18. Sakit
"Kamu baik-baik saja?"
Aku terkesiap saat mendorong pagar rumah Mas Danis dan hendak masuk ke kediaman itu. Mas Danis berdiri bertopang dua kruk, dengan wajah yang kulihat tampak kuatir. Aku menutup pagar dan berjalan mendekat padanya seraya memindai wajahnya yang ... "Mas belum mandi? Sedang berjemur?"
"Aku tanya. Apa kamu baik-baik saja?" Sorot matanya tajam menatapku dengan wajah yang tampak ... cemas?
Alisku bertaut dengan seringai hendak tertawa. Mas Danis wajahnya berbeda. Entah benar-benar tampak hangat, atau ini karena efek terkena sinar matahari pagi? Aku seperti masuk ke dalam rumah Mas Danis empat atau lima tahun lalu. Saat ia selalu menungguku masuk dan bertanya bagaimana kabarku. Aku mengerjap seraya menggeleng kepala. Tidak, ini bukan empat atau lima tahun lalu. Saat ini adalah hari ini, satu hari setelah aku ijin sakit.
Aku tersenyum simpul seraya membuka sepatuku dan masuk ke dalam rumah. "Mau Iswa siapkan air hangat? Iswa ke kamar Mas Danis dulu, siapkan baju."
"Iswari!"
Langkahku terhenti dan berbalik pada Mas Danis. Aku mengerjap lambat dan membalas tatapannya yang membuat hatiku berdesir hangat. Ada khawatir yang kutangkap dari birai matanya. Namun, aku harus menahan degup ini agar tak berharap apapun pada wajah dan tatapannya yang tampak cemas menungguku. "Mas harus ke kantor. Tidak boleh telat. Seingatku, hari ini ada janji dengan teknisi freezer yang kemarin rusak. Mas sendiri yang bilang ingin bertemu dengan teknisi freezernya. Jadi, lekas mandi dan bersiap."
Aku melengos dan melanjutkan langkahku menuju kamar mandi. Aku mengambil kursi plastik yang biasa Mas Danis pakai untuk mandi dan menyiapkan handuk serta perlengkapan lainnya di tempat yang bisa ia jangkau saat duduk di kursi ini.
Mas Danis tetap menatapku tajam dan lamat selama aku mengatur suhu air hangat dari shower. Aku hanya membalas tatapannya singkat, lalu keluar dan pergi menuju kamar tidurnya. Mas Danis tak lagi bertanya dan masuk ke kamar mandi.
Saat membuka lemari, aku melihat tumpukan baju anak yang tempo lalu kuintip dari kantung belanja. Aku tak habis pikir dengan sikap Mas Danis. Ia bersikap manis, tetapi membuangku. Ia cemas namun tak acuh pada sedihku. Sebenarnya, bagi Mas Danis aku ini siapa?
Aku menarik satu celana kain dan kemeja, lalu duduk di tepi ranjang. Aku hanyut memikirkan nasib di hidupku saat ini. Janda dengan satu anak yang harus berjuang bangkit karena tak ada yang mencintaiku lagi. Jiro tak pernah mencintaiku, aku tahu itu. Sedang Mas Danis, tak lagi memberikan kesempatan untuk kami bersama lagi.
"Iswari." Aku tersentak dari lamunanku dan menoleh pada Mas Danis yang ternyata sudah berdiri di ambang pintu kamar ini. seperti biasa, ia hanya tertutupi lilitan handuk di pinggangnya.
Aku berdiri dan membantunya duduk di tepi ranjang. Aku mengambil baju yang kusiapkan, lantas melutut di depannya. "Iswari baik-baik saja," mulaiku sambil mengambil kakinya untuk masuk ke lubang celana. "Dia datang memberikan Hiro kartu asuransi kesehatan. Iswa tidak dapat karena bukan istrinya lagi. Dia bilang, dia akan memberikan semua benefit yang ia dapat dari kantornya pada Iswa, jika kami bersama."
Aku mendongak dan mendapati Mas Danis menatapku lekat. Aku menarik celana ke atas dan Mas Danis mengangkat tubuhnya dengan kruk agar aku bisa membuka lilitan handuk itu dan mengancing celananya.
"Usai dia pulang, Ibu cerita kalau dia memiliki rumah di kawasan elit Karawang. Ibu meminta Iswa memikirkan tentang rujuk dan memperbaiki rumah tangga kami. Menjadi pejabat tinggi perusahaan, tentunya menjanjikan hidup enak. Namun, Iswa tetap menolak." Kini, aku mendudukkan Mas Danis lagi dan mengambil kemeja. "Ibu dan Isyana tidak tahu tentang apa yang Iswa alami di Jepang. Hanya Mas Danis tempat Iswa mencurahkan segala rasa yang Iswa punya. Meski Mas tetap tak mengerti tentang apa yang Iswa mau terhadap hubungan kita, tak mengapa. Mas mau mendengar Iswa saja, sudah cukup."
Mas Danis tak bersuara. Tatapannya terasa tak putus padaku, selama aku bercerita dan memakaikan ia baju. Saat hendak mengancing kemeja, tanganku mengusap lembut dadanya dan merasakan bagaimana jantung itu berdegup. Iramanya menyenangkan. Detaknya mengingatkanku pada saat-saat kami berdua dan saling mengalirkan rasa cinta. Entah berapa lama telapak tanganku berada di dadanya dan merasakan irama cinta itu. Saat hendak melepas, Mas Danis menahan tanganku dan menggenggamnya erat.
Kami saling menatap dalam hening. Ia tahu, jika hanya di depannya aku menjadi sosok Iswari yang sesungguhnya. Hanya padanya, aku membuka semua luka dan bahagia yang kumiliki. Ia tahu, hanya dia pria yang membuatku nyaman dan berani melangkah ke depan. Ia tahu semua itu, tetapi memilih mendorongku jauh.
Aku tersenyum getir padanya dan berbisik lirih karena oksigen perlahan terasa menipis. "Mas tahu jika aku masih mencintai Mas."
Mas Danis menatapku dengan binar sendu. Aku tak tahu mengapa ia selalu menatapku seperti itu. Seakan ia harus merelakan dan melepasku meski berat. Padahal, aku selalu membuka isi hatiku padanya. Matanya sayu, seakan ada kepedihan yang menimpa dirinya dan harus pergi jauh dari hidupku. Sayang, Mas Danis tak pernah mau menjadikanku sandarannya lagi.
"Kembalilah padanya, sekalipun masih ada cinta untukku." Bahkan, saat mengucapkan ini, remasan tangannya pada genggaman tangan kami sangat kencang. Ia seperti mengeluarkan segala emosi yang terpendam sendiri dalam sanubarinya. "Andai pun kita bersama, kamu tak akan bahagia." Entah ini perasaanku saja atau bukan, mata Mas Danis tampak berlinang dan ia mendongak serta mengerjap cepat seraya melepas tautan tangan kami.
Rasanya seperti tenggelam dalam lautan dalam. Berat dan tak ada udara untukku bertahan. Tanganku gemetar mengaitkan satu per satu kancing kemejanya. Saat semua selesai, aku mengambil handuknya dan keluar kamar. "Iswa buatkan roti goreng dan teh hangat," teriakku sambil lalu dan mengusap bulir yang sudah terlanjur jatuh di wajah.
*****
Hari ini terasa buruk dan berat. Sepagian di kantor, Mas Danis seperti hilang fokus. Apapun yang teknisi itu jelaskan, Mas Danis seperti tak paham. Begitu pun saat siang hari kami ke klinik Mas Iko untuk terapi. Mas Danis seperti tak memiliki tenaga dan semangat seperti biasanya.
Mas Iko sampai marah dan tampak kesal dengan sikap Mas Danis selama sesi terapi. Kami dua kali istirahat demi memulihkan tenaga dan mood Mas Danis, tetapi semua sia-sia. Kata Mas Iko, semua targetnya hancur lebur akibat Mas Danis yang seperti tak memiliki gairah hidup.
Melihat Mas Iko yang gusar dan Mas Danis yang muram, aku memutuskan untuk mengakhiri sesi terapi saja. Saat taksi yang kami tumpangi berhenti di depan rumah Mas Danis, tatapan pria itu menyoroti anak-anak yang berkerumun bersama pengasuh mereka. Ada Hiro juga, bersama Ibu yang tengah menyuapi anak itu makan sore.
Aku menelisik netra Mas Danis dan lagi-lagi, tatapan sendu itu tersirat nyata. Bibirnya melengkungkan senyum lemah dan wajahnya menggambarkan kepedihan dalam. Aku tak tahan dengan sikap Mas Danis seharian ini. Ia tampak seperti pria frustrasi yang tak tahu harus melangkah kemana untuk menggapai harapannya.
"Bapak supirnya harus ambil penumpang lagi, Mas." Aku berdeham hingga Mas Danis tersadar dari tatapannya pada anak-anak itu. Ia bergerak turun dari mobil dan kubantu hingga kami masuk rumah.
Ia duduk di tepi ranjang dan kembali terdiam dengan pandangan kosong mengarah entah kemana. Aku jengah. Sungguh, aku jengah dengan manusia yang tak memiliki harapan dan usaha untuk meraih bahagia. Aku mendengkus keras seraya meletakkan tas kerjanya, lalu melangkah penuh emosi menuju dirinya.
Aku berdiri tegap di depan Mas Danis yang masih terduduk di ranjang. Ia mendongak dan menatapku dengan mata yang nanar. Hatiku bergemuruh dengan emosi yang tak bisa kugambarkan. Yang jelas, aku mendekatkan diriku padanya dan merengkuh pria itu untuk masuk ke dalam pelukanku. Emosiku sudah di atas kepala dan kesabaranku sudah di ambang batas.
"Keluarkan semuanya!" Aku membentak Mas Danis seraya mencengkram erat rambutnya. Wajah Mas Danis tenggelam dalam perutku dan tak lama isak tangisnya terdengar. Kurasakan tangannya melingkari pinggangku dan mengeratkan pelukan kami. Hatiku berdenyut nyeri mendapatinya teluka tanpa tahu apa sakitnya. "Iswa di sini untuk mendampingi Mas, menemani Mas, memeluk Mas jika Mas butuh sandaran. Iswa di sini untuk menjadi teman berbagi Mas, seperti saat kita masih bersama." Suaraku lantang memarahinya, namun tubuhku gemetar dan wajahku basah air mata.
Mas Danis semakin menyurukkan wajahnya pada perutku dan kurasakan pakaianku basah.
"Mas memintaku untuk kembali pada pria itu. Mas bilang tak bisa membuatku bahagia. Baik, Iswa akan tinggalkan Mas, tapi Iswa tak akan kembali pada pria itu juga. Iswa ingin bangkit dan mewujudkan sendiri harapan Iswa untuk bahagia. Mas kerap melamun dan menatap Hiro dengan wajah sendu. Ah, mungkin Mas ingat dengan mendiang istri Mas dan anak kalian yang tak sempat lahir? Iswa turut prihatin."
Cengramanku pada rambutnya semakin kencang. Mendapati kemungkinan terakhir membuatku terasa hancur.
"Jika Mas memang rindu wanita itu, Iswa mau menemani Mas mengunjungi makamnya. Abaikan saja cemburu Iswa. Toh, ada atau tidak dia saat ini, Iswa tetap tak memiliki kesempatan untuk kita bersama lagi, bukan?" Suaraku parau. Aku gagal menutupi getirku pada keadaan kami. "Iswa hanya mau kita bisa tersenyum lagi dengan hati yang bahagia meski harus melangkah di jalan yang terpisah."
Tangis kami pecah bersama. Mas Danis tetap tak bersuara dan hanya mengeluarkan semua pilu yang menggelayuti hatinya. Nahasnya, aku tak tahu apa yang menyebabkan pria ini begitu rapuh dan pecah. Andai ia mau berbagi, aku tak masalah terluka atau mati demi membuatnya bahagia.
Aku menoleh pada pintu kamar saat merasa ada yang memperhatikan. Ibu Mas Danis berdiri di sana, di ambang pintu kamar ini dengan mata yang juga tampak hancur melihat anaknya.Wanita itu menatapku dengan binar seakan memohon sesuatu namun aku tak tahu apa. Ia tak bicara sepatah pun padaku.
Aku melerai pelukan kami dan berlutut di depannya. Kami saling tatap sesaat, sebelum aku menarik kepala Mas Danis untuk bersandar di pundakku dan berpelukan lagi. "Selesaikan sekarang," pintaku lirih di telinganya. "Selesaikan semua sakit itu sekarang dan kita bisa tidur dengan lelap. Semoga ini hanya mimpi dan esok kita bisa bangkit lagi."
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top