18. | Waktu yang terhenti

Holla, KagenBi bestie~
Jumpa lagi di malming ceria bersama Papa-Mama Ravel yang makin gajelas hubungan asmaranya, xixixii

2.908 kata
salah satu bab favoritku
semoga kalian suka juga
tapi kalau enggak suka, yauda.
hahahaha

.

WARNING: Include mature content
under 🔞 please be wise yaiyy ... scroll cepet aja sampai ngelewatin tiga kali pembatas cerita atau tanda (***)

thank you, bestie

🌟

18. | Waktu yang terhenti


"Lyre, ya? Kagendra, sepupunya Desire ..."

Lyre sebenarnya sudah tahu tentang lelaki itu sejak beberapa bulan yang lalu. Tepatnya, sejak Coleentia Teja, lawan mainnya di serial Dari Putih Biru ke Putih Abu-abu mendadak badmood di lokasi syuting, bukan sekadar salah dialog namun tiba-tiba mengamuk dan menangis sendiri. Lalu tidak lama setelah aksi badmood yang dramatis itu, Taycan Turbo hitam yang biasa menjemput Coleen, ganti menjemput Sophie.

Kisah romansa segitiga, teman makan teman itu sangat terkenal di lokasi syuting dan circle para pemain serial Dari Putih Biru ke Putih Abu-abu. Ditambah Kagendra merupakan kakak sepupu Desire, salah satu rekan artis yang jadi teman satu geng Lyre di serial tersebut.

"Hallo," kata Lyre dan mengulas senyum simpul, agak menatap ke belakang bahu Kagendra tempat segala keseruan bermuara. "Udah selesai tuh, pada bikin Bombastic Drink?"

Kagendra menggeleng. "Belum, makanya kabur ke sini. Itu yang nakar whiskey enggak kira-kira."

Lyre mengekeh. "Marina mana?" tanyanya karena Kagendra tadi datang ke pesta ini menggandeng gadis itu, salah satu rekannya juga di serial yang sama. Usai memacari Coleen dan Sophie, Kagendra memang sudah dua kali terlihat bersama Marina, termasuk pada pesta kali ini.

"Mojok tuh, bareng yang jadi Valdo di serial kalian."

Lyre memperhatikan ke arah yang Kagendra tuju dan memang benar, Marina sepertinya terlalu asyik sendiri berduaan dengan lelaki itu. "Wah, sabar ya, Ka."

"Ndra," ralat Kagendra cepat

"Ya?"

"Penggalan nama panggilan gue, Ndra." Kagendra menjelaskan lalu mengulas seringai santai. "Dan soal Marina ... gue santai, malah kesempatan nyari yang lain."

Lyre tertawa, Kagendra memang tidak terlihat seperti tipe lelaki yang mau melakukan pendekatan secara hati-hati atau perlahan seperti umumnya pemuda beradab. Kagendra seorang playboy kelas kakap dan sudah membuktikannya, dalam beberapa bulan terakhir saja sudah memacari tiga rekan kerja Lyre.

"Emang sekarang udah giliran gue, ya?" tanya Lyre, menurutnya lumayan juga meladeni Kagendra.

Iseng-iseng seru, kakak sepupu Desire itu tampan, fisiknya jelas masuk selera jamahan. Ditambah, sejak fokus syuting season pertama selama hampir delapan bulan, Lyre benar-benar mengalami kekosongan asmara.

Kagendra meringis. "Gue mana aja yang kosong."

"Kok tahu gue kosong?"

"Tahu," jawab Kagendra lalu mengulurkan salah satu gelas di tangannya. "Gue juga tahu lo minum virgin mojito."

Lyre tersenyum, menerima gelas dengan hiasan potongan jeruk nipis dan mint itu. Ia menyesapnya dan tertawa usai menelan, "Sialan, dicampur apa nih?"

"Vodka, satu sloki," kata Kagendra, mendesis senang usai menyesap minumannya sendiri.

"Enak juga, bartendernya siapa?" tanya Lyre, meneguk sisa minuman di gelasnya hingga habis.

"Kagendra," jawab Kagendra lalu mengedipkan mata. "Racikan khusus, spesial dari gue."

"Ada jampi-jampinya pasti," kekeh Lyre sembari menjilat tetesan sisa minuman di sudut bibirnya.

Kagendra jelas memperhatikan, sadar ajakan terselubungnya sudah mendapat persetujuan. Ia merasa tidak butuh waktu lebih lama. "Lo besok free?"

"Ada syuting iklan, siang jam dua."

"Kalau gitu, gue anterin lo pulang sekarang aja."

Lyre menahan tawa dengan geli. "Lo enggak ada basa-basinya ya?"

"Lo perlu apa emangnya?"

Lyre berpikir sejenak, sebenarnya Kagendra memang pantas untuk bersikap sepercaya diri itu. Lyre tahu keluarga Desire sangat hebat. Jaringan bisnis keluarga mereka menggurita, termasuk apartemen studio yang Lyre tempati merupakan salah satu produk properti mereka juga.

Tidak akan ada ruginya, pikir Lyre lalu menyerahkan gelas kosongnya. "Bikinin lagi, dong ... kalau rasanya lebih enak, gue mau lo ajak pulang."

Kagendra tertawa. "Nice decision."

***

"Dede bilang lo rebelnya karakter aja, aslinya pendiam dan jarang ngomong..." sebut Kagendra lalu mendesah dalam-dalam karena gerakan pinggul Lyre di atas tubuhnya. Perempuan ini jelas mahir dan cukup pengalaman tentang cara memuaskan lelaki. "Dede pasti enggak kenal elo dengan baik."

"Mmm ... Dede?"

"Desire, dia dipanggil Dede kalau di rumah."

Lyre menggigit bibir bawahnya, mencoba tidak mengaduh saat Kagendra ikut bergerak, kedua tangan lelaki itu memegangi bagian pinggangnya, membuat proses persetubuhan mereka berlangsung lebih intens sekaligus erotis.

"Pantesan dia kalau panggil lo Kaka ... Kaka, Dede. Gue pikir lo emang dipanggil Kaka."

"Itu panggilan keluarga, di luar keluarga panggilnya Ndra."

Lyre mengulangnya, "Ndra."

Kagendra mengangguk, bergerak bangun dan mendorong Lyre lembut, ganti berbaring di tempat tidur. "Sexy view..." sebutnya karena mereka menempati suite pribadi di lantai teratas hotel dan dengan tirai yang tidak sempat ditutup lebih rapat, cahaya bulan yang menerobos masuk menyinari siluet tubuh ramping, lembut, sekaligus sangat feminim milik Lyre.

"Not bad too," ujar Lyre, mengulurkan jemari tangannya dan tersenyum senang menyusuri kepadatan otot di paha sekaligus perut Kagendra. Lelaki ini sesuai dengan perkiraannya. "Gue paham sekarang kenapa Coleen sampai enggak mood syuting..."

Kagendra tertawa sumbang. "Dia bahkan enggak tahu soal ini."

"Kenapa? Saking keburunya cuma sempet nurunin restleting doang?"

Kagendra hampir tergelak mendengarnya. "Mulut lo asyik juga, ya?"

"Mau coba?" tanya Lyre sambil menjulurkan lidah.

Kagendra menelan ludah, memandang wajah cantik penuh tantangan itu dengan senyum terkembang. Ia kemudian melepas karet pengaman dan bergeser melewati perut rata sekaligus sepasang dada yang menyembul sempurna.

"Say hi, Kinky Baby ..."

Lyre mengatakannya bersamaan dengan lidahnya mulai membelai.

***

"Syuting lo masih jam dua, 'kan?"

Lyre mengangguk, beberapa bagian tubuhnya terasa begitu pegal, berat, dan agak nyeri. Kesibukan syuting membuatnya benar-benar tidak memiliki waktu berkencan dan Lyre sudah tidak ingat kapan terakhir kali memanfaatkan 'teman' bertenaga baterai paling menyenangkan di laci terbawah nakas tempat tidurnya. "Lo ngobat apa gimana, udah semalaman juga ..."

Kagendra terkekeh, merapatkan tubuh telanjang mereka di balik selimut dan mengecupi leher Lyre. "Gue enggak ngobat, tapi udah lama enggak nemu yang pas. You're great, Re."

"Gue diomelin kalau nongol, muka masih teler."

"Teler juga masih cantik."

Lyre menyeringai, rayuan basi. Ia tetap menggeleng. "Sejam lagi gue harus balik dan gue butuh tidur beneran."

"Ck! Iklan apa emangnya? Berapa nilainya?"

"Pasta gigi," jawab Lyre lalu menguap pelan dan mengingat-ingat. "Berapa ratus gitu bagian gue, lupa persisnya."

"Cancel aja! Gue tukar birkin atau chop—"

"Mmm ..." Lyre menyela dengan menolehkan kepala dan mencium bibir Kagendra lembut. "Lo pelihara artis lain aja, Ndra ... gue enggak berminat yang kayak begitu."

"Lo enggak perlu capek-capek kerja, Re."

"Capek ngangkang aja, ya?" sindir Lyre sebelum tertawa kecil. Tawaran semacam itu selalu menggelikan baginya. "Cari mainan lain aja, Ndra ... yang cocok sama offer lo."

Kagendra menahan pinggul perempuan itu. "Lyre ..."

Lyre mengelus pipi Kagendra lembut, kembali mendekatkan kepala untuk berciuman. Setelah semalam, rasa bibir dan mulut lelaki ini masih terasa sama, basah sekaligus memabukkan.

"Re, kita coba aja dulu sebu—"

"Gue serius, Ndra ... my answer still no."

Sialan, batin Kagendra karena setelahnya Lyre bergerak bangun dan bergeser menjauh.

"Dan gue beneran harus kerja." Lyre meringis saat berjingkat turun, mengambil bathrobe di kursi dan memakainya sembari berjalan menuju kamar mandi. "Thank you buat semalam, Kagendra ..."

"Apanya yang thank you!" sergah Kagendra lalu ikut bangun, menyusul ke kamar mandi untuk menunjukkan bagaimana cara Lyre seharusnya berterima kasih kepadanya.

***

"Desire mundur dari season dua?" tanya Lyre.

Andina mengangguk. "Katanya mau kuliah di Aussie, Bu Regin kudu rombak naskah ... makanya syuting mundur tahun depan."

"Lumayan, gue bisa permak hidung dulu," ujar Fayyana sembari merapikan poni rambutnya dengan sisir kecil. "Re, lo pucet banget deh ... enggak sarapan?"

"Sarapan, tapi rasanya eneg gitu, udah beberapa hari ini." Lyre juga merasa sangat malas untuk mandi atau berdandan.

"Desire bilang mau bikin acara perpisahan di Night Club lusa, join enggak lo, Yan?"

"Join lah! Desire ngapain aja pokoknya join."

Andina terkekeh, merogoh botol parfum dan menyemprotkan ke pergelangan tangannya. "Lo gimana, Re?"

"Pikir-pikir deh, gue belum ngerjain endorse," jawab Lyre sebelum menutup hidung, berjuang keras menahan mual meski akhirnya tetap berlari menuju toilet terdekat, memuntahkan smoothies dan roti gandum bakar yang jadi sarapannya tadi.

"Lo kenapa, Re?" seru Andina dengan panik, langsung menyusul bersama Fayyana.

"Mual banget gue ..." keluh Lyre, hampir menangis. Kondisi tubuhnya terasa sangat tidak biasa, terlebih dirinya mendadak merasa lebih cengeng.

"Gara-gara keujanan kemarin kali ya?" tebak Fayyana lalu mengulurkan beberapa lembar tissue. "Berobat aja kalau enggak nahan sakitnya, pucat banget lo."

"Apa mau gue anter ke rumah sakit, Re?" tawar Andina.

Lyre menggeleng. "Gue aja sendiri."

***

"Apakah ada konsumsi kafein yang rutin selama ini?"

"Enggak, minum teh juga kadang-kadang."

"Sering telat makan enggak?"

"Dua minggu ini memang enggak makan malam karena diet, tapi selain itu saya selalu menyempatkan makan tepat waktu, terutama sarapan."

Dokter mengangguk-angguk. "Soalnya suhu badan masih tergolong normal, enggak disertai batuk atau pilek ... untuk disebut sekadar masuk angin, dari keterangan Mbak, intensitas mualnya cukup tinggi, ya?"

"Iya, setiap pagi mualnya, harus sampai muntah baru agak lega. Saya udah coba yoga dan meditasi untuk mengurangi kemungkinan ini efek stress akibat tekanan pekerjaan. Saya juga mengusahakan tidur cukup, tetapi tetap aja mualnya belum hilang."

"Masih sibuk syuting?"

"Ya, beberapa iklan, pemotretan dan persiapan film baru."

"Oh," sebut Dokter dan memeriksa catatan di mejanya. "Maaf sebelumnya, karena statusnya belum menikah, tapi apakah termasuk sexually active?"

Lyre mengangkat sebelah alisnya. "Eng ... enggak sih, memangnya kenapa?"

"Saya waktu hamil tiap pagi kayak Mbak, mual dan dikit-dikit eneg ... sampai cium parfum suami sendiri juga langsung muntah enggak karu-karuan." Dokter memberi tahu sembari bergeser untuk mengambil sarung tangan. "Karena bukan sexually active, sementara saya—"

"H... hamil?" sebut Lyre kemudian menuang semua isi tasnya ke lantai.

Ini tidak mungkin.
Stress akibat pekerjaan dan efek pertengkaran keluarga masih lebih memungkinkan jadi sebab keanehan tubuhnya. Lyre cukup tertekan selama dua bulan terakhir, ditambah ada cicilan baru untuk apartemen Mas Esa di Tokyo.

"Mbak ... astaga, kenapa?" tanya Dokter sembari membantu mengembalikan beberapa barang ke tas tangan, kacamata hitam, handcream, lipstick, sampai dompet.

Lyre mengambil ponsel, memeriksa catatan di kalendernya, dia selalu membuat catatan belanja bulanan dan sekarang mulai panik memeriksa setiap item yang wajib dibelinya.

"Mbak ..." panggil Dokter yang khawatir.

Lyre menatap dokter yang ikut berjongkok di sampingnya. "Terakhir saya beli pembalut udah sekitar dua bulan yang lalu ... dan ... dan kayaknya saya enggak mens sejak saat itu."

"O ... Oh!" cetus Dokter dengan raut pengertian dan segera mengangguk paham. "Tenang, tetap kita pastikan dulu, ya, Mbak ..."

"Saya memang enggak sexually active tetapi sempat berhubungan badan dengan seseorang." Lyre menenangkan debaran jantungnya. "He's wearing protection every single time."

"Hanya satu orang ini saja?"

"Yes, just this man ... enggak ada yang lain. Tapi dia memakai—" Lyre geleng kepala, mendadak teringat saat disusul ke kamar mandi dan dibopong untuk berendam di jacuzzi. Saat itu mereka berdua sama-sama polos, bercinta tanpa melibatkan pengaman jenis apa pun.

"Damn it, Kagendra."

***

Hamil dan karena hanya Kagendra yang tidur dengannya, usia janinnya sudah dipastikan sekitar enam minggu. Lyre hampir kesulitan bernapas menerima hasil pemeriksaan. Ia bahkan mendadak tidak berani menyetir pulang, memilih meninggalkan mobilnya di parkiran rumah sakit dan mencari taksi.

"Tenang... tenang..." sebutnya lirih, memasukkan amplop berisi surat pemeriksaan dan ganti mencari ponselnya.

Pertama-tama, ia harus memberi tahu Kagendra. Itu bukan untuk meminta pertanggung jawaban. Hanya saja, Lyre merasa itu perlu dilakukan sebagai sesama orang dewasa yang ternyata tanpa sengaja sudah menciptakan satu kehidupan baru. Kagendra harus tahu juga tentang anak ini.

Lyre menggulirkan jari dan tersadar, dirinya tidak punya nomor ponsel Kagendra. "Sial," gumamnya lalu mengirimkan chat pada Desire.

Sagitta Lyre
Desire, minta no ponselnya
Kagendra ya. Urgent!

Desire Arshiya
Urgent kenapa?
New contact included

Lyre tidak menjawab chat tersebut, memilih langsung menghubungi nomor kontak yang dilampirkan. Hingga tiga deringan, panggilan teleponnya tidak juga diangkat.

Lyre menghela napas panjang, menilik jam di pergelangan tangannya memang sekarang sudah cukup larut. Sudah pukul sebelas malam.

"Sudah sampai, Mbak ..." kata sopir taksi.

"Terima kasih, Pak." Lyre mengulurkan dua lembar seratus ribuan. "Simpan aja kembaliannya..." tambahnya sembari keluar dari taksi.

Lyre memasukkan ponsel, bergegas memasuki bangunan apartemen dan langsung menuju unitnya di lantai sebelas. Langkah-langkah Lyre begitu saja memelan, mendapati seorang wanita yang berdiri di depan pintu apartemennya.

"M... Mama..." panggil Lyre.

Soraya Baiharni menghela napas panjang. "Ke mana saja kamu? Sampai semalam ini, Mama telepon Kiky katanya kamu udah selesai syuting dari minggu lalu!"

"Mama ngapain di sini?" tanya Lyre lalu menggeleng. "Aku enggak mau pulang! Terserah Papa mau enggak anggap anak atau apa pun itu."

"Kamu sama Papa enggak bisa terus saling keras kepala begini! Kalau kamu enggak mau jadi dokter, dengarkan usulan Papa untuk berkenalan dengan—"

"Aku enggak mau dijodohkan, Ma! Aku enggak mau jadi dokter, aku mau terus berakting, menjalani hidup yang aku pilih sekarang!" tegas Lyre.

"Tapi, Re ... Papa juga hanya bisa mengandalkan kamu. Karena itu kita pikirkan solusinya bersama."

"Mama lihat sendiri akibatnya kalau terus dipaksa-paksa jadi seperti yang Papa mau, apa enggak cukup Mas Esa jadi korban?"

Soraya menahan tangisnya dan mengangguk. "Tapi bukan begini juga caranya... kalau ikut lari, kabur seperti Mas Esa, Papa enggak akan mengerti dan semakin enggak bisa menerima pilihan kamu. Karena itu, pulang dulu, bicarakan lagi dengan—"

"Apa jaminannya?" tanya Lyre sebelum bersedekap. "Apa jaminannya aku tetap bisa melakukan pekerjaan yang aku suka? Apa jaminannya Papa bakal ngerti kalau menjadi dokter bukan impianku dan enggak pernah jadi impianku!"

"Re ..." panggil Soraya kemudian meraih lengan sang putri, menahan agar tidak berlalu meninggalkannya. "Lyre, dengar Mama dulu ..."

"Aku enggak bisa, Ma," ujar Lyre, menyentak tangan sang ibu dan tanpa sadar tasnya ikut terlempar hingga sebagian isinya keluar.

Soraya mengerjapkan mata, melihat amplop dengan logo rumah sakit yang terjatuh. "Kamu sakit?" tanyanya lalu meraih amplop tersebut, memeriksa isinya.

Lyre urung merebut, karena cepat atau lambat hal ini akan ketahuan juga. Dia tidak berniat menyembunyikan anak dalam kandungannya dari keluarganya.

"Ha... hamil?" Soraya memastikan apa yang dibacanya dan tetap sulit untuk percaya. Mustahil, tetapi nama dan rekam medis putrinya memang tercetak di surat tersebut.

"Lyre ... apa ini maksudnya?"

Lyre mengelus bagian bawah perutnya. "Seperti yang tertulis di sana, aku memang hamil."

Soraya terkesiap, wajahnya memucat dengan kedua tangan gemetar. "B... bagaimana bisa... oh! Astaga, sudah sampai sebebas ini kamu selama ini? Enggak bisa menjaga kehormatan dan—"

"Mama!" seru Lyre dan menipiskan bibir, merebut surat pemeriksaan itu, mengembalikan ke dalam amplop dan tasnya. "Enggak ada yang salah dengan kehormatanku, aku juga akan mengurus semua ini sendiri."

"Kamu harus pulang ke Jogja sekarang!" ujar Soraya, meraih tangan sang putri dan menariknya.

"Mama!" tolak Lyre.

"Kamu pikir merawat anak itu gampang? Siapa lelaki itu! Katakan siapa yang menghamili kamu!" Soraya hampir menjerit tatkala menatap sepasang mata putrinya. Hilang sudah sosok anak perempuannya yang dahulu begitu cemerlang. Lenyap sudah sosok putri yang selama ini berusaha dijaga dan dirawatnya dengan sebaik mungkin.

Lyre mengatur napas, mengulang kalimatnya, "Aku akan mengurus semua ini sendiri. Aku bukan anak kecil. Aku bisa hidup sendiri dan sudah dua tahun membuktikannya. Aku enggak butuh—"

Plak!

Soraya menampar pipi putrinya, berujar dengan suara gemetar, "Dan anak ini bukti kamu bisa hidup sendiri? Iya!!! Anak ini bukti kamu enggak butuh Mama lagi? Iya!!!"

Lyre mencoba tidak menangis, bergeming di tempat.

"Mama seorang ibu! Mama lebih tahu dari kamu seperti apa rasanya membesarkan anak! Seorang anak pembangkang, yang hidup semaunya sendiri, diarahkan pada jalan kebaikan enggak mau ... dan sekarang lihat akibatnya!" Soraya menggeram dengan suara rendah berbalut keputusasaan. "Anak macam apa yang akan kamu ciptakan, Re? Anak macam apa yang akan kamu didik dalam situasi mengerikan ini?"

Lyre menarik napas panjang, mengangkat kepala namun belum sempat bersuara, wajah menangis ibunya tampak berkabur. Ia mengerjapkan mata, kepalanya terasa berdenyut nyeri dan kegelapan seolah mulai menyelimuti sekitarnya.

"Ma..." panggil Lyre, suaranya terdengar lemah sebelum kemudian dirinya yang kehilangan kesadaran.

***

"Ma ..."

Soraya Baiharni terkesiap saat menyeka pipi putrinya dan mendengar panggilan itu. Ia menjauhkan waslap, selembut mungkin menanggapi, "Lyre..."

"Mama ..." sahut Lyre.

"O ... oh!" sebut Soraya dan segera menekan tombol pemanggil di dekat kepala ranjang. Ia sebisa mungkin menahan tangis memperhatikan kelopak mata sang putri bergerak, perlahan-lahan membuka. "Re ... Lyre ..."

"Mama ..."

Soraya mengangguk, menanggapi dengan tangis tertahan dan membantin doa penuh syukur. "Iya, ini Mama ... oh, syukurlah! Kami sudah lama menunggu kamu."

Kami? Lyre menyipitkan mata, menahan nyeri yang mendera kepalanya. Sakit sekali rasanya, tubuhnya juga sulit digerakkan. Lebih dari itu kerongkongannya terasa sangat kering, membuatnya sulit mengeluarkan suara.

"Ah, astaga!" ujar Soraya sebelum bergegas menyeka tetesan air mata dan beranjak ke pintu. "Ndra ... Lyre bangun, dia panggil Mama."

"Ya?"

Lyre mengerjapkan mata, menunggu selama beberapa detik dan mendapati sosok lelaki yang merupakan ayah bayinya mendekat. Kagendra begitu saja melongok ke atasnya.

"Finally, Re..."

Lyre menyipitkan mata, karena lelaki itu langsung membungkuk, mencium bibirnya.

"Ih!" cicit Lyre kaget, berusaha untuk menghindar meski gagal.

"Lyre..." sebut Kagendra dengan kening berkerut, sikap istrinya terasa berbeda.

Lyre memberi tatapan tajam, setajam yang bisa dilakukannya. Apa-apaan lelaki ini? Kenapa begitu berani melakukan hal hina di hadapan sang Mama.

"Re ... Sayang ..." panggil Kagendra lembut.

Sayang?
Lyre mendadak merasa mual mendengar panggilan itu, sungguh menggelikan. Ia memang harus bicara dengan Kagendra, secara dewasa dan beradab, mengatur perjanjian terkait anak yang tidak sengaja tercipta ini. Panggilan sayang sama sekali tidak dibutuhkan dalam situasi tersebut.

"Tunggu ya, Atiana akan— oh, itu dia."

"Halo, Re ... good to see you again," sapa dr. Atiana dengan raut semringah.

Lyre memperhatikan perempuan modis dengan jas kedokteran yang mendekat. Mbak Tian adalah senior paling terkenal di kampusnya. Ayahnya yang merupakan dokter spesialis mata adalah teman dekat sang Papa. Mereka orang-orang dalam kehidupannya di Yogyakarta, kenapa ada di Jakarta?

"Lyre..." panggil Atiana lalu mengibaskan tangan. "Hei, apa kepala kamu sa—"

"Ha... us," ujar Lyre serak.

"Ah, sure." Atiana mengangguk saat Kagendra beralih membuka air mineral, menyodorkan pada Soraya.

"Pakai sedotanku aja, Ma," ucap Kagendra, menarik glass straw dari tumbler di nakas.

Ihh!
Lyre mengatupkan mulutnya rapat, karena pertama, meski sudah pernah berbagi air liur bersama sepanjang malam. Namun situasi sekarang tidak sama. Kedua, apa-apaan Kagendra ... kenapa memanggil ibunya dengan nada sok dekat.

"Re..." panggil Soraya dengan bingung.

Atiana sadar dengan arah tatapan mata Lyre yang tajam kepada Kagendra. "Tante, dibantu pakai sendok aja coba ..."

"Oh, iya," kata Soraya, mengambil sendok bersih, menuang air dan menyuapkan beberapa kali.

Lyre begitu lega, merasakan satu kesegaran membasuh rongga mulutnya. Ia meneguk beberapa kali, hingga pita suaranya terasa cukup terlumasi. Lyre mencoba berdeham beberapa kali.

Atiana mengangguk saat Lyre sudah terlihat lebih siap. "Kalau belum kuat ngomong it's okay ... just—"

"Lo nelpon gue balik?" tanya Lyre dengan suara seadanya dan tatapannya lurus pada Kagendra.

"Nelpon?" ulang Kagendra, jelas bingung.

Lyre ganti menatap sang ibu. "Atau Mama cek ponselku?"

"Cek ponsel?" Soraya membeo dengan kerutan kening.

"Mama udah tahu dia ayah bayiku?" tanya Lyre, sebenarnya kesal. Ia ingin menyelesaikan situasi ini secara pribadi dengan Kagendra, tanpa campur tangan orang tuanya. Jika sang Papa juga tahu, habislah sudah! Dirinya pasti dipaksa pulang ke Yogyakarta, lalu situasinya akan sangat rumit.

"B... Bayi?" sebut Kagendra dan terlihat begitu panik. "B... bayi apa, Re?"

"Elo enggak usah panik, gue bisa—"

"Re, look at him clearly ... kamu tahu siapa dia?" Atiana menyela dan segera menunjuk Kagendra.

"Kagendra, and we ..." Lyre menjeda kalimatnya, menyipitkan mata pada sebentuk perhiasan di jari manis tangan kanan lelaki itu. Napasnya seketika tertahan.

Kagendra sadar akan apa yang jadi perhatian sang istri. Dahulu, Lyre yang memilih cincin kawin mereka. Istrinya pasti bingung karena hanya Kagendra yang memakai tanda pengikat pernikahan tersebut. Ia segera merogoh saku celananya dan mengangguk. "Re, punya ka"

"What the fuck! Lo ternyata laki orang, Ndra?"

Soraya seketika menutupkan dua tangan ke depan mulut, menahan jeritan tangis, syok mendengar tuduhan sang putri. Sementara Kagendra terperangah di tempat, tidak sanggup menanggapi karena jelas ada yang salah dengan istrinya.

[ to be continued ]

🌃

kok Lyre jadi begini? 😭
sabar ya kawan, sudah kubilang
sesuatu itu terkadang dihilangkan
demi mendatangkan kebaikan ...
siksaan yang lebih menyakitkan untuk Kagendra misalnya, eaaaa~

.

aku udah nyoba es kul-kul, enak 👍🏻
#infopenting

.

Q: Mulai kasihan lho aku sama Kagendra, dia tuh kalau dipikir ada baiknya juga.
A: Ya kali, Lyre jatuh cintrong sama yang 100% blangsak doang. Ya, mereka emang ada moment manis, moment mesra yang normal, happy husband and wife, cuma yaa tetap lebih banyak moment kampretnya, moment silent treatment, moment egois bin otoriternya Kagendra. Mereka 'kan ceritanya udah otw 5th meniqa, ya emang nano-nano perjalanannya ... makanya bagi Lyre enak rasanya
#lho (?)

Q: Enggak ridho kalau Lyre balikan sama Kagendra!!!
A: anggap sebagai rizky aja kalau gitu ya? Wakakakakakaa sumpah jayus.

Q: Sekali-kali double up, Kak.
A: Sekali-kali double sabar, Kak ❤️

.

사랑해

*yabeginilah kira-kira kalau Papa Mama Ravel lagi dalam suasana flirting; malu-malu maruk , pfftt

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top