7. | What if ...
Aloha ~
Siapa yang pilek / flu / radang?
Senasib euy ... bawaan pen tiduran bareng Keniko Fabian melulu 😌
.
anyway rating 1 sampai dengan 10 seberapa kzl kalian pada Kagendra?
udah siap dibikin lebih kesal lagi?
Xixixixixixixii
.
2.365 kata untuk bab ini
tarik napas dulu, bestie
bukan apa-apa, biar lancar aja waktu menghujat Kagendra, eaaa~~
⭐
7. | What if...
The Residence by Pradipandya
Zaferino Tower, Penthouse 1
"Bby... wait," sebut Waffa usai membuka pintu dan Desire langsung mendesaknya ke dinding, melanjutkan rabaan sembari berjinjit menciumi setiap jengkal wajahnya.
"I miss you," balas Desire, mengalihkan tangan ke leher tunangannya, menarik lebih dekat agar leluasa kembali berciuman mesra.
"Bby... Bby..." Waffa mencoba sebaik mungkin menahan diri, melayani beberapa kecupan sebelum menjauhkan wajah. "Wait... kayaknya ada-"
"Kenapa sih ka- waaahhh!!!"
Desire berteriak karena menyadari siapa yang berdiri di ujung lorong menuju ruang duduk, bersedekap dengan wajah muram.
Kagendra geleng kepala, mengeluarkan ponsel dan siap menekan barisan angka. "Pulang kamu, aku duluan nginep di sini."
"Nginep?" sembur Desire dan Waffa bersamaan, jelas keduanya keberatan.
"Aku telponin sopir, kamu pulang, De."
"Apa-apaan!" gerutu Desire, melangkah maju, merebut ponsel Kagendra. "Jangan nyebelin ya, Waffa baru pulang dari Bandung, lusa dia ke Manado!"
"Then?" tanya Kagendra.
"Ya, ini waktunya dia sama aku!" geram Desire.
Kagendra memandang datar, merebut kembali ponselnya. "Kalian udah pulang dari makan malam bareng, dan untuk tidur bareng itu seharusnya tunggu menikah dulu!"
Desire mendelik dan geleng kepala. Kagendra benar-benar tidak cocok memberi nasihat semacam itu. "Sendirinya ngehamilin Lyre sebelum menikah!"
"Justru itu, seharusnya kamu ambil pelajaran penting biar kejadian serupa enggak terulang di keluarga kita," kata Kagendra lalu memandang Waffa melewati kepala adik sepupunya. "Lo telpon Mama deh, bilang Pak Boim suruh jemput Dede."
"Ih! Enggak mau!" sebut Desire, kesal.
"You hear me, Mr. Zaferino..." kata Kagendra sewaktu sahabatnya masih diam saja.
Waffa menghela napas, menarik lengan Desire mundur. "Ayo, Bby ... aku antar kamu pulang dulu."
"Enggak mau, biar aja kalau Kaka mau-"
"Dia pasti telpon Mama habis ini."
"Mama blokir nomornya Kaka tahu," ujar Desire lalu menatap kakak sepupunya yang berdiri diam. "Perasaan tadi siang kelewat antusias nyulik Lyre, sekarang ganggu-ganggu orang mau berduaan, rese banget!"
"Ayo, Bby ..." ajak Waffa, merangkul tunangannya keluar dari penthouse.
"Gue bakal telpon simbok di rumah, kalau dalam setengah jam belum sampai ... habis Waffa ke Manado lanjut ke Bangkok dan Hanoi sekalian," seru Kagendra penuh peringatan.
Desire membalas dengan mengangkat jari tengah. Waffa menambahi dengan jari tengah miliknya dan mereka berujar bersamaan, "Fuck you!"
***
Waffa kembali dalam dua jam, membawa satu krat beer dan makanan. Kagendra tiduran di sofabed, menonton salah satu film yang dibintangi Lyre. Itu termasuk karya yang sukses, bahkan mendapat predikat film dengan raihan satu juta penonton tercepat.
"Lo bisa enggak minimal ngasih kabar sebelum menerobos masuk ke properti orang?" tegur Waffa saat duduk di sofa terdekat.
"Tower ini emang punya lo, tapi masih termasuk dalam jaringan properti gue ... dan sebagai satu-satunya Pradipandya yang punya hak dalam menentukan-"
"Ah! Iya, Ravel 'kan harusnya pakai nama belakang Kanantya," potong Waffa yang seketika membuat Kagendra melemparkan bantal sofa ke arahnya.
Waffa menerima lemparan itu dan balas melemparnya lagi, mengenai kepala Kagendra hingga tersentak ke samping.
"Wah! Brengsek!" maki Kagendra sebelum bangun dan langsung melayangkan tinju.
Waffa tidak kalah cepat beralih, menghadapi tinjuan Kagendra, menahannya dan ganti menarik cepat untuk membalas dengan satu bantingan. Ia tanpa ragu menahan Kagendra di lantai ruang duduknya. "Lo bisa tenang atau gue beneran harus mukul lo, nih?"
"Bangsat!!!" raung Kagendra.
"Lo ngaca, Babi!" ujar Waffa sebelum melonggarkan cekalan, membiarkan Kagendra membalas dengan menjegalnya, membuat mereka berakhir saling menendang dengan berbagai umpatan kasar terdengar. Waffa juga frustasi rencana berduaan dengan tunangannya jadi berantakan.
Butuh hampir satu jam hingga Kagendra akhirnya diam, menoleh Waffa yang menyalakan ponsel, membuka kamera lalu memfoto mereka berdua, mengirimkannya pada Desire.
"Lo ngapain?" tanya Kagendra dengan heran.
"Desire kadang curiga, kalau lo nginep tuh ngapain aja. Sekarang gue kirim bukti validnya."
Kagendra mencibir sebal, "Dasar cewek."
"Lo cuma iri karena Lyre enggak pernah curiga."
Kagendra meringis, menghela napas panjang dan memandang langit-langit ruangan yang berhias kandelir artistik, memancarkan cahaya lembut yang sesuai untuk memberi kesan hangat sekaligus nyaman.
"Desire bilang, tadi siang lo kayak keburu banget mau ngamarin Lyre ... Fran juga bilang lo enggak balik ke kantor," ucap Waffa lalu menjauhkan ponsel, bergeser hingga berbaring tepat di samping Kagendra. "Kenapa sekarang lo kayak pesakitan gini, Lyre tiba-tiba menstruasi?"
Sudut bibir Kagendra tertarik sedikit, membentuk senyum. "Enggak, gue dapat satu sesi quickie yang memuaskan."
"Terus?"
"Sebelumnya gue makan siang bareng Thira, ada Lyre juga, terus biasa ... Thira ngajakin entertain."
Waffa bisa menebak sisa ceritanya. "Si Thira nekat ngomong ke Lyre, ngajakin lo entertain? Wah, dia emang licin, Ndra."
"Lyre enggak nanggepin yang gimana di depan Thira, tapi pas pulang, baru juga selesai main, bahkan tubuhnya aja masih kecium wangi gue ... dia malah bilang gue seharusnya pergi menuhin ajakannya Thira, siapa tahu ketemu teman atau kenalan baru."
"Wah..." sebut Waffa lalu melirik Kagendra yang muram. "Tapi Lyre enggak salah juga sih, Ndra, biar-"
"Lo jangan ngomong kalau ujungnya ngebelain orang selain gue," potong Kagendra cepat.
"Inilah sebab gue berulang kali memastikan, lo serius enggak! Karena begitu lo lepas, Lyre beneran bakal bebas, Ndra ..."
"Gue tahu itu yang dia mau! Tapi apa harus dia ngomong begitu?" seru Kagendra mengepalkan tangan dan berujar dengan kesal, "Gue tahu dia enggak akan menahan, enggak akan menghalangi, atau menunjukkan keberatan ... tapi at least sampai akhir seharusnya dia tetap jadi istri yang menghargai kesetiaan gue."
"Gue rasa Lyre emang tahu lo setia ..."
"Tahu dan enggak peduli."
Waffa meringis. "Ck! Gue salah beli minum, aturan Macallan nih, atau Yamazaki dua puluh lima."
Kagendra diam saja, mengangkat tangan kanan untuk memperhatikan cincin kawin yang selama hampir lima tahun ini menjadi perhiasan wajib untuk dikenakannya. "Gue dulu pernah nanya, dia santai menghadapi perempuan yang terang-terangan ngegodain gue karena emang enggak peduli atau gimana ... dia bilang; I just not compete with the low class."
"Damn!" ungkap Waffa. "Desire yang dari lahir jelas high class aja tetep semangat ngejambakin kalau ada yang nekat kegatelan ganggu."
"Gue berlagak juga waktu itu, gampang buat gue dapetin tipe high class yang sepadan atau bahkan yang lebih dari dia, terus jawabannya ... go on, then. Telpon aku kalau beneran nemu, supaya aku bisa kenal, itu bakal memudahkan untuk saling beradaptasi, perlu kesepakatan dan pembagian waktu yang jelas."
Waffa melongo seketika, hampir tidak percaya menoleh Kagendra. "Lo serius, Lyre ngomong begitu?"
Kagendra mengangguk, menurunkan punggung tangan ke atas matanya yang memejam, menutupi setengah bagian wajahnya yang muram. "Semua orang berespektasi ke gue, sebagai penerus yang baik, sebagai pimpinan yang kompeten, pengusaha yang bisa membawa angin kesuksesan di bisnis ini. But my wife, she has no expectation at all, dia bahkan enggak berespektasi gue bakal setia."
"Elo beneran enggak mau coba, main-main kayak dulu dan siapa tahu-"
"Enggak."
"Lo beneran udah enggak bisa turn on kalau bukan Lyre? Apa gimana?"
"Bukannya enggak bisa, gue enggak mau. Bukannya enggak berani juga, tapi rasanya enggak tepat! Sialan emang, Lyre ... gue tahu dia juga clean, enggak bertingkah, enggak macem-macem. Makanya ... gue juga merasa ..."
Waffa menyadari maksud pengakuan Kagendra barusan. "Ah! Lo merasa wajib membuktikan kalau dalam pernikahan ini ... lo enggak seburuk itu."
Kagendra terdiam cukup lama, mengangguk pelan. Ia menarik napas panjang, lantas membuat pengakuan lirih, "Gue enggak seburuk itu, tapi dia juga enggak sebahagia yang seharusnya."
"Ndra..." sebut Waffa dan mengalihkan tatapan saat menyadari sahabatnya mengusap wajah dengan kasar. "Apa lo mau gue percepat proses sidang dan-"
"Enggak," jawab Kagendra cepat.
Waffa mengangguk, teralihkan karena suara notifikasi chat masuk. Desire mengirimkan voice note yang segera diputarnya.
"Dasar kekanakan!!! Bilangin Kaka, kalau dia masih rese nambahin jadwal kamu ke luar negeri, aku bisa lebih rese dengan ngenalin berbagai teman yang hot dan potensial ke Lyre! Rasain! Belum genap sebulan janda, Lyre bakal- bbbzzzzttt."
Sisa voice note tidak terdengar karena begitu Kagendra bangun langsung merebut dan melempar ponsel itu ke dinding, membuatnya rusak seketika.
Waffa menghela napas panjang. "Ganti ponsel tiga puluh lima juta, benerin dinding seratus juta."
"Dinding lo bahkan enggak kegores ya, Babi," sebut Kagendra dengan raut masam.
"Begitu jadi target kemarahan lo, dinding gue berpotensi mengalami kerusakan mental," jawab Waffa lalu terkekeh menerima lemparan salah satu kartu debit Kagendra.
"Pastiin Dede enggak bertingkah," ujar Kagendra saat beranjak, mengambil kaleng beer pertama.
"Desire sama lo tuh sebelas dua belas ... jadi kalau enggak mau dia bertingkah, lo juga jangan ganggu." Waffa bangun dari lantai, memperhatikan ponsel Kagendra di meja, mengambilnya untuk memesan unit ponsel baru, sekalian mengabari Desire. Chatnya terkirim bersamaan muncul chat baru dari Lyre.
Lyre Pradipandya
Mas, Ravel nangis.
Enggak mau tidur sebelum Papa pulang.
"Wah, Ndra ... Ravel nih." Waffa memberi tahu karena ada satu lampiran voice note.
"Apa?" tanya Kagendra memperhatikan ponselnya.
"Papaaaaaaa ... Om Fran bilang enggak ada pergi-pergi kerjaan, Papa pulaaaang..."
"Sial! Gue enggak pamit emang."
"Lo gimana sih? Pantesan kecarian."
"Gue cabut," kata Kagendra, langsung meletakkan beer yang baru dibukanya, mengambil ponsel sekaligus kunci mobilnya. "Jadwal lo pergi lusa, biar gue aja yang berangkat."
Waffa mengangguk. "Noted!"
***
"Papaaaaa ..."
"Iya, tunggu sebentar lagi pulang." Lyre menggendong Ravel yang gelisah dan sedih. Anaknya memang menjadi lebih sensitif jika mengetahui Kagendra pergi tanpa berpamitan. Bagi Ravel, jika sang Papa sudah terlihat di rumah, maka akan menyempatkan untuk menghabiskan waktu dengannya.
"Papa ..." rengek Ravel lalu mengangkat kepala dari bahu ibunya tatkala pintu lift membuka.
Kagendra mengulas senyum, melangkah keluar dan mengulurkan tangan. "Papa pulang..."
"Aaaa... lamaaa," ujar Ravel, balas mengulurkan tangan untuk berpindah gendongan.
Lyre diam saja saat Kagendra langsung membawa Ravel ke kamar anak. Ia beralih ke kamar utama, mengambilkan pakaian ganti lalu mengantarkannya.
Ravel sudah tampak pulas digendongan Kagendra. Bekas-bekas tangis anaknya juga sudah dilap dengan tissue basah. Lyre meletakkan pakaian ganti di meja kosong dekat pintu kamar mandi. Ia beralih merapikan tempat tidur Ravel, menata selimut yang tergulung karena anaknya sempat tantrum, menolak diberi penjelasan bahwa Kagendra ada pekerjaan mendadak, makanya pergi tanpa pamit.
"Lihat Ravel begini, mungkin aku perlu mengubah beberapa ketentuan ... atau emang seharusnya mempertahankan hak asuhnya sekalian," ujar Kagendra lirih.
Gerakan tangan Lyre seketika terhenti, tubuhnya juga menegak tatkala memandang Kagendra, rasa takut seketika membuatnya gugup berhadapan dengan suaminya itu.
"Kalau sekadar jadi orang tua tunggal yang baik, aku bisa mengusahakannya juga ..." sebut Kagendra mendekap Ravel lebih erat di dadanya.
"Tolong, jangan soal Ravel," pinta Lyre lirih. Ia tidak punya keberanian lebih jika sang anak yang harus diperebutkan. Lyre tahu dirinya tidak akan menang melawan Kagendra.
Kagendra mengangguk, menyadari sikap defensif istrinya. "Nyesel 'kan, kamu sekarang? Karena dulu memutuskan tinggal dan menikah, harus berbagi hidup denganku."
"Aku enggak bermaksud menyinggung Mas Ndra soal-"
"Selama ini kamu emang cuma bereaksi kalau soal Ravel, ya?"
"Mas..."
Kagendra beralih mendekat, membawa anak yang sejak awal menjadi permulaan hubungan mereka berdua. "Kalau mau saling kejam, aku lebih dari mampu ... Re."
Lyre mencoba tidak menangis, meski ketakutan sekaligus kesedihan tiba-tiba menyesaki batinnya. "Please ..."
"Then, just be nice, okay?" ujar Kagendra dengan penuh peringatan. Ia tidak suka membuat ancaman seperti ini, namun sikap Lyre sebelumnya benar-benar membuatnya kesal.
Lyre segera mengangguk, mengangkat tangan, mencoba menyentuh anaknya yang hampir terbangun. Kagendra bergerak mundur, menjauhkan Ravel.
"Mas ..."
"Ini waktunya dia sama aku," ujar Kagendra mencium-cium kepala sang anak agar kembali pulas di dadanya. "Kamu keluar aja, biar Ravel sama aku."
Lyre menggeleng, dahulu Kagendra pernah mengatakan hal serupa setelah mereka bertengkar. Pagi harinya Lyre tidak mendapati Ravel ada di mana-mana dan hal itu sangat menyiksanya lebih dari apa pun.
"J... jangan begini," ujar Lyre pelan, tidak mau merasakan lagi jenis kesedihan yang muncul karena tidak bisa memeluk anak sendiri.
"Kamu aja sana yang nyari teman baru!" sebut Kagendra dengan sengit, membawa Ravel berbaring di tempat tidur dan sengaja memunggungi istrinya.
Lyre menahan tangis, bergerak duduk di pinggiran tempat tidur, menunggu sejenak, mengumpulkan keberanian sekaligus keyakinan sebelum akhirnya ikut berbaring menempelkan kepala pada punggung Kagendra yang kokoh.
"I'm so sorry ..." ujar Lyre dengan sungguh-sungguh. Ravel teramat penting untuknya dan demi sang anak, ia mampu mengalah pada segala hal, termasuk suaminya ini.
Butuh setengah jam hingga akhirnya Kagendra berbalik dan mau menempatkan Ravel yang pulas diantara mereka. Lyre tersenyum lega, segera menghapusi sisa air matanya, menggenggam tangan Ravel yang terangkat dan terkulai di samping kepala.
Kagendra memperhatikan hal itu, menyadari bahwa sejak awal istrinya memang hanya merespon dengan lebih ekspresif jika menyangkut Ravel, anak mereka.
Empat tahun lalu juga begitu, tatkala mereka bertengkar karena Lyre berani meninggalkan rumah, melakukan casting untuk suatu peran di project film layar lebar. Begitu Kagendra mengambil Ravel, barulah istrinya sadar, bersedia menurut untuk tidak pernah lagi mencoba kembali berakting.
"What if Ravel never exist between us?" tanya Kagendra lirih setelah kemudian hanya terus saling berpandangan dengan sang istri.
Lyre tersentak sesaat mendengarnya. Kehamilannya dulu memang bukan hal yang direncanakan, namun begitu mengetahui ada kehidupan baru tumbuh dalam dirinya, itu membuatnya teramat bahagia.
"Re .. what if-"
"Then ... there's no us," jawab Lyre dengan rasa tercekat yang membuat batinnya ngilu. Ia tidak mau berada di dunia tanpa Ravel ... atau Kagendra.
"Sometimes, I wish we'd never met," ujar Kagendra lirih, memilih berbaring telentang dan memejamkan mata.
Jika mereka tidak bertemu, maka Ravel tidak akan tercipta dan mereka tidak akan ada. Lyre menyadari maksud ucapan suaminya, memperhatikan raut wajah lelaki yang kini tampak tenang, bersiap untuk pulas.
Lyre mengabaikan cubitan rasa sakit di hatinya, mendekatkan kepala untuk mengecupi jemari tangan Ravel. Pada setiap jenis kehidupan, dalam berbagai masa yang mungkin ada di dunia, Lyre sungguh ingin memeluk anak ini lagi.
"Sayang Ravel, selamanya," bisik Lyre lembut dan ketika jemari kecil anaknya balas menggenggam, setiap rasa sakitnya perlahan sirna, berganti rasa syukur ... seperti yang selalu dirasakannya. "Thank you for choosing us, Kharavela," imbuhnya sebelum turut memejamkan mata.
[ to be continued ]
🌃
ini mereka tinggal bilang I love you aja udah ayem lho sebenarnya (?)
Eits, tyda semudah itu.
Pokoknya Lyre itu tahu cintanya Kagendra yang sekarang belum pantas dibales dengan keseluruhan cinta yang dia punya. Jadi, ya emang kudu ditraining konflik~
.
Q: BURUAN CERAI AJA KAK ASHA!!!!
A: Enggak ada yang perlu diburu-buru, karena semua ada waktunya, eaaa slebaw~
Q: Kagendra ribet amat! Denial sendiri, emosi sendiri, eh ngelampiasinnya ke Lyre! Kalau cinta tuh ngomong, blak-blakan, ugal-ugalan sekalian.
A: Iya, nanti kita bikin Kagendra versi begitu, sabar ya kawan.
Q: Ini trope she fell first and then he fell harder ya, Kak?
A: Ng, semuanya Kagendra duluan yang mulai, dia juga yang bakal end up ngebucin. Pokoknya rumus paten di cerita aing; makin kampret, makin menyedihkan, dan makin bucin.
.
ngomong-ngomong, setelah seminggu ini berpikir ulang bagaimana cara menjawab rasa penazaran beberapa pembaca yang greget terhadap awal mula hubungan KaLe Couple ini, akhirnya aku kepikiran satu konsep cerita yang bisa memberi gambaran tanpa memicu spoiler.
akan tayang di hari Minggu, pukul delapan pagi.
bisa dilihat ya note-nya: tidak wajib dibaca karena tidak mempengaruhi jalannya cerita di wattpad. Jadi diharapkan kebijaksanaannya.
.
thank you
sampai ketemu lagi hari Rabu
❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top