8. Rasa Iswari
Sepanjang perjalanan menuju klinik terapi Mas Iko, aku dan Mas Danis diam seribu kata. Mas Iko membuka berbagai topik demi memecah keheningan di antara kami. Aku dan Mas Danis menanggapi sebisanya saja. Sulit untuk benar-benar masuk pada setiap topik obrolan yang Mas Iko buka.
Hingga kami sampai di tempat terapi ini, jantungku masih berdebar ketakutan. Setelah satu minggu berjalan dengan damai, Mas Danis kembali memperlihatkan sisi menyeramkan yang dulu tak pernah tampak di depan mataku. Terkadang, jika mendapati kekerasan, kepalaku seperti sakit dengan jantung yang berdebar. Ada sesak dalam dada yang membuatku bernapas dengan tamak seraya menangis demi menenangkan hati.
"Bantu saya turunin Danis ya, Mbak." Mas Iko turun dari kursi kemudi mobilnya, lantas membuka bagasi untuk mengambil kursi roda.
Aku turun dari kursi penumpang depan, lalu membuka kursi penumpang belakang, tempat Mas Danis duduk. Kuulurkan tanganku padanya, tetapi ia hanya bergeming menatapku dengan binar mata yang membuat gugup kembali muncul. Mas Danis tak menerima uluran tanganku. Ia bergeser pelan-pelan sendiri dengan bantuan kedua tangannya. Saat Mas Iko sudah siap dengan kruk dan kursi roda, Mas Danis meminta kruk untuk menopang tubuhnya dan menyuruh Mas Iko membantunya duduk di kursi roda. Mas Danis mengabaikanku. Padahal, aku berdiri siaga di depan dirinya.
Sesi terapi, di mana pun itu, tetap saja membuat Mas Danis mengerang kesakitan. Kami pindah ke taman ini hanya untuk berganti suasana. Soal terapinya, sama saja. Aku meringis menahan ngilu membayangkan bagaimana sakitnya saat Mas Iko meminta Mas Danis melakukan serangkaian latihan kaki.
Aku terus berada di samping Mas Danis saat ia berlatih berdiri dengan alat yang Mas Iko siapkan. Terkadang, Mas Iko juga sedikit keras pada Mas Danis hingga aku tak tega melihatnya. Ingin menegur Mas Iko, tetapi sadar jika semua itu demi kesembuhan Mas Danis.
"Gak kuat, Ko!" Mas Danis jatuh tersungkur setelah berlatih berdiri. Selama beberapa menit, ia menopang tubuhnya dengan tangan yang memegang benda seperti pagar. Mas Iko meminta Mas Danis berlatih berdiri selama yang ia mampu.
"Baru dua menit sepuluh detik, Dan," ucap Mas Iko seraya melihat jam tangannya. "Target gue lo bisa berlatih berdiri sendiri sampai lima menit."
"Pelan-pelan, Mas. Kan semua ada prosesnya," belaku seraya mendekati Mas Danis dan mengusap peluh yang menetes di wajahnya. "Lagian ini di luar ruangan. Panas dan mungkin membuyarkan fokus Mas Danis," lanjutku sebelum mengambil botol minum dan menyodorkan pada Mas Danis.
Mas Iko menghela napas. Ia membereskan benda yang seperti potongan pagar itu, lalu kembali dengan tikar. "Ayo makan siang dulu sambil Danis istirahat. Kakinya diluruskan dan punggungnya tetap harus tegak." Ia menggelar matras tipis, lantas membantu Mas Iko untuk duduk di atasnya. "Bekalnya mana? Katanya, Iswari mau bawa bekal untuk kita piknik di klinik?" Mata Mas Iko menatapku dengan binar penuh tanya.
Aku meringis tak enak hati seraya menggaruk pelipisku yang tak gatal. "Iswa ... tadi kesiangan. Jadi, gak sempat buat bekal," dustaku. "Kita pesan delivery saja ya, Mas." Aku mengambil gawai, lalu membuka aplikasi pesan antar makanan. "Mas Danis mau makan apa?"
Mas Danis menatapku tajam. Ia tak langsung menjawab hingga Mas Iko yang mengusulkan menu nasi padang. "Boleh." Hanya itu tanggapan Mas Danis saat Mas Iko mengusulkan rendang.
"Oke, Is, nasi padang tiga bungkus."
Aku mengangguk lantas mencari restauran nasi padang terdekat. "Nasi padang lauk rendang tiga bungkus," ulangku. "Khusus Mas Danis gak pake daun singkong dan sambalnya sambal merah," lanjutku seraya mengetik di kolom catatan.
"Kamu tahu banget selera Danis, Is." Mas Iko berkomentar seraya tertawa dan membuatku seketika menoleh padanya. Wajahnya menyiratkan takjub dengan gelengan pelan. "Pantes kamu betah ngerawat Danis."
Seketika, aku salah tingkah. Yang kutahu, sejak dulu Mas Danis memang tak menyukai sayur daun singkong. Ia penggemar berat balado, sehingga jika pesan nasi padang, pasti meminta sambal merah balado alih-alih sambal hijau.
Mas Iko hanya tertawa lirih melihatku bergerak kikuk. Ia tak lagi menggodaku dan mengalihkan topik membahas kemajuan terapi Mas Danis. Aku mendengarkan dengan saksama agar bisa mengambil setiap informasi kesehatan Mas Danis sekecil apapun itu.
Selang beberapa waktu, pesanan kami datang. Mas Iko membuka bungkus nasi miliknya lalu mulai menikmati setelah mencuci tangan di keran yang terletak tak jauh dari kami. Aku melihat Mas Danis yang tampak lelah dan tangannya kotor. Agak rumit jika aku dan Mas Iko harus memapah Mas Danis hanya untuk cuci tangan.
"Mas Danis," panggilku takut-takut. Aku tahu ini lancang, tetapi harus melakukan ini agar segalanya lebih efisien. Mas Danis melirikku datar dengan wajah seakan tak acuh padaku. Satu alisnya terangkat menungguku melanjutkan kalimat. "Iswari suapin Mas Danis saja, ya. Tangan Mas kotor dan ... supaya lebih cepat," tukasku canggung.
Mas Danis tak menjawab iya atau tidak. Ia tetap diam dengan mata yang konstan menghunusku. Aku mencoba abai dengan tatapannya, meski hatiku berdebar. Aku harus bersikap tenang dan mati-matian menormalkan degup jantung yang tak bisa kuatur ritmenya.
Aku membuka bungkus nasi Mas Danis setelah mencuci tangan. Mulut Mas Danis terbuka setiap tanganku mengulurkan suapan demi suapan. Mas Iko bertanya mengapa kami harus suap-suapan dan percaya saja saat kujawab agar aku dan Mas Iko tak perlu repot memapah Mas Danis untuk cuci tangan.
Setelah makan siang Mas Danis habis, kini giliranku menikmati jatahku. Mas Iko mengambil alih tugasku memberi Mas Danis obat. Aku makan dengan lahap karena rindu juga dengan cita rasa rendang yang katanya mendunia. Sangat sulit bagiku untuk menemukan masakan Indonesia saat tinggal di Jepang. Sekalinya ingin makan sate kambing, aku mengeluarkan Yen setara satu juta Rupiah untuk satu porsi sate. Jadi, selama menjadi istri Jiro, aku harus menahan rinduku pada Indonesia demi menyimpan pundi-pundi untuk masa sekarang ini.
"Iswari." Mas Danis tiba-tiba memanggilku.
Aku terkejut dan seketika menoleh padanya. Sambil mengunyah, aku menaikkan satu alisku dan memasang wajah tanya. Tubuhku menegang sesaat, kala tangan Mas Danis terulur mengambil sebutir nasi yang menempel di ujung bibirku. Aku tersenyum malu dan menunduk seraya mengucap terima kasih.
"Pelan-pelan kalau makan," perintahnya datar. Namun, entah mengapa kali ini terdengar lembut.
Aku mendongak dan tersenyum canggung padanya. Ini pertama kali Mas Danis perhatian padaku, setelah interaksi kami selama ini. Dadaku seperti penuh dengan ledakan cinta dan kerinduan akan masa-masa indah kami dulu. Mataku memanas, meski tak boleh kalah oleh sisi melankolisku. Belum tentu Mas Danis masih mencintaiku. Aku harus sadar diri jika pria ini pernah memiliki istri dan pasti sudah melalui hal-hal indah dengan wanita itu yang perlahan menghapus namaku di hatinya.
Sudah pukul tujuh petang saat mobil Mas Iko sampai di kediaman Mas Danis. Kami semua lelah. Berlatih di alam terbuka nyatanya menguras lebih banyak energi. Apalagi, Mas Danis benar-benar berlatih keras sampai aku memohon pada Mas Iko untuk menyudahi sesi latihan hari ini. Aku tak tega melihat bagaimana Mas Danis mengerang menahan sakit seraya tetap berjuang melakukan apapun yang Mas Iko pinta.
Mas Danis langsung terkulai tak berdaya di atas ranjang, setelah aku dan Mas Iko membantunya masuk kamar. Ia melanjutkan lelapnya sejak perjalanan pulang. Wajar saja, ia menghabiskan banyak energi hari ini.
Mas Iko pamit pulang padaku dan ibu Mas Danis. Saat ibu Mas Danis mengantar Mas Iko sampai gerbang, aku melepas sandal sepatu yang masih Mas Danis kenakan. Kubentangkan selimut di atas tubuh Mas Danis agar ia bisa tidur dengan nyenyak. Tanpa terasa, aku duduk di tepi ranjang dan menatap wajahnya yang kentara lelah. Pria itu berjuang keras demi kesembuhannya.
Tanganku terulur membelai rambutnya dengan tetes haru yang jatuh membasahi wajah Mas Danis. "Lekas sembuh, Mas. Iswa harap, kita bisa merajut lagi bahagia setelah semua kepedihan yang menimpa kita." Aku segera beranjak dari duduk dan bergegas pulang agar tidur Mas Danis tak terganggu oleh isakku yang pecah lagi.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top