10. Patah Hati

Perkembangan Mas Danis cukup signifikan dan bagus. Begitu pun hubungan kami. Meski Mas Danis masih menjaga jarak, ia tak lagi berlaku kasar, dingin, atau keras. Saat ini, Mas Danis sudah meninggalkan kursi roda. Setelah dua bulan lebih aku bekerja merawatnya, melihat Mas Danis sedikit lebih lincah dengan dua kruk, membuat hatiku lega. Aku yakin, tak lama lagi Mas Danis bisa pulih dan berjalan dengan normal.

Mas Danis tak sekali pun menceritakan perihal mendiang istrinya padaku. Berbeda dengan aku yang seringkali mencurahkan isi hatiku yang pilu. Ia tak banyak memberi komentar atau masukan. Selama ini, Mas Danis hanya mendengarkan dengan sesekali mengusap air mataku jika terjatuh.

Padahal, aku merindukan Mas Danisku yang dulu. Mas Danis yang selalu memberiku motivasi dan semangat untuk tetap memiliki harapan. Kekasih yang selalu menghargai setiap usahaku dan mengapresiasi sekecil apapun pencapaianku. Andai Mas Danis mau membuka hatinya sedikit saja untukku, aku tak mengapa mendengarkan apapun yang menjadi alasannya berwajah murung di beberapa waktu.

Aku memang tak tahu bagaimana rasanya ditinggal pasangan oleh kematian. Mungkin ada hampa dan penyesalan yang Mas Danis rasa terhadap kepergian mendiang istrinya. Jujur, setiap melihat Mas Danis melamun sendiri dengan wajah sendu, ada perih yang menyerang hatiku. Aku cemburu. Aku ada di sampingnya, tetapi pria itu memikirkan wanita lain. Wanita yang bahkan tak akan kembali lagi padanya sampai kapanpun.

"Mas Danis," panggilku setelah mengetuk pelan pintu kamarnya. Sudah sejak lima menit lalu aku berdiri di ambang pintu ini seraya melihat wajahnya yang muram dengan pandangan kosong yang mengarah entah kemana. Mas Danis melamun lagi dan aku cemburu lagi. Mas Danis menoleh padaku dengan satu alis terangkat. "Diminta Ibu sarapan sekarang." Aku masuk ke kamarnya dan mengangsurkan dua kruk untuk ia pakai. "Ibu Mas Danis masih melarang Mas masuk kantor."

Mas Danis menerima kruk yang kuberi seraya menggeleng. "Aku tahu apa yang kubutuhkan. Aku pun tahu bagaimana kondisiku. Aku tetap ingin pergi ke kantor." Ia mulai berdiri dengan bantuanku dan berjalan dengan kruk yang menopang kanan dan kirinya. Kami berjalan pelan menuju meja makan dan mendapati Ibu Mas Danis sudah duduk menunggu.

"Istirahat saja, Danis. Tidak usah bekerja dulu."

"Danis sudah tujuh bulan tidak ngantor, Bu. Danis harus lihat kondisi kantor dan anak-anak."

Ibu Mas Danis mencebik tak terima. "Sayur mayur tetap tumbuh dan pelanggan kamu tetap butuh anak buah kamu untuk mengirimi mereka bahan pangan."

Aku melirik Mas Danis seraya menyiapkan sarapannya. Ia memintaku membuat roti goreng telur. Kali ini, dengan campuran kornet. Saat mengangsurkan roti itu padanya, Mas Danis tersenyum geli hingga matanya tampak menyipit. Senyum itu menulariku dan entah mengapa memberi energi positif padaku pagi ini.

"Danis tetap harus mengawasi anak-anak, Bu. Lagi pula, Danis pasti segera pulang jika lelah. Iswari bisa mengendarai mobil dan menemani Danis. Iya, kan, Is?" Kini, mata Mas Danis mengarah padaku dengan binar menuntut, lalu aku mengangguk mantap menyetujui.

"Enggak!" Tolak ibu Mas Danis keras. "Naik taksi, atau tidak usah keluar dari rumah ini." Wajah ibu Mas Danis menegang dengan mata yang mengilatkan berjuta emosi di dalamnya. Aku tertegun mendapati tangannya gemetar. Apa mungkin ... ibu Mas Danis trauma?

Mas Danis terdiam menatap ibunya. Mereka tampak beradu pandang dengan binar mata penuh emosi yang terpendam. Aku hanya mematung membiarkan waktu merajai semua ini. Hingga dehaman Mas Danis memecah ketegangan yang terjadi. "Iya, naik taksi," ucap Mas Danis pada ibunya. Ia lantas menoleh padaku seraya mengangsurkan ponselnya. "Pesankan taksi ke alamat kantorku. Semoga kamu masih ingat."

Tentu saja ingat! Kantor Mas Danis adalah rumah kedua kami. Tempatku dan Mas Danis saling mengisi energi positif dan memotivasi satu sama lain. Dulu, aku pernah dimarahi bawahan Jiro akibat salah menginput data tagihan. Aku menangis karena kaget jika dunia kerja bisa segitu ketat dan kejam. Mas Danis saat itu memberikan dua buah jeruk dan memintaku menghabiskan, seraya menenangkanku yang masih menangis dan sakit hati. Sejak itu, aku terbiasa kerja cepat dan hati-hati agar tak mendapati kemarahan atasan lagi.

Taksi yang kami tumpangi sampai di kantor Mas Danis pada pukul sebelas siang. Terlalu siang untuk sampai di tempat kerja. Namun, mau bagaimana lagi? Mas Danis butuh hampir dua jam untuk berbincang dengan ibunya dan meyakinkan beliau bahwa ia baik-baik saja. Selama menemani mereka berbincang, aku bisa menangkap kekhawatiran di wajah ibu Mas Danis. Trauma memang tak mudah hilang. Seperti aku, tak bisa lagi mendengar kekesaran apalagi merasakan.

Dan aku takjub. Mas Danis sampai berdeham menegurku karena tak kunjung membantunya turun dari taksi. Aku bergerak salah tingkah, lantas menyiapkan kruk serta membantunya turun. Saat kami memasuki ruko yang menjadi kantor Mas Danis, para karyawan menyambut kedatangan kami. Mereka memeluk Mas Danis mengucapkan selamat datang kembali setelah vakum selama tujuh bulan.

Beberapa dari karyawan Mas Danis yang kukenal, menatapku dengan wajah terkejut. Aku hanya tersenyum dan mengangguk saat mereka menyapaku dengan kening mengernyit samar. Aku yakin, pasti banyak pertanyaan di kepala mereka tentang aku yang tiba-tiba hadir kembali setelah meninggalkan Mas Danis.

Ruang kerja Mas Danis berada di lantai dua. Ia kesulitan saat menaiki tangga dengan kruk di kanan kirinya. Akhirnya, Mas Danis digendong oleh salah seorang karyawannya. Aku mengikuti di belakang seraya membawa kruk menuju ruang itu.

Pintu ruang kerja dibuka. Bayangan masa lalu kami seketika menyeruak memenuhi isi kepala. Aku terpaku di ambang pintu dengan pandangan yang meliar ke seluruh penjuru ruang ini. Tak ada yang berubah. Semua tetap sama seperti saat aku terakhir berada di sini. Selama beberapa saat memindai, aku tak menemukan satu pun gambar mendiang istri Mas Danis. Sama seperti di rumahnya, tak ada sedikit pun jejak keberadaan istrinya.

"Mas Danis mau makan siang apa?" Suara karyawan Mas Danis menyadarkanku dari lamunan singkat. Aku menoleh pada Mas Danis yang sudah duduk di kursi kerjanya.

"Soto surabaya Pak Kus masih ada, Mas?" tanyaku lancang seraya menatap mata Mas Danis. Semoga Mas Danis tak marah atas sikapku ini.

"Masih, Mbak, tapi harus cepat karena laris banget."

"Mas Danis mau soto Pak Kus?" tawarku hati-hati. Tatapan mata Mas Danis yang konstan dan dalam, membuat hatiku ciut. Aku takut Mas Danis menolak usulku, padahal aku rindu dengan menu favorit kami berdua jika sedang bersama di kantor ini.

Mas Danis mengangguk seraya menatap karyawannya. "Dua porsi soto ayam. Satu pakai sayap."

Karyawan itu mengernyit bimbang. "Bukannya Mas Danis gak suka kulit ayam?"

"Untuk Iswari," jawabnya seraya menatapku datar, dan itu berhasil membuat jantungku berdegup kencang. "Dia suka sayap ayam soto Pak Kus," lanjutnya yang berhasil membuat hatiku berkembang penuh cinta.

"Ada lebihan alpukat, Mas. Mau dibuatkan jus?" tawar karyawan itu lagi.

"Alpukat kocok saja!" usulku mengingat salah satu kudapan kesukaan Mas Danis. "Tolong belikan es batu sama krim kental manis. Nanti biar Iswa yang buat di pantry." Senyumku terkembang antusias membayangkan makan siang kami yang spesial. Soto kesukaanku dan alpukat kocok idaman Mas Danis.

"Es batu ada, Mbak. Di freezer produk beku. Tinggal ambil saja nanti."

Keningku mengernyit mendengar informasi karyawan ini. "Produk beku? Bukankah Mas Danis hanya menjual buah dan sayur?"

Karyawan itu tersenyum dengan wajah penuh bangga. "Sekarang kami juga suplai produk frozen, Mbak. Ruko juga sudah melebar ke samping. Semua produk beku kami simpan di ruko samping."

Aku menoleh pada Mas Danis dan tersenyum dengan binar takjub yang tak bisa kututupi. Mas Danis berhasil mengembangkan usahanya, sesuai dengan harapan yang dulu ia katakan padaku. Ia ingin mengembangkan usahanya demi memajukan taraf hidup orang-orang yang loyal padanya. Semua itu menjadi nyata. Rukonya bertambah dan skup bisnisnya melebar. "Sejak kapan?" tanyaku dengan nada senang dan turut bangga atas pencapaiannya.

"Sejak Mas Danis menikah, Mbak. Mas Danis bekerja semakin giat dan usaha ini berkembang pesat. Pelanggan kami bukan hanya restauran lagi, tapi sudah banyak hotel dan katering juga." Karyawan itu menjawab dengan jemawa sebelum pamit untuk menyediakan makan siangku dan Mas Danis.

Senyum bangga dan bahagiaku seketika berubah menjadi getir. Tatapanku pada Mas Danis bahkan berubah sendu. Jawaban karyawan itu menamparku pada satu kenyataan, bahwa bukan aku yang membuat Mas Danis menjadi maju. Aku ... kalah dari perempuan itu.

*****

Holla ... pre order replaying love masih berjalan yess ... jangan lupa pesen yess manteman hehehe


LopLop

Hapsari

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top