13. BIngung

Jika boleh memaki diri sendiri, aku akan berteriak dan mencaci serta menghina hatiku. Ia selalu membangkang apa yang pikiranku perintahkan. Hatiku selalu menyuarakan sendiri keinginannya dan memaksa gerak tubuhku melakukan apa yang terbaik menurutnya. Seperti saat ini, aku mengarahkan kamera ponselku pada Hiro yang sedang berlarian mengejar kupu-kupu. Beberapa saat lalu, aku bahkan mengirimi Mas Danis vidio bagaimana antusiasnya Hiro menaiki kereta gantung.

Hiro masih bicara dengan bahasa Jepang dan aku masih sesekali mengoreksi agar ia menggunakan bahasa Indonesia. Ibu juga mengajari Hiro bicara dengan bahasa Indonesia perlahan layaknya mulai mengajak bicara seorang bayi.

Aku mengirimi lagi beberapa bidikanku ke Mas Danis. Tak lama, semua pesanku terbaca. Aku melihat status Mas Danis yang tengah mengetik balasan.

Andai kamu tidak egois, Hiro bisa pulang dengan banyak mainan atau baju baru.

Aku menyeringai pedih membaca pesannya. Iya, aku egois. Aku wanita egois yang hanya memikirkan keinginanku dan tak peduli pada pria yang mungkin saja membutuhkanku. Hiro, Jiro, juga Mas Danis, mungkin? Namun, aku memiliki alasan kuat mengapa memilih sikap ini. Sikap egois. Aku mengetik pesan balasan untuk Mas Danis.

Gajian bulan depan, Iswa akan belikan banyak mainan dan keperluan Hiro lainnya. Terima kasih untuk tawarannya.

Aku menutup aplikasi pesan dan kembali fokus pada Hiro yang meneriakkan namaku. Ia berkata lapar dan meminta ayam goreng untuk menu makan siang kami.

*****

Mas Iko datang saat aku sedang melayani sarapan Mas Danis. Aku meletakkan piring kosong di kursi yang Mas Iko duduki saat Mas Danis mengajak terapisnya untuk ikut sarapan bersama.

"Silakan makan apapun yang tersaji, Ko. Kecuali roti goreng telurnya. Itu punya gue." Mas Danis mengambil lembar kedua roti tawar goreng telur buatanku lalu menikmati dengan santai.

Kulirik, Mas Iko menyeringai ejek dengan satu alis terangkat namun tak membantah. Ia mengambil mie goreng buatan Ibu Mas Danis dan menyantapnya seraya bincang santai. Aku menyusul duduk setelah menghidangkan teh untuk Mas Iko dan ikut menyantap mie goreng yang tersaji.

Seperti biasa, Mas Iko memperlakukan Mas Danis tanpa ampun pada sesi terapi. Kedua kaki Mas Danis gemetar saat Mas Iko perlahan memancingnya untuk berjalan. Keringat mengucur deras membasahi wajah Mas Danis. Latihan kali ini memang kami lakukan di taman samping rumah. Mas Iko menitah Mas Danis pelan agar melangkah ke depan.

Mas Danis mengerang di tengah langkahnya. Kakinya masih gemetar dan peluhnya menetes dari wajah ke tanah. "Udah, Ko. Gak kuat, gue," keluh Mas Danis dengan nada memohon.

"Enggak," tolak Mas Iko tegas. "Jalan terus sampe gue bilang udahan." Mas Iko tak melepas genggaman tangan mereka dan terus menunggu Mas Danis agar tetap berjalan ke depan.

Aku yang menunggui mereka, ikut merasa cemas. Handuk yang sejak tadi kugenggam, terasa basah akibat telapak tanganku berkeringat. Jantungku berdebar melihat bagaimana Mas Danis melangkah satu per satu dengan sangat pelan dan penuh perjuangan.

"Ko ... gak kuat, gue. Udah gemeter ini kaki!" Mas Danis mengeluh kesal lagi.

Mas Iko menggeleng dan berkeras dengan programnya hari ini. "Tiga langkah lagi, baru boleh udahan."

"Mas Iko ...." Aku menatap Mas Iko penuh permohonan. "Sisa tiga langkahnya buat nanti sore aja. Biar sama Iswa gak apa. Mas Danis sampe basah keringat itu. Lagian ini sudah hampir tengah hari dan mataharinya terik banget," kilahku agar Mas Iko merubah keputusannya.

Sekali lagi, Mas Iko menggeleng. "Biar cepet sembuh. Biar bisa lari lagi kejar bini baru."

Aku tersenyum geli ditengah rasa kesalku pada Mas Iko yang terlampau tegas ke Mas Danis. Namun, senyum geli itu sirna dan berganti getir kala netraku menangkap wajah Mas Danis yang menatapku dari tempatnya bersama Mas Iko. Tatapan Mas Danis tampak dalam dan penuh misteri. Seketika, gerakku canggung. Aku berlagak mengikat rambutku yang berantakan dan mengambil botol minum untuk Mas Danis.

Tepat saat tiga langkah terakhir sudah selesai. Mas Danis menjatuhkan dirinya ke atas rerumputan dan berteriak kencang seperti orang baru selesai berlari kencang sepanjang ribuan meter. Keringatnya mengucur deras di bawah terik matahari yang menyengat. Aku menghampiri dan memberikan botol minum padanya. Ia meneguk air layaknya unta yang berada di tengah gurun. Usai Mas Danis menutup botol minum, ia membuka kedua kakinya berselonjor, hingga aku bisa duduk berlutut di antara kedua kakinya. Aku mengusap peluh yang ada di wajahnya, sedang Mas Danis mendongak dengan dua tangan menumpu tubuhnya.

"Mas Iko memang galak banget, tapi Iswa yakin Mas Danis bisa cepat pulih." Aku bergumam sendiri seraya mengusap peluh di sekitar leher dan tengkuk Mas Danis.

Tatapan Mas Danis kini mengarah padaku. "Lalu, kalau aku sudah bisa jalan?"

Aku mengangkat satu alis lalu mengerjap lambat seperti orang bodoh. "Mas Danis pecat Iswa sebagai perawat Mas. Tugas Iswa selesai dan kita berpisah lagi. Seperti maunya Mas, kan?"

Mata Mas Danis kembali terlihat sendu. Binarnya tampak sama persis seperti saat bercanda dengan Hiro tempo hari. Entah mengapa, ada nyeri dalam hatiku dan tanpa bisa kucegah, satu telapak tanganku terangkat dan menangkup pipinya yang masih terasa lembab akibat keringat.

"Kakiku masih sakit, Is," ucapnya lirih. "Saat ini masih terasa sakit jika digerakkan." Seketika, Mas Danis melingkarkan kedua tangannya di pundakku dan merebahkan kepalanya di dadaku.

Rasanya tak bisa kugambarkan, saat jantungku berdegup kencang dengan gemuruh hati yang memaksaku untuk membalas pelukan itu. Seperti yang kubilang, hatiku selalu membangkang apa yang otakku katakan dan tubuhku selalu berpihak pada hati. Aku melingkarkan kedua tanganku dan merengkuh tubuh itu. Aku tak peduli andai Mas Danis dapat mendengar degup jantungku dengan jelas.

"Jalani proses terapi ini, Mas. Anggap saja kita sedang berjuang berdua, seperti saat dulu kita membangun bisnis buah dan sayur milik Mas. Mas Danis selalu memberiku uang untuk biaya kuliah, membeli baju dan sepatu. Saat ini, Iswa akan selalu memberikan waktu dan tenaga untuk menemani setiap perjuangan Mas melangkah lagi." Aku mengeratkan pelukanku dan suaraku perlahan terasa semakin cekat. "Iswa pastikan Mas tidak sendiri melewati terapi ini. Kita akan terus bersama hingga Mas Danis pulih."

Aku bisa merasakan anggukan Mas Danis di depan dadaku. Selama beberapa saat, kami terdiam dengan posisi seperti ini. Hingga deru napas Mas Danis berangsur normal dan ibunya berteriak menyuruh kami masuk ke dalam.

Mas iko datang membawa dua kruk Mas Danis. Ia membantu Mas Danis berdiri dan jalan pelan menuju ke dalam rumah. Selang beberapa saat, Mas Iko pamit karena harus kembali ke klinik lagi. Aku bergegas menyiapkan pakaian Mas Danis karena setelah ini, Mas Danis memiliki janji temu dengan karyawan baru yang akan menggantikan staf keuangan selama cuti.

Saat aku tengah menyiapkan sepatu dan kaus kaki, Mas Danis masuk ke dalam kamar dengan hanya berbalut handuk di sekitar pinggang. Aku yang sudah terbiasa dengan tabiatnya yang satu ini, bergegas mengambil handuk dan mengeringkan kepalanya yang basah saat Mas Danis sudah duduk di pinggir ranjang.

Aku mengambil celana kain panjang dan memasukan kedua kaki Mas Danis dan menaikkan celana itu hingga pinggang. Mas Danis membuka belitan handuknya hingga aku bisa menarik resleting celana. Jujur, setiap melakukan hal ini, ada pergolakan batin yang kurasa. Hormonku seperti bereaksi namun harus tetap bersikap perofesional. Mas Danis adalah klienku, pasienku. Aku tak boleh memikirkan hal lain selain tugasku padanya.

Setelah celana, kini aku mengambil kemeja dan memasangkan di badannya yang tampak mulai berisi. Sejak kembali makan nasi dengan menu sesuai keinginannya, napsu makan Mas Danis kembali normal. Tubuhnya tampak liat dan berisi sesuai proporsinya.

Hampir seluruh kancing dari bawah hingga atas sudah terpasang. Tinggal satu kancing teratas dan selesai sudah. Aku tersenyum menatap Mas Danis yang rapi. Setelah ini, tinggal menata rambutnya, lalu kami bisa pesan taksi untuk pergi ke kantor.

Gerakku yang hendak beranjak dari hadapan Mas Danis terhenti. Ia menahan kedua pundakku, dengan posisiku yang melutut di depan ranjang. Aku mendongak dan ia menunduk menatapku. Mata kami saling bertaut dengan binar yang tak bisa kami tangkap artinya. Aku tak tahu, apa yang membuatku betah lama-lama beradu manik mata dengannya. Rasanya seperti tersesat dalam kedamaian dan tak ingin pulang lagi ke kenyataan yang pahit ini.

Apalagi, saat tiba-tiba aku merasa bibir kami bertemu dan tak tahu siapa yang memulai.

****

Holla ... ebook Replaying Love akan ada, tapi bukan sekarang ya ... versi ebook akan launching setelah yang versi cetak sampai ke Pembeli

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top