25. Bimbang
"Pak Vino," panggilku saat berjalan menuju ruang tata usaha dan melihat sosoknya tengah melangkah menuju kantor guru. Vino si guru favorit para ibu wali murid ini menoleh padaku dan tersenyum manis. "Bisa bicara sebentar?"
"Tentu. Ada apa Bu Iswari?" Alvino Subrata memang selalu bersikap sopan dan ramah. Terbukti dengan sikapnya saat ini yang berjalan mendekatiku dan mengiringi langkahku menuju meja kerjanya. "Ada yang bisa saya bantu untuk Ibu?" tanya pria seumuranku itu saat kami sudah duduk berhadapan di mejanya.
Aku menunduk dan memainkan jemariku yang kuletakkan di atas paha. Aku bingung. Haruskah aku yang mulai mengajaknya pulang bersama agar Mas Danis tak lagi memasuki keseharianku? Namun, jika aku melakukan ini, itu artinya aku menjawab permintaannya untuk dekat denganku. Satu sekolah sudah tahu tentang Pak Vino yang mengagumi Bu Iswari dan ingin dekat dengannya. Aku tak bisa mengiyakan semudah itu. Nama Jiro harus kujaga karena para petinggi yayasan sekolah internasional ini kerap bertemu mantan suamiku di acara-acara khusus orang-orang seperti mereka.
"Bu Iswari? Ada masalah?" Suara Vino yang santun dan lembut membelai runguku. Aku mendongak dari bimbangku sesaat lalu. Vino tersenyum manis dan menyejukkan. Tak heran banyak murid yang nyaman dengan kelasnya meski pelajarannya cukup rumit. "Bicaralah. Saya akan mendengar dan menerima. Apa ... ini ada kaitannya dengan sikap saya pada Ibu?"
Aku tersenyum canggung. Tentu saja ada. Ini tentang aku yang membutuhkannya agar Mas Danis tak lagi membuat hatiku berharap lebih. Kedekatan kami yang tanpa kejelasan dan sikapnya yang membuatku sering berprasangka, tak baik bagi perasaanku yang mungkin saja diam-diam mengaharapkan sesuatu dari pria itu. Jadi, aku harus mulai tegas padanya dan diriku sendiri.
"Uhm ... saya dengar Bapak ingin mencari buku untuk materi penunjang siswa siswi yang akan ikut olimpiade matematika. Apa benar?"
Pak Vino mengangguk dengan senyum dan wajah yang menyiratkan penuh tanya.
Aku menatapnya dengan hati yang maju mundur dengan keputusan ini. Seperti yang Ibu bilang, aku harus memiliki pria yang bersanding denganku untuk meniti kebahagiaan. Vino jatuh cinta padaku dan semua orang di sekolah ini sepertinya tahu. Jika dulu bersama Jiro, sudah jelas baik aku dan dia tak saling cinta. Kami menikah karena masing-masing kami memiliki kondisi mendesak yang mengharuskan bersatu. Sedang dengan Mas Danis, setelah beberapa lama membantunya selama terapi, tak ada satu pun pengakuanku yang ia gubris. Sekarang, Mas Danis datang lagi, tapi tak memberikan ketenangan padaku. Jangankan bahagia, nyaman saja aku tidak rasa karena ia seperti menarik ulur perasaanku dengan sikapnya.
Jadi, mendapati ada pria yang jelas mencintaiku dengan kelembutan dan sikap sabarnya, selayaknya kuberi kesempatan untuk kami berdua. Ibu berkata ia mengharapkan pria yang tak akan melukaiku. Jiro telak membuktikan perbuatan kejinya di beberapa bagian tubuhku. Mas Danis juga sama. Meski bukan luka raga, tetapi hatiku kerap merasa nyeri jika memikirkannya. Kali ini, biarkan aku mencoba kondisi baru dengan dicintai pria yang belum kucintai. Jika cinta Mas Danis padaku saja bisa hilang, maka tak mustahil bukan, jika cintaku pada Vino bisa saja tumbuh dan bersemi?
"Kalau boleh, saya ingin ikut mencari buku. Barang kali, saya bisa menemukan buku yang cocok untuk Hiro. Usianya memang baru empat tahun, tapi sebentar lagi dia akan bergabung di sekolah ini. Jadi ..."
"Sepulang sekolah bagaimana?" Suara Vino terdengar antusias. Wajahnya cerah seperti sinar matahari yang menyinari lapangan berisi anak-anak yang sedang berolahraga pagi ini. "Uhm ... jika malam ini tidak ketemu, besok kita bisa lanjut pencarian bukunya. Bagaimana?"
Aku menggeleng sungkan. "Besok, ada jadwal bertemu dengan ayah Hiro."
"Owh ... begitu." Vino mengangguk santai. "Kalau begitu, bagaimana jika hari Minggu? Dari pagi hingga petang?"
Ucapannya jelas mengandung ajakan kencan. Memulai hubungan dengan alasan buku tidaklah buruk. Kami bisa saling menyelami kegemaran masing-masing dan kepribadian dari buku apa yang kami sukai.
Aku mengangguk pelan. "Boleh. Pulang sekolah kita coba ke toko buku di dekat sini. Jika tidak ketemu, kita bisa melanjutkan pencarian besok Minggu dengan mengunjungi toko buku yang lebih jauh." Dengan begitu, aku bisa menghabiskan banyak waktuku bersama Vino dan mencoba seberapa nyaman jika bersamanya.
Vino tampak tersenyum bahagia. Bibirnya yang tak pernah tersentuh nikotin itu, melengkung sempurna hingga menularkan padaku. Senyumku juga terkembang meski tak seindah miliknya. Kurasa, mencoba satu hubungan baru dengan pria lain tak begitu menakutkan.
"Kalau begitu, sampai bertemu lagi nanti sore." Ucapku seraya beranjak dari kursi.
"Sore? Mengapa tidak jam istirahat saja? Sampai bertemu saat makan siang, Bu Iswari," ralatnya dengan wajah penuh harap.
Aku tersenyum seraya menahan tawa. Apa begini pria tanpa pengalaman menikah jika dihadapkan pada harapan akan sebuah hubungan? Tidak sabaran dan cenderung spontan. "Jam istirahat, Pak Doni mengajak semua staf tata usaha untuk makan siang bersama karena mulai jam sepuluh hingga entah kapan, kami akan rapat untuk perbaikan sistim pembayaran uang SPP murid."
"Owh, begitu, ya? Ya sudah, saya akan siap saat jam pulang sekolah untuk pergi berdua dengan Bu Iswari." Guru matematika favorit para siswi kelas enam SD ini tertawa lirih. Sepertinya malu dengan sikapnya yang terlalu antusias padaku. Tak apa, aku maklum dan menghormati perasaannya padaku.
Semoga, kelak aku memiliki rasa yang sama padanya seperti rasa yang ia beri untukku.
****
Aku baru selesai berhias di toilet karyawan. Tampilanku memang tidak mencolok. Biasa saja karena aku bukan tipe wanita yang suka memadupadankan fashion. Namun, polesan sedikit bedak dan lipstik semoga membuat moodku membaik untuk mulai menjalani hubungan baru.
Sayang, tampaknya rencanaku tak semulus perkiraan. Saat aku keluar gedung sekolah dan mencari kendaraan milik Vino, netraku justru menemukan Mas Danis tengah berdiri di depan lobi. Kali ini, ia sudah berani masuk area sekolah. Kemarin-kemarin, ia hanya duduk di pos tunggu para supir murid atau duduk diam di dalam mobilnya.
Aku menatap Mas Danis dengan wajah datar dan binar jengah. Pria itu berjalan santai menghampiriku. "Iswa ada kencan sekalian tugas. Jadi, Mas pulang saja sekarang."
"Kamu bisa bertemu dengan pria itu di tempat kalian janjian. Aku antar."
"Iswa bukan anak keil yang harus dikawal kemanapun dan Mas bukan siapa-siapa Iswa. Tolong," ucapku penuh permohonan, "tolong lepas Iswa jika Mas tidak bisa membantu Iswa memupuk harapan untuk bahagia."
Wajah Mas Danis seketika berubah pias. Lihat, kan? Dia memang tidak pernah menganggapku berarti dalam hidupnya. Matanya yang tampak berkaca membuatku semakin yakin untuk menegaskan status kami karena sampai kapanpun, kuyakin sikapnya akan begini terus tanpa ada kepastian baik untukku.
Aku melangkah meninggalkannya dan mendekati mobil Vino yang sudah siap menungguku di depan Lobi. Saat ingin membuka pintu penumpang depan, ponselku berbunyi. Ibu menghubungi.
"Is, cepet pulang. Ibu masuk angin. Mau panggil tukang urut buat pijat dan kerok. Kamu urusin Hiro, ya."
Ada saja halangannya. Aku urung menaiki kursi penumpang yang sudah terbuka pintunya dan tersenyum canggung dengan wajah sungkan pada Vino. "Ibu meminta saya pulang sekarang karena beliau sedang kurang enak badan. Saya rasa, saya gagal ikut malam ini."
Vino tersenyum dengan wajah yang tampak maklum. "Lekas pulang Bu Iswari. Kita bisa mencari banyak buku di hari Minggu."
Aku mengangguk lantas menutup kembali pintu kendaraannya. Mobil Vino melaju perlahan meninggalkanku dan aku masih berdiri di sini. Tubuh Mas Danis terlihat menatapku dengan wajah yang masih tampak murung. Aku berbalik meninggalkan Mas Danis menuju mobilnya. Aku menghela napas demi menyabarkan hati. Mengapa ada saja rintangannya?
Sepanjang perjalanan, kikuk melingkupiku dan Mas Danis. Hanya suara radio dan informasi lalu lintas yang memecah hening di antara kami. Sekali dua kali, Mas Danis bertanya tentang Hiro. Aku enggan menjawab. Soal Hiro, bukankah ia lebih dekat dengan anak itu ketimbang aku?
"Is." Lagi, Mas Danis mencoba membuka topik denganku. Aku hanya berdeham malas meresponsnya. "Jeruk peras sedang murah. Aku bisa dapat dengan harga lima ribu per kilo. Menurutmu, bagaimana jika aku membuat program bagi-bagi jeruk peras untuk seluruh pelangganku. Misal pembelanjaan lima juta, aku kirimkan sepuluh kilo berikut kelipatannya tapi maksimal dapat dua puluh kilo."
Pesan dari Vino datang saat Mas Danis menjelaskan detail program promosinya untuk bulan ini. Aku berbalas pesan dengan Vino dan membuat janji untuk bertemu di hari Minggu. Vino minta ijin menjemputku di rumah. Aku menimbang apakah sudah saatnya Ibu bertemu pria baru atau ....
Vino menghubungi. Tampaknya pria itu benar tak sabaran menunggu jawaban tentang ijinnya menjemputku Minggu esok. Aku mengangkat dan mulai bicara dengannya.
"Saya rasa, kita bisa langsung bertemu di pusat perbelanjaan. Saya takut merepotkan Pak Vino."
Vino beralasan tidak seharusnya pria membiakan wanitanya pergi sendiri selama pria memiliki kesanggupan menemani dan menjemput. Kami berbincang ringan tentang rencana Minggu besok karena Vino memutuskan langsung pulang juga saat ini.
"Kalau begitu, saya kirimkan alamat rumah saya melalui pesan. Pak Vino boleh menjemput saya dan kita bisa berangkat bersama."
Kami melanjutkan obrolan dengan rencana membawa Hiro. Vino ingin berkenalan dengan Hiro, katanya. Aku rasa, jika Ibu mengijinkan dan Hiro mau, boleh juga mengajak anak itu pergi dengan pria selain ayahnya. Setelah semua sudah kami setujui, aku mengakhiri obrolan kami dan memutus sambungan.
Kini, setelah meletakkan kembali gawaiku ke dalam tas, aku menyadari kalau mobil Mas Danis sudah sampai di depan rumah. Wah, sejak kapan? Mengapa berbincang dengan Vino bisa membuatku tak menyadari perjalanan dan waktu yang berputar?
Aku menoleh pada Mas Danis. "Uhm, tadi Mas tanya apa ya ke Iswari?"
Mas Danis menatapku dengan wajah datar dan mengeras. Tampak jelas dari rahangnya yang menegang dan mata yang mengilatkan binar emosi. Dia marah? Kenapa? Karena aku ingin melangkah lebih maju darinya? Itu hakku.
Aku membalas tatapannya dengan satu alis terangkat. "Tidak jadi bertanya?"
"Jeruk peras." Ia menyebut nama buah ini dengan tangan yang mencengkram kuat roda kemudi.
"Ada apa dengan jeruk peras?" tanyaku seraya memperhatikan tangannya yang tampak ingin meremukkan roda kemudi mobilnya. "Itu ... kenapa tangan Mas—"
Kalimatku tak selesai. Tanpa bisa kucegah dan tiba-tiba, tangan Mas Danis menarikku mendekat padanya, lalu mencium bibirku dengan sedikit kasar. Aku terkejut dan takut bersamaan. Meski gemetar, aku memberanikan diri mengumpulkan kekuatan dan mendorong tubuhnya hingga menyandar pada pintu kemudi. Tanganku melayang menuju salah satu pipinya dan berharap agar ia sadar dengan apa yang ia lakukan padaku.
"Iswa sudah pernah diperlakukan kasar dan Mas Danis tahu bahwa itulah yang membuat hubunganku dengannya hancur!" Meski napasku naik turun tak beraturan, emosiku mencuat tanpa bisa kucegah dan tumpukan pikiran serta merta berkecamuk dalam kepala, aku menguatkan diri untuk keluar dari mobil dan membanting pintu itu dengan keras.
Aku tak peduli dengan suara kencang yang terdengar akibat ulahku. Memang sekeras itu keinginanku untuk membuat Mas Danis pergi dari hidupku.
*****
Holla ... sekian Replaying Love versi wattpad. Terima kasih sudah bersedia mampir di lapak ini. Jangan lupa beli bukunya dalam bentuk cetak dan digital yang asli. Untuk info ebook, nanti akan aku share jika sudah tersedia di playstore ya ... jangan hapus dulu dari lib kalian, agar dapat update info tentang cerita ini. Kamsahamnida ... muaaccchhh
LopLop
Hapsaro
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top