23. De Javu

"Selamat pagi, Iswari."

Gerakku yang tengah menguncir rambut terhenti. Aku menoleh pada ruang tamu dan mendapati Mas Danis sudah duduk di sana. "Pagi—Mas," jawabku dengan nada bingung. Aku menutup pintu kamar dan menghampiri Mas Danis yang kini beranjak dari duduknya. "Ada apa pagi-pagi ke rumah Iswa, ya?"

Mas Danis tampak bergerak salah tingkah sebelum menjawab, "Jemput kamu. Kita berangkat kerja bersama."

Aku menggeleng dengan pikiran yang heran melihat sikap Mas Danis seperti ini. "Tapi—Iswa 'kan gak minta dijemput. Lagi pula, bukankah kita sudah memutuskan untuk jalan—"

"Keburu siang, Iswa! Cepetan berangkat." Ibu menyela. Aku menoleh pada Ibu yang kini berjalan dari dapur, mendekatiku. "Ini bekalnya. Danis udah nungguin dari tadi. Cepetan jalan. Kalau terlambat, Ibu takut kamu dipecat."

Aku mengerjap bingung melihat sikap Ibu. Namun, tangan Ibu yang mendorongku untuk keluar rumah, membuatku tak lagi berpikir panjang.

"Kamu harus mulai menata lagi hidupmu, Is. Menabung salah satunya. Kalau ada yang kasih tumpangan agar hemat ongkos, ikut saja." Bisikan Ibu semakin membuatku bingung. Ongkos ke sekolah dengan bis tak lebih dari dua puluh ribu per hari. Mengapa Ibu mendadak jadi perhitungan sekali?

Aku ingin membantah, tetapi tatapan mata Ibu membuatku diam dan mengkuti saja perintahnya. Aku membuka pintu penumpang depan dan duduk diam menatap depan. Kendaraan Mas Danis mulai jalan. Kami masih saling diam meski lalu lintas padat dan membuatku bosan.

"Iswari." Mas Danis memecah kecanggungan di antara kami. "Saya ditawari bawang impor. Kualitasnya tidak sebagus bawang merah brebes, tapi harganya cukup terjangkau. Menurut kamu, saya suplai bawang impor atau tetap menjual bawang brebes ya?"

"Terserah Mas Danis," jawabku sekadarnya. Sebenarnya, aku tak pernah menjawab dengan kata ini. Aku selalu memiliki pilihanku sendiri dan solusi yang menurutku baik. Namun, sikapnya yang bertanya padaku seakan aku adalah bagian dari hidupnya, membuatku seperti terlempar pada masa lalu. Saat dimana aku masih menjadi kekasihnya dan kami akan berbincang tentang hal-hal terkait bisnis Mas Danis. Seperti saat ini.

Mas Danis menghela napas lirih. "Kalau dari kualitas, aku masih percaya produk lokal. Tapi, pelanggan suka dengan harga yang lebih murah. Kalau saya tawarkan produk impor, saya juga takut mereka akan berpaling dari hasil lokal. Menurut kamu gimana?"

Hening menjeda selama beberapa saat. Aku tak langsung menjawab. Kondisi saat ini persis seperti saat kami pacaran dulu. Seperti adegan rekonstruksi dan kami mengulangi setiap geraknya. Aku tak ingin bermain dengan cinta-cintaan begini. Aku takut jika akhirnya akan sama seperti dulu. Perpisahan.

Ah, memang kami sudah berpisah, sih. Aku harus tegar dengan keadaan ini. Mas Danis mungkin mengajakku diskusi untuk memecah kebosanan di tengah macet. Mana mungkin pria ini paham tentang hatiku yang masih terpenjara dengan namanya.

"Bagaimana, Is? Aku takut salah mengambil langkah."

"Tawarkan saja," jawabku akhirnya. "Tambahkan keterangan bahwa produk lokal kualitasnya terjaga. Aku yakin tidak semua pelanggan mau menurunkan kualitas meski harganya tinggi. Setiap perusahaan punya standar kualitasnya masing-masing."

Aku menoleh malas pada Mas Danis dan ia tampak mengangguk samar. Jemarinya mengetuk setir mengikuti irama lagu dari radio mobil. "Aku akan membuat lembar informasi yang kamu katakan tadi. Jadi, aku bisa tetap menyuplai bawang lokal dan impor. Pelanggan bisa memilih sesuai yang mereka butuhkan."

Aku tak merespons kalimatnya. Melengos ke kiri dan menikmati pemandangan yang menjenuhkan lebih baik dari pada menghadapi kegamangan hatiku sendiri.

"Nanti sore mau dibawakan apa?"

"Eh?" Aku menoleh pada Mas Danis dengan wajah penuh tanya. "Nanti sore?"

"Iya, saat aku jemput kamu nanti."

"Gak usah," tolakku seraya menggeleng. "Mas gak usah jemput Iswari."

"Dulu 'kan aku selalu antar jemput kamu, Is."

"Itu dulu. Saat kita masih memiliki hubungan. Sekarang tidak." Suaraku beranjak lantang. Mas Danis terdiam dengan tatapan yang tak terbaca. Meski fokusnya pada jalan raya, aku bisa melihat binarnya yang penuh dengan sejuta arti. "Mas sudah memutuskan hubungan kita. Iswari ingin bangkit perlahan dan bahagia dengan cara Iswa sendiri."

Mas Danis tak membantah ucapanku. Ia tampak menarik napas dalam dan fokus pada kemudinya.

"Tiga bulan terapi, tiga bulan kerja, dan hubungan dengan Jiro yang membaik, sudah cukup membuat Iswa lebih ringan menjalani hidup. Iswa tahu, Iswa berutang banyak pada Mas. Tanpa Mas Danis, Iswa tidak akan bisa menyelesaikan kuliah dan bekerja seperti ini. Kelak, Iswa akan mengganti semua yang pernah Mas beri."

"Aku tidak pernah menganggapmu berutang. Kamu membantuku membangun bisnisku, Iswa. Kamu selalu ke kantor sepulang kuliah dan membantu hingga tubuhmu lelah. Apa yang kuberi dulu, setimpal dengan apa yang kamu beri untukku."

"Kalau gitu, jangan buat Iswa harus memberi sesuatu pada Mas Danis lagi. Karena apapun yang Iswa beri, pasti Mas tolak. Termasuk perasaan Iswa pada Mas dulu. Sekarang, hati Iswa sudah tegar dan siap membangun harapan baru tanpa Mas."

Kendaraan ini akhirnya berhenti di depan sekolah. Aku bergegas melepas sabuk pengaman dan membuka pintu. Mas Danis lagi-lagi mencekal tanganku. Aku menoleh padanya dengan binar sedikit kesal.

"Kalau kamu belum bisa memberi perasaanmu, beri saja sedikit harapan yang sedang kamu bangun untukku."

Senyum tulus Mas Danis dan binar mata yang penuh permohonan itu, entah mengapa tiba-tiba membekukan tulang belulangku. Telapak tanganku bahkan dingin saat tangan Mas Danis mengusap lembut lengan hingga punggung tanganku seraya melepas cekalannya.

"Selamat bekerja, Iswari. Jangan terlambat makan siang."

*****

Menurutku hari ini sial. Pak Doni memarahiku habis-habisan akibat aku salah mengirim nomor virtual akun ke wali murid. Mereka salah kirim uang pembayaran sekolah dan aku harus mondar mandir menghubungi pihak bank.

Pak Doni marah. Kelalaianku sangat konyol, katanya. Aku akui, iya. Salah mengetik angka saat mengirim informasi dan berujung komplain.

Aku masih duduk di kursi kerjaku meski jam pulang sudah lewat sejak tadi. Seharian ini, tenaga dan pikiranku sudah terkuras habis akibat masalah ini. Aku menghela napas dan menenangkan diri. Dua botol sedang air mineral bahkan tandas tak bersisa.

Dicerca dengan kata bodoh dan tolol memang menyakitkan, tetapi aku tak bisa melawan karena ini memang mutlak salahku. Aku hanya bisa meminta maaf dan fokus membenahi kesalahan yang tak sengaja kubuat. Aku bahkan membentak Vino saat pria itu datang mengajakku duduk di kantin dan memakan bekal. Jangankan memikirkan makan, lapar saja aku tak rasa karena sudah tertekan dengan masalah.

"Belum pulang, Bu?" Seorang petugas kebersihan menyapaku sopan. Aku membuka mata dari pejamku sesaat dan menyadari hari sudah petang. Kantorku bahkan sudah sepi. "Kalau Ibu mau lembur, saya tidak bersihkan ruangan Ibu dulu."

Aku tersenyum seraya menggeleng pelan. "Saya pulang sekarang, kok, Pak." Aku mengambil tas lantas membereskan mejaku cepat dan melangkah keluar gedung sekolah.

"Bu, ada yang nunggu sejak tadi."

Langkahku terhenti dan menoleh pada penjaga sekolah bertubuh dempal. "Nunggu saya?"

Pria itu mengangguk sopan dan menunjuk seseorang di area parkir. "Bapak itu nungguin Ibu dari sore tadi."

Mas Danis. Aku menghela napas panjang dan mengangguk pada penjaga sekolah. Usai mengucapkan terima kasih, aku melangkah mendekati kendaraan yang akhir-akhir ini kutumpangi. Aku mengetuk jendela kemudi dan Mas Danis tersenyum padaku. "Iswa kan sudah bilang kalau Mas tidak perlu jemput Iswa."

"Masuk, Is. Udah malam ini. Kamu gak kasihan sama Hiro yang mungkin saja nunggu mamanya pulang." Mas Danis tak menggubris wajah kesalku.

Sebenarnya, aku ingin jalan meninggalkannya saja dan menunggu bus yang biasa kutumpangi. Namun, entah mengapa wajah lelah Mas Danis dan senyum pria itu membuatku melangkah menuju kursi penumpang depan dan duduk di sana.

"Jeruk?" Mas Danis menyodorkan dua buah jeruk mandarin padaku.

Aku menoleh dan menerima jeruk itu malas.

"Sambil makan jeruk, kamu boleh cerita ke aku, apa yang bikin kamu pulang selarut ini. Aku dengarkan selama kita jalan pulang."

Ini seperti de javu. Aku dimarahi atasanku, lalu saat pulang kerja Mas Danis memberiku jeruk dan memintaku bercerita sepanjang perjalanan pulang sambil menikmati kesegaran buah itu.

Wahai semesta yang tak bisa kuterka seberapa besarnya, mengapa segala sesuatunya terjadi seperti mengulang saat kami masih menjadi sepasang kekasih dulu?

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top