22. Perhatian?
"Mbak, ada bakery di meja makan. Mbak bawa buat bekal ke sekolah, ya."
Aku menoleh pada Isyana yang tengah membuatkan Hiro susu serta teh hangat untukku. "Kamu beli? Kapan? Bukannya kemarin kamu di rumah saja sama Ibu?" Aku membuka tudung saji dan mendapati aneka macam bakery yang jumlahnya cukup banyak untuk kami berempat. "Yoppy semalam ke sini?"
"Kesini gimana? Mas Yoppy lagi dinas ke Bali, Mbak. Itu dari Mas Danis. Semalam—malam banget, malah—dia ke sini antar roti." Isyana menginggalkanku seraya membawa botol susu menuju kamar Ibu, tempat dimana Hiro tengah menonton televisi sambil berpelukan dengan neneknya.
"Serius, Yan? Dia—ngapain ke sini tiba-tiba?" Aku bertanya saat Isyana kembali ke ruang makan ini dan mengambil gua gelas teh yang ia buat di meja dapur untuk kami.
Isyana mengedikkan bahu tak acuh. Ia mengambil satu bakery dengan topping coklat lumer lalu menikmati dengan teh hangat ini. "Aku gak tahu. Hampir jam dua belas dia datang dan kasih satu kantung besar roti. Katanya buat Mbak."
Aku cukup terperangah mendengar informasi ini. "Dia bilang apa?" Sudah cukup lama aku dan Mas Danis benar-benar putus hubungan. Jangankan saling memberi, menyapa dan bertemu saja tidak pernah sama sekali.
"Gak bilang apa-apa, sih. Dia tiba-tiba ketuk pagar tengah malam dan berdiri kaku kayak setan. Aku sampe gak berani keluar. Untung Ibu bangun dan temani aku samperin dia. Wajahnya aneh. Kaya orang mau tapi malu. Ngomongnya juga canggung waktu ngasih ini. Asli, gak kaya Mas Danis yang kukenal." Isyana tertawa lirih sekali sambil menggigit roti coklatnya. "Selamat malam, Yana. Maaf ganggu. Saya—mau antar ini untuk Iswa." Gelak tawa Isyana seketika menguar kencang. "Ya ampun, Mbak. Aduh, kaya aku mau diapelin cowok cupu. Eh, kaya dia itu cowok cupu yang mau pedekate sama kakakku."
Tawa Isyana menguar lagi dan kini makin kencang. Namun, entah mengapa lelucon yang ia sampaikan tampak tak lucu bagiku. Justru, hatiku berdesir mendapati kiriman Mas Danis ini. Ada banyak jumlah roti abon. Itu semua kesukaanku. Dulu, saat roti ini sedang trending, hampir setiap hari aku minta dibelikan untuk sarapan dan camilan pulang dari kuliah dan kerja.
"Mbak. Kirim pesan ke Mas Danis, gih. Sampaikan makasih banyak untuk roti-rotinya. Aku mau bawa juga buat temen-temen di kantor. Sebanyak ini kalau di rumah aja ya keburu berjamur. Mending dibawa kerja dan bagi-bagi."
Aku mengangguk pelan lantas mengambil satu abon roll yang selalu jadi kesukaanku. Mengirim pesan ke Mas Danis? Haruskah aku yang lagi-lagi mendekati pria itu? Lagi pula, bukankah ia sudah memiliki seseorang dan itu artinya haram bagiku untuk mendekatinya lagi? Aku menggeleng pelan seraya menggigit roti abon berisi mayonaise yang gurih ini. Tidak. Aku tidak akan menghubungi Mas Danis. Aku memiliki harga diri yang harus kujaga dan hati yang wajib kulindungi. Lagi pula, aku tidak meminta semua roti-roti ini, bukan?
Beberapa teman tata usaha tampak senang dengan roti-roti yang kubawa. Kami menikmati bersama saat istirahat makan siang sambil berbincang tentang isu-isu pendidikan hingga berita selebritis ternama. Saat kami tengah asik membahas putusnya hubungan artis yang hampir menikah, pria itu tiba-tiba datang dengan dua kotak nasi padang.
"Bu Iswari mau makan? Saya beli dua nasi padang. Makan, yuk." Pria itu tersenyum padaku. Senyumnya manis dan lembut. Teman-temanku berdeham dan tak sungkan menggodanya yang terang-terangan mendekatiku sejak dua bulan lalu.
"Pak Vino saya rasa tahu jika saya selalu bawa bekal," ucapku dengan wajah yang kuharap menggambarkan penolakanku untuk makan siang dengannya. "Saya bahkan membawa banyak roti untuk staf tata usaha di sini."
Guru matematika SD kelas empat sampai enam ini masih tetap tersenyum manis. Ia bahkan tak malu mengambil satu roti srikaya dan membukanya. "Kalau gitu, saya boleh ambil satu, kan?"
"Ambil semua juga boleh," jawab salah seorang temanku. "Tapi tuker nasi padangnya buat kita. Boleh gak, Pak?"
Guru yang seumuran denganku itu tertawa ringan. "Boleh. Asal yang satu buat Bu Iswari, saya gak masalah." Matanya menatapku lembut dan ramah, sebelum pergi dari mejaku dan meninggalkan dua nasi kotaknya.
"Is, kenapa gak coba saja sih, sama Pak Vino?" teman adminku bertanya.
Aku tersenyum masam seraya mendorong nasi padang itu menjauh dari mejaku. "Aku belum bisa buka hati. Dari pada membohongi diri dan akhirnya menyiksa pasanganku nanti, lebih baik aku sendiri." Aku mengambil bekal makanku yang berisi sapi teriyaki dan ebi furai. "Silakan ambil nasi padangnya. Ayo kita segera makan sebelum Pak Doni memanggil kita untuk rapat di ruangannya."
"Kamu gak mau ambil makanan dari Pak Vino?"
Aku menggeleng pelan. "Ayahnya Hiro membelikanku banyak lauk kemarin. Sayang jika tidak dimakan." Aku mempersilakan teman-temanku untuk menikmati makan siang pemberian guru matematika itu. Kami makan sambil melanjutkan obrolan kami seputar hubungan para artis.
Ponselku bergetar. Aku membuka pesan yang kutebak dari Jiro. Mataku membelalak sesaat saat ternyata bukan ayahnya Hiro yang mengirimiku pesan.
Selamat siang, Iswari. Apa kabar? Lama tidak bertemu.
Aku tertegun dan mematung entah berapa lama. Apakah aku sedang bermimpi? Aku menggeleng cepat demi menyadarkanku dari apapun yang membuatku linglung. Aku mengetik balasan untuk Mas Danis.
Siang, Mas. Kabar baik. Semoga Mas juga baik-baik saja. Oya, terima kasih banyak untuk roti-rotinya.
Sudah. Begini saja cukup. Aku tak tertarik membahas tentang berapa lama kami tak saling jumpa. Toh, bertemu atau tidak, semua itu tak memiliki pengaruh dalam hidup kami masing-masing. Mas Danis sendiri yang memutuskan mengakhiri segala hal tentang kami. Meski sampai saat ini hatiku masih berisi namanya, aku tetap akan menjaga diriku agar tak berlari lagi mendekatinya.
Ponselku berdenting lagi. Mas Danis membalas pesanku.
Roti abonnya masih seenak dulu. Kamu pasti habis banyak. Sore nanti, aku jemput kamu, ya? Pulang kerja jam berapa?
Aku mengerjap cepat. Kenapa tiba-tiba dia jadi agresif begini? Oke, dulu saat kami masih pendekatan, ia memang manis dan agresif. Namun, Mas Danis harusnya ingat jika beberapa bulan lalu, dia membuangku jauh-jauh dari hidupnya. Aku mendengkus cepat dengan jemari yang mengetik balasan.
Tidak perlu repot-repot, Mas. Iswari udah janji mau pulang bareng dengan teman kerja.
Tak lama, balasan dari Mas Danis datang.
Siapa? Pria?
Aku tersenyum samar dan membalas lagi.
Iya, pria. Guru matematika.
Hingga beberapa saat kemudian, balasan Mas Danis tak lagi ada. Hatiku sedikit lega meski ada rasa nyeri yang samar mendera. Berbohong memang tak pernah baik untuk kesehatan jiwa. Buktinya, kini ada rasa asing seperti rasa bersalah atau seakan aku berselingkuh darinya.
Saat sore menjelang dan jam pulang sudah tiba, hatiku masih saja mendung dengan setitik penyesalan. Ya, sejak membohongi Mas Danis lewat pesan, entah mengapa aku seperti orang yang menyesal memutuskan sesuatu. Harusnya aku bangga pada diriku. Menolak ajakan pria yang jelas mendorongku jauh dari hatinya. Jadi, buat apa aku sedih?
Aku melangkah lunglai menuju luar sekolah. Aku selalu berjalan menuju halte bus dan menunggu bus menuju rumah. Letak sekolah ini memang lumayan jauh dari rumahku. Untungnya, ada bus yang rutenya melewati depan perumahanku dan ini salah satu hal yang sangat membantu bagiku.
"Bu Iswari pesan taksi?" Suara Vino menghentikan langkah gontaiku. Aku menoleh padanya dengan wajah penuh tanya. "Itu, ada yang nunggu. Katanya nunggu Bu Iswari." Vino tersenyum seraya melirik satu arah dan membuat mataku beralih ke arah yang ia maksud.
"Mas Danis?" Aku tercengang. Pria itu duduk di tempat para supir menunggu murid kami pulang. Ia tersenyum padaku meski lekuk bibirnya tampak kaku. Aku melangkah gamang dengan kepala yang dipenuhi banyak pertanyaan. "Mas Danis kenapa ada di sini?"
"Aku jemput kamu. Bilang sama guru matematika itu, kalau kamu pulang sama aku."
"Loh, Bu Iswari memang mau pulang sama saya? Kalau gitu, ayo!" Vino bersuara dan itu membuatku tersadar jika kini aku berdiri di antara dua pria.
Aku meringis bimbang. Jika mengiyakan ajakan Vino, itu berarti aku membuka celah padanya untuk semakin dekat denganku. Namun, jika memilih Mas Danis ....
"Maaf, tapi rumah Iswari dekat dengan rumah saya. Jadi, lebih baik dia pulang bersama saya."
Belum juga aku menjawab, tangan Mas Danis menggenggam tanganku dan menarikku lembut menuju mobil—nya? "Wisman mana?" Aku menoleh ke kanan dan kiri mencari Wisman. "Oh, apa ini taksi yang Mas pesan?" mataku kini mengarah pada Mas Danis.
Mas Danis bergerak canggung seraya membuka pintu penumpang depan. "Mobil aku. Aku yang mengemudi. Aku janji, tidak akan ngebut dan berusaha membawamu pulang dengan selamat. Ayo, masuk! Kita pulang bersama." Suaranya manis, meski ada kikuk yang melingkupi kami.
Aku menaiki mobil ini dengan jantung yang berdegup kencang. Ini sudah lama sekali sejak kami satu mobil berdua dengan ia yang mengemudi sambil bercanda. Terakhir kali, ya dulu. Saat kami masih memiliki hubungan dekat, sebelum ayah Hiro memintaku menikah dengannya.
"Apel, pir, jeruk, salak, dan ... pisang." Ia menyebut aneka buah dan membuatku melirik pada kantung di jok tengah. "Silakan makan selama perjalanan pulang. Kamu tahu sendiri, jam segini pasti lalu lintas padat."
"Terima kasih." Aku tersenyum canggung dan membuang muka ke kiri jalan. Dulu, kami memang selalu menikmati buah di sore hari atau selama perjalanan pulang. Mas Danis kurang menyukai camilan kering. Ia memilih buah dan roti sebagai makanan ringan. Jika lapar, pilihannya pasti jatuh pada nasi padang. Namun, saat ini bukanlah masa lalu. Sekarang adalah masa di mana kami sudah melangkah di jalan masing-masing dan membangun bahagia kami sendiri-sendiri. Aku lebih baik diam saja, dari pada makan hati lagi karena Mas Danis bisa saja mematahkan rasaku lagi.
Mas Danis juga tak banyak bicara. Ia hanya menanyakan Hiro sekadarnya dan sedikit bercerita jika sejak empat bulan lalu, kakinya sudah sembuh total. Baru satu bulan ini mendapat ijin mengendarai mobil lagi oleh ibunya, karena Wisman tak sanggup mengantar jemput. Tugas Wisman memang sudah padat, karena kata Mas Danis pesanan dari pelanggan semakin banyak.
Aku tak begitu menanggapi ceritanya. Sebenarnya ingin, tetapi tak berani karena takut hasilnya akan mengecewakanku lagi. Aku pun ingin bercerita bagaimana aku berjuang mengembalikan keberanianku berhadapan dengan Jiro, bagaimana aku dan Jiro sepakat berhubungan baik demi Hiro dan sebagainya. Namun, aku memilih diam karena ia sendiri yang berkata bahwa kami adalah sepasang masa lalu dengan kenangan untuk dilupakan.
Sepanjang perjalanan aku duduk tak tenang. Debar jantung dan hati yang berdesir hangat bukanlah hal yang menyenangkan jika pikiranku berisi banyak perintah untuk menolak menjawab setiap pertanyaannya. Saat kendaraan Mas Danis berhenti di depan pagar rumah, aku seketika lega.
"Terima kasih untuk tumpangannya. Besok, Mas Danis tak perlu repot-repot lagi." Aku tersenyum samar lalu berbalik hendak turun.
"Sebentar, Is!" Mas Danis mencekal tanganku. Aku menoleh padanya dan menaikkan satu alis. Mas Danis berdeham sebentar, lalu mengambil satu kantung plastik dari jok tengah kendaraan. "Soto Pak Kus. Ini dipisah kok, kuah sama isinya. Bisa kamu hangatkan untuk makan malam." Ia menyodorkan kantung soto itu padaku.
Aku menggeleng pelan. "Terima kasih, Mas. Namun, maaf. Hiro tidak boleh makan dari kaki lima oleh ayahnya. Ia boleh makan makanan luar yang dibelikan ayahnya saja. Selebihnya, aku sendiri yang harus masak untuk anak itu."
"Bukan untuk Hiro." Mas Danis mengambil tanganku lagi dan memaksa telapak tanganku menggenggam kantung itu. "Soto ini aku beli untuk kamu. Sayapnya ada empat. Kamu bisa puas makan itu semua." Erjapan mata Mas Danis lamat dan netranya sayu. "Selamat istirahat, Iswari. Kalau boleh, besok aku mau antar jemput kamu lagi, seperti yang kulakukan dulu."
Entah mengapa tiba-tiba oksigen terasa silang dari muka bumi ini. Dadaku sesak dan rasanya sulit untukku bernapas. Apa maksud Mas Danis kali ini?
*****
Dua atau 3 bab lagi, ya, untuk versi wattpad hehehhee ...
LopLop
Hapsari
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top