8. | Toples Bintang & Harapan

Hallo, bestienya Kagendra~
sorry ini bukan kejutan, tapi ada perubahan update; yang aku rencanakan Rabu, jadinya sekarang.

ini karena sampai Sabtu pagi aku ada kesibukan kerja yang lumayan menyita perhatian, hufftt
doain lantjar yayy, biar bisa ketemu Papanya Ravel lagi pas Mal-ming ... Aamiin ☺️

.

2.750 kata untuk bab ini
bacanya pelan-pelan
kalau bisa simpan buat Rabu aja
wakakakaka~


8. | Toples Bintang & Harapan


Dua minggu kemudian . . .
Karya Pradipandya, Main Building.
Kagendra's office

"Sudah datang, Pak."

Kagendra teralihkan dari beberapa berkas di mejanya, memperhatikan Fran berjalan masuk membawa toples kaca berisi puluhan bintang-bintang berbagai warna. Tutup toplesnya berwarna perak dengan tulisan nama yang rapi.

Kharavela A. Pradipandya, Grade 4A - I

"Kali ini juga dapat excellent star untuk kategori siswa paling aktif dalam pembelajaran." Fran meletakkan toples itu, berikut map kulit dengan logo sekolah Ravel.

Kagendra tersenyum, menerima semua itu, memeriksa setiap lembar laporan pembelajaran. Hari ini anaknya memang menyelesaikan satu semester awal di grade usia 4th dan dari beragam penilaian hasil pembelajaran, Ravel memang luar biasa.

"Semua task-nya selalu diselesaikan dengan pujian," sebut Fran, entah kenapa ikut bangga dengan apa yang diraih anak bosnya. "Untuk ukuran anak dibawah umur lima tahun, Ravel memang pintar ... pemberani dan percaya diri lagi. Dinosaurs yang banyak itu aja, hafal semua."

Senyum Kagendra melebar. "Hold telepon untuk lima belas menit ya, Fran."

"Baik, Pak," sahut Fran dan beranjak kembali ke mejanya.

Kagendra beralih meletakkan toples bintang itu ke lemari pajangan di belakang kursinya. Ada dua toples bintang serupa, sama penuh dengan yang baru. Sekolah Ravel tidak memberi nilai dengan angka atau huruf, namun memberikan sejumlah bintang untuk dikumpulkan setiap siswa setelah menyelesaikan tugas. Ravel selalu meraih bintang terbanyak di kelas, membuat Kagendra benar-benar bangga.

Kagendra kembali duduk di kursinya, meraih ponsel dan melakukan panggilan video.

Lyre mengangkatnya setelah dua deringan. "Hallo, Mas... udah sampai toples bintangnya?"

"Mana Ravel?"

"Papa udah janji ya, mau camping!" suara itu terdengar sebelum ponsel Lyre berpindah dan wajah Ravel ganti mendominasi layar. "Aku juga dapat sellent star, karena udah dapat ketiga kali, yang sekarang pakai d... dimon, eh, apa Mama namanya?"

"Diamond star," jawab Lyre lalu menyodorkan sesuatu yang segera Ravel pamerkan. Dua piala berbentuk bintang milik Ravel sebelumnya berwarna emas, yang sekarang tampak lebih berkilau karena dilapisi bahan seperti berlian.

"Nih! Bagus banget, 'kan, Papa?" pamer Ravel.

Kagendra mengangguk. "Anaknya siapa dulu?"

"Mama! Soalnya Papa enggak datang ke sekolah," sebut Ravel cepat sambil mengerucutkan bibir.

"Tapi Papa mau ajak camping, this weekend."

Sepasang mata Ravel membulat, teralihkan sejenak untuk menatap Lyre. "Naik jeep juga, Mama?"

"Coba minta Papa, boleh enggak?" pinta Lyre.

"Papaaa..." rengek Ravel.

Kagendra tersenyum lebar. "Janji dulu sama Papa."

"Apa? Apa? Apa?" Ravel seketika antusias.

"Bilang sayang yang banyak nanti waktu Papa pulang."

Ravel segera mengangguk-angguk, sampai kepalanya beberapa kali hampir membentur layar ponsel. Itu membuat Kagendra tertawa senang. Ia tidak sabar untuk segera kembali ke rumah.

"Mas, biar Ravel makan dulu ya ... dia minta pizza," ujar Lyre saat mengambil alih ponsel dari sang anak.

Kagendra mengangguk. "Kamu mau sesuatu?"

"Sesuatu?" tanya Lyre dengan kening berkerut.

"Hadiah."

Lyre menggeleng. "Enggak kepengin apa-apa."

Kagendra menarik sebelah alisnya, menunggu dalam diam sampai Lyre perlahan menyadari harus mengubah jawaban.

"Ng ... kalau bisa Mas Ndra pulang lebih awal," ucap Lyre kemudian tersenyum.

"Oke," jawab Kagendra lalu mengakhiri sambungan panggilan video, kembali fokus pada pekerjaannya.

***

"Papaaaa..."

Lyre memperhatikan Ravel berlari dari ruang tengah, meninggalkan puzzle yang tengah disusun bersama susternya dan langsung menubruk Kagendra yang baru melangkah masuk rumah.

Lyre geleng kepala karena berikutnya langsung riuh suara Ravel mengucapkan sayang berulang-ulang pada sang Papa. Kagendra tampak senang, menciumi pipi sang anak dan menggendongnya beranjak ke lantai dua.

"Enggak bisa tidur pasti itu nanti, kesenangan mau berangkat camping," kata Sus Emy sembari membereskan mainan Ravel.

Lyre tersenyum, membantu memasukkan keping puzzle ke dalam wadah. "Ravel mirip banget sama Papanya, semangat kalau udah excited."

"Enggak, soal semangatnya itu mirip ibu," ungkap Sus Emy dengan tawa pelan. "Ramah dan murah senyumnya juga, sampai disebut happy pills di kelas."

"Terima kasih ya, Sus, ini berkat Suster juga, yang selama ini banyak bantuin saya."

"Saya cuma ngikutin materi-materi dari ibu... kebetulan Ravel juga anak yang pintar, cepat tanggap, enggak gampang nangis." Sus Emy tersenyum lebar. "Walau kadang kalau lagi kangen Bapak jadi agak sulit, moodnya langsung kayak ilang gitu."

Lyre tahu itu, walau seharusnya Ravel terbiasa dengan ketiadaan Kagendra namun saat seharusnya bisa menghabiskan waktu bersama sang ayah dan masih harus bersabar karena kesibukan. Itu tetap membuat Ravel sedih, tidak jarang menjadi sangat rewel juga.

"Ngomong-omong ... ini Ibu enggak bikinin minum untuk Bapak?" tanya Sus Emy dan membuat Lyre terkesiap.

"Oh, iya, ya ampun," kata Lyre sembari beralih ke dapur, membuatkan secangkir teh hangat dengan aroma mint dan sedikit lemon.

Lyre memperhatikan pintu kamar anaknya yang tidak tertutup, mendekat dan mendengar obrolan di dalam.

"Harus potong rambut?" tanya Kagendra.

"Karena nanti udah kelas baru, makanya potong rambut ... terus setiap Senin pakai seragam, jelek seragamnya kotakan." Ravel memberi tahu dengan nada sedih.

"Kotakan? Oh, maksudnya kotak-kotak seragamnya?"

"Iya, jelek, warnanya oren. Auyi bilang enggak suka."

Lyre menahan tawa mendengarnya.

"Tapi sekolah memang makin lama begitu, ada aturan-aturan tertentu yang harus diikuti, seperti potongan rambut, pakai seragam atau jenis sepatu."

"Apa, turan-turan itu?"

"Aturan, itu kayak Mama kalau bilang Ravel harus bangun jam enam pagi setiap hari sekolah."

"Soalnya biar enggak telat."

"Iya, itu namanya aturan, dibuat supaya ada siklus yang teratur."

"Sikus? Yang lompat tinggi?"

"Itu sirkus! Siklus itu ... uhm..."

Lyre segera melangkah masuk ke kamar. "Hayoo, yang tadi katanya mau mandi kalau udah bilang sayang banyak ke Papa? Kok belum dilepas bajunya?"

Ravel seketika berdiri, mengangkat kedua tangan. Kagendra tertawa, menarik ujung kaus anaknya ke atas hingga terlepas melalui kepala.

"Ah, Papa lupa bilang," ucap Kagendra saat menatap sepasang mata anaknya yang jernih. "Terima kasih karena Ravel giat belajarnya, jadi anak baik juga di sekolah, dengarin Miss atau Mister di kelas. Ravel juga udah enggak nangis lagi kalau ada tugas pakai lem sama crayon."

Senyum Ravel seketika melebar. "Udah bisa ikat sepatu sama pakai kaus kaki yang benar, kanan-kiri soalnya beda."

Kagendra mengangguk, mengelus kepala anaknya. "Papa senang banget tadi dapat toples bintangnya, lihat excellent stars juga. Kharavela-nya Papa keren banget."

Lyre bisa melihat raut wajah anaknya yang seketika menunjukkan kegembiraan. Ravel juga kembali menghambur memeluk Kagendra, mengucapkan sayang berulang-ulang.

***

"Mama aku pakai tasku aja!" ucap Ravel, bergegas membawa tas sekolahnya ke kamar Papa dan Mamanya.

Lyre yang sedang memasukkan beberapa setel pakaian jadi teralihkan. "Isinya dikosongin dulu, terus bilang Sus Emy, minta snack sama susu gambar jerapahnya Ravel ya."

"Iya." Ravel langsung membuka risleting, mengeluarkan semua isi tasnya di karpet kamar orang tuanya. Tidak lama, anak itu berlari keluar kamar, berseru memanggil susternya.

"Ampun!" kata Lyre sembari beralih, membereskan isi tas anaknya. Ada selimut tipis bergambar dinosaurus, tempat pensil dengan ornamen yang sama, handuk kecil dengan rajutan inisial nama Ravel, sepasang kaus kaki bersih yang juga bergambar dinosaurus, tumbler minum yang kosong dan dompet lipat yang isinya kartu tanda pelajar milik Ravel. Kartu tersebut bisa digunakan untuk mengakses setiap vending machine atau ruang pembelajaran khusus di sekolah dan sebagai pengganti tiket masuk ke berbagai museum atau pameran anak setiap kegiatan mini trip.

"Besok pakai jaket yang mana?" tanya Kagendra yang baru keluar dari kamar mandi.

"Hitam, sama bawa jaket yang kembar sama Ravel," jawab Lyre lalu memengang kertas lipat yang cukup tebal berbentuk bintang seukuran telapak tangan orang dewasa.

Kagendra juga memperhatikannya. "Apa itu?"

"Dari tasnya Ravel," jawab Lyre.

Ravel kembali memasuki kamar sembari mendekap tiga bungkus snack dan lima susu kemasan. "Mama, udah ini snack sama susunya."

"Masukin ke tasnya sekarang," kata Lyre lalu menunjukkan kertas di tangannya. "Ini apa, Vel?"

"Bintang harapan, buat ditempel di kelas baru ... itu 'kan lipat dua, nanti yang atas dikasih foto liburan, bawahnya nanti ditulis harapan ... kata Miss Yuna, harapan itu hal yang paling Ravel pengin, selain punya dinosaurus beneran."

Kagendra tertawa, sama seperti istrinya. "Apa coba hal yang paling Ravel pengin?"

"Punya adik lima," jawab Ravel cepat.

Kagendra seketika menghentikan tawa, sementara Lyre mencoba tidak salah tingkah.

"A... adik?" tanya Kagendra.

"Iya, kayak Papa punya Tante Dede ... kata Oma Kikin, aku enggak boleh kalau satu aja adiknya kayak Papa, jadi lima biar banyak," ucap Ravel lalu tersenyum lebar sembari memasukkan setiap snack dan susu ke dalam tas. "Ah, boleh bawa grimlock, Mama?"

"Oo... i-iya, boleh," kata Lyre dan Ravel segera beranjak pergi, meninggalkan sepasang orang tua yang saling pandang dalam kebisuan paling membingungkan.

***

"Kok Ravel tiba-tiba minta soal adik?" tanya Kagendra usai menidurkan Ravel dan kembali ke kamarnya untuk bicara pada Lyre.

"Enggak tahu, tapi dulu emang Dede suka bilang soal adik ke dia."

Kagendra tahu itu. "Tapi dulu dia enggak pernah tertarik, kenapa sekarang malah minta? Lima lagi."

"Pelan-pelan aja kita kasih tahunya. Jangan khawatir, nanti paham juga kalau udah dijelasin." Lyre meletakkan sisir lalu menoleh ke tempat tidur. Kagendra duduk di pinggiran ranjang dan tampak berpikir keras.

"Aku baca-baca buku, gimana cara terbaik ngasih tahu anak soal cerai, dan itu katanya ya dengan membiasakan ke perubahan-perubahan kecil antara orang tuanya."

Lyre setuju soal itu. Ia beranjak dari depan meja rias dan duduk di samping Kagendra. "Iya, dan supaya dia tahu bahwa ini bukan jenis perpisahan yang menghilangkan peran kita sebagai orang tuanya. Kita memang harus kompak menjalankan co-parenting ... mungkin saat SD kelas tiga udah tepat untuk memberi penjelasan secara menyeluruh terkait perceraian."

"Apa alasannya?" tanya Kagendra, memperjelas maksudnya. "Apa kira-kira alasan yang paling tepat buat ngejelasin ke Ravel sebab perceraian kita?"

"Kesibukan bisa jadi alasan yang masuk akal."

"Kesibukan, ya..."

"Aku juga belum sempat-sempat mau ngobrol sama Bu Denira soal ini."

Itu nama psikolog keluarga tempat Lyre berkonsultasi selama dua tahun terakhir. Kagendra hanya pernah datang sekali, itu juga dirinya sangat malas dengan beragam pertanyaannya. "Ngobrolnya besok aja kalau udah resmi, soal perceraian kita enggak boleh sampai bocor ke orang lain."

"Eh, tapi aku udah bilang ke—"

"Fadie?" tanya Kagendra cepat.

Lyre geleng kepala. "Kenapa aku harus bilang sama Mas Fad—"

"Kamu tuh harus profesional panggil orang, apalagi si Fadie itu orang yayasan ... panggil Pak aja, udah paling bener itu. Mas-mas, kayak apaan." Kagendra menoleh istrinya yang masih memandang heran dan segera mengalihkan topik pembicaraan. "Jadi, siapa yang udah tahu?"

"Dina sama Yana, udah mereka doang."

"Aku juga cuma Waffa sama Fran."

"Shakti enggak tahu?"

Kagendra menggeleng. "Tapi kayaknya notice karena jadi sering banget ngasih update acara clubnya."

Lyre mengangguk. "Yana sama Dede yang masih sering clubbing, katanya emang makin seru dj atau kalau spesial event ... walau Dede biasanya enggak tinggal lama, begitu ketahuan langsung disusul Waffa."

"Waffa terlalu sabar," komentar Kagendra lalu merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. "Saat mereka menikah nanti, kita tetap harus jadi pasangan, ya, Re ..."

"Iya," jawab Lyre lalu menoleh suaminya. "Uhm ... Mas, aku belum jadi suntik, enggak sempat karena dua minggu kemarin juga sibuk persiapan pameran, terus ngerjain event Sweat Run dan acara sekolah Ravel."

Kagendra sebenarnya tidak senang, tetapi jika memaksa suntik sebelum berangkat besok juga bukan hal yang bijak. Lyre, entah kenapa, selalu demam dua hingga tiga hari setiap selesai suntik. "Pakai pengaman aja."

"Aku bawain enam, kurang enggak?"

Kagendra memperhatikan ekspresi serius istrinya, entah kenapa balas iseng bertanya, "Emang di laci masih berapa?"

"Selusin."

"Bawa semua."

"Semua?"

Kagendra menahan tawa. "Kenapa? Aku dua minggu kemarin full sibuk. Pulang dari acara camping juga paginya langsung berangkat lagi ... delapan hari tambah tiga hari kalau enggak salah."

"Ah, ya udah, aku—" Lyre terkesiap karena lengannya ditarik dan seketika tubuhnya ikut terbaring di samping Kagendra. Kepala suaminya itu kemudian bergerak mendekat, mengecup dari pinggiran pipi, menurun hingga dagu ke sudut bibir dan membuat pagutan lembut.

Lyre membalasnya, hanya sejenak karena kemudian teringat. "M... Mas, pintunya udah kids lock?"

"Hmm ..." sebut Kagendra, tidak paham kenapa itu ditanyakan. Ia sudah sibuk menjelajahi leher jenjang Lyre, meninggalkan kecupan, sekaligus gigitan kecil. Tangan kanannya berkelana, melepasi simpul-simpul kecil yang menahan bagian depan gaun tidur istrinya.

"M... Mas," sebut Lyre saat Kagendra beralih, menaungi tubuhnya. Jelas tidak sabaran sewaktu menarik turun bagian depan gaun sutera biru muda yang sepenuhnya longgar.

"T ... tunggu." Lyre menahan kepala suaminya sebelum benar-benar mencapai bagian dadanya yang sensitif dan seketika menegang. Ia harus memastikan satu hal, "Tunggu dulu, pintunya udah kids—"

"Ck!" decak Kagendra lalu memprotes, "Aku nunggu dua minggu, nunggu apa lagi?"

"Ravel!" sebut Lyre, nyaris panik ketika menoleh ke pintu, automatic handelnya begitu saja membuka.

"Mamaaaa..." seru Ravel membuat Kagendra ikut panik, menarik Lyre dalam dekapan dan berguling miring untuk menutupi setengah bagian tubuh sang istri yang sudah telanjang.

Ravel menarik selimut dinosaurusnya mendekati tempat tidur, matanya membulat dan jelas salah paham ketika kemudian berseru, "Waaaahhhhh ... Vel ikuuuuttt!"

Lyre menahan tawa ketika anaknya bergegas menaiki tempat tidur, tanpa aba-aba juga langsung menjatuhkan tubuh.

"Aduh," seru Kagendra karena sang anak mencoba ke tengah-tengah antara dirinya dan Lyre.

"Vel tengaaaaahhh..." seru Ravel setelah usahanya menyelinap di tengah orang tuanya tidak berhasil.

"Papa yang tengah," balas Kagendra dan bertanya. "Kenapa Ravel bangun lagi?"

"Ayo berangkat sekarang, camping-nya."

"Enggak bisa, berangkatnya besok." Kagendra kemudian melepas dekapannya pada Lyre, ganti mendekap Ravel dan berlagak menjatuhkan anak itu ke sisi sampingnya yang kosong. Ia memiringkan tubuh, menutupi Lyre yang segera merapikan diri. "Sekarang Ravel tidur lagi, ya?"

"Vel udah tidurnya." Ravel menatap bertanya. "Tadi Papa main apa sama Mama?"

"M... main?" tanya Kagendra sementara Lyre berjuang menahan tawa sembari membetulkan ikatan pertama bagian depan gaun tidurnya.

"Papa enggak boleh lho, main jatuh-jatuhan ... Mama soalnya 'kan perempuan, nanti nangis sama sakit, ya' Mama?" tanya Ravel, meminta konfirmasi dengan menegakkan tubuh. Sedetik kemudian menutup mata dan berseru. "Wahh... malu!"

Kagendra terkesiap ketika tangan-tangan kecil milik anaknya kemudian berusaha menutupi matanya. "Papa tutup matanya, Mama soalnya baru pakai baju!"

"Aduh! Kalau Papa bebas lihat Mama," ujar Kagendra dan menjauhkan wajah, memastikan ke belakang punggungnya Lyre tampak fokus merapikan diri.

"Enggak, Papa laki-laki, Mama perempuan, enggak boleh lihat kalau enggak pakai baju, soalnya malu."

"Iya, tapi Papa menikah sama Mama, itu bikin bebas lihat ... makanya kalau Papa sakit juga Mama yang bantuin Papa mandi, atau ganti baju."

Ravel membuka mata, bertanya dengan penasaran, "Papa enggak malu?"

"Papa emang mau."

"Mas!" protes Lyre, selesai merapikan gaun tidurnya dan segera membantu memberi penjelasan yang lebih tepat. "Papa dan Mama tetap malu ... tapi itu harus dilakukan, soalnya demi membantu. Sama kayak Mama bantuin Ravel pipis, terus mandi dan pakai baju."

"Tapi Vel 'kan anak kecil, kata Mama kalau udah gede nanti enggak ... Papa udah gede lho!"

Kagendra tertawa pelan, bergegas kembali mendekap Ravel. "Anak kecil jam segini harus tidur ... tiduuuurrrr..."

"Vel mau di tengah!"

"Enggak, Papa yang di tengah."

"Vel mau peluk Mama juga." Ravel mengerucutkan bibir. "Anak kecil masih suka peluk Mama."

Kagendra menahan decakan. "Tapi sebentar aja, ya?"

"Kenapa sebentar aja?"

"Karena Mama harus peluk Papa lagi."

Ravel ganti mengerutkan kening, tidak paham kenapa Papanya begitu membutuhkan pelukan Mamanya. Papanya bukan anak kecil.

Lyre tersenyum, memangku anak yang beralih mendekapnya. "Anak baik, kalau enggak tidur besok sampai tempat kemahnya ngantuk, enggak bisa main lho."

"Mau sekarang berangkatnya, Mama..."

"Sekarang istirahat, tidur dulu, biar besok puas mainnya." Lyre mengecupi pelipis anaknya, mempertahankan pelukan selama beberapa saat. Ia juga bernyanyi pelan, sembari sejenak mengayunkan tubuh. Ravel bisa lebih cepat tertidur jika Lyre melakukan itu.

Kagendra menunggu dan begitu Ravel lelap segera menepuk-nepuk bagian yang kosong di sisi kanan tubuhnya. Lyre bergeser membaringkan Ravel ke sana, membentangkan selimut bergambar dinosaurus untuk menyamankan sang anak. Setelahnya meraih remote control untuk mematikan lampu dan mengatur suhu ruangan.

Kagendra mencium kepala sang anak yang mendekut ke tubuhnya. Ia mengelus-elus punggung Ravel, sampai sepenuhnya yakin anaknya pulas baru bergeser menjauh, berbalik miring ke kiri, ganti memeluk Lyre.

Lengan kuat yang kemudian membelit pinggangnya, diikuti tubuh kekar yang otomatis menempel ke punggungnya membuat Lyre sejenak menahan napas. Kagendra selalu wangi dan karena suaminya tadi sempat gym sebentar, wangi yang melingkupinya ini terasa dua kali lipat lebih menggiurkan.

"Boobu..." suara gumaman itu terdengar diikuti decap-decap khas balita.

"Lho?" sebut Lyre dan memanggil pelan, "Vel?"

"Udah pulas dia, lagian boobu punyaku!" balas Kagendra, menunjukkan klaim dengan memegangi bagian yang dimaksudnya pada tubuh sang istri.

Lyre menggigit bibir merasakan remasan lembut. "Mau ke kamar mandi sebentar?"

Itu jelas ajakan yang menarik, namun Kagendra tidak mau mengambil risiko anaknya kembali terbangun. Ia juga lebih menyukai posisi tidurnya sekarang, benaknya bisa sepenuhnya menyadari keberadaan sang anak dan istri bersamanya. Ini melegakan, terutama setelah sempat mengalami mimpi mengerikan beberapa waktu lalu. Kagendra bermimpi kehilangan Ravel dan Lyre bersamaan, so traumatizing.

"Mas Ndra?" panggil Lyre.

"Mau begini aja," jawab Kagendra, menyingkap rambut lalu menyurukan kepala ke tengkuk Lyre, meninggalkan dua kecupan dan memejamkan mata.

[ to be continued ]


🌃

Sabar ya, Ravel
Bapakmu soalnya masih trauma sama mimpi buruknya ... wakakakakaa razain ~

Ngomong-ngomong ReNdra couple kalau rukun emang manis banget yha , pffttt ... berasa keluarga harmonis pada umumnya
Yha, rencananya 2-3 bab ke depan memang banyak harmonis moment. Ravel berhak dapat kenangan liburan terbaik, bersama Papa dan Mama ~

tim hujat bisa sejenak beristirahat ya
ganti tim uwa uwu yang bahagia, hahahaha

.


Ketemu lagi hari Sabtu (semoga bisa)
Thank you so much
❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top