5. Hari Pertama
Aku sadar, bahwa tidak ada manusia yang tercipta sempurna. Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan. Entah sengaja atau tidak. Begitu pun aku. Tiga tahun lalu, aku memutuskan sesuatu yang akhirnya merusak hidup dan jiwaku. Hingga saat ini, bayangan rasa sakit itu masih saja menghantui. Namun, aku percaya bahwa Tuhan memberi hamba-Nya kesempatan untuk bertaubat. Setidaknya, untuk memaafkan diri sendiri dan berusaha memperbaiki apa yang rusak.
Saat ini, langkah pertamaku adalah memperbaiki hatiku yang remuk redam, juga hubunganku dengan Mas Danis. Aku tak berharap muluk pada hubungan kami. Bagiku, kembali merajut hubungan baik dan saling mengisi semangat, sudah cukup. Aku memang mencintainya dan berharap ada kesempatan kedua untuk kami bersama. Mengulang lagi segala keindahan yang pernah tercipta di antara kami berdua. Namun, aku sadar diri jika status dan keadaanku saat ini, belum tentu diterima oleh keluarganya juga hatinya. Aku sadar dan harus bersabar.
Sudah pukul enam pagi dan makanan untuk Hiro juga sudah matang. Aku tak pernah merasa seantusias ini usai bangun tidur. Mataku bahkan sulit terpejam semalam, akibat memikirkan bagaimana caranya agar bisa berhasil merawat Mas Danis nantinya. Aku bukan orang yang memiliki ilmu merawat orang sakit, tetapi aku bisa mempelajari beberapa hal dengan cepat. Sekadar menakar obat minum yang sudah diatur penggunaannya oleh dokter, aku sih bisa.
Aku masih berdiri di depan cermin dan memastikan penampilanku sudah cukup baik. Aku mengambil tas dan bersiap berangkat ke rumah Mas Danis. Saat membuka pintu kamar, aku mendapati Ibu tengah membuat teh hangat di dapur. Aku menghampiri beliau dan pamit.
Ibu masih kurang sreg sama pekerjaan kamu. Gaji gak seberapa dan gak ada jenjang karirnya."
Aku hanya tersenyum getir menanggapi gerutuan Ibu sepagi ini. "Titip Hiro ya, Bu. Iswari pulang jam delapan petang, setelah jadwal minum obat Mas Danis."
Ibuku tak menjawab. Wajahnya bahkan melengos dan tak menatap kepergianku di hari pertama kerja. Tak apa, aku tak sakit hati dengan sikapnya ini. Ibu hanya khawatir dengan hidupku bersama Jiro paska perceraian kami. Padahal, lepas dari siksaan sudah lebih dari cukup bagiku.
Aku memasuki kediaman Mas Danis saat ibunya membukakan pintu utama mereka. Wajahnya tak tersenyum saat menyambutku. Beda sekali dengan gesturnya yang dulu, setiap aku mengunjungi kediaman ini. Tentu, sebelum keadaan membuatku harus memutuskan untuk menikah dengan Jiro.
"Danis sedang mandi. Kamu bisa langsung ke kamarnya dan siapkan baju serta sarapannya. Dia harus berjemur sekitar 90 menit setiap hari." Wanita itu berbalik dan meninggalkanku menuju dapur. "Kamarnya masih sama dengan yang dulu. Saya harus menyiapkan sarapan Danis agar kamu bisa segera menyuapi dia."
"Kenapa Mas Danis harus disuapi?" Ibu Mas Danis menoleh padaku dengan lirikan sinis. "Maksud Iswa, bukankah tangannya bisa bergerak dengan baik? Jadi, mengapa harus disuapi?"
"Bagi Danis, jangankan makan, untuk melanjutkan hidup saja dia tidak berselera." Suara ibu Mas Danis terdengar ketus. "Kehilangan wanita yang dia cintai itu menyesakkan hatinya, apalagi akibat kematian yang mendadak seperti kemarin."
Aku menelan ludahku yang terasa cekat. Ada sakit yang terasa dalam ulu hati. Rasanya, seperti diremas oleh sesuatu yang tak kasat mata. Menyesakkan dan perih. Namun, aku tetap harus tersenyum dan menerima kenyataan bahwa roda kehidupan selalu berputar. Mas Danis bisa saja sudah tak lagi mencintaiku. Namun, hal itu tak akan menyurutkan keinginanku untuk kembali berada di sisinya. Entah sebagai teman atau hanya perawat yang membantu di masa pemulihannya.
"Iswa ... ijin ke kamar Mas Danis ya, Bu." Aku mengangguk hormat, lantas melangkah menuju ruangan yang dulu selalu kumasuki saat membangunkan Mas Danis untuk mengantarku ke tempat kuliah.
Banyak hal tentang masa lalu yang tiba-tiba melintasi kepalaku. Kamar ini berubah drastis sejak kami memutuskan hubungan tiga tahun lalu. Ranjang Mas Danis bukan lagi ukuran single. Lemarinya pun berubah menjadi lebih besar dengan tiga pintu. Ada cermin rias, padahal dulu Mas Danis hanya memiliki cermin gantung saja.
Mataku memanas padahal seharusnya aku tak boleh cemburu. Aku harus menerima kenyataan jika di kamar ini, Mas Danis pasti pernah bercinta dengan mendiang istrinya. Di kamar ini, Mas Danis pernah tertawa penuh canda dan menata masa depan indah bersama wanita yang menggantikan posisiku di hatinya. Aku harus tahu diri. Jangan cemburu dan tak terima dengan fakta tentang pernikahan Mas Danis. Bagaimanapun, akulah yang membuat kekacauan ini.
Aku berbalik saat suara pintu kamar mandi terdengar. Kamar mandi memang berada tepat di samping kamar Mas Danis. Tubuhku membeku sesaat kala mendapati Mas Danis menatapku dengan dua kruk yang menopang tubuhnya. Ia terdiam menatapku dan kami terperangkap dalam tatapan mata yang memaku.
"Se—selamat pagi, Mas," sapaku gugup saat menyadari bahwa Mas Danis hanya menggunakan handuk yang membelit pinggang hingga lututnya. "Iswa—belum siapkan baju Mas. Mohon tunggu sebentar." Aku yang masih dilanda canggung, berbalik dan bergerak kikuk membuka lemari itu. Aku mengambil kaus dan celana training juga ... "Apa Mas Danis sudah menggunakan celana dalam?" tanyaku bergumam.
"Buat apa repot mengurusiku? Aku tidak kaya dan tidak bisa membuatmu bahagia. Pulanglah, aku bisa mengurus diriku sendiri." Suara itu terdengar dingin. Dingin sekali hingga tubuhku meremang. Sialnya, rindu ini mencuat tanpa bisa kucegah.
Jika tadi mataku memanas membayangkan Mas Danis dan istrinya, kini laju air mata sudah tak bisa kutahan lagi. "Iswa—ingin membantu Mas."
"Aku tidak perlu bantuanmu, Iswari. Aku tidak butuh belas kasihanmu."
Aku mengusap bulir yang membasahi wajah dan berbalik menghadapnya seraya tersenyum. "Ayo berpakaian. Setelah ini kita berjemur. Bagaimana jika jalan-jalan keliling gang untuk menghirup udara pagi? Jakarta memang penuh dengan polusi, tapi setidaknya masih ada sedikit lebih banyak oksigen dari pada di dalam rumah saja." Aku berusaha mengabaikan penolakan Mas Danis padaku. Aku tetap membawa baju itu untuk ia kenakan. "Mas Danis mau duduk di kursi roda atau ... ranjang?"
"Pergi, Iswari. Pergilah kamu dari hidupku!" Mas Danis membentak. Ada kilatan amarah yang terpancar dari manik matanya. "Jangan pernah kembali jika sudah memutuskan untuk pergi."
"Iswari kembali untuk Mas Danis." Tanpa bisa kutahan lagi, isak tangis pecah begitu saja. "Iswari ingin bersama Mas Danis. Iswa mohon, jangan begini."
"Aku tidak menginginkanmu lagi. Pergilah!"
Aku menggeleng tegas. "Tidak! Iswa tidak akan meninggalkan Mas Danis lagi!" Aku mencoba abai dengan perasaan sakit hati dan tetap melangkah hingga kini kami berhadapan. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana dadanya tampak naik turun dengan capat. Napas Mas Danis terasa memburu. Aku mengulurkan tangan dan meraih lengannya. "Ayo Iswa bantu ganti baju."
"Jangan ganggu aku, Iswari!"
Entah bagaimana, tubuhku terhuyung ke belakang dengan keras dan punggungku menabrak pintu lemari kayu jati itu. Aku terkejut dengan benturan ini. Tubuhku seketika gemetar dan isakku semakin pecah. "Jangan—jangan pukul Iswari. Iswa gak salah. Jangan pukul Iswari." Aku meracau dengan pikiran linglung. Aku bingung, dimana aku sekarang. Kyoto atau Jakarta? Bukankah tak ada yang akan menyakitiku di Jakarta? Namun mengapa tremor tak juga redam dan tangisku semakin pecah?
Aku memburu sebanyak mungkin oksigen agar tubuhku tenang. Tak mengapa jika air mata semakin deras membasahi wajah. Mas Danis menatapku dengan kernyitan dan keterkejutan di wajahnya. "Mas Danis jangan pukul Iswa. Tolong—tolong jangan sakiti Iswa." Aku meracau ditengah upayaku mengendalikan ketakutan ini. "Iswa butuh Mas Danis. Iswa butuh Mas Danis untuk menghilangkan sakit Iswa, Mas." Tangis ini semakin menjadi. "Iswa butuh Mas Danis agar Iswa sadar bahwa Iswa bisa tegar dan melupakan semua sakit ini."
Tubuhku masih terduduk lemas di depan lemari. Aku mendongak dan menatap Mas Danis yang masih berdiri dengan dua kruk itu. "Tolong bantu Iswari, Mas. Tolong ..."
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top