23. | Unconditionally
Lho, lho hari apa ini?
Hari yang menyenangkan, ea~
aku gabut karena kerja setengah hari, tadinya pusing tapi dipakai ngetik cerita ini mendadak enteng ... sepertinya menuliskan kekampretan Kagendra efektif menyalurkan stressku.
.
3.249 kata untuk bab ini
wish you like it
happy reading
and
just be kind
.
thank you
🌟
23. | Unconditionally
"Syukurlah ..."
Desire berujar dengan lega ketika Atiana tampak semringah keluar dari ruang rawat Lyre, diikuti Kagendra.
Atiana mengangguk, mengatakan satu konfirmasi, "Hari ini benar-benar kemajuan yang baik, sementara biarkan Lyre dan Ravel bersama ... nanti setelah makan siang, saya akan observasi lanjutan."
"Terima kasih, Dok," ujar Desire dan mengantar Atiana sampai ke pintu.
"Oh iya, Pak Kagendra ... untuk proses treatment Lyre akan diperlukan banyak memorabilia, bisa foto-video-dokumen resmi. Semakin banyak yang bisa ditunjukkan pada Lyre, semakin valid untuk memastikan input ingatannya sesuai."
Desire melirik kakak sepupunya yang hanya mengangguk singkat.
"Harus disiapkan mulai kapan, Dok?" tanya Desire yang segera menahan pintu.
"Mulai sekarang, supaya ketika dibutuhkan bisa langsung digunakan." Atiana memberi anggukan kecil. "Saya akan kembali lagi nanti."
Desire balas mengangguk, menutup pintu dan menghadapi Kagendra. "Aku akan minta Mbak Yeyen untuk packing album fotonya Ravel di rumah, biar Waffa yang bawa ke sini untuk—"
"Lyre akan melanjutkan perawatan di Jakarta," sela Kagendra dan sebelum adiknya memprotes segera bersedekap kaku. "Ngomong-omong, kamu kasih Ravel coklat?"
Sial! Batin Desire dan segera menjelaskan, "Kecil aja, beneran." Ia menunjukkan ukuran setengah dari dua jarinya. "Segini doang, anggap reward jadi anak baik."
"Waktu sama Waffa, Ravel udah dikasih coklat juga ... reward karena enggak nangis. Ck! Kalian nih, rewardnya berpotensi bikin anakku sakit gigi."
Desire tergelak pelan. "Tapi Lyre bisa langsung sadar gitu. Syukurlah kalau naluri keibuannya enggak ilang."
"Kamu ketemu Lyre-nya besok aja, aku harus atur beberapa hal dulu."
"Atur beberapa hal apa?" tanya Desire dengan penasaran.
"Jangan banyak tanya dan jangan dulu kirim barang-barang dari Jakarta. Kamu ikutin semua arahan dariku."
"Ya! Tapi harus jelas juga apa maksud—" Desire terkesiap karena getaran ponselnya, teringat pesan sang ibu saat telepon tadi pagi. "Ah, Mama nih ... mau ngomong sama kamu soal Lyre."
Kagendra beralih duduk, menunggu Desire mengatur posisi ponsel dan menerima panggilan video tersebut.
Wajah Kinar Pradipandya terlihat sendu dan bercucuran air mata. "Kaka ... gimana? Astaga, amnesia sebagian katanya? Oh, Tuhan ..."
"Dede udah cerita, 'kan? Ya, masih sama aja kondisinya, belum tiba-tiba ingat semuanya lagi," jawab Kagendra muram.
Desire meninju tidak serius ke lengan kakak sepupunya itu. "Kamu tuh ... ngomongnya yang baik sama Mama."
"Orang justru Mama yang enggak mau ngomong sama aku? Makanya ngeblokir semua—"
"Udah Mama buka blokirnya dari kemarin!" seru Kinar cepat.
"Iya, setelah si Fran nyelip-nyelipin berkas penarikan gugatan," balas Kagendra sinis, membuat Desire kaget, Kinar juga demikian.
"Kamu udah tahu, Ka?" tanya Desire.
"Kamu pikir aku kalau tanda tangan sekadar tanda tangan?" tanya balik Kagendra lalu berdecak. "Ck! Tanda tanganku bisa dipakai untuk rilis dana jutaan dolar tahu. Aku enggak pernah sekadar tanda tangan!"
"Berarti kamu memang setuju, 'kan?" Kinar seketika penuh harap. "Tanda tangannya jelas banget lho, pas lagi di bagian nama terang."
"Mau enggak setuju juga enggak bakal bisa apa-apa dengan kondisi Lyre sekarang," ujar Kagendra masam.
Desire melirik kakak sepupunya. "Masih aja denial, padahal nangis-nangis dilupain Lyre."
"Aku enggak nangis!" elak Kagendra dan menjauhkan kepala saat Desire mengangkat tangan untuk mengacak rambutnya.
Kinar menghela napas panjang. "Terus, Ravel sekarang gimana? Udah sama Lyre, enggak apa-apa?"
"Iya, mereka baik," kata Kagendra.
"Kalau sama kamu gimana, Ka?" tanya Kinar lalu sesaat kemudian terisak tangisnya lagi. "Kalau sama Mama pasti lupa ya ... sama Papi kamu juga pasti lupa ... oh, Tuhan."
Kagendra menoleh Desire karena berikutnya Kinar hanya terus terisak-isak, menangis sedih, ditenangkan oleh pengurus rumah yang mendekat.
"Kamu aja yang cerita ke Mama, bikin pusing dikit-dikit nangis gitu," ujar Kagendra memutuskan beralih.
Desire segera memprotes. "Kaka, kamu tuh—"
"Aku pusing ... and I need some space! Bilang Waffa untuk telpon setelah ini." Kagendra menyela cepat dan beralih keluar ruangan, berjalan ke ujung koridor, pada dinding kaca yang memperlihatkan kesibukan lalu lintas jalan raya.
"You're fine and you can handle this mess ..." sebut Kagendra, butuh meyakinkan diri. Ia juga beberapa kali menarik dan mengembuskan napas secara teratur, menenangkan pikirannya yang mendadak dipenuhi kekhawatiran.
***
Kagendra menerima telepon video dari Waffa sekitar dua puluh lima menit kemudian. Ia mengunyah choco chips, memperhatikan layar ponselnya menampilkan tumpukan dokumen, deringan telepon meja yang tidak berhenti berbunyi dan layar komputer yang memuat puluhan email belum terjawab.
"Lo udah lihat ya sesibuk apa gue di sini, kalau lo telepon cuma buat ngadu lagi galau, gue langsung matiin." Waffa memberi peringatan tatkala menunjukkan wajah.
"Gue butuh lo ngatur—"
"Bye!" Waffa langsung siap mengakhiri sambungan video call.
"Bagian gue di The Residence, setengahnya buat lo." Kagendra segera memberi tahu.
"Setengah tetap enggak mengubah posisi gue."
Kagendra berdecak. "Tambah lima persen dari Papi, akan gue atur untuk dialihkan atas nama Dede."
"Sepuluh persen, dengan begitu kita imbang. Lo dan Om Tio. Gue, Mama dan Desire."
"Babi ngepet!"
"Take it or leave it."
Kagendra menipiskan bibir. "Gue harus tahu dulu kesepakatan harta bersama di perjanjian pra nikah kalian."
"Bye!"
"Waffa!" panggil Kagendra cepat. "Sialan ... ini penting buat gue! The Residence itu cikal bakalnya Karya Pradipandya. It's belong to Pradipandya's heir."
"Desire juga Pradipandya dan nama belakang gue jadi salah satu tower paling profit di sana."
"I know, makanya gue mau bagi setengah ... listen to me first, okay? Gue cuma bisa minta tolong sama elo."
Waffa meraih cangkir kopinya, menyesap beberapa teguk dan akhirnya mengangguk. "I'm all ears."
"So, it's confirmed." Kagendra mengangguk. "Lyre kehilangan ingatannya soal gue, ingatan terakhirnya hanya saat berusaha menghubungi gue setelah tahu hamil Ravel. Ingatan setelah itu nothing, dia juga beda banget dan—"
"Pantesan lo nangis."
Kagendra mendelik. "I'm not!"
"Besok kalau ke situ, gue bawain kanebo biar enggak buang-buang tissue."
"Gue enggak nangis!" Kagendra berusaha menegaskan. "Gue baik-baik aja."
Waffa mengangguk. "Saking baiknya lo sampai ngelepas setengah bagian The Residence buat gue ... Ada untungnya juga nih amnesianya Lyre."
"Sialan!" gerutu Kagendra, memperhatikan ke dalam ruangan. Soraya masih menunggui Lyre dan Ravel. Sementara Desire di ruang duduk, fokus virtual meeting. Adik sepupunya itu menggunakan headset dan sibuk mengkoordinasi persiapan event pameran loka karya di Senayan.
"Bukan hanya soal marah aja yang harus lo ekspresikan. Kalau lo sedih, lo harus bilang sedih." Waffa mengingatkan.
"Ya, fine, gue sedih tapi enggak ada yang perlu ditangisi. Gue hanya butuh mengatur situasinya jadi lebih rapi lagi antara kami berdua."
Waffa menegakkan punggung, serius menyimak. "Lo udah tahu soal berkas penarikan gugatan itu?"
"Gue juga udah terima konfirmasinya dari pengacara dan tugas pertama lo adalah ngebersihin semua jejak rencana perceraian itu, semuanya, sampai hal sekecil apa pun. Cek semua laptop dan komputer di rumah, kalau perlu ganti baru aja."
"Tablet dan ponselnya Lyre?"
"Ada di gue, udah mulai gue urus. Lo pokoknya bersihin aja semuanya di situ. Amankan juga brankas di kamar, Lyre pasti—"
"Babi!" Waffa langsung memaki karena teringat. "Semua brankas lo tipe retina sensor, cuma bisa dibuka sama lo atau Lyre sendiri."
"Oh iya!" Kagendra baru teringat dan segera berpikir keras. "Oke, kalau begitu set up kamar lain jadi kamar kami dulu."
"Gimana?" ulang Waffa dengan bingung.
"Set up kamar lain di rumah gue jadi kamar utama dulu. Begitu pulang dan Lyre cukup teralihkan, gue akan urus isi brankas itu."
Waffa memejamkan mata sejenak, sadar maksud perintah Kagendra ini. "Ndra, jangan bilang lo berencana set up ingatannya Lyre."
"Cuma perbaikan situasi di sana-sini."
"Perbaikan situasi?"
"Gue cuma suami yang sibuk, bukan suami yang buruk ... lo tahu, kalau gue emang pantas untuk dapetin semua perhatian dan cintanya Lyre."
"Cintanya Lyre?" sebut Waffa dan seketika tergelak, terpingkal-pingkal sampai beberapa kali mengusap sudut mata. "Cinta, lo bilang?"
Bangsat! Kagendra paling kesal saat ucapannya dijadikan bahan tertawaan. "Gue hitung sampai tiga ya, Fa."
Waffa tetap tergelak, meski memelankan tawa dan sejelas mungkin berusaha berbicara, "Sumpah, lo salah makan apa gimana, Ndra?"
"Gue eng—"
"Lo kebentur sesuatu?"
Kagendra menunjukkan wajah datarnya, tidak mau menanggapi.
"Sumpah geli banget dengar lo ngomong cinta!" Waffa geleng-geleng kepala. "Selama ini Lyre enggak benci lo aja udah bagus, cinta tuh kayak muluk-muluk ... lo aja enggak ngarep kalau—"
"She's in love with me. I can feel it."
"No! She just cooperate with you." Waffa menghela napas pendek. "Lo udah lama melek atas situasi pernikahan lo yang seadanya itu. Lo bahkan sadar enggak cukup berarti untuk bikin Lyre bisa—"
"Gue berarti dan Lyre akan menunjukkan itu seiring proses penyembuhan ini. Gue hanya perlu situasi pendukung."
"Situasi pendukung? Kalau lo set up ini dan itu, endingnya justru bikin fake situation." Waffa menggeleng. "Come on, Man ... kondisi hilang ingatan aja udah menyulitkan Lyre."
"Gue enggak bisa kehilangan lebih banyak ... dan siapa tahu ini memang kondisi yang tercipta untuk gue mendapatkan pernikahan yang ideal sekaligus semestinya."
"Dengan set up hal-hal diluar kemauan Lyre?" Waffa menghela napas, tahu Kagendra sudah bertekad. "Desire di situ? Coba ngomong dulu sama dia, bagus kalau lo enggak langsung dipukulin."
"Gue serius soal pembersihan jejak perceraian itu. Lo harus—"
"Tanpa lo suruh emang udah gue bersihin. Gue bahkan udah bicara sama pengacaranya Lyre, dia sepenuhnya tutup mulut."
"Good!" Kagendra mengangguk. "Lo juga pastikan team Media Relations bersihin semua artikel lawas soal gue."
"Artikel lawas gimana?"
"Pokoknya yang nyebut gue playboy gitu take down. Naikin berita-berita yang bagus soal gue sama Lyre."
Waffa menyipitkan mata. "Ada apa, Ndra?"
"Lyre tuh beda! Dia jadi bocor banget, enggak ada remnya jelekin gue, pakai ungkit-ungkit soal Coleen segala."
"Lyre berani jelekin lo?"
"Sulit dipercaya emang! Setelah ini gue akan minta rekomendasi dokter yang bagus di Jakarta ... enggak bisa dibiarkan kalau istri gue makin aneh begini."
Waffa nyengir, wajah bersungut-sungut Kagendra jelas mengindikasikan kekesalan. "Lo yang sabar, Ndra."
"Gue udah sabar banget."
"Lo juga jangan bertingkah, Ndra."
"Makanya lo bilang ke team media, pastikan semua artikel yang ada di internet saat ini berkualitas, enggak ngebahas yang jelek-jelek soal gue!"
"Aman! Ada beberapa berita bagus yang bisa dinaikin."
Kagendra mengangguk. "I count on you."
"Jangan lupa bicara sama Desire! Set up ini dan itu hanya akan bikin lo makin kelabakan."
"Dede akan dukung gue."
"Gue bukannya enggak dukung ... gue tahu ini penting untuk Ravel juga," ucap Waffa pelan dan lekat memandang sahabatnya. "Gue kenal lo, Ndra ... terlalu kenal untuk tahu, kalau pun lo mau dicintai itu selalu sama Lyre yang dua minggu lalu berangkat ke Yogyakarta bareng lo. Bukan yang baru bangun dua hari lalu."
"Mereka sama aja," tandas Kagendra dan menyudahi sambungan telepon, meninggalkan ponsel sekaligus sisa snacknya untuk berdiri di pintu, melihat ke dalam ruang rawat.
Lyre balas menatapnya, menyipitkan mata dan dengan posesif memeluk Ravel yang lelap. "Jangan ganggu!" sebut Lyre dengan gerakan mulut yang terbaca jelas.
Kagendra menghela napas dan bergumam, "Ya, bagaimana pun mereka orang yang sama."
***
"Re ..." panggil Soraya, usai memastikan cucunya lelap justru sang putri tampak sedih bahkan meneteskan air mata.
Lyre memang menangis dalam diam, bukan karena sakit atau nyeri di tubuhnya. Namun, ada rasa sesak sekaligus sedih karena tidak juga muncul ingatan tentang anak di pelukannya ini. "He's my baby ... I can feel it."
"Ravel memang anak kamu, Re."
"Ravel manis banget." Lyre merasa begitu disayang ketika anaknya membalas ucapan cintanya tadi. "Aku tadinya takut, gimana kalau Ravel ikut muram kayak Kagendra."
Soraya menahan tawa. "Mama pikir kamu enggak peduli Kagendra mau muram atau gimana aja."
"He looks upset, makanya sekalian aku ganggu."
"Lho kok gitu?" tanya Soraya, bingung.
Lyre terkekeh. "Lucu aja," katanya dan memperhatikan bentuk mulut Ravel yang mencebik, anaknya lalu bergumam dan mendecap-decap.
"Gemesnya," kata Soraya begitu cucunya kembali tenang dan beringsut menyembunyikan wajah ke pelukan Lyre.
"Kesayangan Mama," ucap Lyre lembut. "Semoga nanti Ravel gedenya lebih ganteng dari Kagendra ya, Ma ..."
Soraya begitu saja berkomentar, "Malah bagus anak mirip sama ayahnya, enggak perlu repot test DNA segala."
"Test DNA?" Lyre menyipitkan mata dan merengut, mendadak merasa kesal sekaligus tidak terima. Emosinya seolah begitu saja teraduk-aduk. "Ma, aku enggak senakal itu, beneran cuma Kagendra yang punya potensi hamilin aku!"
"Oh!" Soraya segera sadar telah salah berbicara. "Maksud Mama bukan meragukan."
"Aku tahu udah bikin malu dan bikin Mama sedih, tetapi aku enggak lepas tanggung jawab. Aku berusaha jadi ibu yang baik ..." Lyre nyaris tersengal, entah kenapa dia juga begitu marah. "Saat ini aku memang bukan ibu yang baik karena lupa soal anakku, tapi aku pasti bisa buktiin ka—"
"Re, tenang ... kamu bikin Ravel bangun," ucap Soraya dan mengelus belakang tubuh cucunya. "Maaf ya, Mama salah omong. Mama enggak bermaksud meragukan dan Mama tahu kamu ibu yang baik, ya."
Lyre mengatur napasnya dengan menciumi kening Ravel, merasakan kelegaan sewaktu anaknya tetap tenang.
"Ma, aku minta maaf, ya ..." ucap Lyre setelah terdiam cukup lama.
Soraya menggeleng. "Mama 'kan bilang, Mama udah enggak marah ... tadi Mama beneran salah omong, enggak bermaksud meragukan kamu."
Lyre mengangguk, memandang langit-langit ruang rawatnya dan menghela napas. Ia ingat beberapa materi kuliahnya yang membahas efek cedera kepala dan baru pada momentum ini semua diagnosa itu terasa menakutkan.
"Ma ..."
"Ya, Re?"
"I feel like I miss you so much ... I feel like I need you so bad." Lyre kemudian memejamkan mata, berharap muncul kilasan-kilasan ingatan baru yang familiar tentangnya dan sang ibu. "Dan aku takut, kalau perasaan itu mengacaukan realitasku, karena saat ini Mama sudah ada bersamaku."
Soraya mengangguk, mencoba memahami kegelisahan putrinya. "Apa pun yang kamu rasakan saat ini, kebingungan, kesedihan, sampai ketakutan ... itu wajar dan kamu enggak mengacaukan apa pun, Mama memang ada di sini untuk kamu."
Lyre berusaha tidak menangis lagi. "Aku bingung menentukan siapa yang harus aku percayai."
"Itu selalu dirimu sendiri, Re ..."
"Ya?" tanya Lyre sembari membuka mata.
"Mama masih orang yang sama, yang memilih terus bertahan bersama Papa, dibanding pergi menyatakan dukungan terhadap pilihan Mas Esa atau pilihanmu."
Lyre seperti merasakan sengatan kesedihan karena kalimat ibunya. "Mama ..."
"Karena itu percayai diri kamu ... kamu bisa merasakannya hal-hal masuk akal, hal-hal familiar, hal-hal yang paling tepat terkait dirimu." Soraya kembali mengelus-elus lengan sang putri. "Mama percaya, Lyre yang mana saja, lima tahun lalu atau sekarang ini, masihlah putri yang Mama besarkan untuk bersikap tangguh menghadapi apa pun."
"Kalau suatu hari ..." ucapan Lyre terjeda, ia butuh menahan tangis dan baru melanjutkan, "Kalau suatu hari, ternyata aku sampai pada titik terlemahku ... apa Mama—"
"Mama akan datang untuk menguatkan kamu lagi."
Lyre menatap sepasang mata ibunya yang teduh. Ia mengangkat jari kelingkingnya. "Pinky promise ..."
Soraya menahan senyum, segera menautkan kelingkingnya. "Pinky promise."
Lyre meringis pada anak yang kini posisi tidurnya semakin merapat ke tubuhnya. Rasanya memang belum bisa dipastikan, tentang dirinya jenis ibu yang seperti apa ... namun ada kesadaran penuh akan satu hal. "Saat Mas Esa pamit mau pergi dulu, Mama bilang sejauh apa pun jarak ... doa dan cinta Mama akan selalu sampai. Aku dulu enggak paham, tapi begitu lihat Ravel, sekarang aku mulai ngerti."
"You just can't stop loving him, praying all the best for him."
Lyre mengangguk, berusaha tidak kewalahan saat mengaku, "Ya, bahkan saat aku enggak tahu apa-apa tentangnya ... cintaku rasanya tetap tumpah ruah. Aku pasti sayang banget sama anak ini, Ma."
"A mother love, it's unconditionally," ucap Soraya lembut dan sesungguhnya merasa lega, putrinya terlihat begitu bahagia sebagai seorang ibu.
***
"Ravel beneran tidur, Ma?" tanya Kagendra saat kembali masuk ke ruang rawat, satu jam kemudian.
"Iya, Lyre juga ikut nyenyak."
Kagendra mengangguk, langsung mendekat ke ranjang dan berhati-hati mengurai pelukan lengan Lyre di tubuh Ravel.
"Ndra ... jangan dipindah dulu."
"Badannya Lyre nanti makin sakit semua." Kagendra menggendong Ravel, mendekapnya di dada selama beberapa saat. "Shh ... sama Papa."
Soraya memperhatikan tangan sang putri yang mencari-cari, raut wajahnya juga gelisah. Ia segera memindahkan salah satu bantal untuk didekap dan membuat Lyre tenang kembali.
"Mama ..." gumam Ravel yang ikut gelisah, kepalanya bergerak-gerak di bahu sang ayah.
Kagendra tetap membawa Ravel menjauh, kembali ke tempat tidur penunggu dan membaringkannya di sana. "Shh ... ini Papa, ini Papa."
"Nggg ..." suara permulaan rengekan yang khas itu membuat Kagendra bergegas meraih selimut lusuh di ujung tempat tidur, mendekatkannya hingga Ravel mendusel dan seketika tenang meringkuk.
"Kharavelanya Papa," ucap Kagendra lalu menciumi kepala sang anak.
Soraya sebenarnya ingin menunggu untuk bicara pada Kagendra, namun satu chat masuk membuatnya segera beranjak, membereskan tas tangannya.
Kagendra beralih dari sisi Ravel, mendapati Mama mertunya cukup tergesa keluar ruang rawat. "Ma, kena—"
"Esa sudah pulang ... kata embak di rumah agak pusing karena jet lag. Mama akan cek dulu."
"M... Mas Esa pulang?"
Soraya mengangguk, hampir menangis haru namun menahannya. "Lyre pasti senang kalau tahu."
"Mas Esa beneran pulang?"
"Iya," jawab Soraya dengan senyum. "Besok, begitu Papa pulang dari Surabaya kita bicara ya, Ndra ... jangan khawatir, Esa akan selalu di pihak Lyre."
Kagendra tahu itu. "Kami beberapa kali liburan bareng, Ravel juga kenal dan tahu soal Mas Esa."
"Begitu? Syukurlah ... Mama benar-benar berharap keluarga kita bisa berkumpul bersama, dalam keadaan baik dan akur." Soraya mengulurkan tangan, menggenggam tangan Kagendra. "Kita harus kompak untuk memulihkan ingatan Lyre juga."
Kagendra sulit menanggapinya. Ia sudah punya rencana sendiri untuk mengatur ingatan sang istri.
"Mama akan minta Esa cerita soal liburan kalian selama ini," ujar Soraya antusias.
"O... oh, ng, yah ... there's nothing special juga sebenarnya. Mas Esa selalu lebih suka jagain Ravel, dibanding ikut saya dan Lyre makan atau jalan-jalan belanja gitu."
Soraya tersenyum senang. "Lyre dan Esa itu saling pengertian, dia begitu pasti sengaja kasih kalian waktu berduaan."
Kagendra melepas tangannya dari Soraya. "Ya, maybe ..."
"Oh, Lyre tadi mempertanyakan soal kamu masih nyebut saya-saya ke Mama ... biar lebih akrab sebaik—"
"Memang enggak ada keakraban, Ma." Kagendra menyela dengan mempertahankan raut sedatar mungkin. Adanya Esa hanya akan membuatnya semakin terpojok di keluarga Kanantya dan tanpa Lyre yang membelanya, Kagendra tidak yakin mampu menghadapi mereka.
"Ndra?" ucap Soraya, bisa merasakan suatu penolakan.
Kagendra berujar dengan seserius mungkin, "Lyre yang dulu memilih saya, kali ini juga akan begitu dan setelah kondisinya cukup baik ... saya akan segera membawanya kembali ke Jakarta."
Senyum yang sebelumnya terkembang di wajah Soraya seketika layu. "Kagendra ..."
Suara panggilan itu terdengar lebih lemah dan Kagendra berusaha mengabaikannya, tetap memberi gelengan. "Maaf, Ma ... saya memang bukan menantu yang baik."
Soraya memperhatikan sosok lelaki yang berlalu dari hadapannya, kembali ke samping ranjang tempat Lyre berbaring. Kagendra merapikan selimut dan mengatur ranjang agar sepenuhnya dalam posisi datar.
Soraya menghela napas pendek lantas memberi tahu, "Kamu bukan menantu yang baik. Mama juga bukan mertua yang baik, sekali dua kali membuat pilihan yang salah. Karena itu, seharusnya kita berusaha memperbaikinya, untuk Lyre."
Kagendra memutuskan diamnya sebagai tanggapan terbaik.
Soraya mengangguk paham dan berjalan ke pintu. "Kamu terus berlari ke arah yang salah, Ndra ... karena itu enggak pernah sampai kepada kami di sini."
***
Desire mendapati Soraya berjalan keluar dengan berusaha menghapusi air mata. Ia segera membuntuti, ikut masuk ke lift yang membuka.
Soraya yang menyadarinya segera menenangkan diri. "Oh, Desire mau ke ma—"
"Kaka itu udah terlalu terbiasa kalau sekadar dikasih kata-kata tajam atau sindiran ..." Desire memberi tahu dan mengulurkan kotak kue yang disiapkannya.
Soraya sempat bingung namun menerimanya. "Ini?"
"Ravel yang beli, katanya untuk Oma Yaya ... Lyre kalau cheating day, makan cake serupa itu ketika di Jakarta."
"Oh, terima kasih," ucap Soraya.
Desire kemudian mengulurkan kartu nama ibunya. "Lalu ini, Mama saya sudah memikirkan rencana, agar Lyre bisa tinggal lebih lama di Yogyakarta."
"Ya?" tanya Soraya, berharap tidak salah dengar.
"Mama saya itu tipe ibu-ibu cerewet yang suka komentar ini dan itu, tetapi ketika berhadapan dengan Lyre ... Mama yang lebih dulu luluh, bahkan ketika marah-marah atas sesuatu yang kurang berkenan pasti akhirnya Mama nangis duluan."
"Oh, apakah Lyre melakukan kesalahan? Ada hal mengecewakan yang dia—"
"Enggak, memang Kaka yang sering buat masalah. Lyre cuma ngikut dan nurut aja."
"Desire ..." panggil Soraya karena tatapan gadis di hadapannya mulai berkaca-kaca.
"Saya akan menggunakan cara saya sendiri untuk mengatasi Kaka ... Tante bisa join rencana Mama saya."
Soraya memandang kartu nama di tangannya. "Kenapa kamu melakukan ini?"
Desire juga tidak tahu, kenapa tiba-tiba ingin melibatkan Soraya. Namun, dia sadar ada kebaikan dari ibunda Lyre ini, yang diam-diam masih dilakukan untuknya. "Sebagai terima kasih ... karena Tante menyempatkan berkunjung ke makam Papa saya. Dan setiap kali De.LAF memakai jasa JellyRe.Fresh ... Tante enggak pernah lupa bikin es dawet jelly, itu favoritnya Papa."
Soraya turut berduka ketika mendapat kabar ayah Desire berpulang beberapa tahun lalu. Mereka memang hanya bertemu beberapa kali, ketika Kagendra tidak juga kembali untuk berusaha meminta restu, ayah Desire yang mendampingi Arestio dalam meminta maaf.
"Terima kasih, Desire."
Desire tahu bahwa sudah saatnya keluarga mereka duduk bersama dan berusaha utuh, setidaknya untuk mendukung pemulihan Lyre.
"Lyre itu masih sungkan dalam hal meminta ... bahkan pada moment dia bisa egois untuk banyak hal yang Om Tio tawarkan, selalu memilih sesuatu yang paling sederhana." Desire menyeka pipinya yang mendadak ditetesi air mata. "Saya harap, Tante juga enggak terlalu benci Kaka ... he just—"
"He just a wounded child." Soraya melanjutkan ucapan Desire.
"Ya, and he's still coping ..." ujar Desire dan menekan tombol menuju lobi utama rumah sakit.
"Kamu berencana mendukung apa pun keputusan Kagendra?" tanya Soraya, memastikan keberpihakan lawan bicaranya.
Desire mengangguk. "Untuk sementara."
"Tante terkadang enggak bisa memahami bagaimana Kagendra itu ..."
"Saya juga enggak sepenuhnya paham, makin ke sini terkadang juga bingung maunya apa." Desire meringis kecil, tersadar baru-baru ini. "Tapi, dengan Lyre, dia seperti berusaha menunjukkan cinta dengan cara-cara yang hanya mereka pahami."
"Itu yang justru membuat orang lain enggak paham."
"Makanya ... udah saatnya punya satu kesepahaman soal itu."
"Lyre pasti senang karena ada kamu bersamanya selama ini," tebak Soraya.
"Saya lebih senang lagi, she helped us a lot." Desire memberi tahu dengan senyum lebar. "Saya akan bilang Mama untuk telepon Tante dulu, semisal—"
"Enggak ... kali ini biar Tante yang telepon duluan." Soraya menatap kartu di tangannya dan membatin rasa syukur. Ia punya kesempatan untuk bersama sang putri lebih lama.
"Terima kasih banyak, Desire ..."
[ to be continued ]
🌃
orang baik dibantunya sama orang baik juga ygy ~
.
kemarin ada yang nanya; di cerita ini yang bakal jadi villainnya siapa sih? Kagendra kah, Papinya dia kah, Papanya Lyre kah, atau siapa? Karena bingung harus benci yang mana.
ng, sezuzurnya idealismeku adalah manusia itu sepaket antara kelebihan dan kekurangan, manusia itu juga punya lapis-lapis kepribadian yang enggak sekadar tampak di permukaan.
nah cerita ini adalah proses untuk melihat gimana syeeeiiihh grow up-nya couple rebel-rusuh-repeated kesalahan tahap dua , pfftt
dan soal benci siapa?
inisialnya K~
.
YA KAGENDRA LAH BESTIE
(╯°□°)╯︵ ┻━┻
.
kali ini beneran
see you, Sabtu 🦕
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top