33. | Keluarga kecil sempurna
Bingung mau nulis apa
Jadi, langsung baca aja ya 😂
.
3.560 kata untuk bab ini
kumat lagi nulis panjang-panjangnya, maklumin aja, karena gabut -_-"
oke, selamat membaca~
🌟
33. | Keluarga kecil sempurna
"Hah!" sebut Kagendra yang terbangun karena kaget. Ia menyipitkan mata, mempertajam pendengaran. Jam digital di nakas menunjukkan pukul setengah lima pagi. Lyre di sampingnya masih pulas, tidak terganggu suara-suara samar di luar. Seperti suara barang berjatuhan secara berurutan.
Suara itu terdengar lagi, membuat Kagendra bergegas keluar kamar, menyadari ada kesibukan di lantai satu dan mencoba mencari tahu.
"Oh, kamu udah bangun?" tanya Soraya dari ruang depan.
"Kebangun, Ma. Ada apa kok kayak ribut di luar?"
"Oh, itu Papa sama Pak Samadi persiapan peralatan latihan buat Dojo sebelah ... pagi ini jam enam ada kelas."
"Dojo?" Kagendra berharap tidak salah dengar.
"Iya, Dojo tempat latihan karate ... weekend begini anak-anak kelas pagi, nanti sore baru untuk dewasa. Ravel pasti senang, ada banyak yang seumurnya nanti."
"Papa bisa karate?"
"Enggak juga, itu dojo di sebelah semacam fasilitas komplek yang diurus Papa. Karena rumah ini paling dekat."
Kagendra menghela napas lega.
"Papa basicnya judo, dulu waktu SMA juara nasional ..."
Kagendra menahan napas leganya. Juara nasional Judo? Ia sama sekali tidak menyangka, satu sisi masuk akal melihat postur tubuh ayah mertua yang masih bugar meski usianya sudah lewat enam puluh tahun.
Kagendra tidak punya basic olahraga bela diri, dia tahu cara memukul dan menghajar karena pengalaman bertikai semasa sekolah atau setiap kali diberi 'pelajaran' khusus oleh sang ayah.
"Oh, itu sudah subuh ... sebentar lagi Esa turun terus tunggu Papa, ya? Subuh sama-sama, langgarnya enggak jauh."
"Ya?" sebut Kagendra dengan bingung.
"Ravel kalau udah bangun sekalian diajak," sahut suara Lukito dari belakang.
Kagendra menoleh dengan kikuk. "Oh, tapi—"
"Tapi?" sela Lukito, matanya menyipit penuh penilaian.
"Ravel punya jam bangun tidur yang teratur selama ini, tiba-tiba mengubahnya akan mengacaukan ritme hariannya."
"Itulah sebab aku berkata 'kalau', dia belum wajib tetapi perlu dikenalkan rutinitas beribadah." Lukito bersedekap memandang menantunya yang terpaku. "Tunggu apa lagi?"
"O ... oh, ya! Saya akan mengeceknya." Kagendra langsung buru-buru naik ke lantai dua.
"Papa udah bangun juga?" suara itu hampir membuat Kagendra kaget. Anaknya tampak siap dengan celana panjang dan kemeja koko yang rapi. Bukan lagi piama tidur.
"Kok Ravel udah bangun?" tanya Kagendra dan menatap Esa yang menutup pintu.
"Iya, mau ikut Om Esa sama Opa dokter."
Kagendra jadi bingung. "Oh, ya?"
"Tunggu di bawah ya, Ndra ..." kata Esa sambil menggandeng keponakannya.
"Oo ... ng, aku beneran harus ikut?" Kagendra tidak terbiasa dengan ini.
Esa menarik sebelah alisnya. "Terserah, tapi kalau enggak turun ... biasanya Papa yang nyusul ke atas buat manggil."
Sial! Kagendra segera melepas kancing piamanya. "Give me five minutes!"
***
"Ravel bangun sendiri apa dibangunin?" tanya Kagendra sewaktu berjalan kembali ke rumah.
Esa menguap kecil. "Dia kebangun dari jam setengah empat, aku kira udah tidur lagi pas aku siap-siap ... aku tawarin pindah kamar kalian, enggak mau, minta ikut."
"Seneng dia kalau jalan-jalan," ucap Kagendra, mengamati sang anak gembira dalam gandengan Lukito Kanantya. Sejak tadi terus bertanya tempat atau fasilitas di komplek perumahan elit ini.
Kagendra sebenarnya cukup takjub juga, dengan tatanan perumahan yang meski sudah tersentuh banyak modernisasi, tetap tidak kehilangan kesan asri sekaligus tradisional. Di pinggir area taman komplek masih ada gazebo kayu, pot-pot besar berhias anyam bambu, sampai penunjuk arah dari bahan daur ulang.
"Opa, sana apa? Tempat main juga, ya?" tanya Ravel menunjuk bangunan di samping rumah.
"Namanya Dojo, tempat latihan buat yang mau belajar karate ... Ravel udah pernah belum?"
Ravel menoleh Kagendra. "Papa, karate itu apa?"
"Olahraga bela diri, biar kalau ada yang jahat bisa melawan, langsung pukul," jawab Kagendra mantap.
Esa menoleh adik iparnya. "Ndra ..."
Lukito Kanantya berdecak, agak tidak senang dengan jawaban menantunya itu dan segera menjelaskan, "Karate itu memang olahraga bela diri, tetapi untuk seumuran Ravel begini ... belajarnya masih cara berdiri yang tegap, posisi kepalan tangan yang baik, sama cara menendang yang lurus."
"Biar apa, Opa dokter?" tanya Ravel, fokus sepenuhnya pada sang kakek.
"Biar gerakan tubuhnya makin baik, seperti Ravel belajar mengeja, menyebut kata-kata dengan lancar ... olah raga bela diri bagus untuk gerakan tubuh yang benar."
Ravel tampak memikirkannya sebelum melepas gandengan tangan dan bergegas beralih pada Kagendra. "Papa mau ..."
"Tanya Mama dulu," jawab Kagendra lalu menggendong anaknya, mengelus-elus ke punggung. "Ravel enggak ngantuk, ya?"
"Enggak."
Esa tersenyum dan bertanya, "Seneng enggak boboknya sama Om Esa?"
"Iya, boboknya enggak bunyi."
"Papa juga udah enggak bunyi boboknya," ujar Kagendra, malu juga gaya tidurnya dibicarakan dekat papa mertua begini.
Esa terkekeh. "Ravel nanti malam mau bobok sama Papa dan Mama, apa sama Om Esa lagi?"
"Sama Om Esa lagi!" Ravel kemudian memberi tahu dengan cepat. "Soalnya boboknya bertiga nanti Papa yang tengah."
"Papa yang tengah?" Lukito Kanantya langsung keheranan.
"Supaya bisa jagain dua-duanya, saya ditengah," jawab Kagendra cepat.
"Enggak, di tengah soalnya Papa mau peluk Mama!" cetus Ravel.
"Papa peluk Ravel juga lho," kilah Kagendra dengan setenang mungkin.
"Tapi aturan Ravel yang di tengah, Ndra ... dia dipinggir kalau gelundung dari kasur gimana?" tanya Esa, sejujurnya begitu heran.
"Enggak, Esh! Aman." Kagendra meyakinkan.
"Papa sukanya peluk Mama lama-lama," sebut Ravel dan sedetik kemudian tergelak karena pipinya diserbu ciuman.
"Kharavela-nya Papa cemburu, ya? Mau dipeluk Papa lama-lama juga? Iya, iya, iya?" tanya Kagendra berulang sembari terus mengecupi pipi anaknya.
Lukito Kanantya terdiam memperhatikan itu, beralih tatap kepada putra sulungnya yang tertawa, ikut menggodai Ravel. Dalam diam, lelaki enam puluh empat tahun itu terkenang masa-masa terbaiknya dengan sang anak di waktu kecil. Masa yang ternyata sudah begitu lama berlalu dari hidupnya.
***
"Nama kamu siapa?"
"Hayavela, panggilnya Vel aja."
"Kok kamu datangnya bareng Opa Luki?"
"Iya, soalnya tinggal rumahnya Opa dokter sama Papa, sama Mama juga."
"Ohh ... berarti adik ini cucunya Pak Lukito ya? Mama itu berarti Kak Lyre?"
"Iya, Mama soalnya sakit jadi harus sama Opa dokter tinggalnya."
"Sakit apa?"
"Sakit di kepalanya, sama bahu sama kaki ... tapi udah mau belajar jalan."
"Vel udah sekolah belum?"
"Sudah, tapi besok sekolahnya dari rumah dulu, satu bulan."
"Satu bulan?"
"Iya, satu bulan itu pokoknya lama."
Soraya menahan kagum mendengar percakapan Ravel dengan beberapa anak sekaligus salah satu pengawas kegiatan ini. Cucunya tampak tenang, menjawab rasa penasaran dengan baik. Lain halnya dengan Kagendra yang tampak muram, bersedekap mengamati dari kursi-kursi khusus penunggu di pinggir arena latihan.
"Ndra, ini, ketemu seragam kecilnya," kata Soraya, mengulurkan setelan pakaian karate anak.
Kagendra menerimanya. "Ravel, ganti dulu."
"Iya," sahut Ravel dan kembali ke hadapan sang ayah.
"Ada ruang ganti di sebelah sini, Ndra ..." Soraya menunjukkan arah menuju sebuah pintu geser. "Mama langsung balik ke rumah, ya? Lyre mau mandi."
"Iya, Ma ..." kata Kagendra, menahan senyum saat anaknya mulai berlagak meninju-ninju udara.
"Hyat hyat, nanti gitu ya, Papa?" tanya Ravel dan antusias mengikuti langkah ayahnya.
"Iya."
Lyre langsung setuju begitu Ravel berkata ingin ikut latihan karate, ditambah Lukito Kanantya yang langsung berganti seragam khusus membuat Ravel makin antusias. Memang sudah ada sekitar lima belas anak yang bersiap latihan, dari usia tiga hingga tujuh tahun.
Kagendra mengganti pakaian Ravel, agak bingung ketika akan memasangkan sabuk. "Sabuknya minta tolong pakaikan Opa dokter, ya? Papa enggak tahu gimana ikatnya."
"Ng ..." sebut Ravel.
Kagendra tidak begitu senang tetapi memang harus adil dalam memberi kesempatan membangun bonding. "Opa dokter sama Oma Yaya itu Papa dan Mamanya Mama ... jadi Ravel boleh kalau minta tolong buat pakai baju, celana, atau antar ke kamar mandi."
"Iya?"
"Iya, bilang kalau Papa enggak bisa pakaikan sabuknya," ucap Kagendra menyerahkan sehelai sabuk berwarna putih tersebut. "Eh, tunggu..."
"Ya?" tanya Ravel ketika tangannya ditahan.
Kagendra mencermati ujung sabuk yang dipegang anaknya. Ada bordir nama di sana; Kharavela. Ia mengerjapkan mata, apakah Soraya memang menyiapkan seragam ini sejak awal? Ukurannya juga terlihat pas dengan tubuh Ravel.
"Papa?"
"Oh, iya, sana..." kata Kagendra melepas tangan anaknya lalu membereskan pakaian Ravel. Ini juga bukan pakaian dari rumahnya, setelan koko ini jelas baru.
Kagendra tidak bisa memprotes, sadar bahwa orang tua Lyre berhak untuk melakukan ini, memberi wujud perhatian kepada Ravel. Ia segera keluar dari ruang ganti, memperhatikan Lukito Kanantya berlutut, memakaikan sabuk untuk menahan atasan baju Ravel. Kagendra sebenarnya masih mengantuk, tetapi tidak bisa membiarkan anaknya tanpa pengawasan. Dia perlu tahu seperti apa latihan bela diri kelas anak-anak ini berjalan.
"Om Papanya Hayavela?"
Kagendra seketika menoleh, menatap anak lelaki setinggi pinggangnya. "Namanya Kharavela ... kenapa?"
"Ini ada daftar untuk diisi, keanggotaan."
Kagendra menggeleng. "Dia cuma coba-coba, enggak permanen mau belajar."
"Oh, gitu?"
Kagendra mengangguk dan sebelum bocah remaja itu beralih segera bertanya. "Pak Lukito yang mengajar?"
"Enggak, Sensei Raksa ... Opa Luki cuma ikut peragaan aja."
"Raksa?"
"Oh, itu datang ..."
Kagendra beralih tatapan ke pintu, memperhatikan lelaki tinggi, tegap, jelas atletis dan ramah yang seketika dikerubungi semua anak yang datang. Kagendra memastikan lelaki itu dalam ingatannya. Dia mengenalinya, karena dahulu Personal Investigator yang dipekerjakan untuk mencari tahu latar belakang Lyre menyebutkan tentangnya.
Abimanyu Raksa Arghadinata, lelaki itu yang dipilih Lukito Kanantya sebagai calon suami untuk Lyre.
"Eh, tunggu, Bocah!" Kagendra menahan bahu anak yang akan beranjak. Ia mengendik kaku, "Apa dia udah menikah?"
"Sensei Raksa? Belum."
Sialan! Batin Kagendra dan kembali bersedekap muram di tempat duduk khusus penunggu.
***
"Yang ngajar Karate anak-anak siapa, Mas?" tanya Lyre sewaktu dibantu Esa menuruni tangga ke lantai satu.
"Raksa," jawab Esa dan menahan tawa karena bayangan dalam kepalanya. "Taruhan, Papa pasti ngajak Raksa mampir, terus Kagendra bakal sewot."
"Kenapa emang?" tanya Lyre bingung.
"Kok kenapa? Raksa 'kan dulu dijodohin sama kamu, dia udah enggak cupu lagi, Re ... macho sekarang."
"Terus kenapa?" sebut Lyre, tidak habis pikir. "Kagendra jauh lebih ganteng dari Mas Raksa."
"Iya, tapi Raksa yang sekarang juga keren." Esa memberi tahu dengan serius. "Aku aja kaget, kayak puberty hits him in second time and surprisingly yang kali ini beneran berhasil bikin dia tambah keren."
Lyre menyipitkan mata kemudian menggelengkan kepala. Seganteng atau sekeren apa pun lelaki lain sudah tidak penting, Lyre sudah bersuami dan lebih dari itu ... seorang ibu.
"Ini mau ke mana?" tanya Esa begitu mencapai anak tangga terakhir.
"Mas Esa jadi beliin tablet baru?"
Esa beralih ke kabinet di bawah televisi ruang keluarga, mengeluarkan paper bag dan menunjukkan isinya. Seperangkat komputer tablet, lengkap dengan pencil tab dan hardcase pelindung.
Lyre mengangguk. "Kita ke halaman belakang aja, sambil jemuran sama Raphael dan Rambo."
"Oke."
***
"Kamu ingat soal Kagendra diteriakin sama Papinya? Dan ditampar juga?" tanya Esa, sebisa mungkin merendahkan suara.
Setengah jam setelah Lyre mulai menuliskan apa-apa yang diingatnya dan kini mulai membahasnya dengan sang kakak. "Iya, bahkan dia dimarahi karena bawa Ravel tanpa sepengetahuanku, katanya aku sampai nangis kejer. Papi tuh marah banget."
"Hah?" sebut Esa dengan kaget. "Serius kamu, pernah ada kejadian begitu?"
Lyre geleng kepala. "Aku enggak tahu. Tapi itu tamparannya serius ... bentakannya Papi juga. Selama kita liburan bareng apa enggak pernah ada kejadian serupa?"
"Nope, memang Om Tio tuh selalu tegas. Waktu dulu Kagendra mukulin orang di bar juga beliau langsung telepon aku, memastikan situasi beres." Esa menatap mata jernih adiknya, mengingat-ingat kilasan cerita di masa lalu. "Dulu, kamu pernah cerita habis syukuran pindah rumah ... kamu bakal sibuk, karena ada orang tua yang harus diyakinkan bahwa anaknya cukup bisa diandalkan. Kamu juga ada bilang; bagaimana pun aku enggak akan membiarkan Ravel punya ayah yang payah."
Lyre mengerjapkan mata. "Ah! Aku juga ingat soal itu ... aku minta waktu setahun ke Papi, tinggal terpisah darinya untuk mengurus Kagendra dan Ravel secara mandiri."
Esa kemudian mengambil alih komputer tablet adiknya, menginput nama Kagendra ke kolom pencarian internet dan mengangguk-angguk setelah mencari tahu.
"Believe it or not, proyek-proyek Kagendra memang mulai mendapatkan sorotan di tahun kedua pernikahan kalian. Bukan mega proyek, tapi cukup prestisius, lihat peningkatan sahamnya juga stabil sejak itu, hanya sempat goyah ketika berita kematian Papanya Desire, namun seketika menguat setelah Kagendra diumumkan sebagai penanggung jawab. Posisinya sebagai suksesor Arestio Pradipandya juga makin solid."
Lyre memperhatikan tab-tab berita yang dibuka kakaknya. "That's great! Kagendra memang kelihatan cukup kemampuan sebagai pewaris Pradipandya. Wangi duitnya bisa diendus begitu lihat mukanya."
Esa tertawa geli. "Dia jelas dipersiapkan untuk bisnis ini, Re."
Lyre mengagguk, memperhatikan layar tabletnya dengan seksama. Ia tidak memikirkan ini sebelumnya, namun tiba-tiba tersadar. "Sama sekali enggak ada berita tentangku secara pribadi, ya?"
"Maksudnya?"
"Itu berita-beritanya, padahal aku yang artis tapi judul berita terkait denganku justru ... Deretan Istri Para CEO Berpengaruh di Indonesia. Kagendra Pradipandya meresmikan proyek Smart-Living didampingi sang istri. Aku kayak udah enggak punya identitas sebagai Lyre Sagitta yang artis, jadinya istri Kagendra dari Karya Pradipandya."
Esa menunduk ke layar dan memang menyadarinya. "Emang sejak menikah kamu enggak pernah main film lagi."
"Tunggu, Mas ... itu akun media sosialku, lihat dong," pinta Lyre dan Esa segera menekan link yang dimaksud.
Mademoisellyre
K's.
A mother & professional planner.
Jakarta, Indonesia.
"Aku cuma follow dua orang?"
"Iya, akun official De.LAF Planner sama akunnya Kagendra," jawab Esa kemudian mencermatinya. Akun Lyre berisi foto-foto harian biasa dan didominasi kegiatan bersama De.LAF Planner. Milik Kagendra juga demikian, bahkan lebih sepi lagi.
"Ini kalian bikin couplepost?" tanya Esa setelah menyadari beberapa kesamaan. "Kamu upload foto roti bakar, Kagendra upload foto secangkir kopi. Kamu upload foto Ravel, dia juga ikutan. Kamu upload foto prakarya Ravel, dia upload foto yang color gradingnya serupa. Kamu upload foto lagi kerja, dia juga gitu ... the caption's also match."
Lyre memperhatikannya dan menatap sang kakak. "Apakah itu hal yang aneh?"
"Nope, tapi lucu aja kalau beneran. Kalian pasangan yang cool dan tertutup selama ini."
"Cool dan tertutup?"
Esa mengangguk. "Pernah dulu ada akun yang leaked foto liburan kamu sama Kagendra, begitu heboh, enggak lama hilang ... pas kalian kegep pulang di bandara juga ... sebentar, kayaknya masih ada itu videonya."
Lyre menunggu dan tidak lama kakaknya menemukan video yang dimaksud. Ketika tayangan mulai berputar tampak Kagendra berjalan sembari menggendong Ravel. Anaknya memakai bucket hat dan pelindung telinga. Kagendra jelas memastikan wajah Ravel tertutupi, sesekali juga menahan saat tangan Ravel akan keluar dari celah gendongan. Lyre mengikuti di belakang dengan langkah yang sama cepatnya.
"Halo, Lyre ... gimana liburannya?"
"Lyre anaknya sekarang umur berapa? Namanya siapa?"
"Lyre ada rencana kembali ke—"
"This is so annoying! Why are you people so curious? Leave us alone!!!" Suara kesal Kagendra itu terdengar jelas, berikut suara Lyre yang bergegas menyahuti. "Sorry teman-teman, tolong kasih jalan, ya ... anak saya agak demam, tolong pengertiannya."
"Dulu habis video ini viral, trending topicnya langsung heboh. Banyak yang memparodikan Kagendra ngomong gitu." Esa menunjukkan beberapa video yang dimaksud, memang lucu dan menyindir.
"Kagendra tadi enggak gandeng aku ..."
"Seringnya justru kamu yang gandeng dia," kata Esa, menunjukkan beberapa video lain. Di banyak kesempatan saat berurusan dengan dokumentasi publik, Lyre yang lebih sering menggandeng tangan atau lengan Kagendra.
"Sama sekali enggak ada berita miring soal kami, ya? Gosip apaan gitu?" tanya Lyre.
"Ya, berarti kalian baik-baik saja."
Lyre mengangguk lega. "Syukurnya sampai sekarang identitas pribadiku masih terjaga ... enggak ada yang mengaitkan ke Papa atau Mas Esa."
"Aku rasa Kagendra konsisten menjaganya tetap demikian, dulu waktu awal-awal kamu 'ngilang' sempat heboh, season dua seriesmu dimulai tanpa kamu ... dia yang pasang badan."
"Pasang badan?"
"Official statement lagi, postingan pertama di akunnya," kata Esa dan mencarikan video yang dimaksud.
"Selamat siang semuanya ... saya Kagendra Pradipandya dan sebelum pemberitaan menjadi semakin penuh spekulasi tidak berdasar, izinkan saya memberi konfirmasi bahwa benar Lyre Sagitta dan saya sudah menikah. Pernikahan tersebut terjadi dalam suasana privat, dihadiri keluarga dan sahabat terdekat sebagaimana kami menghendaki. Saya memahami kepedulian dan perhatian segenap penggemar terhadap hubungan ini, namun ... sudah menjadi keputusan saya agar pernikahan sekaligus kehidupan baru kami tetap berada dalam ranah pribadi. Terima kasih atas seluruh cinta yang segenap penggemar berikan kepada Lyre selama ini, untuk selanjutnya biarkan itu menjadi giliran saya."
Lyre mendapati puluhan ribu komentar membanjiri postingan tersebut, beragam ucapan selamat, sampai doa-doa yang baik. Ia menyipitkan mata saat sesekali ada komentar yang agak menyimpang, "Kagendra butuh istri kedua enggak? Berasa ingin ikut diprivasi! Mau dong giliran juga sama Kagendra! Eww ..."
Esa tertawa mendengar suara adiknya membaca komentar dengan nada cibiran. "Emang suka gitu, ada-ada aja komentarnya. Lihat aja kalau pas dia upload foto tampak muka gitu, heboh."
Lyre geleng kepala. "Enggak penting. Intinya privasi kami memang terjaga, ya udah aman."
"Iya, bahkan berita Om Tio sakit aja baru ada setelah beliau membaik dan keluar dari rumah sakit." Esa menunjuk rilis berita baru di internet.
"Papi itu memang kelihatan hebat sekali, ya?" ujar Lyre memperhatikan judul-judul berita yang terkait dengan ayah mertuanya.
"Bisa dibilang sektor properti Indonesia bergerak ke posisi yang diarahkan Karya Pradipandya. Mereka juga terhubung dengan pemerintah, terkait regulasi baru seputar pertanahan dan pembangunan, bukan sekadar kebijakan tender aja." Esa yang termasuk golongan awam saja paham, bagaimana pengaruh seorang Arestio Pradipandya. "Ditambah, Pradipandya ini udah sejak tahun 50'an punya peran dalam pembangunan infrastruktur negara. Kakeknya Kagendra juga hebat."
Lyre mengangguk-angguk, memastikan sekitarnya sepi dan bertanya. "Kalau Maminya Kagendra, Mas Esa tahu?"
"Dianggap meninggal sejak Kagendra usia dua tahun," jawab Esa, kali ini berbisik-bisik.
"Dianggap meninggal?"
"No one knows about her! Cuma ada fotonya di rumah Om Tio, foto pernikahan gitu ... kamu ingat sesuatu terkait Maminya Kagendra?"
Lyre menggeleng. "Aku ngobrol sama Kagendra dan dia kelihatan sedih kalau bahas soal ibu. Dia juga bilang ada serious issue soal suasana rumah sepi, dia marah kalau Ravel pulang sekolah terus aku belum di rumah. Dia mau aku mendampingi Ravel kalau ada kegiatan atau keperluan sekolah."
"Oh, kamu memang begitu, Re ... kamu aktif di sekolahnya Ravel, kamu ada pengadaan snack sehat gitu, sama ikut komite perencanaan liburan kelas."
"Pengadaan snack sehat? Komite perencanaan liburan kelas?"
"Iya, tahun lalu di Sydney, summer class gitu konsepnya, outdoor activity. Kamu kirim beberapa foto ke aku."
Lyre memperhatikan foto-foto yang ditunjukkan kakaknya, ada video Ravel beserta belasan anak lain bernyanyi dengan gembira. "Wow, ini kelihatan ... mahal."
"Emang mahal, Pradipandya yang memfasilitasi penginapan. Terus ini temennya Ravel, orang tuanya komisaris maskapai terbaik Indonesia, kasih fasilitas private airline. Sisanya ada yang kasih fasilitas seragam, goodybag, sampai sepatu. Bocah-bocah ini outfitnya selalu all out, sekadar scarf aja ada desainernya."
Lyre mencermatinya dan menyadari sekolah tempat anaknya belajar selama ini. "Kok, Ravel bisa sekolah di sini ya?"
"Sekolahnya Kagendra, Waffa, sama Desire. Sampai lulus SD di sana, baru tingkat lanjutnya boarding academy. Kagendra sama Waffa ke London. Sementara Desire di Aussie."
"Ah, pantesan," ucap Lyre.
"Kinar Pradipandya sampai sekarang masih jadi donatur sekolah itu, terakhir nyumbang berapa ratus juta gitu buat bikin golf court."
"Golf court? Di sekolah anak-anak?"
"Kolam renang dan running tracknya aja standar olympic, Re ... garansi pencetak lulusan brilian. Enggak ada anak yang failed, rata-rata bikin bisnis sendiri atau kayak Kagendra suksesor yang diperhitungkan."
Lyre mengangguk-angguk, menyimak informasi dari sang kakak, memperhatikan foto-foto dokumentasi dirinya dan Ravel yang ada di ponsel Esa. Ia terlihat berbeda dalam foto tersebut, setelan pakaiannya, dandanan, pilihan sepatu-tas, sampai sikap formalnya.
"I'm changing," ungkap Lyre.
"Kenapa?" tanya Esa karena adiknya berbicara lirih.
Lyre geleng kepala dan mengambil kembali komputer tabletnya, mulai menuliskan juga tentang perubahan penampilannya. Ia perlu mengenali dirinya yang selama ini bersama Kagendra.
***
Kagendra tidak menyukai ini. Kenapa si Raksa itu harus langsung terlihat akrab dengan anaknya, dan ayah mertuanya, kenapa pula seramah itu sampai menawarkan untuk mampir ke rumah segala.
"Ravel, hurry up!" panggil Kagendra, harus segera mandi dan mengecek pekerjaan.
"Selamat pagi ..." sapa Raksa yang membuntuti Ravel.
Kagendra hanya mengangguk dan menggandeng anaknya. "Mama pasti udah nunggu."
"Vel mau lagi ya karatenya, Opa dokter," kata Ravel saat menoleh Lukito.
"Bangun pagi lagi, ya?"
"Iya!"
Kagendra menipiskan bibir, suka tidak suka kegiatan yang dilihatnya tadi cukup menarik. Latihannya memang sangat mendasar, fokus dalam mengajari posisi tubuh yang baik; berdiri tegap, cara mengepalkan tangan, mengangkat kaki, sampai mengatur napas. Ravel tidak langsung bisa seperti anak lain, namun berhasil mengikuti dengan baik. Anaknya tidak terlihat kikuk atau takut ketika didekati untuk dikoreksi, dibetulkan posisi tangan atau kakinya.
Lyre memang selalu memberi pengarahan, setiap kali Ravel mengadu melakukan kesalahan saat belajar. Semisal ketika anaknya salah menggunting dan menempel gambar.
"Ravel 'kan belajar, memang bisa saja salah, enggak selalu betul terus dan enggak apa-apa ... Ravel bisa potong lagi terus tempel yang betul."
"Nanti Vel bintangnya sedikit kalau salah!"
"Yang penting Ravel belajar. Ravel ngerti gimana potong gambar yang baik, nempel ke bagian yang betul."
"Vel harus belajar terus ya, Mama?"
"Belajar sama main, makanya kalau Ravel udah capek belajarnya ... boleh main dulu, maem dulu, atau minta peluk sama Mama."
"Sekarang aja peluknya!"
Dibandingkan dengan proses belajar Kagendra yang melibatkan puluhan tutor pemarah, diwarnai bentakan hingga target-target kaku pembelajaran. Apa yang Lyre lakukan untuk Ravel memang sangat melebihi espektasi, bahkan ketika pertama kali anaknya didera kegugupan untuk tampil menyanyi di depan banyak orang. Lyre yang mengarahkan, "Mas Ndra yang harus bilang ke Ravel, enggak apa-apa salah, kita berdua sudah senang karena Ravel berani mau nyanyi di panggung."
Kagendra melakukannya dan secara ajaib Ravel mulai tenang, berhasil menyelesaikan nyanyian itu dengan baik bahkan tampak bergembira, menghibur penonton.
"Dukungan dari ibu itu dinilai untuk menenangkan sang anak. Sementara dukungan dari ayah ... dinilai untuk menguatkan, menambah percaya diri. Ada confidence lebih ketika anak tahu, ayahnya mengapresiasi usahanya," kata Lyre dulu dan tersenyum lebar. "Terima kasih, Mas Ndra ... Ravel pasti akan mengenang hari ini dengan suka cita."
Kagendra menunduk pada anak yang tampak senang dalam gandengannya. "Vel, masih ingat enggak soal Ravel dulu nyanyi pertama kali di sekolah?"
"Iya, Papa bawa kamera buat video, terus pulangnya beli buku cerita baru ... boleh beli dua soalnya satunya hadiah kebenaran."
"Keberanian, bukan kebenaran," ralat Kagendra dengan tawa. Anaknya terlalu menggemaskan.
Ravel mengangguk, wajahnya berseri dan genggamannya di tangan Kagendra menguat. "Terus sorenya maem kue sama Papa dan Mama sambil lihat video nyanyinya."
"Karena sakitnya, Mama kayaknya lupa soal itu, Ravel yang cerita ya nanti kalau Mama lihat-lihat foto sekolah."
"Iya!"
"Ravel senang enggak hari itu?"
"Senang banget!"
"Mulai besok Ravel sekolah di rumah dan enggak ketemu teman-teman dulu, enggak apa-apa, ya?"
Ravel mengangguk. "Oma Kikin bilang, soalnya Ravel belum pernah nginep rumahnya Oma Yaya sama Opa dokter ... jadinya nginep yang lama enggak apa-apa, 'kan ada Papa sama Mama, terus Om Esa juga."
Kagendra menoleh ayah mertuanya yang tampak serius berdiskusi dengan Raksa. Sekilas Lukito tampak mengalihkan tatapan kepadanya, membuat Kagendra segera kembali memperhatikan Ravel.
Ada satu tekad kuat dalam dirinya, bahwa sebulan ke depan, Kagendra akan membuktikan betapa sempurna keluarga kecilnya ini. Dan tidak ada seorang pun yang bisa mengambil Lyre darinya. Terutama lelaki asing yang langsung berbaur, disapa ramah oleh para pengurus di rumah keluarga Kanantya.
[ to be continued ]
🌃
Bukan ya, Babang Raksa bukan second male lead ... Lyre tyda oleng, tyda juga berminat haha-hihi sama lelaki lain. Setia, sudah ada dalam karakternya sedjak awal 👌🏻
KagenBi kagak dipanasin aja udah panas sendiri, jadi tiada perlu mencari-cari kehebohan.
.
Q: Aku mulai merasa amnesianya Lyre ini memang baik untuk hubungan pernikahannya. Jadi paham kalau Kagendra mau Lyre tetep amnesia.
A: GWS ya, bareng Kagendra~
Q: Kocak nih kalau Lyre jadi cemburuan juga ke Kaka.
A: Kocak gaming 🤣
.
.
.
.
.
.
ANOTHER KAKA VS DEDE
tapi kali ini numpang di chatnya Lyre, xixixixii
perkara couplegoals!
Padahal Waffa cuma bantuin Dede sampoan aja, pffttt y.t.t.a 😌
.
.
⤵️
.
.
⚠️ SPOILER WARNING !!!
soalnya ternyata enggak semua suka spoiler. Jadi, yang tyda suka langsung skip aja 👌🏻
SEE YOU, SABTU ✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top