6. | 'Teman' baru
Tarik napas dulu bestie
bab ini contains 3.800 kata
Just enjoooyyyy~
story rate 18+, just be wise reader ya
thank you
⭐
6. | 'Teman' baru
"Fran bilang bisa ngosongin waktu. Pas libur kenaikan grade, weekend ... buat camping." Kagendra memberi tahu saat mereka sudah keluar dari area parkir mall.
Lyre segera menambahkan info tersebut ke agenda di ponselnya.
"Fran bilang Camping Park Merapi itu jauh dari kota."
"Iya, kaki gunung ... dingin kalau pagi. Aku udah bilang Ravel kalau jadi camping, kita tetap enggak pakai tenda."
"Enggak pakai tenda?"
"Iya, tinggalnya di semacam exclusive mini resort, ada bath-up dan water heater juga kamar mandinya. Aku udah cek suhu rata-rata kalau pagi sampai delapan belas derajat, subuh lebih dingin lagi, makanya khawatir kalau outdoor camping pakai tenda nanti enggak kuat."
Kagendra mengerti, itu karena dirinya dan Ravel punya alergi terhadap suhu dingin. Mereka bisa terus bersin-bersin kalau sampai kambuh. "Enggak sekalian sewa villa aja?"
"Villa kegedean dan di lokasi penginapan ini ada outbond area, bisa kasih makan hewan, naik kuda, lava tour. Ravel pengin banget naik jeep, offroad."
Kagendra melirik sang istri. "Boleh emang?" tanyanya karena dibanding dirinya, Lyre yang selama ini lebih tegas menentukan mana yang boleh dan tidak Ravel lakukan.
"Ravel ngomongin itu terus tiga hari habis Ruhito, Auriga dan Altania camping bareng." Lyre meringis kecil dan menghela napas. "Aku bilang boleh asal setiap makan sayur enggak rewel, langsung nurut enggak dilepeh-lepeh makannya."
Kagendra ganti melirik anak yang pulas di kursi belakang, baru tahu apabila anaknya sempat sulit makan sayur. Dirinya waktu kecil juga begitu, paling tidak suka makan sayuran.
Tidak ada obrolan lagi yang terdengar hingga Kegendra menghentikan mobil di perempatan terakhir sebelum memasuki kawasan perumahan mereka.
"Mumpung di Yogyakarta, kamu ada rencana—"
"Enggak ada," sahut Lyre cepat, tanpa perlu Kagendra melanjutkan kalimat sudah tahu apa yang hendak suaminya tanyakan.
"Oke," jawab Kagendra dan kembali melajukan mobil.
Kurang dari lima belas menit, penjaga gerbang sudah mempersilakan mobil mereka memasuki halaman rumah. Kagendra memarkirkanya di samping mobil SUV.
"Aku tidur sama Ravel aja malam ini."
Lyre mengangguk. "Mandinya di kamar Ravel juga?"
"Kamu mau langsung mandi?" tanya Kagendra sambil mematikan mesin dan melepas seatbelt.
"Mau bareng?" tanya balik Lyre.
"Iya," jawab Kagendra dan keluar dari mobil untuk menggendong Ravel yang pulas dari kursi belakang, membawanya ke rumah.
Lyre menurunkan belanjaan, meminta pengurus rumah untuk memindahkannya ke dapur. Ia kemudian bergegas ke kamar, menyusul Kagendra yang selesai membaringkan Ravel.
***
Towa Matsukaze – Japanese Restaurant
"Re!" panggil Fayyana sembari berdiri dan mengangkat tangan. Itu karena adanya sekat-sekat sebagai pembatas antar meja yang ditempati para pengunjung.
Lyre melihatnya, segera mendekat. Ia mendekap beberapa berkas dari hotel-hotel yang baru selesai dikunjunginya. "Sorry, telat banget, ya?"
Desire menggeleng, "Enggak, Andina malah belum sampai, katanya masih nyari parkir."
"Iya, penuh di bawah, Pak Iman parkir di seberang."
"Udah sehat dia?" tanya Desire sembari bergeser.
Lyre menempati kursi di samping sepupu suaminya itu. "Masih agak batuk, jadi pakai masker. Sopir pengganti yang kemarin lumayan bawel, Mas Ndra enggak suka."
"Papanya Ravel segitunya enggak ngasih lo nyetir," sebut Fayyana dengan heran. "Apa takut Palisade-nya dibaretin?"
"Papi yang sebenarnya enggak ngasih, karena gue minus, terus sejak ganti Palisade emang belum pernah nyetir sendiri. Jadinya Mas Ndra agak-agak kaku juga mau ngebiarin gue bawa mobil." Lyre memberi tahu sembari menuang ocha dingin ke gelas tembikar yang tersedia.
"Ribet emang Kaka," gerutu Desire.
"Ngomong-omong Papi mertua lo masih belum ada perkembangan, Re?" tanya Fayyana dengan penasaran.
"Kemarin Mas Ndra yang jenguk sama Ravel, katanya masih stuck ... dokter bilang emang butuh keajaiban untuk bisa pulih lagi."
"Tapi jangankan pulih, status kesadaran aja belum nampak..." ungkap Desire dengan helaan napas panjang. "Nyokap setiap ke rumah sakit juga bisanya cuma nangis."
"Kita lagi meeting project Kirei Beauty ya itu, langsung gempar berita ... Tio Pradipandya diterbangkan dari lokasi pembangunan ke rumah sakit," sebut Fayyana dan mengulas senyum simpul. "Tapi mengingat bokap gue penyintas stroke yang sampai koma, keajaiban itu ada kok ... yah, walau habis pulih juga aktivitasnya lebih banyak di tempat tidur, tetapi asal enggak kehilangan harapan."
"Gue udah sering bilang gitu ke nyokap, tapi ya gitu ... karena mendiang bokap dulu lumayan lama komanya sebelum meninggal," kata Desire, geleng kepala untuk menghapus ingatan menyedihkan itu. "Om Tio bukan sekadar kepala keluarga Pradipandya, tapi penjaga kami semua, yang bisa ngatur Kaka juga."
"Emang Kagendra bertingkah apa?" tanya Fayyana.
Desire berdecak, ingin mengalihkan obrolan dan beruntung Andina terlihat ekor matanya. "Yan, Andina tuh."
Fayyana segera menoleh, kembali mengangkat tangan dan berdiri. "Dina!" panggilnya.
"Gila, gue parkirnya di gedung seberang, dikasih tahu Pak Iman ... papasan pas dia jalan keluar, dipinjemin kartunya juga." Andina menyodorkan kartu akses dengan logo jaringan perusahaan Karya Pradipandya.
Lyre menerimanya dan mengangguk. Selain dirinya, Desire juga memiliki kartu serupa, bebas akses masuk dan biaya parkir, karena gedung seberang memang dimiliki oleh keluarga Pradipandya.
"Gue jadi makin yakin untuk nungguin Ravel gede," ujar Fayyana sembari menatap Lyre penuh harap.
Desire terkekeh dan menggeleng. "Auto rejected."
Andina yang duduk di samping Fayyana begitu saja berujar, "Daripada kelamaan nungguin Ravel, tuh coba gebet bapaknya aja, yang sebentar lagi— eh!"
Lyre hanya terkesiap sementara Desire mendelik tajam. Fayyana mengerutkan kening, kebingungan memperhatikan ketiga rekan kerjanya bergantian.
"Jelek banget candaan lo, Din," omel Desire.
"Sorry," sebut Andina pada Lyre.
"Eh, tapi sebentar lagi apaan?" tanya Fayyana, penasaran.
Lyre menggaruk pipinya dan memberi tahu dengan nada tenang. "Gue sama Mas Ndra udah proses cerai, Yan."
Sepasang mata Fayyana membeliak sebelum dia begitu saja berseru, "Serius lo? Hahhh!!!"
"Yan!" tegur Desire lalu mengangguk kikuk pada beberapa orang yang langsung beralih perhatian.
Andina juga membekap mulut Fayyana yang melongo.
"Emmph!" sebut Fayyana dan melepaskan bekapan Andina. "Ini serius? Jelek banget bercandaan kayak begini nih, pamali."
"Iya, ini serius, udah dipanggil untuk proses pemeriksaan awal, melengkapi beberapa keterangan, sebelum nanti ada pemanggilan untuk mediasi tahap pertama." Lyre memberi tahu dengan nada tenang.
"B... berarti bukan baru-baru ini?" sebut Fayyana, tergagap saat memperhatikan Desire dan Andina tampak biasa saja. "Sialan, cuma gue yang enggak dikasih tahu, nih?"
"Gue accidental tahunya," kata Andina.
"Gue tahu sejak awal, tapi Lyre belum ngomong apa-apa jadi ya ngapain ngeduluin," ujar Desire.
Lyre mengangguk. "Sorry, ya, Yan ... bukannya enggak mau ngasih tahu tetapi karena—"
"Gue enggak minat, Re, serius deh! Gue enggak doyan sama laki atau bekas lakinya teman sendiri," sela Fayyana lalu menatap Andina. "Lo bercandanya tadi jelek emang..."
"Iya, sorry," ulang Andina.
"Eh, serius, gue enggak tersinggung. Setelah resmi bercerai nanti, itu juga sepenuhnya urusan pribadi Mas Ndra mau punya hubungan baru atau enggak." Lyre menegaskan sembari menatap Fayyana lekat. "Gue enggak langsung ngasih tahu karena selama ini setiap kita ngobrolin tentang hubungan pasangan selalu ada trigger mengenai perceraian ... gue pikir enggak bijak nambah-nambahin ketakutan itu."
"Tapi, emangnya kalian ada masalah?" tanya Fayyana.
"Singkatnya udah enggak cocok," jawab Lyre.
Fayyana menyipitkan mata, agak meringis saat menyadari satu hal. "Enggak cocok tapi Senin begini lo masih pakai turtleneck?"
"Ya?" sebut Lyre dan otomatis memegangi lehernya yang tertutup kerah tinggi. Pipinya bersemu tanpa bisa ditahan.
Andina seketika menahan tawa. "Gue juga ngebatin itu sebenarnya, dari minggu lalu bahkan."
Desire menyingkirkan tangan Lyre, memeriksa ke balik kerah dan menemukan bekas-bekas ciuman yang bahkan beberapa masih sangat jelas. "Brengsek, Kaka!"
"Dede!" kata Lyre sembari melepaskan tangannya dan membetulkan kerah pakaian agar kembali menutup leher dengan sempurna.
Andina baru akan melontarkan kalimat ledekan, namun kata-katanya terhenti karena memperhatikan sosok yang memasuki restoran. "Wah, panjang umur..."
Fayyana dan Desire seketika beralih perhatian, mengikuti arah pandang Andina. Tampak Kagendra baru memasuki restoran bersama seorang lelaki dan dua perempuan, penampilan mereka sama formalnya.
Lyre yang ikut beralih perhatian segera mengangguk saat Kagendra melihatnya.
***
"Lho, Ibu," sebut Fran usai menyadari arah pandang Kagendra. "Sama Bu Desire..."
"Ada kenalannya dari kantor?" tanya Athirah Budiono, rekanan yang setengah jam lalu baru menyerahkan beberapa proyek pada Karya Pradipandya.
"Istri saya," kata Kagendra singkat lalu menatap Fran. "Kamu booking meja di sebelah mana?"
"Oh, VIP I, silakan ke sebelah sini," ucap Fran segera mempersilakan Athirah dan asisten perempuan itu ke arah ruangan yang sudah dipesan.
Kagendra tidak ikut beranjak, memperhatikan Lyre merapikan rambut lalu beralih untuk mendekatinya.
"Baru mau makan siang?" tanya Lyre saat berdiri di samping Kagendra.
"Tadi rekanan dari TWI, kami baru selesai teken kerjasama untuk pembaruan beberapa area di TM-II." Kagendra memberi tahu dan menyodorkan lengannya.
Lyre memegangi lengan tersebut, mengikuti Kagendra berjalan ke ruang VIP yang dipesan. Lyre memberi salam, sekaligus mengenalkan diri, tidak lupa beramah-tamah dengan mengurus sajian menu makanan yang sesuai.
***
Fayyana menerima pesan singkat dari Lyre, memberi tahu akan makan siang bersama Kagendra dan para tamunya. Fayyana menatap Desire lekat. "Bener kata lo, Kagendra brengsek."
"Dari dulu Kaka emang gitu, seenak jidat."
"Dan playboy." Andina mengimbuhi dengan cibiran, "Selain gue, Yana sama Adora, anggota inti Dari Putih Biru ke Putih Abu-abu pas masih syuting udah kena modusnya semua, 'kan?"
Desire mengangguk, pertemanan mereka memang dimulai ketika sama-sama membintangi serial televisi remaja berjudul Dari Putih Biru ke Putih Abu-abu. Serial itu sangat populer sejak tayang perdana enam tahun lalu, Lyre merupakan pemeran utama bersama Coleentia Teja, sementara Desire, Fayyana, dan Andina merupakan teman satu geng Lyre.
"Lyre yang terakhir. Pertama dia macarin Coleen sebulan, putus karena ketahuan ngajak Sophie jalan. Sama Sophie jadian beberapa minggu gitu, enggak sampai sebulan. Pas ulang tahun gue itu, Kaka awalnya berangkat sama Marina, pulangnya ngegandeng Lyre. Enggak tahunya tuh berdua ngamar, bikin Ravel."
Andina yang sedang minum hampir tersedak. "Gue kaget banget pas tiba-tiba Lyre mutusin enggak lanjut season dua, terus ngilang gitu aja ... eh, pas lo balik dari Aussie terus ngajakin bikin bisnis bareng, dia udah gendong anak balita."
Fayyana geleng kepala. "Dulu banter kok selentingan kabar dia sama Kagendra married diam-diam karena hamil duluan ... Bernie salon yang ngasih tahu, Lyre potong rambut di sana sebelum lahiran, cincin kawinnya bikin silau katanya."
"Cincin Oma gue, dulu Opa belinya udah tigapuluh ribuan dolar, entah sekarang berapa tuh taksiran harganya," komentar Desire lalu mengambil komputer tablet di ujung meja untuk menentukan pesanan makanan.
Fayyana memperhatikan Desire yang kini sibuk memilih menu sup. "De, dulu ada gosip lo cabut duluan dari serial karena kesal soal Lyre sama Kagendra?"
"Enggaklah, gue beneran disuruh kuliah di Aussie ... gue emang enggak nyangka Lyre sama Kaka bakal jadi, karena hamil duluan lagi, tapi gue enggak pernah kesal. Lyre baik tahu, apalagi setelah ngasih bocah ganteng kesayangan ini," sebut Desire sembari mengelus foto Ravel tertawa di layar ponselnya.
"Kalau Kagendra balik playboy lagi, Lyre gimana?" tanya Andina dengan prihatin, ikut menekan menu makan siang yang dipilihnya.
"Lyre jelas bakal lebih hati-hati soal hubungan baru, tapi tenang, gue udah siapin hadiah perceraian ... 'teman' baru yang menyenangkan," ungkap Desire lantas mengedipkan mata, seketika membuat kedua temannya tertawa. "Tiga getaran, bisa maju mundur, 5.5 inch."
"'Anti baper ya, De," kikik Fayyana.
"Yes! Enggak perlu pakai komitmen dan yang jelas enggak bikin hamil duluan," tandas Desire membuat tawa kedua temannya semakin sulit ditahan.
***
"Saya baru paham, asisten saya dari tadi bilang Lyre Sagitta terus ... ternyata kamu ini artis," ungkap Athirah dengan senyum ramah, mereka baru selesai menikmati sajian sup pembuka.
"Saya sudah lama enggak kembali ke dunia hiburan," jawab Lyre sembari menuang genmaicha tea ke gelas tembikar Kagendra yang kosong.
"Lho, kenapa? Cantik lho kamu, saya aja penasaran ... rekomendasi klinik kecantikannya di mana."
"Terakhir perawatan di Kirei Beauty ... itu baru opening tapi hasil perawatannya sangat baik."
"Masih promo?"
"Untuk beberapa treatment khusus seperti botox dan tanam benang."
"Kalau treatment yang kamu ambil itu apa dan kisaran berapa promonya?"
Lyre mengerjapkan mata dan menggeleng. "Saya perawatan untuk skin booster dan uhm..."
"Istri saya enggak perawatan dengan harga promo atau diskon, dia membayar penuh semua perawatan yang dibutuhkannya." Kagendra yang memberi tahu, mengangkat sumpit ketika Lyre meletakkan piring sushi pertama yang disiapkan koki.
Athirah mendengar itu dan mengulas senyum. "Aduh memang begitu ya level Pradipandya ... pantesan Kagendra juga selalu punya alasan, nolak terus setiap ada ajakan ramah-tamah atau entertain."
"Mungkin butuh izin dari Bu Lyre, ya, Bu..." ujar asisten Athirah yang kini menuang cold ocha di gelas tembikar atasannya itu.
"Iya, lho, Re ... acara semacam itu 'kan bagus untuk lebih menjalin kedekatan," ujar Athirah, senyumnya terkembang, sekilas mengedip pada Kagendra. "Kasih izin lah, suaminya ya..."
Kagendra melirik Lyre, memperhatikan istrinya selesai mengatur sajian sushi lalu menatap Athirah untuk memberi tanggapan. "Saya bukan tipe istri yang berani melarang suami ... terutama terkait hal-hal yang akan mendukung bisnis Mas Ndra, izin selalu saya berikan."
"Tuh, Ndra ... udah dikasih izin. Malam ini ya..."
"Fran!" sebut Kagendra.
Asistennya yang baru mengunyah segera menelan dan memberi tahu. "Bapak ada jadwal malam ini, makan malam bareng Bu Kinar sekalian ketemu arsitek untuk project di Bali."
Lyre tahu itu jadwal bohongan, karena Kinar masih menolak menemui Kagendra baik di kantor atau di rumah sakit. Ibu Desire itu selalu memilih jadwal kedatangan yang berbeda.
"Sayang sekali ya ..." ungkap Athirah meski tetap mempertahankan senyum pada Lyre. "Tapi bukan masalah, saya senang bisa kenal sama kamu, Re ... supaya enggak salah paham juga, ketika nanti pertemanan dengan Kagendra bisa lebih dekat. Kami punya banyak rencana proyek bersama."
Lyre mengulas senyum simpul. "Senang juga mengenal Mbak Thira."
Athirah mengangkat sumpit, mengambil sisa nigiri sushi di piringnya, bermaksud memindahkan ke piring Kagendra yang kosong. "Ndra, ini enak lho .... dari tadi kamu enggak makan yang—"
Lyre menghalangi sumpit Athirah sebelum sushi itu mendarat ke piring suaminya. "Mas Ndra, enggak makan nigiri sushi kecuali buatan Jiro Sensei dan para penerusnya."
"J... Jiro Sensei?"
"Ya, yang restoran utamanya di Ginza ..." Lyre kemudian menatap lekat. "Jika ingin pertemanan yang lebih dekat, bukankah sebaiknya juga berhati-hati sebelum tanpa sadar melewati batas."
Athirah terkesiap mendengarnya, segera menarik sumpitnya kembali. "O... oh, I just wanna share my food."
"Mas Ndra enggak mau bagian makanan milik orang lain," imbuh Lyre.
Sudut bibir Kagendra tertarik ketika memperhatikan Lyre kembali makan dengan tenang. Ia begitu saja merangkulkan lengan, memiringkan wajah ketika menarik bahu istrinya lebih dekat ke arahnya, memberi ciuman bibir dengan bunyi decapan yang cukup mengagetkan orang lain dalam ruangan tersebut.
"Kebanyakan wasabinya," ujar Kagendra saat menjauhkan kepala dan memperhatikan sisa penghuni meja makan berusaha mengalihkan tatapan. Termasuk Fran yang langsung sibuk memeriksa ponsel.
"Sayang sekali, saya dan istri harus pamit lebih cepat dari acara makan siang ini ... Fran, tolong tetap tinggal sampai Bu Athirah selesai makan."
"O... oh baik! Siap, Pak."
Lyre berdiri setelah Kagendra. "Selamat siang," pamitnya singkat lalu memegangi lengan sang suami keluar dari area VIP room.
Lyre segera menahan saat Kagendra akan langsung melangkah ke pintu keluar. "Mas, tas sama berkas kerjaanku masih di meja—"
"Dede suruh bawa," sela Kagendra.
"Ini masih jam kerjaku dan Desire atasanku," ungkap Lyre cepat lalu memberi tahu. "Aku ambil sebentar, enggak sampai semenit."
Lyre melepas lengan Kagendra, bergegas ke meja untuk mengambil tas juga tumpukan berkas penawaran dari hotel-hotel yang sepagian dikunjunginya.
"Udah selesai?" tanya Desire yang baru menghabiskan setengah dari lunch set di hadapannya.
"Udah tapi—"
"Lyre harus balik sama aku, ini barang apaan dibawa kamu aja," sela Kagendra yang menyusul, mengambil tumpukan berkas di dekapan Lyre dan meletakkan kembali ke kursi kosong.
Desire melirik Lyre sekilas dan menggeleng. "Enak aja, ini kerjaan—"
"Kamu masih mau dapetin project gala dinner All Star SuperSeries di Bali enggak?" sela Kagendra.
Desire, Lyre, Andina dan Fayyana otomatis terkesiap kaget, mereka saling pandang dengan gugup. Siapa yang membocorkan info project tersebut sehingga diketahui oleh Kagendra.
"Cukup satu telepon," ungkap Kagendra.
"K... kok tahu?" tanya Andina dengan heran.
Desire memicing curiga dan menggeleng. "Aku bisa dapetin project itu sendiri."
"Kalau gitu aku akan minta tim event di Beach Club kasih penawaran baru, pangkas setengah harga, jadi perwakilan—"
"Kaka! Enggak gitu cara mainnya," sebut Desire dengan nada tidak terima.
"Jadi? Bisa Lyre pulang duluan?" tanya Kagendra dan kembali merangkul istrinya tatkala Desire terdiam. "Say bye to your boss ..."
Lyre menghela napas pendek, mengambil kembali tumpukan berkasnya. "De, kirim nanti malam ya laporannya..."
"Eh... Re..." panggil Desire karena kemudian Lyre beranjak terlebih dahulu, meninggalkan Kagendra yang masih berdiri di samping meja.
"Jam pulangnya Ravel kurang dari dua jam lagi," ucap Lyre dan seketika membuat Kagendra bergegas menyusul.
***
"Good move, Naughty Girl ..." ujar Kagendra begitu melepas celana, merebahkan diri ke tempat tidur dan mendapati sang istri merangkak ke atas tubuhnya.
"Thirty minutes," sebut Lyre, menahan posisi tubuhnya dan menjatuhkan sebungkus pengaman.
Kagendra geleng kepala. "Just let me in."
"Periode suntikanku berakhir minggu ini."
"Sial," sebut Kagendra bergegas memakai karet pelindung, memegangi pinggang Lyre dan mendesah lega sewaktu merasakan proses penyatuan yang pas. "Just stay still..."
"What?" tanya Lyre, seharusnya ia segera bergerak.
Kagendra menggeleng, memperhatikan penampilan istrinya yang masih sangat rapi, atasan turleneck pas badan, dengan rok abu-abu yang mengembang di paha, menutupi bagian intim mereka. Wajah Lyre begitu cantik, make up sempurna diliputi ekspresi tenang menantikan.
"Mas..." panggil Lyre.
"Hmm..." sahut Kagendra sembari tangannya meraba ke balik baju, membuat satu jentikan mudah sehingga penahan dada Lyre terlepas dan ia bisa mengelus kelembutan di baliknya dengan bebas.
"It's less than twenty five minutes."
Kagendra menggeram pelan. "I hate time limit for this..."
"Makanya jangan siang-siang."
"You want me to stop?"
"Just move!"
Kagendra tersenyum, nyaris penuh kemenangan saat membelitkan sebelah lengan, beralih membaringkan Lyre, mengubah posisi mereka sebelum kembali menyatukan tubuh dan bergegas bergerak, ritmis sekaligus primitif dalam mencari, menemukan jenis kepuasan yang sama-sama mereka inginkan.
"Pe... pelan!" pinta Lyre sewaktu atasan pakaiannya diangkat dan kepala Kagendra menunduk, menjilat-jilat, mengulum, menggigit hingga kegelisahan di antara mereka kian meningkat, membuat Lyre bersusah payah menahan teriakannya sendiri.
"It's always worth to see," ujar Kagendra tatkala mengangkat kepala, memperhatikan wajah istrinya kian bersemu, dengan titik keringat dan kelembapan yang khas untuk memperlancar desakannya. "Come to me, Sexy Wifey ..."
Lyre memejamkan mata sesaat lalu mendesah senang, menyukai sensasi gemetar lembut yang menjalari seluruh tulang belakang dan kedua pahanya.
"Perfect!" Kagendra menundukkan kepala, menciumi pelipis, pipi, sekaligus berlama-lama di dagu Lyre. Ia tidak senang harus mengakhirinya lebih cepat, namun mereka tidak punya pilihan. Ia kembali menggerakkan pinggul, mendesak lebih cepat hingga proses pelepasannya tuntas. Tubuh Lyre kembali mengejang akibat hal itu, membuatnya sejenak harus bergantung memeluk Kagendra.
"Ravel?" tanya Kagendra dan begitu Lyre melepasnya, segera beralih dari atas tubuh ramping itu ke pinggiran ranjang. Kagendra memastikan tidak ada kebocoran sebelum menarik tissue, membungkus bekas pengamannya dengan baik untuk dibuang.
"Five minutes," jawab Lyre, mengatur napasnya yang berkejaran. Dibanding Kagendra, dirinya memang butuh lebih banyak waktu menenangkan diri.
Kagendra beranjak ke kamar mandi dan ketika kembali sudah rapi dengan rambut tersugar jemari. "Want me to help?"
"No..." sebut Lyre kemudian menghela napas panjang dan melirik jam digital di nakas. "Mas, enggak ganti baju? Masih ada waktu."
"I'm good," kata Kagendra lalu memperhatikan tempat tidur. Lyre berbaring tanpa merapikan pakaian yang masih berantakan, wajah terpuaskan istrinya itu tampak sensual, membuat rasa haus Kagendra kembali mendera. "Damn! Apa yang harus kukatakan supaya Ravel teralihkan darimu?"
"Ini memang waktunya bersamaku," jawab Lyre lantas memberi tahu, "He's home..."
"Aku akan coba mengalihkannya," sebut Kagendra lalu keluar dari kamar dan benar saja, lift di ujung koridor bergerak naik. Saat membuka Ravel seketika berlari.
"Papaaaaa...." seru anak itu, jelas kegirangan.
"Woops!" Kagendra segera membungkuk untuk mendekap dan mengangkatnya ke udara.
Ravel memekik sesaat lalu tertawa senang begitu mendarat di pelukan sang ayah. "Papa kenapa udah pulang? Kangen Mama?"
Kangen Mama?
"Kangen Ravel dong," jawab Kagendra, mencium-cium pipi anaknya.
Ravel kembali tergelak, mencoba menahan kepala ayahnya saat berujar, "Oma Kikin pakai parfumnya Akung kalau kangen, Papa pakai parfumnya Mama jadi kangen juga."
"Ya?" tanya Kagendra.
Ravel ganti mencium-cium ke leher dan dagu ayahnya. "Mmm... wanginya Mama ..."
"Di sekolah Ravel udah belajar identifikasi aroma, dari aroma makanan, sampai aroma wewangian ... Ravel sudah bisa bedain wangi parfumnya Ibu, Bapak, Bu Dede, atau Nyonya Kinar," terang Sus Emy yang berdiri menjaga jarak dari Kagendra dan Ravel.
"Vel juga bisa bedain wangi minuman ... tehnya Mama, tehnya Oma Kikin, sama susunya Vel beda lho!"
"Ahh... iya." Kagendra menurunkan sang anak. "Vel cuci tangan dan ganti baju sama Sus dulu ya? Nanti maem snack, terus mainnya juga sama sus di bawah."
Ravel menggeleng, bukan begitu kegiatannya di rumah sepulang sekolah. "Mama?"
"Ng ... Mama baru—"
"Mama barusan pulang juga, jadi belum siapin snacknya Ravel ... makanya sama Sus Emy dulu ya?" sahut Lyre saat keluar dari kamar, penampilannya kembali sempurna dengan gaun rumahan yang rapi.
Ravel tersenyum, beralih dari Kagendra untuk memeluk Lyre. "Mama tadi seru lho, topiknya African Countries ..."
"Oh ya?"
"Badaknya itu gedeee banget."
"Ravel tadi benar semua, sebut bendera nasional sepuluh negara Afrika," imbuh Sus Emy, tampak ikut bangga.
"Paling gampang Congo, karena biru terus ada bintangnya ... Miss Yuna bilang beberapa national flag itu bisa ganti." Ravel tersenyum lebar. "Indonesia nanti ganti ya, Mama, biar enggak merah putih aja."
Lyre tertawa. "Enggak bisa sembarangan ganti warna atau menambah elemen dalam bendera atau atribut nasional ... perlu proses panjang sekaligus enggak sederhana. Karena itu merupakan identitas khusus, sesuatu yang ketika disebut atau ditampilkan bisa merujuk pada suatu negara."
Kagendra memperhatikan anaknya menyimak dengan tenang setiap penjelasan itu. Dibanding dirinya, Lyre memang lebih piawai untuk menjelaskan semua hal yang kerap menimbulkan penasaran bagi Ravel.
"Denitas ya, Mama..."
"Identitas dan itu juga seperti ketika Mama bilang; ada anak ganteng, putranya Bapak Kagendra, rambutnya ikal terus agak panjang, pipinya juga chubby, sukanya minum susu dan suka banget dinosaurs .... siapa ya itu kira-kira?"
Mata Ravel membulat sebelum menunjuk diri sendiri. "Aku, aku!"
"Iya, Ravel ... itu yang namanya identitas. Ravel anaknya Papa, punya ciri rambut ikal agak panjang, pipinya juga chubby. Punya kesukaan minum susu dan suka banget dinosaurs ..." Lyre mengecup sayang hidung anaknya dan memberi tahu. "Nah, sekarang ganti baju, cuci tangan dan kakinya sama Sus Emy, ya?"
"Iya..."
Kagendra masih bisa mendengar saat Ravel kemudian berujar antusias, bicara pada susternya tentang pengetahuan identitas. "Dibanding jadi artis dengan image rebel dan kapasitas otak pas-pasan di film ... menjadi ibu memang lebih sesuai untukmu."
Lyre menegakkan tubuh, tidak menanggapi itu dan bertanya, "Mas Ndra mau balik ke kantor?"
"Maunya balik ke kamar," ujar Kagendra lalu merangkul Lyre, mengekeh pelan di telinga istrinya itu. "Sayang sekali, Sexy Mama punya tugas mulia. But it's okay, aku bisa pulang cepat hari ini."
"Kalau bisa pulang cepat, kenapa enggak memenuhi undangan Mbak Thira untuk acara entertain itu?"
Kagendra menyipitkan mata, wajahnya muram, mencoba tidak langsung kesal. "Kamu pasti paham maksudnya Thira ngomong begitu apaan."
"Menurutku itu—"
"Kamu sama sekali enggak keberatan?" sela Kagendra, memprotes sikap istrinya, karenanya segera melepas rangkulan untuk ganti bersedekap.
"Why should I? Siapa tahu Mas Ndra bisa ketemu kenalan atau teman baru."
Kagendra menyipitkan mata, memperhatikan raut tenang sang istri dan seketika tidak menyukai hal itu. "Kalau butuh kenalan atau teman baru, tinggal bilang Shakti, yang lebih paham seleraku gimana," balasnya.
Lyre mengangguk singkat, menekan tanda buka di lift lalu bertanya, "Jadi, mau pulang jam berapa nanti malam?"
"I will be late," jawab Kagendra masam.
"Okay." Lyre melangkah memasuki lift yang membuka, berbalik karena Kagendra tidak mengikutinya masuk. "Mas, jangan lupa pamit Ra—"
Kagendra menjawabnya dengan langsung mendorong, mengimpit tubuh Lyre pada dinding lift dan begitu pintu bergeser menutup, ia mencium pemilik mulut yang telah sembarangan berbicara padanya tersebut. Ini tidak bisa dibiarkan.
***
Yeyen adalah pengurus rumah keluarga Pradipandya terlama selain simbok yang kini bertugas di rumah Kinar. Ia sudah sekian kali menjadi saksi beragam peristiwa di rumah ini, namun tetap saja dirinya tidak kuasa menahan kekhawatiran, begitu memperhatikan Tuan Rumah keluar dari lift dengan penuh amarah.
"Urus dia," sebut Kagendra tanpa melambatkan langkah, mengendik ke lift yang masih membuka.
"Astaga! Ibu!" sebut Yeyen dengan panik, bergegas mendekat, membantu Lyre bangun dari posisi terduduk di lantai lift.
Lyre memegangi bagian depan gaunnya yang robek, berusaha menghapus sisa lipstick yang berantakan di sekitar bibirnya. Lututnya agak goyah untuk melangkah dan butuh waktu untuk menenangkan napasnya yang agak berkejaran. "Tolong, carikan saya baju ganti di laundry..."
"Iya, Bu..." Yeyen lebih dahulu melepas cardigannya, menutupkan ke bahu Lyre, ada robekan lain yang membuat bagian lengan gaun nyonya majikannya melorot.
Yeyen membantu duduk di kursi sofa terdekat, bertanya dengan hati-hati, "Anu, apa perlu diambilkan obat daruratnya Ibu juga?"
Lyre menggeleng, mengulas senyum kecil. "Enggak, tolong baju ganti saya aja."
"Ya! Ya, segera saya ambilkan," ujar Yeyen dan bergegas untuk melakukan tugasnya.
Lyre memejamkan mata sembari menunggu, menyadarkan diri bahwa hal-hal seperti ini tidak akan terjadi lagi. Ia mengatur napas, mengupayakan ketenangan karena ada anak yang harus diperhatikannya dengan baik. Anak manis, amat pintar, yang begitu disayanginya.
"Just for a couple more months, Re," lirihnya pada diri sendiri, mengelus-elus lengan dan mendongakkan kepala agar tidak menangis.
[ to be continued ]
🌃
Lyre diapain?
Diapa-apain dengan cara yang enggak pantas dilakukan seorang suami ke istrinya. Jadi, yang masih sebel karena Lyre nurut-nurut aja diajak cerai ... yaiyalah, itu kesempatan bagus untuk bebas dari nih babi mesum~
Tapi, ya, biar drama emang enggak semudah itu sih bebasnya, wakakakakakakakaaa sabar ya bestie~
(ノT_T)ノ ^┻━┻
.
oke, karena update buru-buru enggak sempat bikin konten gambar ... see you hari Sabtu ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top