24. Harapan?
"Ya ampun, ini enak banget." Isyana tak henti memuji semangka yang kubawa Jumat lalu. "Gak ada bijinya, manis, seger lagi." Tentu saja buah ini pemberian Mas Danis. Setiap hari, pria itu membawakanku buah dan sayur. Katanya, barang lebihan beli atau reject. Padahal, baik aku, Ibu, atau Isyana tak permah mendapati kejelekan hasil alam yang selalu Mas Danis beri. "Masa iya semangka begini enaknya ditolak hotel dan katering?"
Aku mengedikkan bahu. "Jarang ada pria yang jujur," tukasku sekenanya. "Kalaupun mereka jujur, biasanya menyakitkan."
Isyana menghentikan gigitannya pada potongan semangka itu. Ia menatapku dengan binar yang seakan kehabisan kata untuk menjawab. "Semoga Mas Yoppy tidak termasuk dalam katagori pria yang Mbak bicarakan tadi. Jika Jiro dan Mas Danis, aku tak akan membela."
Aku menaikkan satu alis ke Isyana? "Tak membela? Bukannya kamu yang selalu senyum lima jari setiap dia turun mobil dan kasih kamu kantung dari kantornya?"
Ringisan Isyana membuat jiwa mengejekku tiba. "Ya ... siapa sih yang gak senang dan gak bela orang yang bikin kakakku bahagia?"
"Mbak gak pernah bilang kalau bahagia. Apa lagi dengan adanya Mas Danis yang tiba-tiba jadi supir antar jemput. Hubungan kami sebatas tetangga saja. Setidaknya, begitu yang Mbak rasa. Dia datang, bersikap baik, ramah, dermawan, tapi entah hatinya. Mbak tidak mau terluka untuk ketiga kali. Jika dua kali masuk ke lubang yang sama saja, sudah diibaratkan seperti keledai, bagaimana jika tiga kali?"
"Memangnya ... Mbak tidak bahagia? Maksudku, jika boleh tahu, apa yang saat ini Mbak inginkan?" Wajah Isyana seketika menjadi serius dan lembut. Ia tampak menunggu dengan sikap cermat dan siap menelaah setiap jawabanku.
Aku menghela napas panjang. "Mbak tentu bahagia. Ada kamu, Ibu, Hiro yang selalu membuat hidup Mbak terasa ringan dan menyenangkan. Jika ditanya apa yang Mbak inginkan, jawabnya sederhana. Mbak hanya ingin hidup dengan kepastian. Saat ini, sesuatu yang pasti adalah Hiro. Anak yang akan Mbak besarkan seorang diri dan satu-satunya semangat Mbak untuk bangkit dari keterpurukan dulu dan memupuk kembali harapan untuk bahagia. Satu bahagia sudah Mbak dapat. Berpisah dengan Jiro dan berdamai dengan masa lalu kami. Satu bahagia lagi juga sudah Mbak miliki. Cinta kamu dan Ibu untuk Mbak. Apa ada lagi yang harus Mbak harapkan?"
"Harusnya ada," timpal Isyana dengan mata yang tajam menghunusku.
"Apa?" tanyaku retoris.
"Masa depan dengan pria yang mencintaimu." Ibu datang dengan mangkuk kosong. Sepertinya ia baru selesai menyuapi Hiro. "Ibu dan Isyana tak mungkin selamanya menjaga kamu. Isyana akan menikah suatu hari nanti. Begitu pun Ibu yang akan Tuhan panggil entah kapan. Kamu harus realistis, Is. Kamu butuh pria yang mencintai kamu untuk melengkapi bahagiamu."
"Ibu jangan bilang begitu!" Aku dan Isyana merespons bersamaan. "Maksudnya, Ibu jangan bicara tentang kematian," lanjut Isyana dengan wajah yang mencebik manja.
Ibu hanya tersenyum singkat lantas meletakkan mangkuk kosong milik Hiro. "Kalian itu masih muda. Masih banyak harapan yang bisa kalian capai. Jangan pernah putus asa atas harapan-harapan yang kadang tak jadi nyata. Selama masih ada keyakinan untuk bangkit lagi, hati kita pasti membangun satu harapan baru yang menyemangati jiwa untuk tetap semangat dan kuat."
"Tapi tentang pendamping, Iswa tak ingin berharap lagi"
Ibu berbalik dari tempat cuci dan menatapku dengan wajah serius. Jika sudah begini, suasana menjadi tegang di antara kami. Ibu dan wajahnya yang tampak tak ingin dibantah, mengingatkanku pada masa dimana Ibu memintaku menerima pinangan Jiro yang duduk menunggu di ruang tamu.
"Ibu tahu, Ibulah penyebab kacaunya hidupmu saat ini. Menikah dengan pria yang tak mencintaimu, diperlakukan buruk hingga trauma, dan sekarang kamu jadi janda beranak satu." Binar mata Ibu seketika tampak meredup. "Ibu menyesal, Is. Ibu selalu menangis tiap mengingat apa yang Ibu lakukan padamu hingga hidupmu begini. Ibu hanya ingin kamu bahagia dengan anak dan pendampingmu kelak. Pria yang mencintaimu dan tak akan pernah menyakitimu."
"Bukan salah Ibu," elakku lirih. "Iswa sendiri yang saat itu datang pada Jiro dan menerima pinangannya. Lagi pula, hubungan kami saat ini sangat baik. Kami kompak dan saling dukung mengurus Hiro."
"Kamu harus bahagia, Is. Bahagia bersama pria yang mencintaimu. Kali ini, Ibu tidak akan memaksamu lagi. Kamu berhak memilih pada siapa akan melabuhkan diri."
Aku menggeleng lamat dengan senyum sendu. "Iswa merasa begini saja sudah cukup. Iswa tak tertarik menjalin hubungan lagi."
"Jangan," tolak Ibu tegas namun nadanya tampak getir. "Ibu ingin kamu bahagia bersama seseorang yang mencintaimu. Carilah pelabuhan hatimu. Siapapun itu, Is. Carilah demi harapanmu untuk bahagia." Air mata Ibu tiba-tiba jauh satu per satu. Hatiku nyeri melihat bagaimana wajah keriput itu tampak memohon padaku dengan binar mata penuh penyesalan atas apa yang terjadi padaku kini. "Ibu sayang kamu, Is. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu."
Langkahku maju menuju Ibu dan memeluknya. Tangisku merebak membasahi area mata. "Doakan Iswa bisa bangkit dan menabur harapan lagi untuk dicapai. Saat ini, Iswa ingin menguatkan hati dulu agar bisa tegar dan menjadi sosok wanita kuat."
Anggukan Ibu terasa di pundakku. Rangkulannya mengerat sesaat, sebelum Ibu melepas. "Ibu mau anter minum dulu untuk Hiro."
"Loh, Hiro dimana?" Aku terbelalak. Baru sadar jika anakku tidak ada di rumah. Minggu sore jalanan kerap ramai kendaraan. Meski banyak anak-anak dan pengasuhnya di jalan untuk menyuapi makan sore dan menemani main, tetap saja mendapati Hiro sendiri membuatku cemas.
"Lihat – lihat ikan hias sama Danis di depan. Ada penjaja ikan hias lewat dan anak-anak ramai di sana."
Aku berbalik dan berjalan keluar rumah dengan tergesa. Langkahku terhenti di ambang pagar saat mendapati Mas Danis berjalan bersama Hiro bergandengan tangan. Mereka tertawa sambil melihat bungkus-bungkus berisi aneka ikan hias.
"Iswari." Mas Danis menyapaku sambil tetap melanjutkan langkahnya, saat menyadari kehadiaranku di depan pagar rumah. Ia tersenyum seraya mengangkat bungkusan ikan itu padaku. "Aku belikan ikan hias untuk Hiro. Mereka tampak lucu da Hiro suka."
"Terima kasih," ucapku datar. "Namun, Iswari akan lebih berterima kasih jika Mas tidak melakukan ini terus pada Iswa dan Hiro." Wajah Mas Danis seketika berubah, tapi aku tak peduli. "Cukup ayahnya saja yang memanjakan dia, jangan lagi pria lain." Aku maju mengambil Hiro dari genggamannya, dan mengendong anak itu. "Mas harus ingat, kita adalah sepasang masa lalu dengan kenangan untuk dilupakan. Bukan sepasang masa lalu yang memupuk harapan baru dan mengulang setiap kenangan seakan itu semua adalah permainan."
"Nanti malam aku ke rumahmu. Hiro belum memiliki akuarium untuk ikan-ikan itu." Mas Danis menjawab dengan wajah keras, seakan tak peduli dengan apapun yang kukatakan barusan. "Iko akan ke rumahku malam ini dan aku memintanya membawa salah satu akuarium miliknya."
"Tidak perlu repot," jawabku. "Kami akan beli akuarium itu sendiri." Aku berbalik dan berjalan memasuki rumah. Meski situasi diantara kami menjadi sedikit tegang, Mas Danis tetap membuntutiku hingga ruang tamu dan meletakkan bungkusan ikan-ikan itu di sana. Ia bertemu dengan Ibu yang membawa botol minum Hiro. Ia mengatakan pada Ibu jika akan datang lagi dengan sebuah akuarium. Sedang aku, melangkah memasuki kamar setelah menyerahkan Hiro pada Ibu dan mengunci diriku sendiri di dalamnya.
Dadaku sesak, hatiku seakan terombang ambing tak tentu arah, dan pikiranku melayang tanpa tahu tujuan apa yang harus kuutamakan saat ini dalam hidupku. Hirokah, cinta dan hubungan barukah, atau begini saja dan mencoba nyaman menerima takdir yang ada?
*****
Ini tidak benar. Mas Danis tak seharusnya melakukan ini padaku. Lihatlah pria itu. Sepagi ini, sudah berdiri saja di halaman rumahku dan bercanda bersama Hiro. Tidak cukupkah tiga minggu lebih ia mengantar jemputku bekerja? Dia selalu menatapku setiap pagi dengan binar mata penuh harapan dan senyum lembut yang berhasil membuatku mati-matian menahan debar di dada. Dia mengharapkan apa? Aku? Entahlah, aku sendiri sudah enggan mengharapkannya sejak apapun yang kulakukan dulu tak berarti di matanya.
Lebih parahnya lagi, Mas Danis saat ini memberikan Hiro mainan. Mereka tampak bermain mobil remot dan Hiro girang berlari mengejar mobilnya. Aku terdiam di ambang pintu sendiri. Kesal dan jengah dengan perlakuan Mas Danis yang tampak mendekatiku, tapi tak ada ucapan apapun darinya.
"Sudah siap?" Mas Danis bertanya setelah menyadari kehadiranku saat ini. Ia tersenyum lembut dan menatapku seakan siap mengantarku pergi.
Aku tak menjawab pertanyaannya. Mataku tertuju pada Hiro dan tersenyum. Langkahku bergerak mendekati Hiro dan memeluk anak itu. "Mama kerja dulu, ya. Tadi Ottosan telepon dan berkata akhir minggu ini kita akan pergi belanja. Hiro mau apa?"
"Saya ingin makan yakiniku! Saya ingin beli lego baru!"
Aku mengangguk. Entah mengapa, Hiro selalu mampu membuat senyumku terbit. Selalu ada kekuatan dan harapan yang bisa kutangkap dari binar matanya. Hiro memang kadang mengeluh, mengapa tak ada ayah di sisinya saat tidur. Namun, penjelasanku dan Isyana tentang perpisahan kami tak membuatnya murung. Aku memastikan padanya bahwa ayah ibunya tetap akan di samping Hiro sepanjang hidup anak itu. Semoga, kondisi ini tak mengganggu tumbuh kembangnya kelak.
Mas Danis pamit pada Hiro dan menjanjikan aneka buah pada anak itu. Aku tak menggubris dan tetap masuk ke dalam mobil. Sepanjang perjalanan, aku terdiam dengan tumpukan pikiran di kepala. Aku tak bisa begini terus. Tidak ada orang berjalan di jalan terpisah, tapi selalu bertemu dan berangkat kerja bersama. Oh, mungkin ada, tapi aku tak bisa jika hatiku masih menggenggam namanya.
Aku harus mencari cara untuk menghentikan semua ini. "Mas," panggilku seraya menoleh padanya. "Sore nanti Iswa ada janji makan malam dengan Pak Vino," dustaku memulai rencana ini. "Jadi, Mas tidak usah jemput Iswa."
"Aku temani," jawab Mas Danis dengan wajah yang tampak menegang. "Hanya makan malam, kan?"
"Mungkin saja kami lanjut kencan. Besok sudah akhir pekan dan aku penat. Dia mengajakku makan malam dan kami bisa saja melanjutkan acara hingga larut malam."
"Kamu ada Hiro, Iswa. Jangan abaikan anakmu."
"Aku juga tidak boleh abai pada bahagiaku. Vino menawarkan hubungan dan kemungkinan untuk bahagia. Jika aku terlalu lama ragu memulai hubungan baru, aku takut selamanya hidup dengan harapan semu."
"Kamu bisa mengajakku membangun harapan," kilahnya seraya membuang muka dan fokus kembali pada lalu lintas.
Aku berdecih kesal. "Harapan semacam apa? Mas bisa menjanjikanku apa?" Suaraku terdengar lantang. Tentu, aku kesal dengan sikapnya padaku selama ini. "Mas selalu memaksakan kehendak Mas sendiri. Minggu lalu, Mas datang dengan Mas Iko dan memasang akuarium baru tanpa persetujuanku. Beberapa minggu ini, kita satu mobil tanpa Mas mau mendengar penolakanku. Aku tidak nyaman. Aku ingin berjalan sendiri menuju bahagiaku dan tak ingin memiliki harapan semu yang bisa saja mejatuhkanku lagi."
Mas Danis tak menjawab ucapanku. Selalu begini. Setiap aku mengarah pada topik tentang kejelasan hubungan kami, Mas Danis selalu diam. Ia hanya nyaman jika kami bicara tentang pekerjaannya, Hiro, dan apapun selain status hubungan kami. Namun, jika aku mengatakan tentang pria lain, wajahnya mengeras dan matanya tampak tajam dengan kilat amarah. Siapa dia? Apa haknya mengatur dan menggenggamku seperti ini? Aku bukan wanita yang suka diperlakukan seenaknya.
Hingga kami sampai sekolah, Mas Danis tetap diam. Ia hanya mengatakan akan menjemputku sore nanti. Aku tak menggubris dan membanting pintu mobil sebelum mengentakkan kaki kesal memasuki area sekolah.
*****
Holla ... versi cetak Iswari dan Daniswara sudah ready. Yang masih mau versi cetaknya, silakan pesan ke admin penjualan penerbit Lovrinz.
Untuk yang sudah pesan, tunggu akang kurir teriak "Pakkeeeettt!"
Versi wattpad, tinggal 1 bab lagi, ya. Bab 25. Terserah, mau hari ini atau besok wkwkwkkwk. Ebook aku sedang ajukan supaya cepat, agar manteman bisa donlod yang suka versi digital hehehe.
Oya, aku ada akun KBM. Rencananya, Luka Hati Winda akan posting di sana versi revisinya. Kapan? Gak tau. Pokoknya aku usahakan secepatnya. Nama akunnya sama dengan akun WP. Hapsari1989. Kalau kalian ada akun KBM, jangan lupa follow aku yaaa... makasih. Muuaaacchh
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top