5. | Berhati-hati

How was your weekend?
apakah semakin menggembirakan karena ada update tambahan ini? menambah antusiasme untuk jumpa bapaknya Ravel? pffttt~

2.700 kata
aku semangat
aturan kalian juga semangat
untuk vote dan komentarnya
terima kasih banyak ❤️

5. | Berhati-hati


"Lyre Sagitta update foto!"

Kagendra teralihkan kehebohan kecil itu, mendapati kerumunan para gadis yang saling tunjuk ke layar ponsel. Ia menoleh pada Waffa yang kemudian membuka media sosial, menunjukkan update yang dimaksud.

"Cantik banget ... dia beneran ya enggak mau comeback film atau series?"

"Gue juga nungguin, Dari Putih Biru ke Putih Abu-abu itu serial yang udah gue tonton berkali-kali dan enggak pernah bosan. Secantik itu Lyre, makin cantik lagi, sampai enggak kelihatan udah punya anak."

"Gue penasaran tampang anaknya, kalau upload foto pasti enggak kelihatan muka, kadang cuma tangan atau kakinya doang."

"Sepupu gue kerja di sekolah anaknya, ganteng emang, udah gitu lucu anaknya, pinter aktif gitu, kemana-mana bawa robot atau mainan dinosaurus ... gemes katanya."

"Lo enggak minta sepupu lo fotoin?"

"Itu sekolah bukan sembarang sekolah, masuknya aja kudu scanner dulu, staffnya enggak boleh melakukan perekaman atau pemotretan. Bahkan mau dokumentasi kegiatan aja sekolah kirim surat izin dulu ke orang tuanya ... lo lihat websitenya dah, beneran elite dan enggak sembarangan."

"Iya, biaya sekolahnya aja seratusan juta."

Kagendra mendengar itu dan menoleh Waffa, bertanya dengan suara pelan, "Itu kayaknya biaya sekolah zaman kita dulu?"

Waffa meringis. "Iya, belum tambah sumbangan ke yayasan. Mama terakhir nyumbang atas nama Ravel, lima ratus juta untuk dana pengembangan metode pembelajaran ... end year katanya ada liburan ke Dubai, first class facilities."

"Ravel udah sering ke sana sejak umur setahun."

"Ravel malah belum pernah tuh ke Bromo, JaTimPark, Ragunan aja belum pernah! Bocah sekarang kelewat elit."

"Dia minta kemah, katanya di Camping Park Merapi."

"Jogja?"

"Iya."

"Fran apa Lyre yang atur."

"Lyre, yang lebih paham. Itu tugas sekolahnya Ravel juga, coba pesawat komersial Indonesia, destinasi liburan di wilayah Indonesia." Kagendra melanjutkan langkah, melewati kelompok perempuan yang masih heboh membicarakan tentang istrinya.

"Jangan sampai kayak lo, SMP baru tahu ada yang namanya tiket pesawat di dunia ini."

Kagendra tertawa. "Lo dulu juga bingung! Gue ingat, lo bahkan ngamuk ke guru karena duduknya diatur-atur pakai nomor."

"Gue mual kalau dekat jendela, ck!" decak Waffa lalu bertanya, "Gue mau ngopi, lo mau apa?"

"Samain aja," jawab Kagendra, membiarkan Waffa berlalu ke salah satu kedai kopi. Ia berjalan melewati lorong menuju ruang tunggu.

Sejenak langkah Kagendra terhenti, tepatnya di hadapan sebuah poster promosi lawas. Dahulu Lyre memang pernah secara eksklusif menjadi icon untuk salah satu maskapai penerbangan. Ia mengamati sebentuk senyum cerah di wajah cantik itu.

"Kagendra? OMG, very long time no see."

Suara itu membuat Kagendra berbalik, menatap seorang pramugari yang segera memisahkan diri dari rombongan. Ia mencoba mengingat-ingat namun tidak menemukan identitas perempuan semringah yang mendekat ke hadapannya ini.

"Siapa?"

"Sialan! Tapi udah gue tebak lo bakal gitu, it's me Olla, Carolla Gunan. Udah lama banget emang, gue juga sempat pindah maskapai, baru tiga bulan balik ke sini." Perempuan itu kemudian mengedipkan mata, memelankan suara tatkala menambahkan pemberitahuan. "We've intimate business around six years ago, gue ingat banget sama lo karena selalu ngasih dolar."

Ada banyak pramugari yang punya bisnis intim serupa dengan Kagendra di masa lalu. "Really?"

"Yeap! You like my mouth service." Carolla terkekeh bangga dan memastikan karena cetak tiket di tangan Kagendra, "Well, lo di penerbangan gue juga?"

"Sepertinya begitu." Kagendra kemudian memperhatikan ekspresi Carolla yang masih tersenyum, seperti menantikan. "Lo masih melakukan bisnis yang sama?"

"Of course!" Senyum Carolla melebar dan segera mendekat. "So, if you want me, just—"

"Gue punya partner tetap untuk intimate business semacam itu," sela Kagendra dan mengendik ke poster lawas Lyre dengan seragam pramugari di belakangnya. "Sama dia."

"H ... Hah?" sebut Carolla, seketika bergeser untuk memperhatikan. "Dia? Tapi dia bukan—"

"Dia bukan elo, elo bukan dia. So, just give your shitty mouth service to another bastard, Carolla." Kagendra menegaskan dengan nada dingin, menoleh Waffa yang tampak sengaja menjaga jarak.

Waffa meringis, bergegas membuntuti langkah Kagendra, sekilas melirik pramugari yang tampak malu di belakang. "Lo makin lama, makin sadis, Man..."

"Seragam pramugari gitu dijual enggak?"

"Hah?"

"Tuntut maskapainya kalau sampai delay, karena gue harus segera sampai ke rumah." Kagendra meraih cup kopi di tangan kanan Waffa dan menyeringai. "Ada intimate business."

"Brengsek!" maki Waffa menyadari maksud ucapan itu. "Lo jangan makin jadi gilanya ... mau udahan bukannya jaga jarak, malah ada-ada aja kelakuan."

"Gue belum pernah nyoba Lyre yang pakai seragam begitu," ujar Kagendra santai. "Suruh Fran untuk cari tahu, cara dapat seragam pramugari gitu."

"Ndra!"

Kagendra mulai menikmati kopinya dengan raut gembira dan antusias. "Pokoknya nanti malam, seragam itu udah harus di rumah."

"Babi mesum!" omel Waffa dan bergegas mengeluarkan ponsel, meminta Fran untuk mengerjakan perintah dari Kagendra.

Lima belas menit kemudian Fran memberi kabar dan langsung Waffa sampaikan, "Ndra, kata Fran cuma bisa dapat kain, kalau mau jadi seragam harus bikin custom sesuai ukuran pramugarinya."

"Ck!" decak Kagendra, wajahnya seketika masam.

"Dan kain yang di seragam poster Lyre tadi udah enggak—"

"Kalau gue ngasih perintah untuk dikerjain, gue enggak suka jawaban dengan kata enggak bisa, atau enggak ada."

Waffa tahu itu dan hanya dirinya yang selama ini diharapkan para pegawai untuk menangani tabiat buruk Kagendra ini. "Itu seragam tujuh tahun yang lalu ... Lyre bahkan belum kenal sama lo! Lo kalau ngasih perintah seharusnya juga mikir."

"Jadi kapan bisanya?" tanya Kagendra lantas menoleh Waffa, wajahnya kembali antusias. "Ah, sebelum berangkat camping harus siap! Jadi, Lyre bisa dress-up di pesawat untuk—"

"Lo pakai flight komersial, Kagendra."

"Booking aja sisa seatnya."

Waffa tahu sikap Kagendra selalu seperti ini sejak dahulu. Namun tetap saja dirinya merasa perlu menegaskan, "Ada Ravel bareng lo juga, yakin bisa turn on? Durasi penerbangan cuma sejam, lo yakin bisa lang—"

"Ck! Lo ngerusak rencana gue tahu!"

"Salah satu tugas gue adalah memastikan rencana lo enggak keluar jalur! Bisa abis lo kalau ketahuan bertingkah demi fantasi seks doang." Waffa mencoba tidak menggerutu dengan ujaran yang lebih kasar untuk meluruskan tingkah Kagendra ini. "Lo tuh justru harus extra hati-hati, Man ... terutama terkait Lyre ... jangan sampai saat lo bebas, pikiran lo masih ke dia untuk urusan ranjang."

Kagendra menatap datar ke arah Waffa, mengucap perintah final. "Seragam pramugari itu harus ada di rumah begitu gue pulang camping."

Waffa menahan diri untuk tidak menjitak Kagendra, sebagai gantinya begitu sahabatnya itu kembali mendahului melangkah ke gerbang keberangkatan, ia mengucap makian pelan, "Babi."

"Gue dengar!" sebut Kagendra.

"Babi!" seru Waffa lebih keras dan segera menyusul langkah Kagendra, tertawa bersamanya.

***

"De... Desire..." panggil Andina.

Desire yang baru melangkah masuk ke ruang kerja otomatis memundurkan kaki. "Kenapa, Din? Ada masalah sama MC yang kemarin diminta Lucia?"

"Enggak, udah beres itu." Andina menoleh ke sekitar, memastikan situasi aman lalu mendekati Desire. "De, gue cuma mau konfirmasi nih ... sepupu gue, Yulian, dia magang di Pengadilan Agama, bagian pemberkasan dan lo tahu dia nemu berkasnya siapa?"

Desire mengangkat sebelah alisnya, menatap ke pintu ruang kerja seberang yang masih tertutup. Hari Jum'at begini, Lyre memang baru ke kantor setelah makan siang, sekalian membawa Ravel. "Kaka sama Lyre?"

"Itu beneran?" Andina mendelikkan mata.

"Masuk deh," pinta Desire lalu mempersilakan Andina masuk dan menutup pintu ruangannya. "Lo udah ngomong ke siapa aja, Din?"

"Baru elo lah! Kaget banget gue!" Andina bahkan nyaris gemetar, sehingga bergegas duduk di kursi yang tersedia.

"Gue juga belum lama dikabarin, nyokap sampai sekarang masih belum balik mood makannya," kata Desire sembari beralih duduk di kursinya.

Andina mengeluarkan ponsel, menunjukkan sebuah foto. "Nih, mulanya Yulian ngenalin Lyre doang, terus nanya ke gue namanya mirip doang apa emang teman gue... kaget dong gue lihat ini... Kagendra lagi yang gugat! Gila!"

"Menurut Waffa, emang lebih bagus kalau Kaka yang gugat dibanding Lyre, secara proses juga akan lebih mudah, itu bisa lebih mengamankan hak-haknya Lyre juga."

"Serius, lo? Tapi ini kesannya Lyre yang bertingkah, makanya digugat cerai sama Kagendra."

"Tapi kalau bukan Kaka yang ngajuin, Lyre enggak akan punya keberanian setingkat ini," ungkap Desire, mengetukkan ujung jemarinya ke layar ponsel Andina. "Waffa cerita cukup banyak ke gue, ngelihat Lyre selama ini juga, gue rasa emang cerai enggak terelakkan ... apa lagi setelah Om Tio tumbang, belum sadar sampai sekarang, udah mau sebulan dan makin tipis harapannya."

"Gue sedih asli, Lyre gimana?"

"Gue ngomong hal yang sama ke Waffa dan lo tahu dia bilang apa?"

"Apa?"

"Yang sedih tuh justru kita, yang orang luar, termasuk nyokap gue jadi enggak punya semangat makan... tapi Lyre sama Kaka, mereka biasa aja. Mereka melengkapi berkas itu sama-sama, bikin draft kesepakatan bersama, bikin pengaturan ini dan itu."

"Serius lo?"

"Serius, Waffa ikut ngurusin, dan itulah yang makin ke sini bikin gue sadar ... mereka menjalani itu dengan sikap tenang, kenapa justru kita yang kayak kelebihan emosi."

Andina mengangguk dan menarik kembali ponselnya. "Terus ini gimana kalau jadi issue? Kagendra bukan pebisnis biasa, Lyre walau udah lama enggak syuting, kerjaan kita banyak nyangkut di infotainment."

"Enggak, sepupu lo itungannya lucky aja tuh nemu berkasnya ... gue yakin setelah ini tuh berkas diurus secara khusus." Desire memperhatikan jam tangannya. "Sebisa mungkin, lo juga tetap diam aja ya, Din ... minimal sampai Lyre bisa ngasih tahu sendiri, ke elo atau Fayyana."

"Yana bakal lebih dramatis dari gue kayaknya."

Desire meringis. "Kita harus tetap profesional juga kalau ada kerjaan sama Karya Pradipandya."

"Eh, kita enggak dicut-off sebagai rekanan ya, De?"

"Enggaklah, Kaka tahu kita profesional kalau nyiapin event pameran mereka. Yang buat bulan depan maketnya udah diurus belum?"

"Udah, aman ... tinggal desain boothnya doang, Fran belum kirim balik ACC-nya, atau kalau ada revisi lagi, belum info juga."

"Kata Waffa, Kaka pulang sore ini, paling Senin tuh ACC atau info kalau ada revisi lagi." Desire memperkirakan sembari memeriksa kalender mejanya.

"Oke, kalau udah ada info gue forward ke lo," ucap Andina sebelum beranjak karena harus kembali bekerja.

***

"Bapak, kok sudah pulang?" sebut Sus Emy yang sedang mengumpulkan beberapa mainan Ravel dari ruang menonton. Ia segera berdiri dan mengangguk sopan.

Kagendra justru heran karena suster anaknya itu hanya sendirian di sana. "Ravel?"

"Ini 'kan hari Jum'at."

Ucapan itu langsung membuat Kagendra teringat. Ravel punya waktu khusus dengan Lyre setiap Jum'at, usai dijemput dari sekolah akan ikut bekerja sebentar. Sore harinya mereka berjalan-jalan, bermain, atau berbelanja di Mall.

"Sial!" sebut Kagendra saat bergegas keluar rumah dan Fran sudah membawa mobilnya pergi untuk service bulanan. Di garasi hanya tersisa tiga mobil sport modifikasi yang jelas tidak ramah anak.

"Mau saya teleponin taksi?" tanya Sus Emy.

"Sekalian bilang Mamanya Ravel saya nyusul ke Mall."

"Baik, Pak."

***

"Papaaa..."

Kagendra mempercepat langkah dan memasuki area bermain khusus anak di bawah usia enam tahun. Ia tertawa melihat Ravel bergegas beralih, hingga sampai pinggiran pagar pengaman dan mengulurkan tangan.

"Kangen ya," sebut Kagendra saat membungkuk dan mengeluarkan sang anak. Ia membiarkan Ravel memeluk lehernya sembari memperhatikan area duduk yang biasanya ditempati orang tua untuk menunggu. "Mama mana, Vel?"

"Beli minum sama Papinya Ruhi."

"Papinya Ruhi?"

Ravel mengangguk dan menunjuk ke satu arah. "Itu, Mama!"

Kagendra menoleh, mendapati Lyre berjalan membawa satu kantong kertas dengan tumbler bergambar dinosaurus. Lelaki di sampingnya juga membawa hal serupa, bedanya ditambah dengan kotak kemasan khusus berisi dua cup kopi.

"Papi, Papi," panggil anak lain, seumuran Ravel yang juga merapat ke pinggiran pagar pengaman.

Kagendra segera menurunkan Ravel lalu membantu anak itu keluar.

"Om Papanya Ravel, ya?"

"Kamu teman sekolahnya?"

"Iya, namaku Ruhito."

Kagendra mengangguk, menggendong kembali Ravel yang mendekat dan berpegangan ke lehernya. "Udah mainnya?"

"Iya, haus," kata Ravel.

Lyre sudah cukup dekat untuk mendengar itu, sehingga bergegas mendekatkan tumblernya. "Maaf ya, Mama lupa counter jus yang di lantai ini pindah ke lantai dasar. Mas, dudukin Ravel dulu."

Kagendra melakukannya, mundur ke barisan kursi untuk memangku Ravel, menerima tumbler dan membukanya agar sang anak bisa segera minum.

"Pelan-pelan," kata Lyre sembari mengeluarkan tissue dari tas untuk menyeka pelipis Ravel yang agak basah.

Kagendra memperhatikan lelaki yang menyusul duduk, membawa Ruhito dan mengulas senyum ramah. Perawakan lelaki itu kurus, tinggi, berkacamata, tipikal guru-guru di sekolah atau akademi bergengsi. Ia ingat pernah berkenalan saat acara hari ayah, namun lupa nama depannya.

"Lupa, Ndra?" tebak lelaki itu sembari mengulurkan tangan. "Fadie Alton, Papinya Ruhito ... kita sempat kenalan waktu anak-anak pentas untuk hari Ayah tahun lalu."

"Ohh, iya, Fadie," balas Kagendra, menyalaminya sejenak dan bertanya, "Cuma kalian berdua?"

"Tadi ada orang tuanya Auriga, ibunya Altania, ibunya Cato juga, mereka pulang lima belas menit lalu. Biasanya Maminya Ruhito yang temani, tetapi karena sedang ada pekerjaan, saya menggantikan." Fadie meringis kikuk. "Ini memang kegiatan rutin, berkumpul untuk main bersama tiap Jum'at sore."

"Kami koordinator untuk pengadaan snack sehat setiap Selasa dan Kamis, habis kelas senam. Jadi, sekalian membahasnya." Lyre memberi tahu secara singkat.

Kagendra selama ini hanya tahu beres untuk segala urusan rumah atau sekolah anaknya. Ia mengangguk-angguk saja. "Ravel, masih mau main?" tanyanya pada sang anak yang kini mencoba memerosotkan diri dari pangkuannya.

"Tadi belum ke loncatan. Ayo! Ruhi," ajak Ravel.

"Ke loncatan?" ulang Kagendra.

"Maksudnya area trampolin," kata Lyre lalu membuntuti anaknya. "Ravel, pakai pelindung lutut sama helmnya dulu. Ruhi juga ya, nanti Tante Re bantu pakai setelah Ravel."

"Silakan ini ada kopi," tawar Fadie sembari menyodorkan satu cup yang masih segel.

"Thanks," jawab Kagendra, menerimanya sambil memperhatikan Lyre memasangkan perlengkapan bermain pada Ravel. Lyre juga memberi tahu beberapa larangan penting untuk diperhatikan.

"Dulu, waktu Maminya Ruhi bilang, ada artis yang anaknya satu kelas ... saya enggak pernah menduga kalau ternyata itu Lyre Sagitta. Setiap papasan saat penjemputan juga rasanya beda, apa lagi setelah mengenalnya, Mamanya Ravel ternyata keibuan sekali, beda imagenya dengan saat masih artis yang rebel dan terkesan hidup bebas."

Begitu hamil, Lyre memang langsung menghentikan segala aktivitas di dunia seni peran. Papi yang menuntut hal itu, karena membahayakan apabila diketahui oleh media, bahwa Kagendra yang menghamili dan masih menolak mengakuinya. Pasca terbukti dan mereka menikah, Lyre semakin tidak pernah lagi bersinggungan dengan media. Terus dijaga tetap seperti itu hingga sekarang. Kagendra ingat dirinya ikut menggelontorkan sejumlah uang yang tidak sedikit untuk mengurus beberapa kontrak Lyre dulu.

"Dia bukan artis lagi," ujar Kagendra singkat.

"Iya, sayang, padahal masih cantik sekali..."

Kagendra seketika melirik lelaki yang kini membetulkan kacamata itu. Fadie tersadar akan lirikan Kagendra dan seketika menggeleng. "Oh, maaf, saya hanya bermaksud mengungkap kekaguman... karena tadi saat kami antre beli jus, Lyre masih terus dikenali orang."

"Sebaiknya memang berhati-hati dalam mengungkap kekaguman kepada istri orang lain. Itu enggak akan bijak apabila istri Anda sampai salah paham."

"O...oh, saya dan Maminya Ruhito sudah berpisah selama dua tahun. Saya lajang, sehingga enggak ada yang akan salah paham."

Kagendra mengerjapkan mata dan entah kenapa mendadak ganti dirinya yang merasa harus berhati-hati. Karena dalam beberapa bulan ke depan Lyre juga akan menyandang status itu, sebagai seorang lajang yang bebas.

Sialan! Batin Kagendra.

***

"Kamu nyetir sendiri?" tanya Kagendra sewaktu menggendong Ravel yang terlelap. Usai lelah bermain dan berbelanja, tenaga anak itu seperti terkuras.

"Pak Iman enggak enak badan, aku suruh pulang."

Kagendra menipiskan bibir, dirinya menyediakan mobil dan sopir pribadi untuk Lyre berpergian. Palisade SUV terbaru. "Terus kamu pakai mobil siapa?"

"Mobilnya Dede, Waffa 'kan tadi jemput dia di kantor."

"Kalau ketemu Waffa harusnya kamu tahu, aku udah pulang ke rumah."

"Iya, siapa tahu Mas Ndra ada plan sendiri, jarang banget soalnya bisa pulang awal, mumpung aku sama Ravel juga lagi pergi," ungkap Lyre lalu menghentikan troli belanjaan karena mereka harus menunggu lift. "Aku enggak tahu kalau malah mau nyusul ke sini."

"Aku ganggu kalau nyusul ke sini?"

"Enggak, Ravel senang banget disusul Papanya." Lyre tersenyum lalu bergeser untuk menciumi pipi anaknya yang agak menggembung, pulas di bahu Kagendra.

"Kamu tahu kalau Fadie itu lajang?" tanya Kagendra.

Lyre mengangkat kepala, sejenak seperti berpikir sebelum tersadar. "Oh! Iya, pisah dua tahun lalu."

"Kenapa pisahnya?"

"Aku enggak terlalu menyimak kalau lagi pada ngomongin urusan rumah tangga."

"Kenapa?"

Lyre angkat bahu, "Mungkin karena kalau saling cerita gitu, aku enggak ada hal yang bisa diceritain juga. Begitu mereka tahu Papanya Ravel, Kagendra Pradipandya, langsung paham, wah pasti sibuk banget ya, proyek dimana-mana. Aku tinggal membenarkan."

Itu merupakan hal yang benar, Kagendra memang sibuk sekali. Sampai-sampai ketika ada acara sekolah Ravel yang melibatkan kehadiran ayah atau sepasang orang tua, Kagendra paling sering absen atau terlambat datang. Meski khusus jadwal kegiatan hari ayah, Kagendra selalu meluangkan waktu.

"Kamu sama Fadie udah lama kenalan? Main bareng kayak hari ini juga?"

"Setahunan kira-kira, sejak Maminya Ruhi kerja lagi memang lebih sering Mas Fadie yang—"

"Mas Fadie?" sela Kagendra cepat, hampir mendelik.

"Dia lebih tua setahun dari Mas Ndra," ungkap Lyre dan mendorong troli ke dalam lift yang membuka.

Kagendra membuntutinya masuk. "Dari penampilannya lebih cocok dipanggil Pak sekalian."

"Orangnya juga pendiam, jarang ngomong kalau kami bahas menu atau giliran pengadaan snack gitu. Lebih sering setuju-setuju aja."

"Udah berapa kali, main bareng kayak hari ini?"

"Enam bulan terakhir, tiap anak-anak playdate lebih sering Papinya Ruhi yang antar dibanding Maminya."

"Pengangguran apa dia?" tanya Kagendra ketus.

Lyre menoleh suaminya, memberi tatapan bertanya sebelum menjawab, "Mas Fadie wakil ketua Yayasan sekolahnya Ravel yang baru dan bidang yang diurusnya itu kelas pre-school ... makanya kami terbantu kalau ada info kegiatan kelas."

Kagendra seketika terdiam, mendadak merasa perlu memikirkan opsi pemindahan sekolah untuk Ravel. Tidak bisa dipercaya, informasi tentang lelaki asing tadi tiba-tiba terasa begitu mengganggunya.

[ to be continued ]

🌃

Kepada kampret satu, Bapak Kagendra...
masih bisa lho kalau mau berpikir ulang, daripada repot mindahin sekolah Ravel kan lebih gampang cabut gugatan teros berhenti jadi swamik brengsek, ygy~

tapi terus ceritanya tamat, wakakakakakakakakakaaaaa

.

Q: Desire sama Waffa ini kayaknya pengin mereka rujuk ya?
A: Desire sih iya, kalau Waffa suka-suka Kagendra mau gimana.
Waffa tuh sobat sambat sejati, lebih tahu dibanding Desire alasan Kagendra mau cerai. Mereka juga sama-sama punya backgroud kurang kasih sayang orang tua, senasib gitu, makanya solid.

Q: Gimana pun jalan cerita ini, tolong banget di akhir nanti dikasih part saat Ravel gede tahu kelakuan buruk Kagendra, saat enggak ngakuin dia, nuduh macem-macem ke ibunya sampai soal cerai ini.
A: waduh 😭

Q: Gue sebel sama Kagendra, tapi lebih sebel sama Lyre ... mau-maunya dihh!!!
A: Iya, bebas pokoknya mau sebel sama siapa aja di cerita ini~

.

bosen bikin konten lovestagram KaLe Couple, ganti konten spoiler aja.

thank you
❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top