4. Keputusan Iswari
"Kamu itu gila atau kesurupan apa sih?" Ibu mengadiliku malam ini. "Kalau memang merasa butuh kerja, ya melamar lagi saja di pabrik, bukan jadi perawat orang sakit!"
Aku duduk menunduk di kursi ruang tamu. Sore tadi, seorang tetangga datang mengirimi Ibu mangga hasil panen pohon rumahnya. Ia bercerita tentang percakapanku bersama ibu Mas Danis di tukang sayur keliling. Emosi Ibu meledak dan mendiamkanku hingga malam. Namun, Ibu yang tak bisa menahan ganjalan di hati lama-lama, mendudukanku dan mengadiliku saat ini.
"Sejahat-jahatnya Jiro, dia pasti masih kirim uang, kan? Emangnya tidak cukup? Kalau tidak cukup, Ibu gak apa jaga Hiro dan kamu bekerja jadi staf pabrik lagi. Usiamu belum tiga puluh, Ibu rasa masih bisa mengejar karir. Jangan bodoh dengan membuang waktu merawat Danis. Dia itu lumpuh dan tidak tahu apa bisa jalan lagi atau tidak."
"Iswa—hanya ingin berbuat baik, Bu."
"Berbuat baik gimana!? Kalau kamu mau berbuat baik, ya perbaiki saja pernikahanmu. Sudah, kalau nanti orang tua Danis memintamu merawat anaknya, akan Ibu tolak."
Jika sudah begini, aku hanya bisa menghela napas pasrah. Aku tak bicara apapun lagi. Rasanya percuma jika terus mendebat Ibu. Jadi, lebih baik beranjak dari tempat ini dan tertidur di kamar bersama Hiro.
Gawaiku bergetar. Ada panggilan masuk dengan nomor Jepang. Entah Jiro atau Hikari. Siapapun itu, pastinya aku harus menyiapkan hati untuk melakukan konfrontasi. Aku mengambil benda pipih canggih itu dari nakas samping ranjang, lantas beranjak keluar kamar.
"Kau pelacur setan! Kau bawa keponakanku pergi jauh dan meninggalkan adikku di sini. Dia mabuk lagi dan meracau tidak jelas. Aku akan melakukan perhitungan denganmu."
Hikari tak pernah menyukaiku, tetapi selalu menuntutku untuk terus berada di samping adiknya. Wanita itu tak pernah bisa kupahami pola pikirnya. Jika Hikari sedang marah begini, hanya diam yang bisa menyelesaikan masalah. Bukannya apa, aku sudah terlampau lelah dengan sifat-sifat keluarga mereka. Meski mereka pekerja keras dan memiliki karir cemerlang, nyatanya tak ada bahagia yang melingkupi.
"Jiro tidak akan mengeluarkan sedikitpun tunjangan untukmu, sialan! Kami akan datang padamu suatu hari nanti dan mengambil Hiro."
"Saya—tidak mengharapkan apapun dari Anda atau Jiro. Saya—tidak akan peduli lagi dengan apapun yang terjadi pada Jiro." Tanganku yang sudah gemetar akibat emosi, menekan tombol merah dan memutus sambungan. Ponsel ini kunonaktifkan agar tak ada lagi gangguan dari emosi Hikari. Napasku bahkan terasa sesak hingga harus menarik banyak oksigen agar merasa jika aku masih bisa bertahan hidup ditengah kerunyaman ini.
Saat aku kembali ke kamar dan merebahkan diri di ranjang, air mataku luruh tanpa bisa kucegah. Aku sakit. Hatiku pedih dan jiwaku merintih akibat apa yang Jiro berikan padaku selama kami menikah. Semua orang memandangku penuh benci dan menganggap aku matrealistis. Mereka hanya melihat keindahan apa yang kudapat dari Jiro, tetapi buta pada kesakitan yang menghujaniku setiap hari.
Aku mencintai diriku sendiri. Aku tak peduli tentang apapun yang orang lain pikir. Saat ini, aku ingin memperbaiki semua yang sudah terlanjur rusak. Jiwaku, hatiku, dan ... hubunganku dengan Mas Danis. Andai pun kami memang tak bisa bersama, paling tidak, aku ingin menebus kesalahanku dan mengukir satu senyum di wajahnya. Hatiku selalu berdenyut nyeri setiap memikirkan Mas Danis.
Kenangan kami terlalu indah untuk dilupakan. Sikapnya padaku terlalu manis untuk kubalas dengan rasa sakit. Dulu, kondisi keluarga yang terjepit membuatku terpaksa menerima pinangan Jiro yang saat itu atasanku di pabrik elektronik. Ia berkata tertarik padaku dan ingin menikahiku. Jiro yang fasih berbahasa Indonesia, menemui Ibu dan menawarkan solusi masalah finansial kami jika aku mau menjadi istrinya.
Wajah Ibu yang saat itu selalu tampak muram, seketika cerah dan memaksaku untuk menerima pinangan Jiro. Usia Jiro terpaut 20 tahun denganku, dengan status duda tanpa anak, tetap tampak tampan dimata Ibu. Ibu memohon padaku dengan tangisan dan harapan tinggi terhadap solusi ini. Aku yang tahu harus bagaimana, akhirnya hanya bisa mengiyakan permintaan Ibu dan berharap keputusanku sudah tepat. Namun, ternyata takdir memberiku pelajaran bahwa tidak ada hidup semanis kisah Cinderella.
Daniswara. Bayangan tentang sosok itu dan bagaimana senyumnya di masa lalu, membuat mataku enggan terpejam hingga dini hari. Dalam hening yang melingkupi, aku berdoa agar Tuhan memberiku kesempatan satu kali lagi untuk mengulang kisahku bersama Mas Danis. Sekali lagi, merasakan cinta yang hadir diantara kami.
****
Ketukan pintu kamar membuatku bergegas ganti baju dan menguncir rambut. Aku membuka pintu dan mendapati Ibu berdiri dengan wajah masam.
"Ada orang tuanya Danis." Mata Ibu menyorot keengganan menerima tamu di sore hari ini. Sudah tiga hari sejak aku bertemu ibu Mas Danis di tukang sayur. Sejak itu, aku menolak jika Ibu memintaku berbelanja lagi. Jadi, Isyana yang menengahi dengan membujuk Ibu berbelanja sendiri seraya mengajak Hiro bermain dan berkenalan dengan anak seusianya.
Keningku menyernyit, tetapi tak menyuarakan tanyaku pada Ibu. Aku berkaca sekali lagi dan memastikan sudah rapi usai mandi. Sejak kembali ke rumah ini, Ibu selalu mengusai Hiro. Jadi, aku memiliki lebih banyak waktu untuk mengurus diriku sendiri. Aku melangkah ke ruang tamu dan tersenyum saat kedua orang tua Mas Danis menatapku.
"Selamat sore, Om, Tante," sapaku seraya duduk di salah satu kursi. "Ada yang bisa Iswari bantu?"
Mereka tak langsung menjawab sapaku. Hening melingkupi kami selama beberapa saat. Ibu masih berdiri di belakangku, seraya menggendong Hiro. Aku bisa melihat ada keraguan di wajah ibu Mas Danis. Aku bingung mengapa mereka tak bicara apapun padaku saat ini.
"Iswari." Suara ayah Mas Danis memecah hening dan susana yang terasa canggung ini. "Kami ke sini untuk meminta tolong padamu. Tiga hari lalu, kamu menawarkan bantuan merawat Danis. Apakah tawaran itu masih berlaku saat ini?"
"Tidak," jawab Ibu dari belakangku. "Iswari mau meniti karirnya lagi. Jadi, dia akan bekerja di pabrik atau kantor manapun sesuai bidangnya."
"Bu," selaku lembut. Aku menatap wajah orangtua Mas Danis dan mendapati ibunya tampak menahan emosi. "Saya memang ingin bekerja lagi. Saya harus menghidupi Hiro dan menata kembali hidup saya paskaperceraian ini. Jadi, tawaran saya bekerja menjadi perawat Mas Danis tentu masih berlaku."
"Iswari!" Ibu menegurku terang-terangan.
Ayah Mas Danis tampak bingung. "Tapi ibu kamu sepertinya kurang setuju."
"Jelas tidak setuju, Pak. Iswari itu sarjana ekonomi. Harusnya dia hidup dengan banyak uang, bukan dengan orang sakit."
"Ibu benar," lanjutku dengan senyum simpul. "Saya sarjana ekonomi dan selayaknya hidup dengan uang. Jadi, berapapun yang Om dan Tante tawarkan, asal di atas penghasilan perawat sebelumnya, saya terima."
"Sekalinya matre memang matre, Yah. Sudah, kita ke yayasan lagi saja cari perawat lain lagi." Suara ibu Mas Danis terdengar kecewa dan sinis. "Kita masih butuh banyak biaya untuk pengobatan Danis."
"Bu." Tangan ayah Mas Danis tampak menggenggam istrinya. "Kita dengarkan dulu saja permintaan Iswari." Kini, mata pria yang kuharap menjadi mertuaku, mengarah padaku. "Bisa kita bicara tentang gaji dan tugas perawat Danis?"
Aku mengangguk. Jantungku kini berdegup kencang dengan antusiasme yang meledak di sabunari. Ibu mencolek pundakku kencang. Aku tak peduli sekalipun Ibu memarahiku atas keputusanku yang ini. Aku akan merawat Mas Danis. "Boleh saya ke rumah Om dan Tante untuk bicara tentang tugas dan penghasilan saya? Sekaligus ... melihat kondisi Mas Danis agar saya bisa menerka berapa harga yang pantas atas pekerjaan saya nanti."
Ayah Mas Danis mengangguk setuju sedang ibu Mas Danis mencebik sinis. Aku tak peduli. Yang jelas, sekarang aku beranjak dari duduk dan mengikuti langkah orangtua Mas Danis menuju kediaman mereka.
Tanganku dingin dan tubuhku terasa menggigil. Padahal, tak ada salju di Jakarta. Tepat ketika pintu utama kediaman Mas Danis dibuka, tubuhku meremang akibat gugup dan antusias yang melebur bersamaan.
Ayah Mas Danis memulai bincang kami dengan membuka kondisi Mas Danis usai koma selama satu bulan lebih. Juga, bagaimana para perawat itu gagal atau tidak betah bekerja sama dengan Mas Danis. Beliau juga membeberkan berapa biaya yang dikeluarkan untuk menggaji para perawat serta tugas-tugas mereka.
"Jadi, bagaimana? Apa Iswari masih mau membantu kami? Berapa yang Iswari minta?"
Belum sempat lidahku mengeluarkan jawaban, Mas Danis datang dengan kursi rodanya. Semua yang ingin kuucap seketika hilang. Fokusku hanya dia yang kini bergerak maju dengan roda mendekatiku. Senyumku refleks terukir dengan mata yang terasa memanas. "Mas Danis," panggilku lirih dengan tubuh yang terasa tak bertulang.
Pria itu menatapku lamat dengan binar datar. Kami saling memandang hingga air mataku luruh satu per satu. Sedang Mas Danis, masih terdiam di atas kursi rodanya. "Sedang apa kamu di sini? Pulang sekarang!" Suaranya sinis dengan wajah keras dan dingin bagai gunung es yang siap menghancurkanku kapan saja.
Senyumku lenyap dan tangisku semakin deras. Aku terisak selama beberapa saat hingga ibu Mas Danis terdengar bicara meremehkan.
"Baru begitu saja dia sudah gak kuat, Yah. Sudah batalkan saja."
Aku menggeleng tegas, lalu menoleh pada ayah Mas Danis. "Saya ... menerima berapapun yang Om tawarkan dan apapun tugas yang diminta." Dengan segenap keberanian, aku beranjak dari kursi tamu dan berjalan menuju Mas Danis yang menatapku penuh benci. "Iswa kembali, Mas. Kembali untuk Mas Danis."
"Saya tidak butuh kamu." Wajah Mas Danis masih keras. Ia membuang muka dan membuatku melihat bekas jahitan di kulit kepala tepat di atas telinganya.
Tubuhku sedikit gemetar membayangkan rasa sakit akibat kecelakaan naas itu. Aku memajukan wajahku dan berbisik lirih ditelinganya yang memerah. "Iswa butuh Mas Danis untuk membayar hutang Iswari. Semoga mas tidak melupakan rahasia di antara kita."
Tubuh emosi Mas Danis seketika menegang. Aku tersenyum lega mendapati ia masih mengingat hal kecil di antara kami. Meski tubuhnya mematung kaku dan tak menoleh padaku, tetapi diamnya membuatku yakin jika masih ada sedikit saja harapan di antara kami.
"Sampai bertemu besok, Mas." Aku beranjak dari hadapan Mas Danis dan pamit pada orang tuanya. Kami sepakat jika mulai besok aku akan bekerja sebagai perawat Mas Danis dengan nominal pendapatan yang tak kupedulikan sama sekali.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top