3. Impulsif

"Is, Ibu mau main sama Hiro. Kamu yang belanja ke Pakde Sayur di pertigaan gang itu, ya." Ibu menggendong Hiro, lantas meletakkan anakku di atas karpet depan tivi. Sejak melihat wajah Hiro semalam, Ibu memang tampak bahagia. Aku tahu, tak ada nenek yang tak jatuh cinta pada cucu pertamanya. Termasuk Ibu pada Hiro.

Aku mengangsurkan susu dan sup yang baru selesai kumasak pada Ibu. Tadi saat di dapur, Ibu berkata ingin menyuapi Hiro dan mengurus anak itu. Sedang aku, diperintahkan untuk memikirkan pernikahanku dan memperbaiki hubunganku dengan Jiro. "Iswa malas bertemu sama ibu-ibu, Bu. Malas ditanya ini itu kalau ketemu di tukang sayur."

Aku masih ingat dan hapal betul bagaimana sifat para ibu rumah tangga di kawasan tempat tinggalku. Saat memutuskan menerima pinangan Jiro, mereka melabeliku dengan predikat perempuan matrealistis. Mereka tahu, aku menikah dengan Jiro tiga bulan setelah beredar kabar tentang putusnya hubunganku dengan DanIswari.

Sekarang, aku sudah menjadi janda. Aku tidak tahu apakah mereka sudah mencium berita ini atau tidak. Namun, aku yakin dari bagaimana aku kembali tanpa suami, mereka pasti membuat persepsi sendiri tentang rumah tanggaku.

"Mau menghindar bagaimanapun, orang-orang komplek sini sudah tau tentang kepulanganmu. Tadi pagi Ibu sudah jalan-jalan pagi sambil gendong Hiro. Kami malah menyapa kucing Bu Grace dan bermain dengan burung-burung dara Pak Bahri. Jadi, kamu bersiap beli sayur sekarang. Lagipula, Ibu gak tahu anakmu ini makan apa. Jiro pasti memberikan nutrisi dan bahan makanan terbaik untuk kalian, kan? Jadi, hanya kamu yang tahu makanan mana yang baik untuk Hiro."

Lirikan mata Ibu padaku yang tajam dengan satu alis terangkat, membuatku mau tak mau mengangguk seraya menghela napas panjang. Sejak dulu, sifat Ibu yang keras dan sulit didebat, membuatku dan Isyana terlatih untuk terus mengalah. Bagaimanapun sifat Ibu, kami tak pernah berani membantah apalagi melawan. Melihat Ibu menderita sejak Ayah sakit dan meninggalkan setumpuk hutang, membuatku dan Isyana berjanji untuk tidak menyakiti hati Ibu.

Terkecuali saat ini, ketika Ibu memintaku rujuk dengan Jiro. Aku tak bisa menuruti pinta Ibu yang satu ini. Urusan hubunganku dengan Jiro, aku memiliki pendirianku sendiri. Aku tak boleh lagi menjadi lemah meski sebenarnya tubuh dan jiwaku tak lagi sekuat dulu.

"Iswari! Ngelamun saja. Sana pergi belanja! Keburu habis diborong orang." Sentakkan Ibu membuatku tersadar.

Aku melangkah menuju kamar dan mengambil dompet. Tadi pagi, Isyana memberikan beberapa lembar ratusan ribu Rupiah untuk kugunakan. Aku belum sempat menukar uang. Semua lembaran yang ada di dalam dompetku, tak bisa digunakan untuk membeli barang di toko kawasan ini.

Ketika aku berjalan menuju kerumunan ibu-ibu yang sibuk memilah-milah bahan makanan, langkahku terhenti tepat di depan kediaman Mas Danis. Aku menoleh pada suara bentakan Mas Danis dan mendapati pria itu tengah menyentak mangkuk bubur yang perawatnya pegang. Napasku seperti hilang sesaat, saat netraku menangkap tubuh Mas Danis yang duduk di atas kursi roda. Kepalanya plontos dan tubuhnya lebih kurus dari yang kuingat.

"Bapak harus makan, karena sudah waktunya minum obat." Perawat itu mendebat Mas Danis. Kulihat, wajahnya seperti menahan emosi. "Sebentar lagi terapis Bapak datang dan saya pasti kena marah karena Bapak belum juga makan dan meminum obat."

"Pergi!" Mas Danis membentak wanita itu lagi dengan tangan yang menunjuk segala arah. Entah mengapa hatiku berdenyut nyeri melihat kondisi pria yang kucintai kini berubah drastis. Tak ada lagi senyum teduh dari wajahnya yang dulu selalu berhasil menenangkanku. Tak ada lagi sikap lembut dan manis yang selalu ia tampakkan. Juga, tak ada lagi tubuh tegap dan kekar yang dulu selalu menjadi sandaranku kala lelah. Kemana Mas Danisku? Kemana Mas Danis yang kucintai hingga saat ini?

Aku tetap berdiri mematung dengan mata yang konstan menatap padanya. Wajah Mas Danis merah padam. Kentara sekali ia tengah menahan kekesalan. Aku tak tahu, apa yang membuatnya marah sepagi ini.

Sekarang, tanganku gemetar dan seperti tak memiliki tenaga bahkan hanya untuk tetap membawa dompet. Mata Mas Danis mengarah padaku. Netra kami saling beradu dari jarak beberapa meter. Lidahku kelu dan mataku memanas melihat tubuhnya yang tampak tak berdaya di atas kursi roda. Napas pria itu bahkan terlihat memburu. Aku tak tahu emosi apa yang berkecamuk di dalam jiwanya kini. ada dorongan dalam diri yang memintaku maju mendekatinya dan menyapa. Bahkan jika mungkin, aku ingin memeluk.

Rasanya nyeri dalam hati, saat Mas Danis hanya menatapku dengan binar mata yang tak kupahami artinya, lalu membuang muka. Kedua tangannya menggerakkan roda dan kursi itu berputar memasuki kediamannya. Ia meninggalkanku di sini tanpa satu pun sapa. Ia membenciku. Aku tahu bahwa ia membenciku sejak hubungan kami berakhir dan aku menghinanya dengan menerima pinangan pria lain.

Aku melanjutkan langkahku menuju kerumunan ibu-ibu di penjual sayur keliling. Aku tersenyum saat mereka menoleh padaku dengan berbagai macam keterkejutan di wajah mereka. Aku berdeham dan mencoba fokus pada sayur mayur dan aneka bahan makanan lain yang bisa kubeli untuk Hiro. Pakde Sayur menyapaku yang hanya kubalas dengan senyuman dan anggukan. Aku mengambil beberapa bahan makanan dengan cepat dan meminta penjaja sayur keliling itu menghitung belanjaanku.

"Iswari, kamu kapan pulang?" Suara seseorang menyapaku. Tatapan mata perempuan itu padaku, sarat akan kecurigaan dan rasa ingin tahu.

"Semalam, Bu." Aku menjawab seadanya dan mengangguk sopan. Sepertinya, memalingkan wajah dan berpura fokus pada kue-kue yang dibawa penjaja sayur keliling ini bisa meredam rasa penasaran orang-orang sini terhadap hidupku.

Antrian hitung belanja membuatku harus tertahan di antara kerumunan kecil para wanita berdaster ini. Ada hal yang membuatku terpaku. Obrolan para ibu-ibu tentang Mas Danis yang kini bersifat tempramental paskakecelakaan.

"Danis itu sudah berubah sejak menikah. Kalian itu tidak peka saja."

"Berubah gimana? Waktu menikah sama Almarhumah, mereka itu rukun dan harmonis. Mantan kekasih Danis mah kalah. Almarhumah itu lembut, rajin, sederhana, cantik, dan muda lagi. Kalau tidak salah masih 20 tahun, kan, saat menikah dengan Danis?"

Wanita dan kata-katanya yang meluncur begitu saja tanpa melihat tempat dan waktu. Si Mantan Kekasih Danis ini sedang berdiri di antara mereka, tetapi tak ada sungkan ketika membicarakanku.

"Selain itu, Almarhumah juga menerima Danis apa adanya. Meski kabarnya dijodohkan, Almarhumah mencintai Danis yang pria biasa. Jadi, saya rasa wajar kalau Danis sekarang berubah emosian. Siapa sih yang tidak terpukul ditinggal wanita yang dicinta?"

"Tidak," sangkal wanita berdaster hijau yang tadi mengatakan jika Mas Danis berubah sejak menikah. "Saya melihat memang Danis sudah tampak berubah sejak menikah. Bahkan, sejak ditinggal mantan pacarnya yang ninggalin dia demi Bos Jepang Kaya."

Darahku mulai memanas. Sebenarnya, aku tak masalah jika mereka memang suka membicarakanku. Namun, tolonglah jangan tepat di depan wajahku! Apalagi, menyalahkanku terkait perubahan sikap Mas Danis. Aku tahu aku pernah membuat pria itu kecewa, hanya saja saat itu aku benar-benar tak memiliki pilihan lain.

"Shhhh ... ada ibunya Danis datang. Ganti topik, Jeng."

Netraku melirik sosok wanita yang dulu bersikap baik padaku. Ia mendukung hubungan kami dan menganggapku anak sendiri. Sayang, sejak hubunganku dengan Mas Danis kandas, sikapnya berubah tajam. Kini, wanita itu menatapku dengan wajah seakan enggan bertemu dan ... ketus.

"Tumben, Bu, datang agak siang. Ikan salmon pesanan Ibu untuk Mas Danis sudah saya bawakan." Pria tua penjaja sayur ini menyapa ibu Mas Danis.

"Iya, Pakde. Perawat Danis minta mundur lagi. Saya harus membujuk dia supaya mau lebih lama membantu saya merawat Danis. Kasihan Danis, dua kali ditinggal wanita yang dia cinta. Satunya karena takdir, satunya karena nasib."

Tenggorokanku seketika terasa cekat. Ibu-ibu di kerumunan ini bahkan tutup mulut semua dan saling melirik, juga menatap padaku. Mungkin ini salah satu alasan mengapa Ibu menentangku kembali pulang. Hukuman sosial memang sulit dihadapi, meski waktu sudah bergulir cukup lama.

"Terus gimana itu perawatnya? Mau, kan, tetap bekerja sama Ibu?" Pakde Sayur terdengar prihatin dengan curahan hati ibu Mas Danis.

Kulihat, ibu Mas Danis mengedikkan bahu. "Tetap minta mundur. Saya mau cari perawat baru lagi." Wajah wanita itu tampak lelah. Aku yakin, ibu Mas Danis pasti melewati masa-masa sulit akibat kecelakaan itu. Apalagi, jika benar ucapan ibu-ibu tadi jika Mas Danis berubah tempramental.

"Kalau Ibu berkenan, saya mau melamar jadi perawat Mas Danis."

Mungkin, ini adalah definisi dari masokhis. Namun, entah mengapa hatiku mendorong lidah untuk mengucapkan tawaran itu secara impulsif. Semua mata kini tertuju padaku. Aku meliarkan bola mata ke sekitar dan mendapati banyak keterkejutan di wajah para ibu di kerumunan ini.

"Kamu gak salah ngomong, Is? Ibumu bisa menghina saya habis-habisan kalau kamu membantu saya merawat Danis. Masa iya, istri direktur perusahaan elektronik kerja jadi perawat pria cacat." Ibu Mas Danis menyeringai penuh benci. "Lagian, Danis juga belum tentu mau dirawat sama kamu. Kondisi sehat saja kamu sakiti dia, kok pas lumpuh gini. Bisa cepat mati anak saya."

Aku mengulum senyum lemah. Bagi mereka, penjahat sepertiku mungkin pantas mendapatkan penolakkan seperti ini. "Itu jika Ibu berkenan. Jika tidak, saya tidak apa-apa. Saya tetap mendoakan agar Mas Danis cepat sembuh. Satu lagi, mantan suami saya di Jepang dan kami sudah berpisah."

Jika tadi para ibu berdaster itu terkejut mendengar penawaranku bekerja merawat Mas Danis, kini kulihat wajah mereka tercengang dengan pandangan yang beraneka ragam padaku.

Pakde Sayur menyebutkan nominal jumlah belanjaku, lalu kubayar tanpa tertarik mengambil kembalian. "Saya permisi," pamitku seraya melangkah cepat meninggalkan kerumunan itu.

*****


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top