19. Terungkap

"Terus ... terus, Dan. Terus jalan sampe lo capek!" Mas Iko berteriak memberi semangat di samping Mas Danis yang tertatih coba melangkah dengan satu kruk.

Sudah dua minggu terlewati sejak kami menangis bersama sore itu. Entah apa yang kini Mas Danis pikirkan, tiba-tiba semangatnya seakan bangkit dan gigih melakukan terapi. Ia juga kerap tersenyum menatapku dan saat kutanya mengapa, ia hanya menggeleng santai.

Saat kuingat-ingat lagi apa yang kuucap sore itu kala memeluknya, mungkin janjiku yang akan meninggalkannya jika ia sembuh adalah alasan dibalik semangat dan senyumnya. Meski rasanya getir dan pahit, aku tetap bersyukur dengan perkembangan Mas Danis saat ini.

Minggu lalu, aku menawarkan diri menemaninya ke pusara mendiang istrinya. Ia menolak dan tampak emosi jika aku mengungkit tawaran itu. Sampai sekarang, aku bingung dengan apa yang ia rasa dan pikirkan tentang hidupnya juga aku.

"Iswari, minggir!" Teriakan Mas Iko menyadarkanku dari lamunan ini. Sontak aku melangkah mundur dan kembali menatap Mas Danis dengan senyum antusias.

"Iswari, stop!" Kini, suara Mas Danis yang membuatku berhenti tepat beberapa langkah di depannya.

Mas Danis tersenyum seraya merentangkan satu tangannya yang tak bertopang kruk. Aku mengernyit heran melihatnya jalan tertatih dengan satu kruk, merentangkan tangan, dan tertawa kecil mendekat padaku. Hingga saat tak ada lagi jarak yang membentang, Mas Danis membuang satu-satunya kruk yang menopang tubuhnya dan menjatuhkan diri ke dalam pelukanku.

"Danis gila! Lo bisa cedera lagi, Njir!" Mas Iko mengumpat keras seraya mengambil kruk yang Mas Danis buang. Sedang aku, terhuyung kebelakang dan jatuh tertimpa tubuhnya.

Deru napas Mas Danis terasa membelai wajahku. Aroma keringatnya, berbaur dengan aroma tanah dan rumput yang menjadi alas kami saat ini. Alih-alih risih, aku justru nyaman dengan suasana ini. Ya, aku memang semenyebalkan itu. Aku mengangkat tanganku dan mengusap pelan peluh yang membasahi kening Mas Danis.

Senyum pria itu tampak bahagia meski wajahnya kentara lelah. "Sebentar lagi aku bisa jalan."

Tanganku membelai rambutnya yang basah keringat. Senyumku ikut tersungging melihatnya tampak ringan menjalani hidup. "Ya. Mas harus terus semangat terapi hingga sembuh dan bisa berlari."

Ia mengangguk, lalu berguling hingga terlentang di sampingku. Kami tidur berdua beralaskan tanah taman klinik terapi Mas Iko seraya menikmati senja. "Saat sudah bisa berlari, aku tetap akan diam di tempat."

Aku menoleh padanya. Matanya yang tadi tampak bahagia, kini terlihat sendu meski ada senyum di bibir pria itu. "Kenapa tetap diam jika bisa berlari?"

Ia membalas tatapanku padanya. Netranya tampak tulus, tetapi aku jelas melihat kepahitan dalam birainya. "Karena aku tak akan mengejar saat kamu meninggalkanku nanti."

"Owh ... saat Iswari berhenti dari pekerjaan ini." Aku mengangguk memahami maksud Mas Danis meski hatiku nyeri. "Kita akan bahagia dengan masa depan kita, Mas. Masa depan indah yang kita raih dengan jalan berbeda. Begitu, bukan?"

"Hm." Mas Danis hanya berdeham lirih dan matanya sayu. "Kamu berhak bahagia dan aku bukan tempatmu untuk mewujudkan itu."

Aku mengulas senyum tipis dan getir. Aku dan Mas Danis, tak akan bisa bersama. Setangguh dan sekeras apapun usahaku meluruhkan hatinya, ia tetap pada pendiriannya. Tidak melibatkanku dalam masa depan pria itu.

Aku beranjak dari tidurku dan membantu Mas Danis bangun. Rasanya benar-benar patah hati. Saat aku menyendiri di Yamaguchi untuk memulihkan tubuhku yang terluka akibat kekerasan Jiro saja, rasanya tak seburuk ini. Entahlah, mungkin keinginanku terlalu tinggi. Kembali bersama Mas Danis mewujudkan harapan kami untuk bahagia. Aku harus menerima kenyataan bahwa Mas Danis mungkin saja sudah membangun impiannya yang lain dan tak ada aku di dalamnya.

****

Jiro datang di Sabtu ini. Saat aku tengah membereskan kamar, Ibu menghampiri dan memberikan kantung belanja berisi beberapa bahan masakan Jepang. "Jiro bilang minta dibuatkan udon kuah sama onigiri. Kamu bikin di dapur sana."

Aku menghela napas panjang dan menerima kantung belanja itu. Jiro seperti kurang kerjaan. Jika ia ingin makan masakan kampung halamannya, tak kurang-kurang restauran yang bisa memanjakan lidahnya itu. Mengapa harus aku yang berkutat di dapur demi dia?

Aku melangkah menuju dapur dan mulai menyiapkan bahan membuat udon kesukaannya. Keningku mengernyit saat mendapati ada bahan yang kurang. Aku melangkah hingga pintu dapur dan berteriak memanggil Ibu.

"Ibu sedang pergi. Tadi ada yang datang menjemput dan mereka pergi entah kemana." Jiro melangkah mendekatiku yang masih berdiri di pintu arah dapur. Ia tersenyum lembut dan tampak berwibawa dengan pembawaannya yang tegas dan kharismatik itu. "Ada masalah?" Saat tubuhnya sudah berada tepat di depanku, ia tersenyum semakin lebar dan itu membuatku ketakutan.

Aku menggeleng seraya mundur perlahan. "Jangan mendekat. Tolong jauhi aku." Langkahku terhenti saat menabrak meja makan dan menyenggol bahan-bahan yang kubuka dari kantung belanja Jiro. "Ada bahan yang tak terbeli. Kecap ikan dan minyak wijen. Sepertinya kamu lupa itu."

Senyum Jiro semakin terkembang. "Kalau begitu, bagaimana jika kita pergi bertiga saja makan di restauran Jepang tempat kita kencan dulu?"

"Tidak. Kumohon jangan lagi mendekatiku." Suaraku parau dan bibirku gemetar.

Jiro menghentikan langkahnya dan wajah pria itu tampak sedikit muram. "Saya mencintaimu, Iswari. Kembalilah padaku dan kita bisa bahagia lagi."

"Kamu tidak mencintaiku," elakku lirih seraya menggenggam pinggir meja makan kencang. Aku tahu jika Jiro tak ingin kehilanganku. Namun, bersamanya sama saja membunuh diri dan bahagiaku. Bagiku, seumur hidup bersamanya itu terlalu lama.

"Aku kembali untukmu dan Hiro."

"Kamu kembali untuk memastikan Hiro tak akan pergi dari hidupmu. Aku bukan wanita yang bisa hidup dengan prinsip patriarkimu. Aku bukan wanita yang bisa kamu kurung dan batasi geraknya. Aku mau kamu nikahi, karena berharap denganmu aku bisa mengembangkan diri dan mewujudkan harapanku untuk bahagia."

"Kita bisa bahagia bersama, Iswari." Suara Jiro lembut. "Kamu dan aku bisa menghabiskan masa tua kita bersama."

Aku tertawa miris. "Masa tua bersama?" Satu alis kunaikkan dan membuat gestur mengejek. "Kamu hanya ingin aku merawatmu saat tua nanti. Hiro adalah lambang untuk membuktikan jika hidupmu sempurna. Kamu tidak mencintaiku. Kamu memang butuh aku dan Hiro, tapi bukan untuk kamu cintai."

"Iswari," ucap Jiro dengan wajah seakan mempersuasiku untuk percaya padanya. "Aku akan berubah dan kita bisa mengulang semua dengan sistim yang lebih baik?"

Aku menggeleng. "Keluarlah beli bahan yang kubutuhkan. Aku tak ingin berada lama berdua denganmu. Aku tunggu." Tanganku menunjuk pintu keluar. Aku memalingkan wajah membuang muka. "Dan tak akan ada perubahan sistim apapun. Aku bukan karyawan atau bawahanmu yang harus selalu tunduk dengan setiap aturan mainmu," gumamku seraya berusaha menormalkan gedup jantung.

Jiro terdengar mengembuskan napas kencang, lalu berbalik meninggalkanku. Aku mendengar ia pamit pada Hiro dan berjanji membawakan anak itu coklat dan susu.

Aku duduk sendiri di meja makan dan menenangkan hatiku yang masih dilanda cemas. Jiro membutuhkanku, bukan mencintaiku. Ia memberiku banyak fasilitas, tapi menuntutku menjadi pribadi yang bukan diriku. Apa lagi, jika ia mengajakku ke acara yang memungkinkan kami bertemu mantan istrinya. Hiro adalah piagam yang akan ia pamerkan pada dunia. Ia akan memaksaku terus tersenyum seakan aku adalah wanita paling bahagia, padahal masih terasa sakit pada organ intimku dan beberapa tempat paskakekerasan yang selalu ia lakukan setelah kami bercinta.

Aku merenung sendiri memikirkan apa yang harus kulakukan agar Jiro tak lagi mendekatiku. Namun, segala pikiranku terdistraksi saat kudengar deru motor dan teriakan remaja yang bersautan.Tak lama, terdengar suara gaduh sesuatu tertabrak dan tangis Hiro yang kencang. Aku berlari ke luar dan terhenyak mendapati anakku berada beberapa meter dari rumah dengan kondisi berlumuran darah.

"Hiro!"

Teriakanku sekencang langkahku merengkuh Hiro yang menangis. Aku menatap dua remaja awal belasan tahun yang tengah bangun dari jatuh bersama kendaraan roda dua. Para tetangga keluar dari kediaman mereka dan menolongku yang menangis pilu membopong Hiro.

Jiro datang dengan mobilnya tak lama setelah aku berdiri. Dia tampak marah. Kilatan matanya memancarkan emosi yang tinggi juga khawatir melihat kondisi putra kami. Saat mendengar remaja itu minta maaf atas khilafnya, tangan Jiro mengepal dan menghadiahkan dua atau tiga lebam di wajah mereka.

Aku semakin panik melihat kekacauan ini. Aku meneriakkan nama Jiro dan minta ampun padanya di tengah jalan. Aku takut dia melakukan hal yang membahayakan keselamatan karir dan hidupnya di Indonesia kelak. Jiro tak boleh memiliki catatan hitam di manapun dia tinggal.

"Pergi ke rumah sakit sekarang!" Jiro membentakku dan membuka pintu Fortuner hitamnya. Aku menurutinya menaiki kursi depan penumpang.

Entah mana yang lebih tepat, sebagai alasan tubuhku gemetar saat ini. Kehadiran Jiro di sebelahku, mobil ini yang berjalan seperti kesetanan, atau Hiro yang kepalanya tak henti mengucurkan darah. Aku terus mengambil tisu yang ada di dalam mobil itu dan menutup lukanya yang tampak panjang di dahi.

Saat kendaraan Jiro memasuki area rumah sakit, ia berteriak pada petugas di depan IGD. Aku turun dan menangis meminta tolong petugas medis agar menyelamatkan anakku. Hiro masih berteriak dan sesegukan dalam gendonganku. Petugas medis bergerak cepat menangani luka-luka Hiro.

Suasana ini begitu tegang. Aku dan Jiro tak berucap apapun hingga Hiro selesai diberikan pertolongan pertama. Hiro harus melakukan serangkaian tes untuk memastikan tak ada keretakan atau apapun yang terjadi akibat kecelakaan itu.

"Kami anjurkan rawat inap sambil menunggu hasil tes tetanus. Adiknya demam dan kami harus observasi hingga yakin tidak ada infeksi atau luka lain di dalam organ."

Aku hanya mengangguk menyetujui apapun yang dokter katakan. Jiro melakukan registrasi dan meminta pelayanan terbaik dari rumah sakit ini untuk anaknya. Hiro tampak lebih tenang setelah jarum infus tertanam dan aku tak tahu apa yang disuntikan oleh perawat hingga Hiro kini tertidur pulas.

Napasku berangsur tenang saat kami memasuki kamar rawat VIP rumah sakit ini. Hiro tertidur dengan beberapa perban menutupi lukanya di sekitar wajah, tangan dan kaki. Aku duduk di sofa yang tersedia dan memejamkan mata untuk menenangkan diri. Namun, semua itu sirna saat cengkaraman tangan Jiro terasa di lenganku dan pria itu memaksaku berdiri. Aku membeliak dan terkejut melihat wajahnya dan keras dan penuh dengan amarah.

"Dasar bodoh! Menjaga Hiro saja tidak becus!" Ia berteriak di depan wajahku dan menampar pipiku. "Aku hanya pergi mencari kecap dan minyak yang kamu pinta dan kamu mencelakakan anakku." Satu pukulan kurasa di kepala.

Aku meringis pilu dan menangis dengan tubuh gemetar saat rambutku terasa dijambak. "Maaf. Maaf," cicitku memelas. "Jangan pukul aku. Aku minta maaf."

"Kamu wanita bodoh! Ibu tidak berguna!" Tarikannya pada rambutku semakin kencang. Tangisku semakin deras, tapi tak bisa bersuara karena Jiro berhasil mengintimidasiku hingga merasa tak bertenaga lagi bahkan untuk meminta tolong.

Kilat kenangan saat kami bersama dulu, perlahan datang dan membuatku semakin kalut dan takut. Aku hanya terisak tanpa bisa bersuara. Dadaku rasanya sesak dan hanya bisa pasrah menerima setiap bukti amarahnya di tubuhku.

Rasa sakit yang menyerang itu, seketika hilang saat pintu kamar rawat ini dibuka dan runguku mendengar teriakan Ibu dan Isyana. Di balik penglihatanku yang buram akibat air mata, aku melihat wajah terkejut Yoppy dan Isyana, kepedihan Ibu, serta ... amarah Mas Danis?

"Bajingan!" Yoppy terlihat maju dan hendak menyerang Jiro. Aku tergagap melarangnya seraya menggeleng penuh permohonan.

"Ja—ngan. Jangan pukul dia. Ja—ngan!" Aku menatap Yoppy memelas.

"Panggil perawat ke sini!" Teriakan Mas Danis terdengar bersamaan dengan tubuh Jiro yang melepasku dari cengkramannya sejak tadi. Aku duduk terjatuh di atas lantai dengan kondisi tubuh yang terasa hancur. Ibu menangis dan memelukku hingga napasku yang tadi kian sesak, terasa berangsur normal.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top