17. | Perhatian & Penantian
Halo, para bestie-nya Kagendra, pfftt
.
Udah siap unlock level kesabaran baru? Wakakakaka Kagendra ini memang masih akan terus menyebalkan yagesya, jadi saran aku tyda perlu ragu menghujatnya 👍🏻
.
3.205 kata untuk bab ini
selamat membaca~
🌟
17. | Perhatian & Penantian
"Kyaaaaakkkk..." jerit Ravel sembari mempercepat langkah.
"Ravel! Hei, hei ... enggak boleh lari-lari." Kagendra nyaris habis akal. Anaknya tidak bisa diam, selesai mandi dan berpakaian langsung kabur sebelum rambutnya disisir. Ravel juga berkelit menghindar ketika Kagendra sudah hampir berhasil menangkapnya.
Bugh!
Kagendra terkesiap saat Ravel berlari ke pintu dan ketika membuka, Lukito yang berdiri di sana. Ravel juga kaget, karena menabrak dan membuatnya langsung jatuh terduduk.
"Ravel!" seru Kagendra, buru-buru menggendong anaknya. "Papa udah bilang jangan lari-lari, belum disisir rambutnya."
"Maaf, Opa dokter..." ujar Ravel sambil menahan tangis dan memegangi hidungnya.
"Maafnya sama Papa tahu," ralat Kagendra, mengalihkan tatapan dari papa mertuanya dan segera beralih. "Coba lihat, sakit enggak?"
"Mau lari-lari ..." ucap Ravel.
"Enggak boleh lari-lari, Mama lagi sakit, Ravel harus tenang tunggu di sini bareng Papa." Kagendra memberi tahu, mengelus wajah anaknya yang murung dan berkaca-kaca. "No, no! No crying ... anak baik, anak pinter, enggak nangis kalau diberi tahu."
Ravel berusaha menahan tangisnya, selama beberapa detik hanya terdiam dengan tatapan sedih dan bibir yang mengatup kaku.
"Kharavela!" sebut Kagendra dengan serius, tahu anaknya bakal menangis. "No crying ..."
Ravel menggeleng, sudah tidak bisa menahan butiran air matanya menetes-netes dan seketika terisak. "Mau mamaaaaaa...."
"Ravel! Sssttt..." Kagendra segera memeluk, membawanya duduk.
Lukito memperhatikan situasi tersebut sembari berlalu menuju ruang rawat putrinya. Ia geleng kepala singkat, merogoh ponsel dan memastikan sang istri segera datang.
"Mamaaaaa..." pekik Ravel ke arah pintu ruang rawat Lyre.
"Ravel! Sssttt ... Mama baru mau diperiks—"
"Biarkan dia melihat kalau memang itu yang dia inginkan," ujar Lukito cepat, sejenak menghentikan tangis Ravel. Kagendra juga terdiam kaku di tempatnya.
"Opa dokter... Vel mau lihat Mama..." ucap Ravel dengan agak terbata.
"No!" Kagendra langsung menahan sang anak yang hendak memelorotkan diri. "Ravel lihatnya sama Papa dari sini saja. Jangan ganggu dokter periksa Mama."
Lukito memberi lirikan sinis dan berlalu, melakukan pemeriksaan, memastikan keadaan sang putri mengalami peningkatan. Masa kritis sudah lewat dan meski ada tanda-tanda kesadaran awal, Lyre masih belum bisa mempertahankannya selama lebih dari beberapa detik. Lukito menghela napas, mencatat setiap perubahan kondisi sang putri agar nanti bisa didiskusikan dengan tim dokternya.
Kegendra memperhatikan anaknya fokus pada pemeriksaan itu. Ia berujar lirih, "Vel, selama Mama sakit ... Ravel nurut ya sama Papa. Jangan minta gendong-gendong Oma Yaya atau Opa dokter itu."
"Kenapa?" tanya Ravel.
"Vel udah berat, kasihan kalau gendong-gendong." Kagendra mendekap lebih erat. "Kalau mau gendong, minta Papa aja atau Om Waffa, ya?"
"Vel mau—"
Percakapan itu terjeda karena suara ketukan. Kagendra memutar tubuhnya, pintu kembali berayun membuka. Soraya datang berbarengan dengan Desire dan Waffa.
"Selamat pagi," sapa Soraya.
"Pagi," ucap Kagendra lalu membawa anaknya mendekat.
Desire menyipitkan mata, sadar Ravel baru menangis.
"Barengan sampainya," ucap Ravel usai mencium tangan Soraya.
"Iya, ketemu di depan lift," jawab Soraya, senyumnya terkembang saat Kagendra ganti menyalaminya.
"Pagi, Ma," kata Kagendra, mengabaikan lirikan adik sepupunya. Itu karena Kagendra tidak mencium tangan, hanya bersalaman singkat lalu menarik diri.
"Gantengnya Tante Dede kenapa nangis ini?" tanya Desire saat mendekat untuk menciumi pipi keponakannya.
"Vel lari-lari terus nabrak Opa dokter, terus jatuh," jawab Ravel dan hawa kesedihan seolah kembali, raut wajahnya berubah sendu sekaligus berkaca-kaca.
"Wah, terus udah minta maaf belum?" tanya Desire sambil mengelus bagian dada Ravel, menenangkan gerakan ritmis samar akibat si anak yang belum tuntas meluapkan emosi.
"Udah, t... terus Papa marah ..." rengek Ravel dan kedua lengannya terulur, meminta pindah gendongan. "Mau Mamaaa..."
"Sayang, sayang..." panggil Desire, mengambil alih keponakannya. Ia membawa Ravel ke area ruang duduk, perlahan mengayunkan tubuh untuk menenangkan.
Kagendra menghela napas panjang, bertukar tatapan dengan Waffa yang memberinya gelengan kepala, seolah Kagendra melakukan hal yang sangat keterlaluan.
"Dari semalam ajaib banget! Cuma mau makan beberapa sendok aja, gosok gigi main-main air sampai basah sebadan, tidurnya nendang-nendang. Jam empat udah bangun terus enggak mau tidur lagi, udah gue gendong, peluk sampai guenya sendiri ketiduran ... tetep aja bawel terus." Kagendra mulai menjelaskan situasi dengan nada tenang. Ini kali pertamanya mendapati sang anak rewel hingga setingkat ini. "Jam enam gue mandiin kayak biasa, baru selesai pakai baju, lari-larian, ampun! Belum juga sisiran dia tuh."
Soraya yang membongkar bawaan sambil menyimak langsung bertanya, "Kalau di rumah juga gitu?"
"Enggak." Kagendra menyugar rambutnya. "Ravel bahkan udah enggak pernah tantrum sejak dia sekolah."
"Tuh, bisa diem tuh ..." ujar Waffa, memperhatikan Desire yang kini melakukan high-five dengan Ravel. Anak itu juga tersenyum, tampak patuh mengambil sisir dan sepatu.
"Coba gimana sisirnya kalau diajarin Mama?" tanya Desire dengan raut antusias.
"Sisir lurus dulu, terus sisir belakang, terus udah deh!" Ravel memberi tahu sembari mencontohkan.
Desire tergelak saat ada ikal yang kusut membuat Ravel mengaduh. "Sini, Tante Dede bantu ... duh, kata Sus Emy harus potong rambut ya?"
"Iya, pendek rapi."
"Padahal ganteng begini."
Soraya tersenyum. "Anak lelaki biasanya risih rambut panjang."
"Dari umur setahun dibiasakan, Lyre bilang rambutnya Ravel mirip rambutnya waktu masih kecil." Kagendra kemudian menggeleng. "Padahal enggak, Ravel seratus persen aku."
"Dih, bangga!" cibir Waffa dan memutuskan mendekati tunangannya, ikut mengobrol dengan Ravel.
"Oh, itu Papa selesai periksa ... ini sarapan Ravel ya, Ndra." Soraya memberikan rantang makanan yang kali ini ditempeli banyak stiker dinosaurus.
"Te... terima kasih," ucap Kagendra cepat, membawa rantang tersebut beralih.
Soraya tersenyum kecil, menunggu suaminya keluar dari ruang rawat. "Gimana Lyre, Pa?"
"Seharusnya sudah sadar, semuanya udah normal, enggak ada pembengkakan lagi. Papa akan bicara sama Atiana dulu."
"Ravel tadi nabrak Papa?"
"Cuma kaget, dia pasti bosan. Papanya itu enggak paham ..." Lukito melirik Kagendra yang sekarang sibuk pamer rantang gambar dinosaurus. "Ck! Kelihatan bodohnya!"
"Emang enggak ada yang langsung pintar jadi orang tua! Bahkan kita juga masih banyak salahnya," ujar Soraya lalu mengelus lengan sang suami. "Sudah, Papa fokus ke Lyre saja, soal Kagendra biar—"
"Dia itu juga suruh fokus aja ke anaknya ... balita lagi aktif-aktifnya kok cuma disuruh diam terus, mana mau!" Lukito geleng kepala. "Mama bisa telepon Esa?"
"Belum, katanya ada turnamen sampai lusa. Nanti Mama coba hubungi lagi."
"Ck!" decak Lukito dan berlalu pergi.
Soraya lebih dulu memasuki ruang rawat putrinya, merapikan selimut dan menggenggam tangan Lyre sejenak. Ketika kembali ke ruang duduk, Ravel sudah mulai makan dengan lahap, sesekali dibantu Waffa memotong-motong telur gulungnya.
"Berantakan banget sumpah!" omel Desire yang ternyata beralih ke tempat tidur penunggu, merapikan selimut, kaus kaki, sampai piama kotor Ravel.
"Aku belum sempat beresin aja!" kata Kagendra yang merapikan buku, pensil warna, sekaligus sampah sisa makanan. "Kamu apain tuh tadi bisa anteng gitu?"
"Pakai triknya Lyre."
"Trik apa?"
"Ya harus makan biar punya tenaga buat lari-lari."
Kagendra menegakkan tubuh. "Lari-lari? Ini rumah sakit! Kamu tuh, susah payah aku ngasih tahu dia biar anteng nunggu Mamanya sa—"
"Yang sakit Lyre, sementara Ravel sehat ... dia emang butuh aktifitasnya."
"Ya, tapi lari-lari? Kamu tuh enggak mikir seberisik apa nanti? Bisa ganggu juga."
Desire berkacak pinggang, wajah aristokratnya juga tampak kesal. Soraya segera mendekat, sebelum dua bersaudara itu semakin ketara tengah bertengkar.
"De—"
"Lyre bilang, dia bukan jenis orang tua yang setelah berhasil ngajarin anaknya dari gelosotan, bisa rangkak, bisa berdiri, bisa jalan, bisa lari, lompat-lompat ... terus endingnya cuma paranoid, stress out sama kelincahan anak tersebut."
"Paranoid? Stress out?" desis Kagendra, mendelik sebal.
"Kenapa Ravel semalam enggak habis makannya? Kenapa dia kebangun lebih cepat? Karena aktivitasnya kurang ... Ravel enggak salah karena dia mau lari-lari, minta dikejar, mau main, dia butuh release energi, dia juga butuh perhatian, interaksi sama orang." Desire menghela napas pendek, memejamkan matanya sejenak. "Lyre sering bilang, ngurusin Ravel itu emang kudu kreatif ... kudu pinter biar enggak salah transfer knowledge dan pemahaman. Kamu pikir setiap Lyre ajak Ravel ke De.LAF anak itu anteng duduk-duduk doang? Enggak, dia diajarin Lyre untuk bantuin kita, sekadar pencet tombol buat fotocopy, bagiin snack atau post it baru, isi ulang kotak tissue sampai bersihin meja sendiri kalau dia numpahin susu."
Kagendra memang sudah sering mendengar Lyre berkata tentang kreatifitas itu, tetapi tidak menyangka praktiknya akan serumit ini. "Ya, situasi ini beda dengan situasi di De.LAF atau rumah, aku—"
"Kamu juga bukan Lyre, tapi at least kamu tahu ada aku dan Waffa yang bisa dimintai tolong, tinggal minta Ravel untuk sabar, tunggu aku datang, minta tolong bawa dia main ke luar. Rumah rawat ini memang bukan tempat untuk lari-lari, tapi ada taman, ruang terbuka, bahkan playground di bawah." Desire menatap kakak sepupunya lekat, menyadari Kagendra sudah cukup paham. "Aku akan urus Ravel sampai jam sebelas, sementara itu kamu fokus meeting bareng, Waffa, Mama, dan Fran."
"Oke." Kagendra memang harus mendiskusikan beberapa project.
Desire lalu mengeluarkan komputer tabletnya. "Ada beberapa event kolaborasi Karya Pradipandya sama De.LAF juga, ini nunggu acc ... kalau ada revisi, paling lambat sore ini."
Kagendra menerima komputer tablet tersebut, memeriksa setiap file dan mengangguk. "Oke..."
Soraya yang semula terdiam memperhatikan Desire dan Kagendra jadi mengulas senyum karena kakak beradik itu menyadari kehadirannya. "Maaf, enggak bermaksud menguping tapi suasana kalian agak tegang tadi."
"Oh," sebut Desire dan segera tersenyum, menepuk-nepuk lengan Kagendra santai. "Hahaha, Kaka emang biasa dapat teguran kok, Tante ... aku mewakili Lyre pokoknya."
"Ck! Enak aja," gerutu Kagendra, menahan malu.
"Aku mau ngecek anak gantengku dulu... maemnya pinter apa enggak," kata Desire saat beralih kepada Ravel dan tunangannya di ruang duduk.
Soraya mendapati Kagendra yang sibuk meneruskan kegiatan merapikan tempat tidur. Setelah itu duduk di pinggirannya sembari memeriksa pekerjaan melalui komputer tablet Desire.
"Ndra..." panggil Soraya dan duduk di samping menantunya itu.
"Selama ini saya memang sibuk, makanya Ravel lebih lengket ke Lyre ... tapi saya bukan ayah yang payah." Kagendra cepat-cepat menjelaskan keadaan dirinya. "Saya juga bukan jenis ayah yang pemarah, Lyre tahu itu."
Semula Soraya bingung karena tiba-tiba Kagendra bicara demikian. "Oh, Mama bukannya mau menyalahkan kamu soal keadaan Ravel tadi."
"Terus?"
"Kamu dan Ravel sama bingungnya atas situasi ini. Dan karena keadaan Lyre masih belum sadar juga, memang Ravel lebih banyak bergantung sama kamu." Soraya memperhatikan raut lelah di wajah menantunya. "Ndra... minimal kamu harus bisa tidur juga kalau malam ... biar paginya lebih tenang mengurus Ravel."
Siklus tidur Kagendra memang tidak teratur, saat malam hari usai memastikan Ravel pulas, dia beralih menunggui Lyre. Kagendra biasanya menyempatkan waktu sejam-dua jam ketika tidur siang bersama Ravel, ada Desire dan Waffa yang ganti menunggui Lyre.
"Saya hanya—"
"Kami enggak akan bawa Lyre kemana-mana, dia akan terus di sini sama kamu dan Ravel ... karena itu, jangan khawatir ketika Mama atau Papa mengurus Lyre, kami berusaha membantu supaya kamu juga leluasa bekerja, mengurus Ravel, juga diri kamu sendiri," kata Soraya, menyela dengan penuh pengertian.
Kagendra mengalihkan tatapan matanya. "S... sebelumnya, saya pernah mimpi buruk, kehilangan Lyre di depan mata saya sendiri. Jadi, memang rasanya sulit tidur saat malam."
"Papanya Lyre enggak akan membiarkan itu, Ndra ... Papa dan tim dokternya pasti akan membawa Lyre kembali, karena itu, demi kebaikan semuanya, kita kerja sama, ya?" Soraya memandang cucunya yang kini meneguk segelas air putih. "Ravel udah bertahan kehilangan perhatian ibunya, jangan sampai dia masih harus menunggu untuk mendapat seluruh perhatian kamu..."
Kagendra cukup terkesiap mendengar ucapan mama mertuanya.
"Anak-anak juga kadang seperti orang dewasa, butuh pengalih perhatian dari kesedihan ... karena itu, fokuslah pada Ravel, bantu dia menghadapi rasa kosong dan sepi karena Lyre belum bisa bersamanya." Soraya menoleh kembali pada Kagendra. "Dan kamu juga, biarkan keceriaan Ravel, antusias dan semangatnya jadi kekuatan untuk kamu bertahan dalam hari-hari penantian ini. Lyre pasti berharap, kalian berdua terus saling memiliki saat seperti ini."
Kagendra segera menundukkan kepala, menahan rasa asing yang tidak dipahaminya atas ungkapan bernada emosional itu. Dia amat tidak terbiasa dengan kalimat-kalimat dukungan yang ketulusannya bisa terasa sedemikian rupa. Selama ini, orang-orang mendukungnya karena butuh sesuatu darinya.
"T... terima kasih, Mama," ujar Kagendra lirih.
Soraya mengangguk dan beranjak menjauh, karena tahu Kagendra butuh waktu sendiri untuk mengatasi perubahan emosionalnya. Mereka belum benar-benar berdamai, namun setidaknya bisa berhenti saling menyakiti.
***
Mas Ndra ...
Kagendra terkesiap membuka mata, menyadari ini masih hari kelima sejak kecelakaan yang membuat Lyre belum sadarkan diri. Ia menoleh ke samping, memperhatikan dengan seksama. Tempat tidur khusus penunggu berukuran double tidak cukup leluasa untuknya bergerak, apalagi ditambah Ravel.
"Ravel," panggil Kagendra lalu bangun, menoleh ke sekitarnya dan mendapati Waffa di salah satu kursi sofa mengangkat tangan. "Oh, lo udah lama?"
"Setengah jam! Ngorok lo, sampai Ravel kesel."
"Mana dia?" tanya Kagendra, bangun dari tidurannya untuk menghampiri Waffa.
"Sama Tante Dede, jalan-jalan ke bawah mau lihat adik bayi ..."
"Sial."
Waffa tertawa lalu melemparkan sesuatu yang langsung Kagendra tangkap. Ponsel yang pernah diserahkan. "Gue harus balik ke Jakarta sore ini, pekerjaan lo minggu ini udah aman ... ada acc beberapa berkas terkait proyek smart living. Fran bilang dia yang bakal datang, mungkin lusa."
"Oke." Kagendra menatap ponselnya, memeriksa chat-chat terbaru dan menyipitkan mata. "Ini kok enggak ada laporan dari susternya Papi, Fa?"
Waffa menelan ludah. "Mama bilang biar lo fokus ke Lyre dan Ravel ... soal Om Tio biar Mama yang jagain."
Kagendra mengangguk-angguk. "Papi masih stabil, 'kan?"
"Iyalah! Lo tahu Om Tio sekuat apa selama ini." Waffa segera mengalihkan obrolan. "Desire tetap tinggal di sini, kalian yang akur, jangan bertingkah dan bikin tunangan gue makin emosi."
"Iya, iya."
"Begitu Lyre aman dan bisa dibawa pulang, lo harus bikinin gue alibi buat liburan berdua sama Desire, tiga hari dua malam minimal."
Kagendra mendelik. "Sialan! Mama harus tahu calon menantunya semesum apaan."
"Pikiran lo mesum, kami berhak atas liburan ini," ujar Waffa lalu mengekeh dengan seringai nakal. "Lagian, yang diajak mesum juga masang badan, hehehe..."
"Setan!"
Waffa tergelak atas makian itu, secara suka rela menerima gebukan bantal sofa dari Kagendra.
Suara ketukan pintu membuat mereka teralihkan, suster membuka pintu dan mendorong troli berisi baskom air hangat dan waslap. "Pak Kagendra," sapa Suster.
"Ya," sahut Kagendra cepat.
"Ini air hangat sama waslap ya, sudah waktunya Bu Lyre diseka ..." Suster kemudian menyodorkan troli di hadapannya. "Untuk gaun gantinya akan saya ambilkan dulu, dimulai dari sebelah kanan, ya."
"O... oh, iya," jawab Kagendra lantas segera bertanya. "Bu Soraya di mana, ya?"
"Baru perjalanan kembali ke rumah sakit, tadi pamit pulang untuk mengurus pakaian ganti."
"Prof. Lukito?"
"Beliau ada konferensi sampai nanti malam."
Kagendra mengangguk. "O... oh ya sudah."
"Kenapa lo?" tanya Waffa usai suster undur diri. "Kita baru banget sampai waktu Bu Soraya pamit mau pulang sebentar, katanya ambil baju ganti lo sama Ravel besok."
"Gue enggak sadar ketiduran, niatnya cuma nemenin Ravel tidur siang."
"Apaan, orang lo lebih pulas, sampai ngorok. Si Ravel bete banget tahu mukanya." Waffa sedikit terkekeh. "Begitu sama Desire langsung ngadu; Papa tuh capek terus kalau siang."
"Asem!" keluh Kagendra, semakin lama menghabiskan waktu hanya berdua dengan Ravel membuatnya semakin terlihat tidak keren di mata anaknya itu. "Eh, Ravel enggak minta-minta gendong ke Mama, 'kan?"
"Enggak, tapi kalau pun minta, 'kan Omanya Ravel juga..."
"Enggak enak kalau makin ngerepotin," kata Kagendra lalu menunduk pada troli di hadapannya, menyadari satu hal yang perlu segera dilakukannya. "Eh, tunggu, ini beneran gue kudu ngelap Lyre?"
"Iya lah!" Waffa heran dengan raut bingung sahabatnya. "Masa' harus Ravel?"
"Setan!" maki Kagendra dan memberi tahu. "Soalnya dari kemarin, selalu Mama yang ngurusin Lyre, soal ngelap sama ngeganti pakaian rawat."
"Ya, karena Tante Yaya lagi pergi, sekarang elo yang urus," ujar Waffa lalu tersenyum saat berjalan ke pintu. "Dan untuk memberi privasi berkualitas yang lo butuhkan, gue mending keluar, nyari kopi sama jajan ... lo jangan malah turn on ya, Ndra ..."
"Babi!" maki Kagendra, mengacungkan jari tengahnya pada Waffa yang tergelak keluar ruangan. Ia bukan lelaki rendahan semacam itu.
Kagendra sadar dirinya tidak punya pilihan, segera mendorong troli tersebut ke dalam ruang rawat, memastikan pintu tertutup rapat kemudian mendekati ranjang tempat Lyre terbaring. Dahulu, sebelum melahirkan, Lyre sempat dirawat hampir dua minggu di rumah sakit, selama itu Kagendra juga yang membantunya ke kamar mandi, mengganti baju, sampai membersihkan muntahan.
Semalam, beberapa kabel pemindai sudah dilepaskan, masker oksigennya juga diganti dengan model slang yang menempel di lubang hidung. Itu karena Lyre mulai tersadar, saat pemeriksaan juga sudah beberapa kali jemarinya bergerak, merespon panggilan atau instruksi.
"Sebelah kanan tadi katanya," ujar Kagendra lalu menurunkan selimut hingga batas lutut, memeriksa dan memang ada ikatan longgar di sana, menahan pakaian berupa kain lembut yang menutupi bagian depan tubuh Lyre.
Kagendra melepaskannya, menyibak dengan hati-hati, menyadari beberapa memar memudar, sekaligus lecet kecil yang mengering. Bagian kanan tubuh Lyre memang cukup sehat, terbebas dari tempelan alat medis yang berguna untuk menunjang hidupnya.
Kagendra mengambil waslap, mencelupkan ke air hangat, memeras hingga hanya kelembaban yang tersisa kemudian mulai menyeka tubuh Lyre dengan hati-hati. Ia terus melakukan itu hingga merasa perlu menahan gerakan tangan, memperhatikan bekas luka berupa garis tipis di bagian bawah perut Lyre.
"Itu bekas caesar namanya," ujar suster membuat Kagendra kaget. "Ah, maaf, tapi saya sudah mengetuk pintu."
"Oh, iya," kata Kagendra lalu meletakkan waslapnya. "Suster yang akan melanjutkan?"
"Bapak melakukannya dengan baik, silakan bisa dilanjutkan." Suster tampak santai sekaligus senang, meletakkan gaun perawatan untuk ganti di dekat ranjang.
"T... tapi—" ucap Kagendra terjeda, karena suster begitu yakin meninggalkannya.
"Kata Bu Soraya, siapa tahu Bu Lyre juga kangen diperhatikan sama Bapak lho, hehehe ..." kata suster dengan riang lalu mengangguk singkat dan undur diri.
Kangen diperhatikan?
Kagendra mengulang kalimat itu dan menatap seraut wajah istrinya yang terlelap. Sejak kemarin ia memang lebih fokus pada Ravel, menyerahkan perawatan sekaligus pengurusan Lyre pada mertuanya. Kagendra hanya terlibat ketika dokter menyampaikan beberapa perkembangan, atau jika mereka menemukan suatu hal yang janggal, Kagendra dimintai konfirmasi. Dua malam terakhir, Kagendra juga hanya menunggui selama beberapa jam, mengikuti saran Soraya untuk menyempatkan tidur malam.
"Is that true?" tanya Kagendra begitu saja, mengangkat tangan untuk menyentuh pipi lembut istrinya. "Do you miss me? If it's true ... then why you're still sleeping."
Tentu hanya keheningan yang menyahuti Kagendra. Itulah sebab dirinya kemudian menggeleng, menjauhkan tangannya untuk kembali menyeka tubuh lembut yang semakin terasa rapuh. Kagendra sebisa mungkin mengabaikan bebatan erat sekaligus rapat di bahu kiri Lyre. Ada bebatan lain di kaki kiri istrinya itu, membetulkan posisi tulang yang sebelumnya mengalami dislokasi.
Kagendra kemudian berhati-hati menggantikan gaun pasien, memastikan setiap kabel dan slang yang menempel tidak bergeser sewaktu merapikannya. Terakhir, Kagendra mengeluarkan kemasan perhiasan dari saku celananya, mengambil cincin kawin dan meraih tangan kanan Lyre, menyelipkan ke jari manis sebagaimana biasanya cincin itu tersemat.
"One and only, Mrs. Kagendra Pradipandya," ujar Kagendra lembut, menundukkan kepala untuk mencium bagian telapak tangan Lyre yang terasa hangat.
"Ndra..."
Suara itu membuat Kagendra terkesiap, mengangkat kepala ke wajah Lyre yang sepasang matanya terbuka, balas menatapnya.
"Re ... Lyre..." panggil Kagendra, tidak menyangka.
"Ndra ..." suara itu terdengar lebih jelas.
Kagendra mengangguk, berusaha menahan tangis, mengangkat tangan yang masih dipegangnya, mencium-cium bagian jemari istrinya dengan penuh kelegaan.
"It's me. I miss you so much ..." ujar Kagendra dengan sungguh-sungguh. Namun, Lyre hanya menanggapi dengan kerjapan mata sesaat sebelum kembali memejamkannya.
Itu membuat Kagendra seketika panik. "Re... Lyre," panggilnya lantas segera menekan tombol darurat, membuat suster dan dokter segera memasuki ruangan.
"Apa yang terjadi?" tanya dr. Atiana sembari memeriksa monitor dan memperhatikan pasien yang tampak terbaring tenang seperti biasa.
"Lyre bangun, memanggil saya," sebut Kagendra.
"Lyre berbicara?"
"Ya, dia memanggil, jelas-jelas memanggil saya."
Dokter memeriksa dengan seksama, mengeluarkan pentorch dan memperhatikan respon pupil di mata Lyre. Tidak lama setelahnya menepuk-nepuk bahu kanan Lyre yang sehat, berulang kali memanggil pasiennya itu.
"Lyre ... Lyre dengar saya?" panggil dr. Atiana berulang dan setelah beberapa kali mengulang akhirnya menggelengkan kepala. "Dia masih butuh waktu untuk bisa tersadar penuh."
Kagendra mengusap wajahnya kasar. "Dia benar-benar bangun, menatap dan memanggil nama saya, suaranya jelas sekali ..."
"Memanggil nama Bapak? Kagendra, begitu?"
"No, just Ndra ..."
"Begitukah biasanya Lyre memanggil Bapak?"
Kagendra hendak mengiyakan namun tidak demikian adanya. "Ng ... biasanya pakai Mas, tapi dia benar-benar memanggil. Dia sudah tersadar dan mengenali saya."
"Atau dia sekadar menyebut saja, dalam beberapa kasus cedera kepala seperti Lyre, selain kesadaran yang timbul tenggelam, ucapannya juga tidak bisa dipastikan. Seperti telah saya sampaikan ada risiko yang cukup serius, terkait luka di bagian hippocampusnya." dr. Atiana kemudian menyimpan pentorch di saku jasnya. "Memang suatu perkembangan yang bagus apabila Lyre bisa berbicara. Namun, saat ini, kita masih harus menunggunya bangun sepenuhnya ..."
"Pasien juga sebaiknya belum dipakaikan perhiasan. Terutama ini, terlihat sangat ... mahal," ungkap suster dan dengan gugup melepas cincin kawin itu, mengulurkannya pada Kagendra.
Kagendra menerimanya, menggenggam cincin itu erat dan kembali merapikan pinggiran selimut Lyre. Ia menunggu dokter dan suster yang merawat Lyre beranjak pergi sambil terus menahan sesak sekaligus rasa tidak percaya. Kagendra tidak berhalusinasi, Lyre benar-benar bangun, menatap dan memanggilnya.
Mas Ndra ...
Dalam tidurnya tadi, Lyre juga memanggilnya. Kagendra tahu ada koneksi antara dirinya dan sang istri. Namun, kenyataan yang disampaikan dokter membuatnya tidak dapat berbuat banyak. Ia masih harus menunggu.
"I'll wait for you ..." ujar Kagendra lembut lalu membungkuk, mengecup pipi kanan sang istri. "You know, I will ..."
[ to be continued ]
🌃
Si paling koneksi sama istri, pfft
.
Q: Aku team Kagendra, karena yakin dia bisa berubah. Kalaupun enggak berubah ya realistis aja jadi cewek, yang penting lakinya setia, ada tanggung jawab, dan sayang anak. Udah cukup.
A: Pertama, ini cerita emang fiksi yang banyakan halunya.
Kedua, bagi Lyre bare minimum kayak begitu tyda cukup, xixixixi~
Q: Aku baca di Karya Karsa kayak kurang nyambung sama di sini, di sana mereka lebih kelihatan nunjukin perasaan.
A: Karena di sana pakai POV I, biasanya emang lebih teraba arah perasaannya.
Q: Kakak bikin QandA di akhir cerita emang ada yang nanya gitu, atau ngarang aja?
A: Ada yang nanya, terus jawabannya kukarang, pfftt~
Bercandyaa, bercandyaa ... aku jawabnya serius kok, seserius yang nanya.
.
Thank you, Readers ❤️
Kagak ada konten gambar ya, enggak sempat bikin, hisk~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top