36. | Putra kedua keluarga Kanantya
Aloha, dari kota istimewa yang sampai sekarang belum kebagian hujan, suhu juga masih di 33-34° ... hufftt ngalah-ngalahin panasnya api cemburu KagenBi, pfftt
.
Aku memang sengaja update siang ya, yang senengnya baca waktu mal-ming ya tinggal didiemin buat nanti malam.
.
3.637 kata, jumlah cakep
ya secakep KagenBi kalau kampretnya tyda kumat, xixixixi
selamat membaca
semoga suka
jangan lupa vote & komentarnya
Terima kasih, Bestie ❤️
.
story rate: 18+
bisa skip aja atau scroll cepet sejak awal sampai tengah bagian cerita.
🌟
36. | Putra kedua keluarga Kanantya
Lyre gelisah dalam tidurnya. Ia berusaha bergerak untuk menyingkirkan hawa berat sekaligus panas yang melingkupi dirinya. Namun, usahanya terasa begitu sia-sia, justru hawa berat, panas, sekaligus licin dengan keringat itu semakin menjelma, menjadi sosok maskulin yang familiar.
"Nice move, Sexy Girl."
Suara bisikan itu terdengar jelas, diucapkan tepat di samping telinga kanannya sebelum si pemilik suara menempelkan bibir ke pipi, dagu, leher dan bahunya, memberi gigitan yang seketika meningkatkan kegelisahan Lyre.
"M—mas Ndra ..." erang Lyre serak tatkala barisan gigi suaminya beralih ke area dada, menggigit bagian puncaknya yang menegang penuh.
"Hmm ... you want more?"
Lyre menggeleng-geleng, dia tidak mau. Gigitan itu menyakiti kulitnya, membuatnya ngilu dan ada sensasi aneh yang menurutnya tidak wajar. Percintaan ini benar-benar aneh, ditambah Kagendra semakin mendesaknya ke dinding dan sesekali menyempatkan untuk merobek atau menarik lepas pakaiannya. Lyre begitu terengah-engah, kesulitan bergerak atau sekadar menarik napas karena dominasi Kagendra.
"Not yet, Sexy Girl," bisik Kagendra yang perlahan menghentikan gerakan pinggul.
"No, no way," sebut Lyre yang balas mengulurkan tangan, menahan tubuh suaminya. "Don't stop ..."
Terlihat seringai miring dalam ekspresi wajah nakal Kagendra. Wajah rupawan itu kembali mendekat dengan lidah basah terulur menjilat-jilat ke pipi Lyre. "Say that you want me so bad ..."
"I want you so bad."
"Do you miss me? Hmmm ..."
"Just continue our—" Lyre terkesiap saat pegangan tangan Kagendra di belakang kepalanya berubah menjadi jambakan.
"Do you miss me?" tanya Kagendra dengan nada yang lebih serius.
Lyre mengatur napasnya dan menjawab, "Yes."
Kagendra tersenyum, kembali mendesakkan diri, mencium sudut bibir Lyre sebelum berbisik lirih. "Let's make your legs shaking, Kinky Baby."
No way! Lyre terkesiap bangun dari tidurnya, ikut terengah sebagaimana dirinya dalam mimpi. Ia mengerjapkan mata beberapa kali, mengatur napas dan perlahan menyadari tubuhnya sekarang juga sulit bergerak.
Itu karena lengan Kagendra membelit pinggangnya, kepala lelaki itu juga mendusel ke samping rusuknya dengan dengkuran halus.
Lyre memperhatikan wajah tidur suaminya dan entah kenapa langsung merasa kesal. Ia menipiskan bibir, membulatkan tekad kemudian mencoba melepaskan diri dengan mendorong lengan Kagendra.
"Enggak!" Gumaman itu terdengar, diikuti belitan lengan yang semakin kuat.
"Sesak tauuu ..." ucap Lyre sebelum tangan kanannya terangkat dan mulai memukuli lengan suaminya.
Kagendra terkesiap bangun, kepalanya mendongak dan bertanya, "Kenapa kamu? Kebelet pipis? Mau minu—"
"Mau kamu lepasin! Sesak aku tidurnya!"
Kagendra melonggarkan dekapannya meski tidak bergeser menjauh. "Enggak kena kok bahumu. Aku kangen istriku."
"Idih!"
"Kok idih kamu? Dikangenin suaminya!" Protes Kagendra lalu menghela napas panjang dan menduselkan kepalanya lagi.
Lyre terkesiap saat kaki suaminya beralih, ikut menempel ke sisi tubuhnya. Ia merasakan sesuatu yang begitu saja menyodok pahanya. Sungguh tidak senonoh sekaligus terasa mesum. Lyre kembali mendorong kepala Kagendra dan bertanya dengan nada galak, "What are you doing?"
"Apa sih, Re? Aku mau tidur lagi, kamu tu—"
"Kamu mau tidur tapi kenapa itu ... Oh My God! You're so gross!!! Jauh-jauh sana." Lyre menyela, mendelik maksimal karena Kagendra berusaha menahan. Lelaki itu enggan beralih dari sisinya.
"Kamu kenapa sih?" tanya Kagendra, mulai kesal dan segera menghentikan tangan istrinya. "Jangan dorong-dorong kepala! Enggak sopan!"
"Emangnya kamu sopan!" Lyre ingin menjerit jika bisa, saking rasanya sangat menggelikan. "Yo ... your thing, it's erection! Ihhhhhh!!!"
Kagendra melongo selama beberapa detik sebelum kemudian mengatur napas, tetap tenang menangani protes istrinya. "My thing just fine, it's normal."
"It's not normal! Masa cuma karena nempel doang bisa—"
"It's four in the morning! Aku lelaki sehat dan normal ..." Kagendra menyela dengan serius lantas mengingatkan, "Kamu bukan baru pertama kali ketempelan penis yang erek—"
"With all respect, Kagendra Pradipandya!" sela Lyre dan meminta dengan nada yang tidak kalah seriusnya, "Just gimme some space."
Kagendra berdecak, menggeser tubuhnya menjauh. Lyre memang tipe yang selalu tidur dengan tenang, tidak pernah mendengkur, bergumam, menggertakkan gigi, apalagi bergerak-gerak. Itu sebabnya Kagendra suka memeluk atau menempelinya, dia seakan bisa merasakan ketenangan yang sama.
"Mas Ndra ..." panggil Lyre.
"Apa lagi? Aku udah enggak bisa geser lebih jauh, Re!" Gerutu Kagendra, semakin kesal karena terbatasnya ukuran tempat tidur.
Lyre meringis. "Enggak, cuma mau nanya ... kalau sebelum ini, setiap aku bilang enggak mau atau enggak suka kamu nempel-nempel, kamu juga langsung menjauh, 'kan?"
Kagendra memejamkan matanya sejenak dan memberi gelengan pelan. "Kamu enggak pernah bilang enggak suka atau enggak mau ditempelin. Aku sendiri, sebenarnya enggak familiar juga tidur sama orang, makanya kadang aku gelisah tidurnya."
Lyre menyimak cerita itu dalam diam.
"Baru sama kamu aku bisa betah ... jarang mimpi buruk, bahkan bisa pulas banget. Kalau kita movie marathon, aku pasti ketiduran duluan, saking kamu yang tenang banget juga," ungkap Kagendra dengan jujur.
"Kamu kalau pagi selalu gitu? Bikin kaget tahu, aku jadi takut diapa-apain ..."
"Justru aku yang sering kamu apa-apain setiap pagi, ck!" Kagendra menoleh istrinya, memang sulit untuk dipercaya namun ini benar adanya. "Kamu capek dan sebel kalau keseringan mandi, makanya lebih suka kalau main pagi-pagi. Entah berapa kali aku bangun, kamu udah naikin—"
"No way!" Seru Lyre dan memberi peringatan, dalam mimpinya tadi sudah cukup jelas siapa yang mendominasi kegiatan seksual dalam pernikahannya. "Jangan modus, aji mumpung banget mentang-mentang masih pagi begini!"
"Aku enggak modus, aku ngomong jujur!" Kagendra balas berseru.
"And I am just wake up!" Terdengar sahutan samar itu dari kamar Esa dan seketika membuat Lyre menutup mulut. Kagendra juga demikian.
Situasi benar-benar jadi canggung sekarang.
***
"Jangan nanya," sebut Lyre saat sang kakak menghampirinya ke kursi berjemur.
Esa tertawa, nyaris geli. "Pas berangkat subuh tadi Kagendra juga ngomong gitu, muram banget mukanya."
"Kedengeran jelas dari kamar Mas Esa?"
"Ya samar, tapi tahu kamu ngomong jangan modus, terus Kagendra bilang dia enggak modus tapi jujur." Esa terkekeh pelan. "Modus, godaan, candaan itu penting lho ... biar suami-istri enggak terkesan seperlunya."
Lyre menipiskan bibir, menatap ke area kolam renang tempat Kagendra berenang bersama Ravel. "Itu playboy jelas expert kalau modus."
"Playboy tobat," ucap Esa dan duduk di samping sang adik. "Kecuali kamu nemu potongan ingatan baru yang mengindikasikan sebaliknya?"
"Enggak, tapi aneh juga ... semalam ada ingatan waktu aku nyuruh dia nyari kenalan baru, terus mukanya serem banget."
"Nyari kenalan baru gimana?"
"Aku juga enggak yakin, tapi kayak situasi kami cukup tegang juga."
Esa menyipitkan mata. "Bercandaan kayak begitu emang enggak lucu, antara suami dan istri."
"Enggak bercandaan, aku sama Kagendra kayak serius ..." Lyre geleng-geleng kepala. "Aku bukan tipe yang mau berbagi ... aku yakin menjaga kesetiaan. Kagendra berulang kali menegaskan hal yang sama."
"Iya, pasti." Esa mengangguk yakin. Sang adik ipar bukan lelaki yang bakal mengabaikan peringatan darinya.
Lyre menurunkan kacamata hitamnya saat Kagendra berenang sampai pinggiran kolam renang dan menggunakan dua tangan sebagai tumpuan sebelum mengangkat tubuh keluar. "Wah ... look at those bulky shoulders and hamstring muscles."
Esa memperhatikan sang adik dan tertawa. "You know that human bone stops growing in length after they're hit puberty."
"Serius?" sebut Lyre.
"Yup, makanya yang bisa dibentuk memang otot ... and The Gluteus Maximus, which is the main extensor muscle of the hip, is the largest muscle in the body."
Lyre menyeringai saat Kagendra berbalik, menunjukkan bagian belakang tubuh yang tidak kalah menarik perhatian. "Yah, itu terlihat bagus juga."
"Saat kalian menikah, kami satu ruang ganti, otot perutnya waktu itu beneran bikin iri ... saat pulang ke Tokyo aku langsung termotivasi untuk mulai gym."
Lyre memperhatikan sang kakak, dibanding saat-saat terpuruk yang membuat Esa kehilangan hampir lima belas kilo berat badan, keadaan sekarang memang jauh lebih baik. "Mas Esa enggak cocok kurus."
"Ya, selain itu aku memang harus punya kekuatan, kalau bisa lebih daripada Kagendra. Makanya aku balikin kondisi badanku sesehat mungkin."
"Kenapa?"
Esa mengacak pelan rambut adiknya. "Aku harus bisa jagain kamu ... minimal punya tenaga untuk memukulnya kalau sembarangan."
Lyre tersenyum senang dan segera beralih menyandarkan kepala di bahu sang kakak. "Pernikahanku bawa hal baik selain anakku punya ayah yang semestinya."
"You deserve all the kindness in this world," ungkap Esa dan merangkul adiknya.
"Esh!" seru Kagendra yang tampak bergegas mengeluarkan Ravel dari kolam.
Esa berlagak cuek, sengaja mengeratkan rangkulan, mengecupi pelipis Lyre sampai adiknya itu tertawa.
"Lukesh!" panggil Kagendra, agak emosi karena sadar kakak-beradik Kanantya itu sengaja memanasinya. "Itu kadalnya ikut nyemplung, ck!"
"Raphael bisa berenang, Papa," ujar Ravel lalu menjerit senang saat memperhatikan reptil oranye yang juga bergerak ke pinggir kolam. "Papa, mau main sebentar sama Rambo."
"Enggak, Ravel harus jemuran ... Re, gantian sama kamu nih." Kagendra mendekat dan segera menyodorkan sang anak.
Lyre tertawa, meraih handuk di samping kursi berjemur dan melapisi pangkuannya sebelum mendekap tubuh balita yang seketika tertawa senang.
"Esh, itu kadalnya keluarin ... aku masih harus berenang sekitar setengah jam lagi," ujar Kagendra.
"Enggak bakal gigit, Ndra, ya ampun, dia juga bisanya di area undakan itu doang," kata Esa dan beralih untuk melepas kaus.
"Itu baru otot perut," ucap Lyre saat memperhatikan kakaknya melakukan pemanasan.
Kagendra berdecak. "Biasa aja."
"Otot perutmu yang biasa aja," cibir Lyre lalu tertawa menciumi pipi anaknya. "Vel, lihat, bagusan perutnya Papa apa Om Esa?"
"Om Esa!" sebut Ravel.
"Eh! Papa begini karena kalau Ravel enggak habis maemnya, Papa terus yang makan," ucap Kagendra dan kembali menunduk untuk mengangkat anaknya hingga batas kepala, setelah itu menciumi perut Ravel yang agak membuncit. "Sekarang udah habis terus, makanya ikut gembul ..."
"Enggak gembul! Anak sehat," seru Ravel diantara gelak tawanya.
Lyre memperhatikan dari tempatnya duduk dan merasa degub jantungnya semakin cepat berdetak. Kupu-kupu tak kasat mata juga serasa memenuhi perutnya ketika Kagendra ikut tertawa, berpura-pura menggigit pipi dan lengan Ravel yang menggembung.
"Kharavela-nya Papa, selamat ulang tahun yang pertama ... orang bilang, tahun pertama itu yang paling berat, karena merupakan awal adaptasi sebagai orang tua. Memang tangisnya Ravel suka ngagetin, suka tiba-tiba jerit juga, bikin Papa bingung harus apa atau gimana ... tetapi terima kasih karena terus jadi anak sehat, anak yang suka kasih Papa senyum ketika dipeluk dan disayang-sayang, it means a lot for me. You're loved, Son ... always."
"Mama ..." panggil Ravel saat memperhatikan sang ibu dan mendapati Lyre meneteskan air mata.
"Oh! Kelilipan," ucap Lyre, segera menghapus jejak basah di pipinya dan mengulurkan tangan. "Gantian dong, Mama mau peluk Ravel juga."
Kagendra mengulurkan anaknya, tetap berdiri mengamati Lyre tersenyum mendekap Ravel. "Kamu beneran enggak apa-apa?"
"Iya, sana Mas Ndra berenang lagi ... tuh, Mas Esa udah masuk kolam juga."
"Kalau kamu pusing atau sakit—"
"Enggak ... aku lagi seneng kok, peluk-peluk anak baik kesayangan Mama."
Ravel balas memeluk sang ibu. "Mama kesayangan Vel juga ..."
Kagendra mengangguk, sudah agak lega ketika anak dan istrinya saling bercanda lagi. Ia kembali ke kolam, berenang bolak-balik sebanyak lima kali sembari sesekali memperhatikan ke kursi berjemur.
"Esh," panggil Kagendra saat sama-sama mengambil jeda di pinggiran kolam.
"Ya?" tanya Esa sambil mengelus kepala reptil hijau yang kini bermalasan di bahunya.
"Orang yang koma bisa menstruasi enggak?" tanya Kagendra dengan penasaran. Ini pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam pikirannya dan mungkin jawaban Esa bisa memberinya sedikit pemahaman.
Esa terdiam sejenak. "Ini soal Lyre? Dia mens pas kemarin koma?"
"Enggak," jawab Kagendra lalu mengendik ke sosok istrinya yang kini menemani Ravel mengelus-elus kepala iguana oranye. "Tapi seharusnya dia udah mens. Aku nanya karena siapa tahu orang koma enggak bisa mens dan Lyre baru PMS sekarang, tadi dia tiba-tiba nangis."
"Kenapa nangis?"
"Enggak tahu! Dulu pas mau period juga suka tiba-tiba gitu ... aku pernah negur Ravel karena mainin makanan, Lyre yang malah nangis sampai sesenggukan. Dua hari aku didiemin, ternyata lagi dapet." Kagendra kembali mengulang pertanyaannya. "Jadi, orang koma bisa mens enggak?"
Esa lebih dulu memindahkan reptil hijau dari bahunya, membiarkan Raphael merayap di pinggir kolam dan baru menjawab, "Tergantung penyebab koma-nya dan tingkat stress yang dialami tubuh pasien."
"Tubuh stress?"
"Stress itu bukan sekadar efek tekanan emosional. Organ dalam tubuh mengalaminya juga kalau ada masalah sinkronisasi dengan otak manusia." Esa menjelaskan lebih detail, "Di dalam otak itu ada bagian yang memproduksi hormon, kalau bagian itu aman dan stress pada organ reproduksinya tidak berlebihan, mungkin aja menstruasi terjadi."
"Kalau dalam kasus Lyre gitu?" tanya Kagendra.
"Atiana bilang enggak ada gangguan hormonal, seharusnya ya bisa aja mens." Esa memperhatikan adik iparnya yang terdiam. "Apa menurutmu Lyre telat?"
Kagendra menghitung dalam hati. Suaranya jadi agak gugup dan wajahnya juga mendadak diliputi kecemasan kala memberi tahu, "Ya, kalau pasien koma tetap bisa mens ... siklusnya Lyre harusnya dimulai pada hari kelima menjalani perawatan."
"Terkadang emang enggak sebanyak pada perempuan sehat dan durasinya juga enggak—"
"Dia selalu bersih, Esh. Aku yakin."
"Modusmu padanya ada yang berhasil belakangan ini?"
Kagendra menggeleng dengan gamang. "Tapi kalau ada kemungkinan bayi ya pasti anakku, 'kan?"
Esa mendelik, jelas tidak terima dengan respon tersebut. "Ya, emang siapa lagi?"
"Soalnya aku memakai ..." Kagendra menghentikan kalimatnya dan menggelengkan kepala. Ia jelas tidak waras jika berani meragukan Lyre di hadapan sosok yang mati-matian akan membela istrinya itu.
"Nanti malam habis Lyre tidur, aku akan menunjukkan data rekam medisnya padamu, just check on it."
Esa menahan bahu Kagendra, mencegah adik iparnya itu beralih. "Mama cerita ke aku saat menyinggung tentang test DNA dan Lyre langsung defense habis-habisan ... it's triggering her."
Kagendra seketika terdiam kaku, itu juga masa yang membuatnya sangat gugup sekaligus takut. Esa dulu juga memprotes karena prosedur paternitas yang dilakukan memiliki risiko. Lyre yang dahulu pasang badan sekaligus meyakinkan. Saat pernikahan juga, Kagendra tahu Esa masih sangat marah sekaligus kesal padanya namun bersedia kooperatif karena menuruti keinginan Lyre.
Di sepanjang pernikahan ini, bagaimana Esa memperlakukan Kagendra juga selalu bergantung dari bagaimana keadaan Lyre. Sedikit saja bungsu keluarga Kanantya itu menunjukkan kesedihan, Kagendra pasti mendapatkan peringatan dari si sulung.
"Aku sengaja enggak bahas atau cerita soal itu sama Lyre, karena khawatir dia ingat peliknya proses test paternitas untuk Ravel dulu ..." Esa menegaskan desisan peringatannya. "Jadi, sebaiknya pikir ulang kalau mau meragukan adikku. Dalam kondisi sekarang, Papaku enggak bakal melepaskannya dan aku, orang pertama yang akan menginjak batang lehermu jika berani mengulang kesulitan Lyre pada masa itu."
"Aku enggak bermaksud meragukannya, apalagi mengulang kesulitannya ... aku saat ini justru khawatir dan cemas, terutama dalam kondisi sekarang, Lyre sendiri belum sepenuhnya sehat."
Esa menilai ekspresi Kagendra dan memberi tahu. "Aku yang akan menemaninya latihan jalan dan terapi bahu pagi ini. Kamu habis mandi temani Mama ke pasar buat belanja."
"Pasar?" tanya Kagendra dengan syok. "Aku temani Mama ... ke pasar?"
"Pak Samad nyopirin Papa ke Magelang. Kamu nyopirin Mama ke pasar," tegas Esa lalu kembali berenang.
Esa sengaja menyuruh Kagendra pergi bersama sang Mama agar Lyre juga punya waktu luang dan leluasa untuk melengkapi jurnal ingatan di komputer tabletnya.
***
Soraya Baiharni mencoba tidak tertawa kala mendapati menantunya sibuk memakai masker medis dan topi bucket. Kagendra juga merapatkan jaket denim, dua kali menyemprotkan parfum dan baru bersedia turun dari mobil.
"Mama bisa keliling sendiri kalau kamu mau di mobil, Ndra," ujar Soraya santai.
Kagendra menggeleng, selesai mandi tadi mendapat telepon dari Kinar yang antusias mengetahui kegiatannya mengantar Mama mertua ke pasar. Jika dilaporkan pada Papinya bahwa Kagendra sekadar menunggu di mobil, pasti akan runyam.
"Kenapa enggak belanja di supermarket aja sih, Ma?"
"Mama udah langganan sama kios buah di pasar ini," jawab Soraya dan memperhatikan para pengunjung lain beralih fokus pada Kagendra. "Toko sembako di sini juga udah langganan dari lama, bahkan sejak eyangnya Esa sama Lyre masih hidup."
Amma, panggilan untuk nenek Kagendra, sudah tiada sejak dirinya masuk elementary school. Sementara Appa, kakeknya tiada saat Kagendra berusia sepuluh tahun. Tidak banyak kenangan yang Kagendra ingat tentang mereka, kecuali kebiasaan Amma membuatkannya susu hangat setelah selesai berenang dan kakeknya selalu membawakan sweet daifuku, sejenis mochi dengan isian krim vanila dan fujiminori ketika pulang dari Jepang.
"Mama bisa bikin daifuku?" tanya Kagendra.
"Ichigo daifuku? Mochi isi pasta kacang dan strawberry?" Soraya memastikan.
"Ng, bukan, isinya krim vanila sama fujiminori."
"Fujiminori, anggur impor Jepang itu?"
"Iya, yang gede-gede dan tanpa biji."
"Kayaknya susah cari di sini, merk kiwi yang kamu tulis di daftarnya Ravel itu aja Mama dapatnya karena nitip Papa waktu ke Surabaya."
Kagendra mengangguk-angguk, bisa memahami bahwa memang tidak mudah menyesuaikan dengan standar bahan makanan yang biasa tersedia dengan mudah di rumahnya.
"Kamu suka daifuku?" tanya Soraya.
"Tadi cuma nanya aja," jawab Kagendra agar tidak terkesan membebani. Selama ini, mama mertuanya sudah sangat baik menyajikan makanan enak dan bisa dinikmati olehnya.
"Ke sebelah sini, Ndra," ajak Soraya ketika berbelok ke lajur kanan yang cukup lapang, meski kanan-kirinya banyak pedagang emperan menjajakan berbagai makanan tradisional.
"Oh, God!" sebut Kagendra dengan ngeri, terarah pada dagangan berupa baceman ayam. "Mereka memasak anakan ayam?"
"Itu puyuh, bukan anakan ayam."
"Puyuh?"
"Iya, sejenis unggas yang badannya memang kecil tapi agak berisi. Kamu belum pernah makan?"
Kagendra seketika geleng kepala dan menanggapi dengan suara lebih lirih, "Menggelikan."
Soraya tertawa pelan dan mulai bercerita, "Lyre dulu paling suka diajak grocery, Ndra ... kami biasanya cepet-cepetan menghitung, hitung discount, total belanjaan sampai jumlah uang kembalian. Mama mulai sering kalah begitu dia naik grade 5 elementary school, she's so competitive, apalagi pas mulai tahu serunya nawar belanjaan."
Kagendra bisa membayangkan itu. "Kami pernah ke Maroko dan dia senang banget berhasil nawar quilt motif unta gitu ... dari lima ratus dollar sampai tiga ratus. Salah satu selimut favorit Ravel, sampai udah tipis banget sekarang."
"Lyre suka motif-motif etnik atau bohemian gitu." Soraya lega mendengar cerita menyenangkan tentang putrinya. "Tapi kalau grocery di Jakarta, pastinya Lyre udah ada asisten yang belanjain ya?"
"Ada dua mbak yang ikut tinggal di rumah. Tapi kadang Lyre masih belanja sendiri, sambil ngajarin Ravel."
"Ngajarin gimana?"
"Ravel hafal nama-nama buah, sayur, alat masak, karena sering diajak Lyre belanja. Paling senang kalau disuruh pilih jeruk, dia tahu sekilo isi enam, kalau apel pakainya kemasan tabung, terus strawberry pakai kemasan kotak isi sepuluh, merk susu sama biskuitnya. Pernah ada task bercerita tentang shopping activity di kelas, teman-teman yang lain belanja mainan, beli buku, sampai branded clothes. Ravel dapat five stars, karena seru ceritain grocery with Mama. Teman-temannya pada penasaran, sampai minta diajak grocery juga."
Soraya menyimak cerita itu dengan agak takjub. "Task sekolahnya Ravel ada yang begitu-begitu ya?"
"Iya, untuk aktivitas sensori pernah anak-anak harus collect nature element, seperti; batu, daun, pasir, kerikil, tanah, tanaman, air. Waktu itu banyak anak bawa terpisah masing-masing, Lyre ngajarin Ravel tentang susunan tanah terus presenting pakai clear pot. Ravel nyusun elemen tanah, arang, pasir, kerikil, batu, diatasnya kasih tanaman, terus tuang airnya ... he got first merit certificate untuk best creativity."
"Wow ... thats cool."
"Lyre bilang otak anak itu mengalami 50% perkembangannya justru pada masa toddler, usia 0 sampai 4 tahun. Makanya, dia selalu bilang, aku harus terbiasa ngajakin Ravel interaksi, bacain buku. As a baby responnya ya cuma ketawa, celotehan, atau teriakan, tapi pas udah mulai ngomong, cepet banget niruinnya. Umur setahun udah bisa jawab kalau nangis terus ditanya maunya apa? Main, susu, maem, bobok, gendong. Paham dipamitin, balas kasih salam, dia juga gampang diminta kenalan." Kagendra bercerita sembari sesekali menahan bahu ibu mertuanya dari lalu lalang pedagang atau kuli yang memanggul muatan berlebih.
Kagendra memang tidak pernah mengatakan permisi atau maaf pada orang-orang yang tanpa sengaja tersenggol saat lewat, namun Soraya menyadari menantunya itu bersedia menunggu, berhenti sejenak sampai keramaian terurai dan kembali melangkah.
"Bu Yaya! Kok lama enggak belanja lho ..." sapa penjaga kios sembako yang langsung mengenali saat Soraya mendekat. "Anas bilang jagain anak sakit, udah sehat?"
"Iya, Lyre udah pulang ke rumah ... minta seperti biasa ya, tambahin beras sepuluh kilo sama kalau ada kemiri utuh yang paling bagus."
"Baru aja datang itu, lima puluh lima ribu sekilo!"
Kagendra mundur, membiarkan Soraya beralih memeriksa karung berisi biji rempah bulat-bulat.
"Minta sekilo ya," ujar Soraya pada penjaga yang sigap mengambil sekop kecil dan mulai menimbang.
"Mau masak besar apa?" tanya Kagendra.
"Enggak, Mama mau bikin minyak, bagus buat rambut." Soraya kemudian beralih memilih telur dalam rak. "Omega tiga-nya kosong, ya?"
"Udah dua minggu enggak nyetor ... Anas udah pesan tadi pagi yang organic free-cage dua kilo."
"Iya, udah sampai tadi pagi sama susu segarnya ... buat variasi aja kalau bikinkan rebusan. Esa soalnya lebih suka yang omega tiga."
"Lho kirain yang organic itu buat Mas Esa, Bu."
Soraya menggeleng. "Buat cucu sama ini, putra saya yang nomer dua, bisanya makan olahan organik."
Penjaga kios seketika beralih pada Kagendra, mengulas senyum ramah dan semringah. "Oalah, kirain siapa tumben yang nganter wanginya kebangetan, ternyata tole nomer dua."
"Tole?"
"Anak lelaki maksudnya," kata Soraya dan menyerahkan kantong kain dari dalam tas belanjanya. "Ini kantong kemas buat kemirinya."
"Saya aja yang bawa, Ma," ucap Kagendra dan segera membawakan tas belanjaan, menunggu hitung-hitungan total belanjaan Soraya.
"Beras sepuluh kilo, tiga ratus dua puluh lima ribu. Telur dua kilo, delapan puluh ribu. Susu murni dua liter empat puluh lima ribu. Minyak kelapa dua liter, delapan puluh delapan ribu. Minyak matahari, yang seratus dua puluh lima ribu. Kecap asin, dua puluh dua ribu. Tiga jenis tepung, lima puluh enam ribu. Totalnya jadi ..."
"Tujuh ratus sembilan puluh enam ribu," ujar Kagendra lalu mengangkat tas belanjaan di tangannya. "Ada tambahan lima puluh lima ribu untuk sekilo kemiri."
Soraya menoleh takjub, bersamaan dengan penjaga kios yang tertawa mengacungkan jempol. "Ora maido saiki, temenan anak lanange Bu Yaya."
"I don't understand," ungkap Kagendra.
"Katanya enggak ragu lagi, kamu memang anaknya Mama." Soraya tersenyum lebar dan merasa gembira tatkala menepuk lengan sang menantu. "Pintar menghitungnya, sudah begitu teliti ngitung yang belum disebut ... keren lho, Kagendra."
Keren?
Kagendra meringis, merasa sedikit lucu, baru kali ini dia disebut keren hanya karena menyelesaikan hitungan sederhana.
Ia memperhatikan ibu mertuanya yang tampak dikenali dengan baik oleh setiap pedagang, dirinya juga ikut disapa dengan ramah.
Kagendra tersenyum, menjadi putra kedua keluarga Kanantya rasanya tidak buruk juga.
[ to be continued ]
🌃
Seneng ya, KagenBi
bisa memulai masa berpacaran bersama istri di usia tiga lima, dapet pengakuan keren juga dari ibu mertua, dianggap anak sendiri pula ~
kurang beruntung apa lagi dapat Lyre sebagai istri, ckckck
.
I know, bab ini terasa kayak cuma manjang-manjangin durasi baca, but for me its important to understand betapa kesepiannya Kagendra kecil, sekurang itu Words to Appreciate yang seharusnya dia terima.
.
.
.
.
Tapi, tolong ya, jangan terlalu oleng!
kuatkan tekad LyrePalingBerhakBahagia, KagendraNtarDuluAja 😌
.
.
.
.
Q: Najis bet, tiap diajak ngomong jawa trus Kagen sok enggres!
A: Kalau Kagendra sok Japanese nanti makin ruwet, Bestie ... xixixi anyway dia enggak sok enggres, sengaja karena dia enggak paham ya ngebales biar sama enggak pahamnya, wkwkwkk geblek emang pola pikirnya.
Q: Kharamel sebagai nama adiknya Kharavela sabi nih kak
A: Kharamel Macchiato
🏃♀️💨
Q: Sebagai FBR, Fans Berat Repeated, kami siap cerita ini ditambah hingga 100 bab!!!
A: Sebagai PCR alias Penulis Cerita Repeated, saya tyda siap dan berharap bisa tamat lebih cepat, pfftt
.
.
.
⤵️
.
.
.
Geng Jahanam~
alias trio babi mesum
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top