26. | Scared me
Aku datang, KagenBi bestie~
tadinya merasa kependekan jarak update kalau udah nongol lagi, tapi sebagai Single Slay kalau enggak ngetik mau ngapain Mal-ming begini, hufftt 🙈
.
3.898 kata untuk bab ini
serius, makin ke sini makin susah bikin bab yang ringkas gitu, kayak ada aja yang mesti diceritain, amsyong~
sometimes kepanjangan bab itu emang bikin males, cuma aku harap tetep pelan-pelan dibaca yha, supaya nanti pas conclusion part bisa memahami proses menuju ending yang mau kusajikan.
.
oke, selamat membaca
semoga suka
tetap baik ke satu sama lain ya
jangan lupa vote & comment juga
.
Terima kasih banyaakkkk ♥️
🌟
26. | Scared me
Arestio Pradipandya House
Jakarta
Waffa Zaferino mengatur napasnya selama sekitar setengah menit, setelah itu baru berjalan mendekati ruang kerja. Ia mengetuk ritmis dan teratur sebanyak tiga kali.
Pintu terbuka kurang dari lima detik dan asisten Tio Pradipandya memberi anggukan singkat. "Silakan, sudah ditunggu."
"Trims, Pak Bram," ucap Waffa dan berjalan masuk, menghadap Tio Pradipandya yang duduk di belakang meja kerja.
Abanos desk working seharga tiga milyar rupiah. Desain rangka yang kokoh, lebar tanpa sambungan, bermotif serat kayu alami dan ergonomis karena disesuaikan tinggi lengan penggunanya.
Arestio tidak perlu mengatakan apa-apa, cukup dengan gerakan tangan sederhana dan Pak Bram sudah beralih keluar ruangan.
"Om kelihatan jauh lebih sehat," ungkap Waffa, lebih dulu mendekat untuk mengulurkan tangan.
Senyum Arestio terlihat, balas mengulurkan tangan sehingga Waffa bisa memberi salam hormat yang pantas. "Om harus sehat. Dede sudah merengek karena Kaka terus memberimu tumpukan pekerjaan."
"Ketika kami enggak bersama, kesibukan justru menyelamatkan," ungkap Waffa lalu meletakkan sebendel berkas di meja, baru mundur untuk duduk.
Arestio meraih berkas tersebut, membacanya dalam diam. Laporan pekerjaan Kagendra, sekaligus kondisi terbaru Lyre. "Kenapa Kaka ingin melakukan pembelian untuk Camping Park itu?"
"Fran bilang Kagendra agak emosional memberi perintah, biasanya dia begitu saat tersinggung dan kesal."
"Bodoh sekali," ucap Arestio kemudian membuka berkas berikutnya, menatap lekat pada Waffa. "Dan kamu menyetujuinya?"
"Hari itu, sebelum kecelakaan terjadi, Fran sempat menghubungi Lyre untuk menanyakan perihal Camping Park dan Lyre berkata, wilayah tersebut dalam proses pengembangan, saya memeriksanya dan memang benar. Ada akses jalan besar yang siap dibuka, deretan lokasi wisata, ada dua universitas, tiga yayasan sekolah, satu diantaranya elite dan sekali pun ada masa-masa rawan letusan gunung Merapi, camping park tersebut berada dalam jarak aman, justru bisa digunakan sebagai tempat mengakomodir relawan."
Arestio mengangguk. "Sudah melakukan penawaran?"
"Dalam proses."
"Lyre juga yang sebelumnya memberi informasi tentang digital content, optimalizing marketing strategic."
"Ya, dengan begitu tiga puluh lima unit baru The Residence sold out pada hari pertama pembukaan pameran."
Arestio menghela napas panjang. "Dan si bodoh itu justru berencana menceraikannya ..."
"Kagendra jelas sudah berubah pikiran."
"Jika dia tidak melakukannya, Om yang akan meluruskan pikiran bodohnya itu," ucap Arestio dan memeriksa lembaran berkas berikutnya. "Tentang temporary amnesianya, Lyre sudah bersama Ravel dan stabil."
"Desire bilang kondisinya sangat baik, dengan Kagendra juga terlihat lebih baik ... saya sudah memberi kabar Prof. Lukito, bahwa Om Tio akan datang ke Yogyakarta dalam waktu dekat."
"Apa katanya?"
"Beliau berharap yang kali ini Om Tio memenuhi janji." Waffa sendiri tidak paham janji apa yang dimaksud namun raut wajah Arestio saat ini tampak semringah.
"Tentu saja." Arestio kemudian menggeser kursi rodanya mundur, mengambil berkas pada kabinet di samping kiri mejanya. "Kamu meminta Media Team untuk mengurus publisitas Kaka."
"Ah, ya, ada beberapa artikel yang saya rasa memang harus—" Waffa berhenti bicara karena Arestio melempar map yang cukup tebal ke meja.
"Gunakan itu," ucap Arestio.
Waffa segera beranjak, memeriksa berkas itu, membacanya secara hati-hati hingga yakin apa maksudnya. "Ini ... mengungkapkan ini akan membuat orang-orang tahu tentang keluarga Kanantya."
"Lalu kenapa? Lyre memang putri bungsu Lukito Kanantya. Berbesan dengan mereka juga suatu kehormatan."
"Artikel ini mengungkap tanggal pernikahan, orang-orang akan mulai menghitung dan menyadari tentang Ravel anak diluar nikah."
"Selama cucuku menggunakan nama belakang keluargaku, sisanya bukan hal besar untuk dipusingkan."
"Kagendra dan Lyre selalu berhati-hati selama ini, penting untuk melindungi Ravel dari jejak digital yang buruk."
Arestio diam sejenak. "Justru itulah, inti dari publikasi ini ... bagaimana putraku yang mengacau, bersama gadis rebel itu berproses menjadi calon pemimpin perusahaan yang bisa diharapkan dan ibu yang kompeten. Penting untuk Kaka selalu menjaga sikapnya, Lukito juga mau tidak mau akan menahan diri ketika keluarganya ikut tersorot publikasi."
"Saya akan bertanya pendapat Mama dan Desire," ujar Waffa.
"Ketika aku sudah memutuskan, artinya penting untuk segera dilaksanakan, Zaferino boy." Arestio memberi tatapan tajam kemudian bersedekap. "Kamu akan selalu ada di pihak Kaka, which is good ... Om memang mengharapkanmu untuk itu. Tetapi mempertanyakan keputusanku, sama sekali bukan ranahmu."
"Saya hanya—"
"Putraku akan membuat rencana cadangan untuk mengatasi situasi temporer Lyre saat ini." Arestio cukup paham bagaimana Kagendra bertingkah. "Pergilah lebih dulu ke Yogyakarta, dengarkan rencananya, pastikan membantunya hanya pada bagian-bagian yang membuat Lyre akan bertahan sebagai istrinya."
Waffa terdiam sejenak, memikirkan instruksi tersebut dan berhati-hati dalam mengutarakan pikirannya, "Om Tio tahu bahwa jika ingatan Lyre kembali, dia akan tetap menyetujui perceraian itu? Makanya saya harus membantu Kagendra mengamankan situasi?"
"Menantuku bukan hanya pintar dalam urusan bisnis atau pekerjaan ... dan dalam pernikahan mereka, Kagendra yang selalu sembarangan. Atas kuasa Tuhan, keluargaku masih terselamatkan untuk saat ini," ujar Arestio lalu mendekatkan kursi rodanya ke meja. "Aku harus menjaganya tetap solid dan jika bisa, menjadi semakin kuat lagi."
***
RSUP Sardjio Sejahtera, Yogyakarta
Lyre's room
Semula Soraya ingin memberi kejutan pada sang putri, namun semakin jauh melangkah ke ruang rawat justru lebih dahulu terkejut, Lyre menangis di pelukan Kagendra.
"Re ... astaga," ucap Soraya dan bergegas mendekat.
"Mama," isak Lyre.
Kagendra mengurai pelukan, beralih agar Mama mertuanya yang ganti memeluk, menenangkan Lyre.
"Shh ... enggak apa-apa." Soraya mengelus punggung sang putri. "Pelan-pelan nangisnya, biar enggak makin pusing. Pelan-pelan ..."
"Wah, aku kira bakal disambut jeritan kesenangan bukannya rengekan sedih begini," ujar Esa yang menyusul masuk.
Kagendra terkesiap, begitu juga Lyre yang langsung mengalihkan tatapan.
"Mas Esa!" seru Lyre, kaget dan hampir tidak percaya. Tidak ada yang memberi tahu bahwa kakaknya akan pulang.
"Kurang antusias," ucap Esa sembari geleng kepala.
Soraya menahan tawa dan memberi teguran pelan, "Jangan bikin adikmu makin kejer, Esa."
Esa melanjutkan langkah, melewati Kagendra dan mengulurkan tangan kiri, mencubit lembut hidung adiknya yang memerah. "Bilang Mas Esa, mana yang sakit?"
Air mata Lyre semakin deras berjatuhan. "Semuanya sakit ..."
"Ck! Jangan berlebihan dan jelaskan dengan berurutan, dari yang sakitnya paling tidak tertahankan," ucap Esa, berlagak serius dengan nada tegas yang serupa Lukito Kanantya.
Soraya menepuk lengan putranya. "Kamu itu ... berhenti bercanda."
"Mas Esa nyebelin," gerutu Lyre sembari meletakkan kepala ke pelukan sang ibu, air matanya terhenti karena harus menahan kesal sekaligus geli.
"Kamu emang baru berhenti nangis kalau udah sebel," kata Esa dan beralih mengelus jejak basah di wajah adiknya. "I miss you, little Re."
Kagendra memperhatikan istrinya ganti tersenyum lembut, tampak lebih tenang dari sebelumnya. Ada raut kelegaan sewaktu Lyre mengangkat tangan dan menggenggam tangan kiri Esa.
"Ndra?" panggil Esa saat menoleh.
"Oh, hei," sahut Kagendra dan ganti bertanya, "Katanya jet lag, Esh?"
"Parah, baru agak waras semalam," ucap Esa lalu melepas genggaman tangan adiknya dan bergeser saat Kagendra mendekat ke sisinya, mereka berjabat tangan singkat. "Ravel mana?"
"Agak siangan ke sini, mau berenang dulu ... agak ribut karena udah dua mingguan enggak renang, biasanya setiap weekend."
"Emang enggak dingin, alerginya gimana?" tanya Esa dengan heran.
"Kolam renangnya ada heater."
"Oh ya? Canggih juga hotel-hotel sekitar sini." Esa berdecak takjub. "Sepanjang jalan aku emang bingung melulu tadi, ada aja yang berubah, jalan-jalan makin rame."
Menyadari Lyre cukup tenang, putra dan menantunya juga terlihat baik berkomunikasi, Soraya segera beralih, "Mama minta suster siapin air buat lap dulu, ya?"
Lyre segera berbisik pada sang ibu. "Ma, aku mau ganti pakai gaun tidur biasa dan pakaian dalam juga."
"Iya, ada Mama bawakan."
"Oke," ucap Lyre dan setelah sang ibu beranjak, ganti menatap Kagendra. "Ravel udah lancar berenangnya?"
"Iya, dia belajar renang dari umur delapan bulan."
"Delapan bulan?" Lyre agak kaget.
"Harusnya dari umur enam udah mulai, tapi kita berdua panikan, terus kamu baru yakin pas dia umur delapan bulan," kata Kagendra lalu teralihkan bunyi ponselnya, Fran menelepon. "Aku harus angkat ini dulu."
"Okay." Lyre memperhatikan Kagendra berjalan ke luar, bertahan di depan pintu dan sesekali menolehnya disela obrolan telepon. Ia otomatis tersenyum setiap kali mereka berpandangan.
"Temporary amnesia katanya?" sebut Esa dengan raut yang lebih serius. "Kamu terlihat tenang, untuk saat ini."
Lyre ganti memandang kakaknya, "Aku sebenarnya bingung banget, Mas ... I'm married that man, can you believe it?"
Sudut bibir Esa terangkat, ketara berjuang menahan tawa. "Serius ya, itu pertanyaanku begitu bertemu denganmu, sejam sebelum pernikahan. Aku tanya, kamu serius mau menikah sama Kagendra? Jawabanmu iya."
"Mas Esa seharusnya tanya dua kali."
"I did, and your answer still yes. Clearly yes ... bahkan katamu dia lumayan."
Lyre geleng kepala, dia tidak akan menikahi seseorang sekadar karena lumayan. "Pasti karena Ravel, being Pradipandya's heir membuat masa depannya menjadi lebih terjamin."
"Or you really fall in love with him."
Lyre ingin kembali geleng kepala namun tidak yakin, respon tubuhnya pada Kagendra bertolak belakang dengan penilaian dalam kepalanya. Jantungnya bahkan berdebar ritmis dan sulit menahan diri setiap kali Kagendra menatapnya. "Sounds impossible right?"
"And nothing is impossible lately." Esa kemudian menunjukkan sambungan prostetik di tangan kanannya, mencubit lembut ke hidung Lyre. "Aku bahkan berhasil mencabut uban Mama pakai ini."
Lyre seketika takjub pada prostetik kakaknya yang canggih. "Wah! This is so cool."
"Thanks to Pradipandya's ... mereka yang punya koneksi ke bionic dan membantuku."
"So it's true. Kagendra sempat mengungkitnya saat memaparkan beberapa hal kemarin."
Esa meringis lalu duduk di pinggiran ranjang adiknya. "Amnesiamu jelas sungguhan, karena kamu biasa memanggilnya Mas Ndra ... gitu, pakai nada manja."
"Serius?" Lyre langsung menatap sepasang mata kakaknya. "Pakai nada manja segala?"
"Pakai nada kesal juga kalau dia annoying."
"Annoying like what?"
"Dia suka muram, jealous kalau kita kelamaan nongkrong berdua. Dia sendiri yang ngasih waktu buat kita ngobrol, dia juga yang senewen kalau kita kelihatan akrab." Esa kemudian sengaja mendekatkan wajahnya ke telinga Lyre. "Tunggu aja, maksimal sepuluh detik dia pasti langsung bertingkah."
Sepuluh detik? Lyre menghitung dalam hati dan pada detik kelima, begitu Kagendra menolehnya, lelaki itu tergesa mengakhiri telepon dan langsung membuka pintu.
"Esh!" panggil Kagendra cepat, raut wajahnya seketika juga muram.
"See?" kekeh Esa dan menjauhkan kepala, menatap adik iparnya. "Kenapa?"
"Can you help me? Robotnya Ravel patah, udah dibeliin baru ... cuma sayang juga kalau jadi sampah." Kagendra berjalan ke travel bag di sudut ruangan, mengeluarkan robot yang memang patah dua bagian.
Lyre mengerjapkan mata, menyipitkannya kala samar-samar muncul wajah anaknya yang ceria.
"Boleh bawa Grimlock, Mama?"
"Grimlock," sebut Lyre dan segera memberi tahu dengan jantung berdebar keras. "Robot itukah yang Ravel bilang Grimlock?"
Esa jadi urung beranjak, menatap adiknya. "Ya, itu Grimlock ... kamu ingat sesuatu?"
Kagendra otomatis mencengkeram erat robot anaknya, menantikan jawaban Lyre dengan kegugupan yang mulai menjalar di benaknya. Ia merapal kalimat yang sama berulang-ulang; tetap tenang, ingatan Lyre tidak akan kembali semudah ini.
"Cuma Ravel nanya, 'boleh bawa Grimlock, Mama?' dia bilang gitu." Lyre kemudian menatap Kagendra, memastikan ingatannya. "Dia lagi masukin makanan dan susu ke tas ransel."
"Waktu packing mau ke sini, dia memang nanya begitu," kata Kagendra, tetap tenang menunjukkan robotnya. "Ini juga patah karena kecelakaan."
"Good job, Re," puji Esa dan menggenggam tangan adiknya, senang mengetahui perkembangan ini. "Keep calm, okay? Jangan panik atau takut, ingatan apa pun nanti yang muncul lagi, rasakan aja, ikuti alurnya."
Lyre mengangguk, berusaha menahan antusiasme yang terbangun. "Aku pasti bisa ingat semuanya lagi, 'kan?"
Bisa ingat semuanya lagi?
Kagendra mengulang itu dalam hatinya dan begitu saja melepas genggaman, membuat dua bagian tubuh robot di tangannya jatuh tergeletak. Ia langsung berlutut, memungut satu per satu sembari mengutarakan alasan singkat, "Terlepas."
Diam-diam Kagendra mengatur napas, sesekali memejamkan mata. Ia harus tenang, yakin bahwa dirinya bisa mengatasi setiap perubahan situasi dengan tetap mempertahankan Lyre di sisinya.
Saat bersamaan, Soraya datang dengan trolley berisi baskom air hangat dan perlengkapan lap tubuh lainnya.
"Mama ... barusan aku ingat dikit soal Ravel sama robotnya," ucap Lyre antusias.
"Oh ya?" Soraya bergegas mendekat, bertanya pada Esa. "Sungguh ada ingatan baru?"
"Iya, Ma."
Lyre sungguh terharu, padahal itu hanya ingatan kecil tentang anaknya.
"It's a good sign, Atiana juga pasti lega banget, nanti aku akan ngomong ke dia," ucap Esa sembari beralih, beranjak mendekati Kagendra. "Mana, Ndra ... coba aku cek grimlocknya."
Kagendra jadi urung menyerahkan robot di tangannya. Ia beralih menyembunyikan robot tersebut di balik punggungnya. "Ng, aku rasa enggak masalah tetap rusak begini."
"Lah?" sebut Esa bingung.
Kagendra geleng kepala, mundur ke sudut ruangan. "Ravel udah punya yang baru, it's okay ..." katanya lalu mengembalikan robot rusak itu ke dalam tas lagi. "Aku harus lanjutin teleponku dan karena Lyre mau dilap, please wait outside."
Esa tertawa, sudah menduga interupsi tadi hanya akal-akalan Kagendra yang cemburu. Ia segera menyusul keluar ruangan adiknya.
Lyre memperhatikan raut wajah Kagendra yang masih terlihat dari celah pintu. Suaminya itu menunduk dengan raut muram.
"Kenapa, Re?" tanya Soraya, putrinya belum juga beralih perhatian.
"Ng, enggak, Ma ..." jawab Lyre dan kembali tersenyum pada sang ibu. Kagendra tidak mungkin tidak senang jika ingatannya pulih, suaminya itu pasti ikut merasa lega saat ini.
***
"Pagi, Bu ... ada tamu yang menunggu di lobi, katanya perwakilan dari Karya Pradipandya," ucap salah seorang pelayan yang mendekat.
"Oh, suruh tunggu sebentar." Desire langsung memanggil Ravel, memintanya keluar dari kolam. "Vel, udah satu jam, udah selesai berenangnya ..."
"Yahhh," sahut Ravel, agak cemberut meski segera berenang lagi ke pinggir kolam dan berjalan menaiki susunan tangga.
"Kalau anaknya masih mau berenang, biar kami yang tunggu, Ibu," kata pelayan.
Desire geleng kepala, tidak berani menyerahkan pengawasan Ravel selain kepada orang kepercayaan keluarganya. Jika Kagendra tahu, jelas akan langsung mengomelinya, apa lagi jika Kinar atau Arestio yang mengetahui, Desire akan langsung mendapat teguran. "Enggak usah, Mbak, emang dikasih waktunya cuma sejam. Biar disiplin juga."
"Oohh, begitu."
Desire mengangguk, segera merentangkan jubah handuk ketika Ravel berjalan ke hadapannya. "Dingin enggak?"
"Enggak," jawab Ravel menyelipkan tangan kanannya dulu baru tangan kiri. Dia tertawa ketika Desire memeluknya dari belakang untuk merapatkan jubah tersebut.
"Coba ikat sendiri tali depannya," pinta Desire karena beralih mengambil handuk kepala untuk mengeringkan rambut Ravel.
Ravel memastikan bagian depan bathrobe sudah rapat baru mulai mengikat tali. Desire mengelap rambut sembari memperhatikan, tersenyum saat simpulnya terikat dengan baik.
"Oke, simpan kacamata renangnya di saku terus pakai sandalnya ... kita ke bawah dulu ya, kayaknya ada Om Fran mau kasih laporan."
"Oke," jawab Ravel lantas menggandeng tangan Desire ketika berlalu dari area kolam renang.
Lobi hotel terlihat agak ramai, namun Desire bergegas mempercepat langkah begitu menyadari sosok yang tersenyum di salah satu sofa duduk.
"Kejutan," ucap Waffa, menurunkan komputer tabletnya di meja dan berdiri untuk menerima pelukan Desire.
"Om Waffa, bukan Om Fran," sebut Ravel.
Desire tertawa. "Iya, ternyata ... mbaknya tadi bilangnya perwakilan dari Karya Pradipandya gitu."
"Iya, sengaja, 'kan mau kejutan." Waffa kemudian tersenyum, mengelus kepala Ravel yang masih basah. "Hallo, ada yang harus mandi bilas dulu nih."
"Iya, ayo ayo, terus ke rumah sakit. Mamaku udah bangun lho, Om Waffa." Ravel antusias memberi tahu.
"Papa senang banget dong?" canda Waffa.
"Vel juga senang banget," balas Ravel membuat Desire hampir tergelak.
"Dasar, mulai ikutan Kaka, si paling enggak mau kalah ini," ucap Desire lalu mendekap Ravel, mencium-cium pipi keponakannya yang lembab.
"Aaaaa udah! Udah!" protes Ravel.
Waffa menyeringai dan segera menyela, ganti menggendong Ravel sebelum pasang badan. "Iya, Bby ... udah cium Ravelnya, gantian cium aku."
"Modus!" keluh Desire dengan tawa lembut, dirinya kembali merapat ke tubuh Waffa dan mencium sudut bibir tunangannya itu. "I miss you, Al ..."
"Miss you too, Bby," balas Waffa dan sebelum anak di gendongannya semakin penasaran, segera memberi tahu. "Siapa yang katanya Tante Dede udah bisa mandi sendiri?"
"Vel!" sahut Ravel.
"Pakai baju sama sisir rambut sendiri?"
"Vel, bisa! Pasang kancing bajunya juga udah benar, enggak kelewat lubang lagi."
Desire mengangguk. "Nanti masuk sekolah udah bisa pakai baju seragam sendiri, ya?"
"Iya, Vel juga udah bisa jadi Kakak."
Waffa seketika saling pandang dengan tunangannya yang terdiam. "Ravel masih mau jadi Kakak?"
"Iya, adik aku nanti lima." Ravel menunjukkan kelima jemari di tangan kanan dengan senyum antusias dan memelorotkan tubuh dari gendongan Waffa. "Aku juga udah bisa pencet buka di lift lho, Om Waffa."
"Ooh, iya," kata Waffa yang bergegas membuntuti bersama Desire. "Gimana tuh, Bby?"
"Biar Kaka aja yang kasih pengertian," ucap Desire dengan mengulum rasa geli. "Tapi sumpah, Mama kok bisa ya bujuk Ravel ... aku aja dari dulu ngomporin soal adik, dia enggak mau, enggak mau."
"Mama emang ada-ada aja," sebut Waffa dan bergegas menggandeng Ravel begitu pintu lift terbuka.
"Pintunya kalau dikasih tangan gini enggak nutup lho!" Ravel hendak mengulurkan tangan yang seketika ditahan Waffa.
"Tangan anak-anak masih terlalu kecil, gerakannya juga terlalu samar untuk disadari sensor, makanya berbahaya kalau diulurkan begitu saja ..." Desire yang memberi tahu saat Waffa menggandeng keponakannya mundur.
"Iya, dan kalau Ravel kenapa-kenapa, Om Waffa bisa dimarahin Papa," ungkap Waffa serius. Arestio Pradipandya juga bakal mengamuk kalau tahu cucunya tidak diawasi dengan baik.
Ravel tertawa dan fokus memperhatikan pintu lift perlahan menutup. "Papa kalau marah-marahnya itu sebentar aja ... soalnya Papa baik sama penyayang."
Desire langsung menyikut Waffa karena tunangannya itu sengaja memalingkan wajah dan membuat ekspresi ledekan seakan sedang menahan muntah.
***
"Gimana perasaan kamu, Re?" tanya Atiana dan tersenyum lebar. "Senang ya, ada ingatan baru yang muncul?"
Lyre balas tersenyum. "Iya, walau kayak sekilas gitu."
"Prof. Lukito udah bilang aku soal pemeriksaan pagi tadi ... bahu kamu memang masih harus dibebat tapi pergelangan kaki kirimu udah jauh membaik. Mulai nanti sore, kamu udah boleh kalau mau keluar ruangan, ke taman misalnya pakai kursi roda ... yang masih harus diawasi cuma efek pusing aja, begitu kepala kamu nyerinya di tahap enggak tertahankan, harus segera bilang ya."
"Iya, tahu Mbak."
Atiana memeriksa lembaran hasil observasi semalam. "Sejauh ini enggak ada masalah sama kemampuan berbahasa kamu, enggak ada masalah juga dengan pengetahuan kamu kecuali yang memang udah berubah selama lima tahun terakhir ... presiden kita udah ganti bytheway dan Kpop yang kini mendominasi trend musik. Kurs dollar kita udah nyentuh harga lima belas ribuan."
"Serius?" Lyre memandang Kagendra yang mendampinginya. "Bilang ke aku kalau kita ada investasi dolar, kurs terakhir yang kuingat sebelas ribuan."
"Ada yang lebih gila dari dolar. Sepekan terakhir Ethereum nyentuh penguatan 12,98% ... prediksinya bahkan bisa sampai 13,14%."
"What was that?" tanya Lyre bingung dan menatap dokternya.
"Crypto things," jawab Atiana.
"Bitcoin maksudnya?" Lyre ingat pernah membaca berita tentang itu di internet.
"Sejenis itu, Ethereum salah satunya." Kagendra kemudian mengeluarkan ponsel, menunjukkan pergerakan mata uang kripto seminggu terakhir.
"Dua puluh lima ribu dolar, untuk satu BTC? Insane."
"Aku udah main sejak harganya masih seribuan. Sempat kena bubble prices sebelum perlahan stabble ... Waffa bilang it's gonna be trend, jadi kami bertahan dan hasilnya emang lumayan." Kagendra memberi tahu sebelum menatap Lyre. "Kamu juga pernah main, tapi katamu membosankan."
Atiana agak meringis, terutama memperhatikan Kagendra yang begitu santai. "Sorry, tapi umumnya orang juga enggak sekadar main-main ketika transaksi kripto."
"That's really a new thing for me," ungkap Lyre, yakin dirinya sama sekali tidak tahu tentang apa pun itu.
"Akan ada banyak hal yang terasa new thing bagimu, karena itu penting untuk lebih dulu menentukan prioritas. Pertama mengenali keseharian kamu selama setahun terakhir, sebagai istri, ibu. Desire bilang kamu juga bekerja bersamanya."
"Really?" Lyre menatap Kagendra penuh harap. "Aku emang yakin, enggak mungkin aku diam aja, cuma jadi istri dan ibu."
"Jadi istri dan ibu aja kamu udah sibuk, Re," ujar Kagendra, sebisa mungkin berusaha membuat sang istri fokus pada dua peran tersebut.
"But I have brain ... aku suka manage sesuatu, bikin plan. Aku bahkan punya PFS sejak SMP! Mama yang ngajarin aku"
Kagendra menyipitkan mata. "Apa itu?"
"Personal Financial Statement ... catatan keuangan pribadiku."
Seketika Kagendra menelan ludah, dia belum pernah memeriksa satu hal itu. Hanya melakukan pengawasan transaksi kartu kredit Lyre pada enam bulan pertama pasca pernikahan. Lyre sama sekali tidak menunjukkan kecenderungan pemborosan, makanya dia berhenti mengawasi. "O... oh, ya, tentu saja."
"Kamu tetap harus pelan-pelan ya, Re ... dalam mempelajari semua itu. Jangan memberi beban yang terlalu berlebihan atau memaksakan diri mengingat ... just take it slow, setiap kali muncul kilasan atau potongan-potongan ingatan baru juga, tetap tenang dan coba ikuti alurnya." Atiana mengingatkan.
Lyre mengangguk. "Oke, Mas Esa juga bilang gitu."
"Sure, karena dia sudah di sini untuk mendukungmu, aku yakin pemulihanmu juga akan semakin nyaman."
Kagendra mengabaikan ekspresi penuh harap sang istri, memutuskan segera bertanya. "Seperti yang pernah saya sampaikan di awal, Lyre akan melanjutkan perawatan di Jakarta ... karena itu apabila istri saya sudah stabil, harap proses pemulangannya juga disegerakan."
Atiana mengerjapkan mata, sama seperti Lyre yang kebingungan.
"Oh, itu ..." Atiana agak menjeda kalimatnya, memikirkan jawaban terbaik untuk sementara ini. "Saya akan berkonsultasi dengan Prof. Luki dahulu."
Kagendra mengangguk, mendengarkan sisa penjelasan dengan raut datar dan setelah Atiana pamit, baru menghadapi Lyre yang tampak menunggu.
"Melanjutkan perawatan di Jakarta?" ulang Lyre, tidak menutupi rasa sedih karena mendengar hal itu. Ia pikir mereka akan tinggal di Yogyakarta hingga dirinya cukup beradaptasi dengan Kagendra.
"Hidup kita memang di sana. Aku perlu bekerja kembali, Ravel juga perlu sekolah ..." Kagendra menjelaskan dengan selembut mungkin. Ia duduk di pinggiran ranjang sang istri dan memberi tahu dengan nada meyakinkan. "Re, rumah kamu di Jakarta, bersamaku dan Ravel."
Lyre mencoba mengerti, namun bergitu berat untuknya mengambil langkah tersebut. "Tapi, aku enggak ingat apa-apa tentang kehidupan itu dan—"
"Dan kamu punya aku, sekaligus Ravel." Kagendra menelan ludah, sejenak merasa ragu namun terus meyakinkan diri. Ia harus mengutamakan kehidupan rumah tangganya. "Aku selalu sepaket sama Ravel, Re ..."
Seketika Lyre menatap mata Kagendra, ada hawa ketakutan yang membuatnya kesulitan menarik napas. "Apa maksudnya kamu ngomong gitu?"
"Aku dan Ravel harus kembali ke Jakarta ... kalau kamu mau tetap tinggal di sini, maka—"
"No!" sebut Lyre dan geleng kepala, air matanya juga seketika menetes. Ia tidak mau hidup terpisah dari Ravel, membayangkannya saja sudah sangat mengerikan. "I need my baby."
"Aku tahu." Kagendra mengangguk dan mengelus lengan sang istri, menggenggam tangan kanannya dengan lembut. "Dulu kamu memilih bersamaku, sekarang tinggal melakukannya lagi."
Lyre memejamkan mata. "But my parents, my fam—"
"You have me and Ravel as family, that is enough." Kagendra kemudian merogoh saku celananya, mengeluarkan cincin kawin Lyre kemudian memasangnya. "Kamu harus ikut aku pulang, Re ... ke rumah kita, bersama Ravel."
Lyre membuka mata, menunduk pada cincin berlian dengan kejernihan sekaligus kilau yang membuatnya sejenak terpana. Cincin itu terasa pas sekaligus sesuai di jari manisnya, seolah memang tercipta untuk dikenakan olehnya. Ia mengerjapkan mata sesaat, merasai satu kejadian yang begitu saja muncul dalam pikirannya.
"So, should I call you Mrs. Sagitta Lyre Pradipandya?"
"Do whatever you want! I don't care."
"You should care, since you are My wife now."
Lyre menahan napas hingga nyaris sesak sewaktu Kagendra dalam ingatannya begitu saja mencengkeram pergelangan tangan, menariknya dan secara paksa mencium bibirnya.
"Don't you dare to reject me! You're mine after all ..." bisik Kagendra sewaktu memberinya jeda bernapas dan tangan lelaki itu beralih ke perutnya, mengelus kasar. "I hate this thing, bikin ganjel."
"Lyre?" panggil Kagendra begitu menyadari napas sang istri terjeda-jeda. Lyre juga tampak terdiam dengan raut wajah pucat. "Re ... kamu kena—"
"Thing," ucap Lyre dan meneteskan air mata. "Why did you call my baby like that?"
"A- apa?" tanya Kagendra bingung.
Lyre segera menceritakan apa yang diingatnya barusan. "Don't you dare to reject me! You're mine after all ..." ucap Lyre kemudian meraih tangan Kagendra, menempelkan ke perutnya, membuat gerakan kasar seperti dalam ingatannya. "I hate this thing, bikin ganjel."
Kagendra seketika ikut mengingatnya, berusaha mempertahankan kendali diri, tetap tenang menjelaskan, "I am just joking and—"
"You're not joking." Lyre berucap yakin dan melepas tangan Kagendra. Ia berusaha tidak panik atau kalut karena ingatan barunya. "I need my mother, please ..."
"No, all you need is me!" Kagendra memastikan tatapan Lyre tidak beralih darinya. "I am your husband, I'm your closest person, and—"
"You scared me!" seru Lyre dan berusaha lebih keras sewaktu memanggil, "Mamaaaa ..."
[ to be continued ]
🌃
Kagendra, tolong diingat ya
itulah akibat dari memaksakan situasi
jadinya malah rugi sendiri
wakakakakakaka~
.
ini couple bakal sedikit-sedikit uwu , tapi sedikit-sedikit juga pilu , wakakaka emang hilang ingatan atau enggak rumah tangga mereka itu penuh lika-liku , hohohoho~
.
senang Lyre amnesia?
pfftt ... enggak semudah itu juga untuk mengaburkan nalurinya 👌🏻
emang paling aman tuh team 🦕
.
harusnya yppa
yang paham-paham sadja ✨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top