4. | Have you ever
Hallo, guys~
sebelum mulai ceritanya, mau ngasih bagan dulu karena kayak masih ada yang bingung soal hubungan keluarga Kagendra-Desire, mereka tuh kakak adik karena hubungan sepupuan, karena Papinya Kagendra itu kakaknya Mama Desire.
semoga cukup jelas ya~
.
1.900 kata untuk Bab ini, selamat membaca
dan terima kasih untuk yang selalu konsisten ninggalin vote & komentar, aku padamu ❤️
⭐
4. | Have you ever
"Kamu benar-benar menyetujui perceraian itu?"
Lyre tahu bahwa Kinar tidak punya waktu untuk berbasa-basi menangani masalah sepenting ini. Ia juga harus menunjukkan sikap serius. "Iya, Ma."
"Kamu benar-benar menyetujuinya atau hanya karena Kaka yang mendesak?" Kinar memperjelas pertanyaan.
"Mas Ndra enggak mendesak atau memaksa. Oleh karena itu aku juga meneri—"
"Kamu enggak mau memikirkan Mama, Dede, atau Papi yang keadaannya sakit begitu? Terlebih, kamu enggak memikirkan Ravel?" sela Kinar lalu menipiskan bibir. "Kalau kamu kuat bertahan, Kaka pasti mengurungkan niatnya ... dan apa pun itu masalahnya, selalu bisa diselesaikan!"
Lyre terdiam selama beberapa saat, mencerna ucapan Kinar dan menyadari satu hal penting yang membuatnya sadar akan situasi pernikahannya. "Mama tahu sendiri, kecuali Papi, enggak ada yang bisa mengubah keputusan Mas Ndra."
Air mata seketika jatuh membasahi pipi Kinar. "Dan itu yang paling membuat Mama kecewa, Mas Tio juga pasti kecewa kalau tahu! Bagaimana kalau hal ini membuatnya benar-benar tiada, meninggalkan kita?"
Lyre lebih dulu menarikkan dua lembar tissue, menggenggamkannya ke tangan Kinar. "Maafkan Lyre, Ma ..."
Kinar meremas tissue di tangannya. "Jawab jujur, apakah ada orang lain? Kalau bukan Kaka, maka kamu? Apakah kesibukan Kaka membuat kamu mencari—"
"Enggak ada, Ma," sela Lyre cepat dan menggeleng. "Enggak ada selain Mas Ndra. Enggak pernah ada selainnya."
"Terus kenapa bisa sampai bercerai! Kaka kurang apa? Kamu bilang sama dia, kamu minta sama dia! Semua yang kamu butuhkan untuk tetap jadi istrinya!" seru Kinar, tanpa sadar menaikkan suara sampai beberapa pelayan beralih perhatian. "Apa yang Kaka butuhkan juga, penuhi semua itu!"
Lyre mengatur napas dan mengangguk. "Aku sudah melakukannya, Ma ... semua yang Mama ucapkan. Dan mungkin, memang semua itu enggak cukup lagi untuk membuat kami berada dalam ikatan pernikahan ini."
"Mama enggak bisa menerima ini!" tegas Kinar lalu berdiri dari duduknya. "Kalian berdua benar-benar keterlaluan, mempermainkan pernikahan ... enggak berpikir panjang. Mengabaikan apa yang selalu diajarkan orang tua!"
"Ma..." panggil Lyre.
Kinar semakin terisak tangisnya ketika memutuskan berlalu dari ruang tamu. "Oh! Ravel ... kalian bahkan enggak terlihat memikirkannya, enggak mementingkan masa depannya juga! Egois sekali!"
Desire yang ganti mendekat sewaktu ibunya sudah pergi. Ia duduk di samping Lyre yang juga menangis dalam diam.
"Re..." panggil Desire.
Lyre mengangguk dan perlahan menghapusi air matanya. "Sorry, De... aku bikin Mama benar-benar kecewa."
"Gue juga kecewa, Re," ungkap Desire.
"Sorry," kata Lyre dengan kesedihan yang masih tersisa.
"But, have you ever felt really in love with him?" tanya Desire dan memandang Lyre lekat. "Have you ever thought that this marriage really makes you happy?"
Lyre balas memandang Desire, kemudian memutuskan menjawab dengan mengulang permintaan maafnya. "I'm so sorry, De..."
Desire mengangguk, bergegas memeluk Lyre erat. "Jangan nangis, kalau ini benar-benar sesuatu yang lo inginkan, jangan pernah nangis lagi di depan gue."
"Oke," ungkap Lyre meski tetes air matanya semakin deras berjatuhan di bahu Desire.
***
"Desire bilang dia hari ini bolos sama Lyre, nyalon." Waffa memberi tahu Kagendra, mereka makan siang di restoran bandara karena mepet dengan jadwal penerbangan.
Kagendra mengangguk, menyuap potongan steaknya dan mengunyah dalam diam.
"Emang perempuan tuh, kalau mau cerai atau putus siklusnya gitu, ya? Mendadak pirang," sebut Waffa lalu terkekeh.
"Maksud?" tanya Kagendra dengan kening berkerut.
"Ya, ini nyalon ... Lyre pasti mau ganti gaya rambut," kata Waffa lalu memperhatikan Kagendra langsung sibuk meraih ponsel dan mengetik cepat. "Kenapa lo, langsung sibuk gitu?"
"Gue enggak senang rambutnya Lyre pirang."
"Gimana sih? Berkas gugatan udah ma—"
"Gue masih suaminya sampai hakim mengesahkan sebaliknya." Kagendra menyela cepat dan memastikan pesannya sudah dibalas.
Kagendra Pradipandya
Re, katanya nyalon sama Dede?
Enggak boleh rambut pirang atau potong rambut pendek.
Lyre Pradipandya
Iya, cuma creambath.
Dede yang mau potong sama recoloring.
Waffa menyipitkan mata karena sahabatnya kini tampak lega, meletakkan ponsel dan kembali menikmati makan siang. "Lo tahu enggak sih, Ndra?"
"Apaan?"
"Gugatan lo enggak akan dikabulkan kalau pengadilan menilai enggak ada keseriusan untuk berpisah."
"Gue serius," jawab Kagendra, menelan potongan steak terakhirnya.
"Kalau serius, berhenti ngatur-ngatur Lyre. Dia itu posisinya udah mulai setengah bebas, biarin dia juga mulai menata hidupnya sendiri."
Kagendra meraih gelas air minumnya, menenggak hingga setengah dan menanggapi kalem. "Itu bukan hidupnya sendiri, dia bawa Ravel dan posisinya sebagai Ibu dari anak gue enggak akan pernah berubah. Jadi, dia emang wajib mempertahankan penampilan yang sesuai sama keadaan itu ... sebagaimana gue sebagai ayahnya Ravel, lo emang pernah lihat gue rambut pirang, gondrong, spike, mohawk? Enggak pernah!"
"Ya, tapi lo tuh ngelarang-larang seakan masih—"
"Dia emang masih istri gue, masih wajib nurutin kemauan gue tentang penampilannya." Kagendra menyela cepat dan merogoh ke saku dalam jasnya, meraba, mencari permen pelega tenggorokan. "Sial lupa."
"Lupa apaan?" tanya Waffa.
"Xylitol, lo bayar ya, Fa... gue nyari dulu..." ucap Kagendra lalu beranjak dari kursinya.
"Udahlah balik rokok lagi aja."
"Lo aja sendiri yang terus ngisep tuh racun," jawab Kagendra sembari memeriksa ponselnya yang bergetar pelan. Ada chat masuk.
Lyre Pradipandya
Mas, aku lupa bilang, waktu siapin jas enggak masukin permen ke saku.
Yang strip habis, adanya botolan dari ruang makan, aku masukin di tas ya.
Kagendra segera duduk lagi, memeriksa ke dalam tasnya untuk memastikan kebenaran chat dari Lyre.
"Gitu dong, ini racun yang bisa dinikmati, Man," ujar Waffa, mengeluarkan sekotak rokoknya.
Kagendra menunjukkan sebotol permen mint dari dalam tas dan membukanya. "Lo tobat deh, Dede males kissing sama lo karena tahu tuh mulut beracun."
"Males kok nagih terus," kelakar Waffa sebelum tersadar ketika memperhatikan layar ponsel Kagendra. "Ah, Lyre ngasih tahu lo, ya? Soal permen itu."
"Yang strip habis, makanya dibawain botolan." Kagendra mengunyah dua butir permen. "Lumayan, enggak harus nyari, tinggal dua puluh menit."
"Have you ever ... like, you're really happy marry her, after all this time?" tanya Waffa dengan raut serius.
Kagendra tersenyum simpul. Tidak sulit menjawabnya, "Gue berusaha enggak menyesalinya dan gue rasa Lyre juga begitu."
***
"Mereka udah di pesawat nih," kata Desire, menunjukkan foto selfie Waffa, Kagendra yang tengah membaca berkas di sampingnya ikut terfoto.
Lyre mengangguk, memeriksa jam. "Syukurlah enggak delay, harus sampai Jambi sebelum jam tiga soalnya."
"Kaka pamit?"
"Tadi sempat dengar teleponnya sama Fran di rumah."
Desire memperhatikan Lyre kembali fokus pada majalah di pangkuan. Sejak memulai bisnis bersama, sebenarnya ia sudah merasakan beberapa keganjilan dalam hubungan pernikahan Lyre dan Kagendra. Namun, karena mereka terlihat selalu baik-baik saja, Desire tidak pernah merasa harus mengkhawatirkannya.
"Lo tahu enggak, tadinya gue mau ngambekin Waffa."
"Kenapa?"
Desire angkat bahu sekilas. "Dia enggak ngomong ke gue kalau Kaka mau bertingkah begini, giliran ngasih tahu pas udah siap berkas perceraian... itu keterlaluan."
"Tapi lo bukannya enggak sadar kalau keadaan kami berbeda dari umumnya pasangan menikah."
Desire memang menyadari itu, terutama setelah ayahnya meninggal dan keterlibatan Kagendra di perusahaan semakin menyibukkan. Mereka kerap menghadiri acara formal bersama. Sekali pun di mata orang-orang, Kagendra dan Lyre sangat cocok, sekaligus serasi. Tetapi Desire bisa merasakan, situasi yang kelewat tenang antara keduanya, nyaris dingin.
"Gue sadar kalau Om Tio makin keras sama Kaka setelah kalian menikah dan setelah Papaku enggak ada. Om Tio pengin Kaka beneran pantas jadi penerusnya ... lo tahu sendiri, dulu Kaka liarnya kayak apa."
Lyre mengangguk. "Mas Ndra belajar serius untuk bisa nerusin proyek-proyeknya Om Danu ... dan setelah Papi tumbang, Mas Ndra juga berusaha keras biar perusahaan enggak goyah. Itu sebabnya juga, perceraian kami diproses dengan setertutup mungkin."
"Mama termasuk pemegang saham yang diperhitungkan di kantor, Re ... Mama bisa desak beberapa komisaris untuk ngasih Kaka pelajaran kalau mau." Desire memberi tahu dan menghela napas panjang. "Gue bukannya mau nakut-nakutin, tapi seandainya aja itu bisa bikin kalian berpikir ulang."
"Mas Ndra pasti bisa memperkirakan itu, dia bukan orang yang tiba-tiba bertindak ... enggak mudah saat dia dulu mencoba menerima kehamilan gue, enggak mudah juga saat dia dulu terpaksa menikah, dan saat mengusulkan perceraian ini pun, itu pasti enggak mudah untuknya."
"Kaka sayang banget sama Ravel, gue yakin itu," ungkap Desire. "Kalau dia dulu pernah menolaknya, itu karena dia emang yakin udah hati-hati, Re ... dia juga udah minta maaf, 'kan? Karena dulu nuduh lo macem-macem."
"Sejak awal niat gue emang cuma ngasih tahu, gue hamil anaknya. Enggak mencoba minta uang apalagi status, cuma pengin dia tahu aja." Lyre mengalihkan tatapan sekilas, mengingat peristiwa dramatis itu. "Sayangnya Papi juga ikut tahu dan keadaan sampai sejauh ini..."
"Apa lo masih ada sakit hati? Makanya setuju-setuju aja soal cerai?"
"Gue setuju karena emang mau," ucap Lyre dengan jujur.
"Kaka dulu parah banget, enggak mungkin lo bisa maafin gitu aja."
"Sejak awal gue yakin Mas Ndra ayahnya Ravel. Terlepas dia masih terus mengingkarinya sampai saatnya lahiran, itu bukan kuasa gue. Sikapnya juga langsung membaik pas lihat Ravel, dia yakin sendiri kalau emang anaknya."
"Iyalah, orang persis, sampai tanda lahir di bokongnya. Mama aja kaget banget."
Lyre begitu saja meringis, itu memang sesuatu yang dulu sangat mengejutkan semua orang. Sampai sekarang, setiap kali menyejajarkan foto bayi Ravel dan Kagendra, orang kesulitan membedakannya. "Dulu waktu pertama kali dia lihat Ravel, mukanya langsung syok, gue sempat pengin ngetawain dia."
"Kenapa enggak lo lakuin? Kalau jadi lo udah gue teriakin kali," ujar Desire dan mencontohkan, "Anak lo apa bukan tuh? Hah!"
"Perih banget bekas caesar gue, udah gitu dia..." sebut Lyre sebelum terdiam mengingat masa-masa itu.
"Kaka kenapa?"
Lyre geleng kepala meski otaknya terus memutar momentum saat sosok Kagendra dengan kedua tangan terulur, mencengkeram pinggiran boxs bayi di ruang rawat. Lelaki itu menundukkan kepala, menangis tanpa suara, lalu tidak lama setelahnya berulang-ulang mengatakan maaf.
"Re, Kaka kenapa? Waktu lo lahiran gue di Aussie! Gue ketinggalan bagian serunya lihat Kaka kemakan omongan tahu Ravel persis dia gitu," tanya Desire dengan penasaran.
Lyre meringis. "Pokoknya dia menunjukkan penyesalan atas segala tuduhannya ke gue."
"Emang dia langsung beda gitu sih, berhenti mabuk, sering pulang ke rumah, bahkan stop ngerokok. Gue surprise setiap Mama ngabarin, Kaka jadi kayak manusia beneran, di kantor juga kerjanya kelihatan, bikin proyek ada keuntungan, sukses lagi." Desire berdecak-decak takjub, melirik Lyre yang justru terlihat biasa saja. "Eh, tapi emangnya Kaka tetep secuek dulu ya, Re?"
"Gue tahu dia sibuk, jadi ya emang selalu seperlunya aja."
"Terus kalau Kaka sibuk, lo enggak pernah penasaran gitu? Kegiatannya apaan? Nginepnya di hotel mana, entertain sama siapa atau ngapain aja? Hal-hal yang umumnya ditanyain istri ke suaminya gitu?"
Lyre memang tidak pernah menanyakan itu. "Enggak."
"Kenapa? Lo enggak takut Kaka selingkuh?"
"Kenapa harus takut?" tanya balik Lyre dan geleng kepala santai. "Gue berusaha jadi pasangan yang baik, kalau Mas Ndra enggak bisa melakukan bare minimum yang serupa ... itu bukan salah gue."
"Y-ya?"
"No cheating, no abusing ... itu bare minimum gue dalam menjalin hubungan. Mas Ndra tahu itu dan menurut gue, dia cukup sadar diri untuk memenuhinya."
"Tapi kalau lo enggak pernah ngecek atau nanya-nanya, gimana lo tahu kalau dia—"
"Gue tahu." Lyre menyela singkat dan yakin.
"How? Lo beneran enggak pernah nanya-nanya Waffa atau ngecek ke Fran soal Kaka?"
"Enggak. Dia bilang kerja, ya udah ... " Lyre mengulas senyum kecil. "Sejak awal gue sadar, enggak akan bisa mengubahnya menjadi seseorang yang enggak dia inginkan juga. It's always up to himself mau jadi ayah atau suami macam apa. Udah cukup bagus, kami tahu tugas masing-masing dalam pernikahan ini."
Desire mengerjapkan mata dan saat Lyre kembali fokus pada bacaan majalahnya lagi, ia sadar memang sepertinya pernikahan saudara sepupunya itu sudah lama tidak terselamatkan.
[ to be continued ]
🌃
Kalau bener Kagendra enggak pernah slengki, enggak terlalu redflag lah jadi laki
Eaaa yang berpikirnya gitu, mulai sayank niyee sama si kampret~
wakakakakaa
Lyre enggak pernah takut Kagendra slengki, karena dia tahu siapa dirinya dan emang bukan dia yang salah kalau Kagendra masih mau bersikap serendah itu ... Lyre very confident.
.
Q: inti permasalahan mereka adalah Lyre yang terlalu cuek dan Kagendra yang terlalu seperlunya, makanya hawa pernikahannya dingin.
A: YES! Salah satunya memang itu 👍🏻
Q: Curiga sama covernya perempuan hamil, terus di keterangan awal Ravel mau adik lima. Ini jangan-jangan . . .
A: Jangan-jangan dulu, janganlah digangguu.
Biarkan saja, biar denial dengan tenang~
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top