20. | Mama ...

Hallo, KagenBi bestie~

Tenang, enggak usah ngecek kalender, ini memang masih hari Jum'at ... soalnya Sabtu besok ada acara dari sore sampai malem dan daripada kedistrack notif, karena aku suka bacain komen, jadi aku update sekarang.

semoga enggak keberatan ya.

.

Bab ini pas 2.600 kata
enggak ada Ravelnya
tapi semoga melasnya Kagendra masih bisa bikin ketawa, eaa~

Thank you

🌟

20. | Mama ...


"Diantara sekian banyak hal ... how could you forgot about me, about us."

"What do you mean?" tanya Lyre, tidurnya terganggu karena lelaki yang dia ketahui merupakan ayah bayinya terdengar kelewat emosional. Ia tidak tahu kalau ternyata Kagendra sejenis lelaki cengeng begini.

Kamu istri sah milikku, Re...

Apa mereka benar-benar menikah? Lyre tidak habis pikir. Ini situasi yang mengerikan! Pingsan sebentar saja langsung membuatnya jadi istri orang.

"Re ..."

Lyre mencoba berpikir sejernih mungkin. Ayahnya pasti mendesak Kagendra begitu mengetahui kehamilannya. "Lo diancam apa gimana?"

"Hah?" Kagendra seketika kebingungan, mengusap wajah serampangan dan mendekatkan kursi. "Are you feeling hurt? How about your head? Should I call a doc—"

"You should answer me," sela Lyre lalu menghela napas. "Lo diancam bokap gue, ya? Gue dengar suaranya tadi ... bokap gue nyuruh lo tanggung jawab dan semacamnya?"

"Ng, enggak."

"Terus kenapa lo bilang gue istri sah lo?"

Kagendra menelan ludah. Lyre kembali melupakan soal Ravel, tapi bagusnya tetap ingat bahwa mereka menikah. Ia mengangkat tangan kanan lagi, menunjukkan cincinnya, "Y-ya memang ... I already marry you."

Lyre memicingkan mata dan satu alasan masuk akal terlintas di kepalanya. Ada banyak naskah film tentang pernikahan yang dimulai secara sepihak begini. "Pernikahan yang kayak begitu enggak sah, orang gue enggak sadar dan lo terpaksa."

"What?" cetus Kagendra sebelum kemudian segera mengingatkan diri bahwa perempuan di hadapannya ini mengalami hilang ingatan sebagian.

Sebagian besar yang melibatkan dirinya dan kehidupan rumah tangga mereka. God, damn it! Kagendra benar-benar ingin memaki sewaktu menyadari hal yang tidak adil tersebut.

"Sebelum makin jauh nih, lo harus mengajukan pembatalan pernikahan, Ndra." Lyre memberi usul cepat dan terkesiap karena sadar kondisinya. "Eh, tapi gue udah ada bayinya, berarti cerai  kita ..."

"C... cerai?" ulang Kagendra dengan nada terjeda-jeda. Sekitar dua bulan yang lalu dirinya mengusulkan ide itu dan merasa biasa saja. Tetapi saat ini, ketika Lyre yang ganti mengusulkannya, terasa ada tinju nyasar dan langsung menghantam ulu hatinya, membuat nyeri.

"Lo enggak tanda tangan berkas apa pun, 'kan? Bokap gue emang biasanya kolot dan bikin—"

"Re," sela Kagendra cepat, sebelum situasinya semakin membingungkan. Ia mengingat-ingat saran dari dokter untuk menangani situasi ini. "Tenang, ya ... enggak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku enggak terpaksa melakukannya, kita memang harus menikah juga. I'm already your husband, that's why I am here, just for you."

"For me? Not the baby?"

Kagendra ingin sekali meluruskan hal itu lagi, bahwa bayinya sudah lahir dan menjelma menjadi anak berumur empat setengah tahun yang nyaris jenius. Tetapi ia menahan diri. "Yeah, dia juga ... and just to making sure, you alright? Do you need something? A glass of water, maybe?"

"I need to sleep."

"Oh, okay..."

Lyre memejamkan mata, menanti kantuk namun setelah beberapa menit justru kembali memandang langit-langit ruang rawat. Ia juga memperhatikan lelaki yang masih duduk di kursi tunggu.

"Ndra..."

"Ya?" tanya Kagendra, kembali waspada karena Lyre memandangnya lekat.

"Ini beneran anak lo," kata Lyre singkat, merasa perlu menegaskannya.

Mulut Kagendra mengering tiba-tiba, kerongkongan dan tenggorokannya juga terasa kaku, sulit mengeluarkan suara atau kata untuk menanggapi.

"Just in case lo ada rasa enggak percaya atau tiba-tiba curiga, tapi gue jujur ... ini beneran anak lo." Lyre menambahkan dengan raut serius. "Gue bukan cewek iseng atau sembarangan. Gue tahu siapa yang tidur sama gue dan berpeluang dalam pembuahan, cuma elo."

Kagendra semakin terdiam, ingat apa yang dahulu dikatakannya setiap kali Lyre memperjelas hal itu. Setiap penolakan, ungkapan tidak percaya, sekaligus tuduhan-tuduhannya.

"Ndra?" panggil Lyre.

"I know," ujar Kagendra dengan anggukan. Kali ini, akan melakukan hal yang benar sejak awal. "Aku tahu ... dia anakku."

"Lo juga enggak perlu khawatir, Ndra." Lyre kasihan melihat wajah kuyu lelaki yang pasti terpaksa menunggunya ini. "Gue bukan perempuan merepotkan dan begitu bokap gue ke sini ... gue akan langsung bilang kalau pernikahan itu enggak sah."

"Itu sah, Re, ada surat-suratnya. Kamu itu istri aku secara resmi."

"Masalahnya, gue enggak mau punya suami."

Kagendra melongo. "What?"

"Hubungan dengan pasangan itu kompleks ... hidup gue udah rumit banget dan sekilas soal keluarga gue, yang waras cuma nyokap, tapi posisinya juga lemah. Gue punya kakak lelaki di Tokyo, gue berencana tinggal di sana sampai anak ini—"

"No! No! No way!" sebut Kagendra cepat, nyaris panik. "Re, serius, kamu punya aku sekarang dan kita akan baik-baik saja. I'm very qualified. I'm a potential husband."

Lyre mengerjapkan mata, memperhatikan ekspresi serius di wajah Kagendra. "Lo ... uhm, enggak habis minum 'kan, Ndra?"

Sialan! Maki Kagendra dalam hati. "Di antara kita berdua jelas aku yang paling sadar saat ini!"

"Lo aneh tahu enggak?" ungkap Lyre dengan agak gelisah. Ia tahu ada yang salah dan mulai merasa sangat tidak nyaman saat ini. "Bisa panggilin nyokap gue?"

"Kenapa emangnya?"

Lyre tidak ingin lebih curiga dan segera berseru, "Maaa... Mamaaa!!!"

Kagendra tentu saja kaget, segera berdiri saat Soraya bergegas masuk dan mendekat untuk memeriksa keadaan.

"Aku enggak ngapa-ngapain, Ma," ucap Kagendra, tergesa menjelaskan situasinya, "Aku enggak mendesak dan ngomong aneh-aneh juga."

Soraya mengangguk, fokus pada sang putri. "Re, kenapa?"

Lyre melirik Kagendra, harus memastikannya. "Kami beneran menikah, Ma?"

Soraya mengerjapkan mata, sekilas saling pandang dengan Kagendra dan baru mengangguk. "Lho iya, Kagendra 'kan ayahnya anak kamu."

"Papa desak dia? Ngancem-ngancem?"

Soraya nyaris bingung menanggapi, tetapi akhirnya menggeleng. "Desak apa, enggak ada. Kagendra memang mau menikah kok, iya 'kan?"

"Iya, tentu saja. Why not?" sebut Kagendra sambil mengangguk.

Lyre menyipitkan matanya, masih tidak menemukan sebentuk keyakinan dalam benaknya. Ia merasa ada hal yang begitu ganjil dan janggal.

"Kenapa, Re? Kamu memangnya enggak suka Kagendra?" tanya Soraya.

Kagendra cukup kaget dengan pertanyaan lugas itu, merasa gugup namun ingin tahu juga, seperti apa Lyre bakal merespon.

"Kalau enggak suka, pernikahannya bisa langsung dibatalkan, Ma?" tanya Lyre enteng, membuat Kagendra seketika dilanda frustasi.

"Re, bisa enggak kamu jangan ngomong batal-batal gitu ... aku ini suami potensial dan siap bertanggung jawab!"

Soraya menahan senyum karena keseriusan dalam suara menantunya itu. Ia kembali menatap sang putri, mengelus pipi Lyre dengan lembut. "Re, kamu kebenturnya keras sekali ... makanya pasti masih pusing dan bingung, ya?"

"Iya, Ma ..." Lyre mengakui.

"Ngobrolnya besok lagi, ya? Sekarang istirahat."

"Mama tunggu aku di sini, ya?" pinta Lyre dan tangan kanannya tergerak menahan lengan sang ibu. Lyre melirik Kagendra sekilas lantas menambahkan, "Lo balik aja ke rumah lo."

"You are my home," ucap Kagendra singkat dan kembali duduk di kursi tunggu.

Idih! Batin Lyre dan semakin yakin Kagendra tengah mengalami anomali hebat. Lelaki itu tidak seperti sosok playboy, nakal dan tukang goda yang enam minggu lalu tidur bersamanya.

"Mama ambilin minum lagi, ya?" usul Soraya.

"Jangan pakai sedotannya dia," sebut Lyre.

Kagendra mengangkat sebelah alisnya, menahan cibiran meski ingin sekali menanggapi bahwa mereka sudah melewati segala batas kemesraan selama hidup bersama. Berbagi sedotan atau sepotong makanan yang sama merupakan hal remeh.

"Iya, ini ada baru," kata Soraya, beralih ke laci nakas untuk menunjukkan set sedotan baru, mengambil salah satu untuk membantu Lyre minum.

Kagendra memperhatikan istrinya yang berseri-seri memandang Soraya, tampak senang diperhatikan, dielus, dibantu minum, sampai ketika selimutnya diperbaiki dan posisi tempat tidurnya diatur lebih nyaman.

"Ndra, Lyre kesakitan, nangis panggil Mamanya tiap kontraksi palsunya mulai ... Ndra, Mama temani kamu ke Jogja, ya? Kita temui Ibunya Lyre, minta baik-baik supaya mau ke Jakarta."

"Enggak mau, Ma! Bilang aja sama dokternya untuk kasih suntikan atau obat!"

"Makin disuntik makin sakit, kamu jangan begini ... enggak kasihan sama Lyre? Anak kamu yang—"

"Ma, kerjaan aku banyak! Tiap malam masih harus begadang nungguin dia di rumah sakit! Mama juga tahu sendiri, aku ini diusir sama mereka."

"Lyre butuh Mamanya, Ndra."

"Mama juga Mamanya ... Mama juga ngerti harus gimana karena pernah melahirkan. Mama aja yang tenangin dia. Aku harus meeting."

Kagendra mengalihkan tatapan mata, menghalau sebentuk kesedihan karena sebersit ingatan tersebut. Dahulu, Lyre yang datang kepadanya. Lyre juga yang setuju menikah dengannya. Ia memang membuat kekacauan dengan keluarga ayah mertuanya, tetapi sebelum itu, Lyre yang sudah lebih dulu memilihnya.

"Ma, aku keluar sebentar," sebut Kagendra dan langsung beranjak pergi, sengaja tidak menjauh dari pintu sehingga mendengar suara percakapan di dalam.

"Aneh banget dia," sebut Lyre.

"Kagendra juga syok, Re ... tetapi dia baik, mau bertanggung jawab dan setia menunggu kamu."

"Justru itu anehnya, Ma! Lebih masuk akal kalau dia kabur, nolak-nolak pas disuruh menikahiku ... kami cuma partner one night stand yang apes."

"Hus! Sudah, kamu harus istirahat."

"Mama jangan kemana-mana, ya?"

Kagendra sadar ada jeda keheningan usai permintaan Lyre itu. Suara Soraya juga sedikit lebih lirih kala menanggapi, "Enggak, Mama akan selalu di sini, temani kamu."

"Aku kangen Mama..."

Vel kangen Mama.
Kilasan tentang ucapan Ravel itu yang membuat Kagendra langsung menjauh dari pintu, tidak bisa mendengar lebih banyak lagi. Ia beralih ke tempat tidur penunggu, mengambil tas anaknya, membuka satu bagian kompartemen yang menyimpan polaroid mini, fotonya dan Ravel.

"Mas, bisa pulang kapan? Ravel udah kangen, dia maemnya dikit malam ini."

"Iya, ini aku suruh Fran cari tiket ... nangis enggak, Ravelnya?"

"Enggak, tapi nanya terus Papa kapan pulangnya. Dia suruh aku marahin Fran karena bohong ... katanya cuma tiga hari, ini udah lima harinya."

"Serius? Pinter banget udah bisa ngitung anakku ... oh, ini Fran info dapat tiket, sampai besok pagi jam tujuh."

"Syukurlah."

"Aku langsung susulin ke sekolahnya ya, Re."

"Iya, Ravel pasti seneng banget ... terima kasih, Mas Ndra."

Kagendra menundukkan wajah dalam-dalam, membawa foto tersebut ke dadanya dan berujar pelan, "Re ... Ravel yang sekarang kangen sama kamu."

***

Kagendra mendapati notes tersebut di meja saat terbangun. Saat ini pukul lima lebih lima belas. Kagendra meraih sebotol air mineral baru, membukanya sembari duduk dan minum hingga setengah. Usai menutupnya lagi, Kagendra meregangkan tubuh, beranjak ke lemari untuk mengambil baju ganti, membawanya ke kamar mandi.

Lyre masih pulas dan setiap grafik di monitornya stabil. Kagendra menarik napas panjang, berlalu memasuki kamar mandi dan memulai rutinitas paginya.

Suara pintu geser bergerak membuat Kagendra mematikan shower dan memasang telinga. Suara ucapan selamat pagi yang samar membuatnya kembali tenang, itu pasti suster yang mau melakukan pemeriksaan.

Kagendra mengambil kemasan sabun cuci muka dan tiba-tiba mendengar suara jeritan Lyre.

"Re ..." panggil Kagendra, meninggalkan sabunnya dan meraih handuk, melilitkan di pinggang sembari bergegas keluar dari kamar mandi.

"Astaga!!" seruan itu berasal dari suster yang langsung bergegas pergi, meninggalkan Lyre yang tampak nanar dan mengatur napas di atas tempat tidur.

Kagendra memandang bingung. "Apa yang terjadi? Kamu teriak."

"Kaget tiba-tiba ada suster!" Lyre memperhatikan tubuh Kagendra dengan seksama dan terpaku selama beberapa detik. "Kok lo beda ..."

"Beda?" ulang Kagendra, tidak paham.

"Gue pasti teler malam itu, seinget gue otot perut lo bagus banget, sekarang biasa aja," ucap Lyre sebelum terkekeh geli sendiri. "Kayak Om-om, Ndra."

Sialan! Kagendra mencoba tidak tersinggung atas ucapan istrinya itu. Sejak didera kesibukan, jangankan punya waktu untuk membentuk otot perut, olah raga yang berkualitas saja nyaris langka. Namun, ejekan semacam itu tidak bisa dibiarkan. "Coba kalau ototku yang lain, komentar kamu gimana."

Lyre menghentikan kekehan gelinya. "Otot yang lain?"

"Kamu dulu memuji otot pahaku juga, dan aku cukup konsisten setiap sesi legs day ..." Kagendra menyentuh simpul di pinggangnya, memperhatikan sang istri mulai mengerjapkan mata.

"Maksud lo?" tanya Lyre, mendadak panik karena Kagendra terlihat serius. "Heh! Jangan gila ya, Ndra!"

"Just look at me," sebut Kagendra, melepas simpul dan siap menyibak handuknya.

"Kagendra!"

Lyre segera memindahkan tangan kanan ke atas mata untuk menutupi. Ia mengatur napas, menunggu beberapa detik baru perlahan meregangkan jari-jari dan Kagendra sudah tidak ada.

"Eh?" sebut Lyre sembari mengangkat tangannya, memperhatikan seksama. Ternyata Kagendra hanya beralih ke depan pintu kamar mandi, Lyre langsung menurunkan tatapan ... memperhatikan posisi handuk yang terpasang rapi.

"Curious, Naughty Girl?" tanya Kagendra dengan nada mengejek, segera memasuki kamar mandi dan tertawa tanpa suara karena berhasil mengerjai.

Sial! Keluh Lyre dalam hati, pipinya terasa memanas begitu saja.

***

"Maaf ya, Bu, tadi saya tinggal begitu saja ... habis kaget, Bapak tiba-tiba handukan doang," sebut suster yang kembali ke dalam ruang rawat.

Lyre memperhatikan pipi suster yang agak merona. Kagendra memang tampan dan meski terlihat berbeda dari ingatan ketika menghabiskan malam bersama, tubuh setengah telanjangnya tetap menarik. Walau kepadatan otot perutnya berkurang, tetapi masih rata, tubuhnya juga bersih, kulitnya terlihat sehat sekaligus lembab.

"It's okay," balas Lyre sebelum tersadar satu hal. "Eh, wait ... dia udah persiapan nginep juga?"

"Ya?" tanya suster yang baru menyelesaikan penggantian dan mengatur aliran pada slang infus agar lebih lancar menetes. "Bagaimana, Bu Lyre?"

"Eh, enggak kok," ucap Lyre dan memperhatikan sekitarnya dengan seksama. Tatapannya mengikuti suster yang bergerak mengambil papan catatan di ujung ranjang. Logo pada papan tersebut membuat Lyre sejenak menahan napas. Ia sangat mengenali logo rumah sakit tersebut.

"Demamnya naik enggak, Sus?" tanya Kagendra begitu keluar dari kamar mandi, sudah rapi dengan kemeja lengan pendek dan celana panjang yang ujungnya digulung sedikit.

"Enggak, Pak, sudah normal suhunya Ibu Lyre."

"Kapan dr. Tian bisa visit?"

"Tunggu Bu Soraya dulu katanya, tadi titip pesan ke kepala suster akan kembali dalam satu jam ..."

Kagendra mengangguk. "Oke."

Lyre memperhatikan interaksi yang tampak seperti rutinitas itu. Kagendra tidak terlihat asing di mata perawat, lelaki itu juga tampak terbiasa berlalu ke ruang penunggu.

"Sus..." panggil Lyre pelan.

"Iya, Bu?" Suster yang selesai mencatat segera kembali ke sisi Lyre.

"Tolong bilang Mama saya untuk segera datang ya," pinta Lyre.

"Oh, baik, Bu."

Lyre mengulas senyum simpul, kembali mengamati sekitar setelah ditinggalkan suster. Kagendra memasuki ruang rawat dalam lima menit, rambutnya tersisir rapi dan wangi parfumnya tercium segar.

"All out banget, ada niat godain siapa?"

Kagendra duduk di kursi penunggu, menjawab enteng, "Kamu."

"Kita beneran menikah?" tanya Lyre dan memperhatikan adanya helaan napas panjang yang diambil lelaki itu.

Here we go again, batin Kagendra dan mengangguk. "Iya, Lyre ... kita beneran menikah."

"Kenapa kita menikah?"

"Cause it's the best solution for us."

"Solusi, emangnya kita ada problem apa?"

Kagendra menyipitkan mata. "The baby."

"Menurutmu bayinya adalah problem?"

"Menurutku kamu harus tetap tenang sampai waktunya dokter visit dan—"

"You lie to me." Lyre sekarang yakin akan satu hal, tentang lelaki yang bersikeras ada di sisinya ini. "We're not a married couple."

"Ya ampun!" Kagendra mencoba tidak mengeluh, atau emosi. Ia menjelaskan ulang. "Kita sudah menikah, Re ... secara sah dan meyakinkan, kamu memang ist—"

"How long we've been married?"

Pertanyaan bernada datar itu membuat Kagendra mengangkat sorot mata, bertatapan dengan sang istri. Kagendra dengan cepat tersadar, ekspresi Lyre saat ini familiar dalam benaknya ... digunakan oleh sang istri setiap kali akan mengungkap hal serius.

Lyre mengangkat tangan kanan, menunjukkan salah satu jemarinya. "Gue punya bekas cincin di jari manis, padahal enggak suka pakai perhiasan ... nama di gelang pasien ini Lyre Pradipandya, who the hell she is? ... lalu, berkas yang dibawa suster tadi, pada kolom wali pasien bukan tanda tangan salah satu orang tua gue, padahal gue di rumah sakit tempat Papa bekerja!"

Kagendra menelan ludahnya dengan susah payah. Lyre memang pintar, pasti menyadari hal-hal kecil yang semacam itu dengan cepat.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Lyre lagi, lebih lirih, sembari berusaha mempertahankan ketenangan. Semua keganjilan yang dirasakannya tentang Kagendra harus terjawab saat ini juga.

"We need your doctor," kata Kagendra, berusaha tetap tenang. "Hanya dokter kamu yang bisa—"

"Answer me first!" Lyre memaksa dengan tatapan serius. "How old are we?"

"I'm 35 years old and you are—"

"Twenty nine." Lyre mengerjapkan mata, mengatur napas yang mendadak terasa memburu. Ia mendadak lima tahun lebih tua dari usia terakhir yang diingatnya. "Please, I need my mother."

"Okay, okay!" sebut Kagendra lalu mengeluarkan ponsel, mencari kontak ibu mertuanya.

Lyre memperhatikan layar ponsel Kagendra, pada foto dirinya dan lelaki itu, dalam balutan gaun dan setelan yang serasi.

No way!
Kapan mereka mengambil foto itu?
Kenapa sama sekali tidak ada hal yang muncul dalam kepalanya dan menjelaskan dalam suasana apa foto tersebut diambil?

Layar itu berganti gambar bayi montok dan seketika napas Lyre terasa menyempit, seolah ada ruang kosong tak kasat mata yang kembali berusaha menelannya.

Mama...

Lyre meneteskan air mata. Ia memang membutuhkan ibunya, namun suara yang memanggil Mama itu bukanlah miliknya.

Mama...

"Re..." sebut Kagendra dan dengan panik langsung bergerak menekan tombol pemanggil.

"Re, please, stay with me," pinta Kagendra, meletakkan ponsel dan membungkuk ke atas wajah Lyre, memastikan tatapan mata istrinya fokus. "Lyre, don't do this to me... keep talking to me!"

Kamu istri sahku! Dan bayi yang kamu maksud, dia sudah lahir, berusia empat setengah tahun, bisa berlari, lancar berbicara dan luar biasa cerdas.

Bayinya!

"His name, please," isak Lyre begitu teringat ucapan Kagendra tersebut. Ada semacam kepanikan yang membuatnya sangat ketakutan saat ini. Dia harus segera mengetahuinya.

"Nama?"

"My baby!"

"Ravel ..." ujar Kagendra dan menegaskan nama lengkap anak mereka. "Kharavela Arsyanendra Pradipandya."

Ravel.
Kharavela Arsyanendra Pradipandya.
Lyre terus mengulang nama itu dalam hati sembari meneteskan air mata, menangis keras-keras ... merasa dirinya pasti ibu yang buruk, karena melupakan sang anak.

[ to be continued ]

🌃

Kagendra yang brengshake murni aja selalu yaqeen dirinya ayah yang bhaik ... Jadi, Lyre, si MaCan PinXy alias Mama Cantik Pintar dan Sexy harus kembali percaya diri, jangan justru percaya sama bualannya Kagendra. Xixixixixi ~

.

Q: Jujur ketakutan w atas kondisi hilang ingatannya Lyre ini, gimana kalau malah makin dimanfaatin sama si Babi?
A: Pada akhirnya mereka akan saling memanfaatkan kok ... ya kali, Lyre enggak dapat untung sama sekali, minimal bagian saham mayoritas Karya Pradipandya, ehh~

Q: Berharap banget Kagendra berubah!
A: Beruban aja ya, yang gampang 🙏🏻

Q: Jadi jadwal up-nya hari apa, Kak?
A: Aku usahakan rutin sekali seminggu di hari Sabtu~

.

see you next week ❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top