Hema. Hema menoleh dan menemukan Tatara sedang mengamatinya.

"Kau sepupu para Alfa itu?"

Ah.. Jadi Hema memang terkenal di sekolahnya.

"Ya begitulah" jawab Hema asal-asalan sambil kembali melangkah, Tatara langsung mejejerkan langkah dengan Hema.

"Aku pikir yang namanya Hema, seperti boneka dan pasti sangat manja"

Mendengar apa yang Tatara katakan, Hema tersenyum.
Kalau saja Tatara tahu betapa dimanjanya dia..
Boneka, Hema kadang menganggap dirinya sebagai boneka seks.
Hema tersenyum memikirkan hal tersebut.

"Tampangku nggak sesuai untuk jadi anak manja" gurau Hema yang membuat Tatara tersenyum.

"Kenapa kau tak bertanya, kenapa aku menangis?"
Kata-kata Tatara yang tiba-tiba, langsung membuat langkah Hema berhenti.

Hema menatap Tatara.
"Kalau aku tanya, apa kau akan menjawabnya?" tanya Hema penasaran.

"Aku menangis karena aku begitu pengecutnya hingga tak sanggup mengakhiri hidupku sendiri"
Jawaban blak-blakan Tatara membuat Hema tersentak.

"Kau bergurau bukan?" Hema menampilkan senyum tak meyakinkan saat bicara.

Tatara menatap Hema cukup lama. Perlahan kepalanya menggeleng.
"Aku masuk ke sini ingin mencari pohon yang dahannya cukup kuat untuk kujadikan tempat menggantung diri"

Suara Tatara yang datar dan dingin membuat Hema gemetar.

"Kenapa?" bisik Hema.

Tatara tertawa saat mendengar kata-kata Hema. Diangkatnya sebelah bahunya.
"Tak ada alasan khusus, aku cuman terlalu lelah untuk terus hidup. Jadi kupikir, mungkin mati lebih baik"

Hema menggeleng.
"Bagaimana kau bisa tahu, kalau kau sudah mati. Bukankah orang mati tak bisa merasakan apapun?" racau Hema.
"Atau kau percaya, ada dimensi dimana roh orang mati akan berkumpul dan bersenang-senang untuk berpesta. Lagipula belum tentu kau suai dengan makanan disana karena lidahmu sudah terbiasa dengan makanan manusia hidup" tambah Hema.

Tawa Tatara membahana. Hema hanya mematung hingga tawa Tatara reda. Tatara menghapus airmata disudut matanya.
"Ya tuhan.. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku tertawa sekuat dan selepas ini"

Hema mengangkat bahu.
"Yah, aku memang berniat menyambung sekolah dan mendapat gelar sarjana pelawak"
Cebik Hema.

Sekali lagi tawa Tatara membahana.
"Kau lucu ya" kekehnya.

Hema hanya tersenyum, sekarang dia lega melihat raut Wajah Tatara tak sepucat itu lagi.

"Ku dengar kau yatim piatu?"

Kening Hema berkerut mendapat pertanyaan seperti itu, namun kepala Hema mengangguk pelan.

"Kau beruntung" ujar Tatara.

Hema tak mengerti dimana letak keberuntungannya, dia bahkan rela kehilangan semua keberuntungannya jika saja kedua atau salah satu dari orangtuanya ada bersamanya saat ini.

"Dan orangtuamu kenapa?" Hema tahu dia langcang bertanya seperti itu, tapi mulut Hema tak bisa di rem.

"Oh mereka.. " Tatara terlihat melamun sebentar dan melihat ke arah hotel yang sudah kembali terlihat saat mereka makin dekat ke perkemahan.
"Papa ku ada disana" tunjuk Tatara ke hotel tersebut. Ada urusan, jadi dia tak keberatan aku ikut kemping karena dia masih bisa mengawasiku"
Tatara mendengus. " dia pikir aku anak kecil yang harus selalu diawasi"

Hema menoleh pada Tatara, melihat tingkah Tatara yang seperti dalam hutan tadi, Menurut Hema tak salah jika ayahnya begitu khawatir.

"Kau anak tunggal?" tanya Hema dan Tatara mengangguk sambil lalu. Tidak salah ayahnya begitu khawatir, batin Hema.
"Wajar dia mencemaskanmu" ucap Hema.

Tatara tertawa lagi pada Hema.
"Kalau saja kau tahu apa yang membuatnya mencemaskanku" kekeh Tatara.
Kening Hema berkerut.

"Kau perempuan pertama yang melihat padaku tanpa rasa lapar" ujar Tatara.
Mungkin karena Hema punya tiga dewa Yunani, batin Hema.

"Dan kau juga tak langsung jijik padaku saat melihatku menangis"
Tambah Tatara.
Tidak ada tingkah manusia yang akan membuat Hema jijik, jika kehidupannya sendiri akan sangat menjijikkan dimata orang lain.
"Kau juga tak egois, dan aku suka hal itu" sambung Tatara.
Hema tersenyum, bagaimana bisa egois jika Hema justru harus selalu menjadi penurut.

"Aku tak terganggu berada di dekatku, meski kau perempuan. Padahal biasanya aku paling benci jika ada perempuan yang mendekatiku dan mengajakku ngobrol"
Kata Tatara dengan bibir tersenyum manis yang makin mempercantik wajahnya yang di hiasi lesungpipi.

Hema baru akan membuka mulut untuk menjawab saat mendengar suara Lian memanggilnya. Hema menoleh pada Lian dan melambaikan tangan saat melihat Lian menuju ke arahnya dengan tatapan dingin.

"Dokter Lian juga sepupumu bukan?" gumam Tatara yang juga sedang memperhatikan tubuh tinggi dan tegap Lian yang semakin mendekat pada mereka.
Sebagai jawaban Hema hanya mengangguk, karena Hema mulai gugup saat sadar Lian sedang marah padanya.

"Mereka bertiga, apa baik padamu?" bisikan Tatara membuat Hema kaget.

Hema menoleh pada Tatara dengan alis yang nyaris menyatu.
"Ya tentu saja. Mereka begitu memanjakan dan sayang padaku"
Kata Hema, terdengar lebih kasar dari yang dia maksud. Itu karena Hema tak mau ada yang salah paham pada para suaminya. Hema tak rela jika mereka di jelek-jelekan oleh orang lain.
Hanya Hema yang boleh menjelekkan mereka!!!

Tatara juga terlihat kaget dengan jawaban Hema, tapi menutupi dengan senyum manisnya. Dia akan bicara, tapi Lian sudah berada disebelah mereka dan merangkul bahu Hema.

"Dokter Lian" Tegur Tatara pelan tapi matanya melihat pada lengan Lian yang berada di bahu Hema. Lian hanya mengangguk sebagai jawaban lalu menoleh pada Hema.

"Kau dari mana, sebentar lagi makan malam tahu" nada jengkel dalam suara Lian membuat Hema tersenyum sambil mendongak menatap Lian.

"Kalau begitu ayo makan, aku juga sudah lapar" ujar Hema memasang senyum manis, dan langsung menghasilkan getaran ditubuh Lian. Senyum Hema makin lebar.

Saat Lian melangkah, Hema bertahan dan menatap Tatara yang masih berdiri ditempat dengan wajah Tanpa ekspresi.

"Aku pergi dulu, kapan-kapan kita ngobrol lagi ya"
Tatara mengangguk sebagai jawaban dan Hema langsung melangkah bersama Lian yang masih merangkulnya.
Hema tak menyadari bagaimana kobaran api dimata Tatara saat Lian mengecup Puncak kepala Hema saat Hema menertawakan Lian.
Tangan Tatara mengepal tapi wajahnya tetap sedatar tadi.

Jika Hema tak menyadarinya, berbeda dengan Lian yang sempat menoleh sekilas pada Tatara.

"Aku tak suka padanya" ujar Lian dingin.

Langkah dan tawa Hema berhenti, ditatapnya Lian yang balas menatapnya datar.

"Kau cemburu" itu pernyataan bukan pertanyaan dari Hema.

Lian mengangkat bahu dan kembali melangkah.
"Aku cemburu pada semua pria yang berada didekatmu, kecuali pada Raha dan Hali. Tapi biasanya aku tak merasakan aura permusuhan dari Mereka"

Hema tertawa mendengar nada suara Lian yang bernada geram.
"Itu karena dia sangat rupawan, kau takut tersaingi ya. Apa jumlah pengemarmu di sekolah, tak sebanyak dia?" ledek Hema tapi Lian tak tersenyum.

"Aku tak butuh pengemar ataupun Cinta dari perempuan manapun. Yang aku mau hanya kau dan cintamu"

Mendengar kata-kata Lian, Hema terdiam dan Menatap sekeliling, takut ada yang mendengar kata-kata Lian barusan. Namun tak urung wajah Hema merona dan dadanya berdebar keras.
Cinta??
Benarkah Lian menginginkan Cinta Hema?
Bagaimana dengan Raha dan Hali?
Tapi apakah mereka mencintai Hema?

Melihat Hema yang kebingungan dan serba salah, Lian menghela nafas samar. Tindakannya memang ceroboh, mendesak Hema untuk sesuatu yang belum siap Hema terima. KALAU Hali mendengarnya, mungkin Lian akan dibuat bonyok. Hali lah yang bersikeras untuk membiarkan Hema menemukan perasaannya sendiri tanpa perlu mereka desak dan Raha juga tak keberatan, dia lebih suka Hema yang polos katanya.
Sialan, om mesum pedofil!!

"Selesai makan, apa kau ingin pergi ke hotel, ke tempat Raha dan Hali?" pembicaraan Lian yang beralih ke hal Lain jelas sekali membuat Hema lega.

"Tidak. Aku ingin tidur ditenda, sendirian" tekan Hema saat melihat Mata Lian berubah sayu, tapi langsung membelalak saat mendengar kata terakhir.
Hema tertawa dan berjalan meninggalkan Lian sendirian.

Malam itu setelah berbagai acara dan unjuk bakat dari teman-teman nya yang sebenarnya tak bisa menyembunyikan rasa kaget mereka saat tiba-tiba melihat Hema ikut darmawisata ini, Hema berbaring didalam tendanya sendirian, padahal yang lain tidur tiga sampai empat orang satu tenda.
Kalau diikut, Hema sebenarnya juga tak perduli, apa yang akan dibicarakan dengan teman-temannya jika Hema sudah bukan lagi seorang gadis yang akan bersorak gembira saat murid paling tampan disekolah menoleh atau tersenyum padanya.

Lagian Hema justru lebih merindukan para suaminya, semenjak menikah, mereka memastikan kalau Hema tak pernah tidur sendirian. Kalau mereka sibuk sekalipun, pasti ada salah satu yang akan pulang menemani Hema.

Disebelahnya Ada Lian, tapi Mereka dibatasi oleh selembar kain.
Dan tadi Hema juga sudah menegaskan kalau dia ingin tidur sendirian, dan Lian juga tak berkeras ingin menemani Hema karena berpikir Hema serius.

Ish.. Semuanya jadi tak menyenangkan, meminta izin ke sekolah ternyata bukan hal yang tepat. Sekolah hanya membuat Hema makin kelelahan, meski kebosanan yang Hema rasakan memang berkurang. Jadi Hema akan bertahan hingga lulus dan mungkin saja saat itu dia bisa memiliki anak-anak dari mereka.

Hema tersenyum hingga matanya terpejam dan memimpikan dirinya yang diapit ketiga suaminya yang masing-masing mengendong bayi yang seperti kloningan mereka...

******************

(27012018) pyk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top