16. | Tolong, maaf, terima kasih
Aku datang lagi, Bestie ~~~
.
Ayo, love-nya dulu tibanin di sini.
wakakakakakakaa
.
2.888 kata untuk bab ini
tarik napas dulu karena seperti biasa tingkah laku Bapak Kagendra memang hujatable ... sayangi emosimu, wkwkwkwkk
Selamat membaca
Thank you
🌟
16. | Tolong, maaf, terima kasih
"Ini apaan?" tanya Kagendra sembari memeriksa file yang Desire sodorkan.
"Kok apaan? Itu jadwal hariannya Ravel."
Kagendra memperhatikan timeline dan daftar kegiatan yang tertera. Di halaman berikutnya terdapat judul buku, alat permainan, sampai jenis flashcard yang akan digunakan. "Soal ini, kamu hubungi Sus Emy biar datang ke-"
"Enggak bisa, Ka ... Sus Emy pulang ke Belanda setiap Ravel libur semester. Aku tadi ngabarin soal Lyre terus diingetin jadwal ini. Semester baru nanti Ravel udah dominan english makanya perbendaharaan kosakata harus ditingkatkan." Desire memperhatikan raut muram kakak sepupunya. "Terus aku diingetin juga, Ravel tetep kudu disiplin, bangun jam berapa, mandi jam berapa, makan sama tidur siangnya."
Kagendra menggaruk pipi, menunjuk daftar di halaman berikutnya. "Ini apaan, De?"
Desire memperhatikan dan menatap datar. "Kok apaan, itu daftar snacknya Ravel ... dia 'kan kayak kamu enggak bisa sembarangan makannya. Dia snacking tiap jam sepuluh pagi sama jam empat sore. Dia harus minum susu juga, di tasnya sisa berapa?"
Kagendra geleng kepala, menoleh ke sekitar tempat tidur penunggu. "Aku lupa itu di mana tasnya."
"Ya ampun!" Desire segera bangun dari duduknya, memeriksa ke setiap tempat sampai menemukan tas ransel Ravel. Ia memeriksa. "Udah enggak ada susunya, tinggal biskuitnya aja separuh. Tadi dia sarapan apa?"
"Bubur sama sup telur."
"Berarti nanti snacknya jangan yang ada telurnya lagi." Desire kembali pada Kagendra, memperhatikan daftar pada layar. "Oh, mixed roasted nuts aja."
"Belinya di mana?"
"Supermarket lah."
"Ya udah, kamu aja beli." Kagendra menyodorkan komputer tablet yang memuat file-file tersebut. "Kamu bikin list apa aja yang dibutuhin terus belanja."
Desire menerima komputer tabletnya dan memperhatikan Kagendra ganti mengulurkan kartu pembayaran.
"Beli apa aja yang dibutuhin dan-"
"Ravel jadi anakku, nama belakangnya ganti Hadisoewirjo," lanjut Desire dengan serius.
"Enak aja! Kamu nih-"
"Kamu pikir aku butuh uang? Kamu pikir aku ngasih tahu soal semua ini, hanya untuk kembali jadi urusanku? Enggak, Ka ..." Desire geleng kepala, menyodorkan kembali komputer tabletnya. Ia sengaja melakukan ini agar Kagendra mulai menyadari beberapa hal penting. "You have to learn, you have to take care of Ravel ... kamu kudu ngerti apa yang harus dilakukan."
"Ya, tapi aku ada kerjaan."
"Aku juga bukan pengangguran!" Desire menunjuk layar komputer tabletnya yang kembali menyala. "Ravel enggak begitu aja jadi anak yang pintar, aktif, dan cepat tanggap. Dia diajarin dan diperhatikan. Selama ini, Lyre selalu bisa ngisi kekosongan kamu selama proses pengasuhan Ravel, sekarang saatnya kamu juga gantian."
Kagendra berdecak, memeriksa kembali file-file tersebut, membacanya dengan seksama. "Tapi tetap aja kamu yang harus belanja, terus gimana kalau snacknya perlu diolah? Soal alerginya? Dia enggak-"
"Ada satu cara brilian sebenarnya," potong Desire. Ia sudah memikirkan rencana ini sejak semalam.
"Satu cara?"
Desire mengangguk. "Ravel cocok sama masakannya Tante Yaya, iya 'kan?"
Kagendra seketika menggeleng, sadar maksud Desire mengungkit hal itu. "Enggak!"
"Harus, Ka!" tegas Desire.
"Kalau dikasih aku akan menerima, tapi kalau harus minta ... no way!" tolak Kagendra, tidak sudi.
"Ya udah, urus aja sendiri kalau gi-"
"Kamu sengaja, iya 'kan? Kamu sengaja bikin-bikin ginian supaya aku minta tolong ke mereka." Kagendra meletakkan komputer tablet itu di sampingnya dan memutuskan, "Ravel enggak usah ngapa-ngapain, ini juga waktunya liburan, biar dia bebas main aja."
Desire menanggapi santai. "Itu file yang bikin Lyre, hasil diskusinya sama Sus Emy dan terserah ya ... nanti kalau Lyre bangun terus tahu Ravel enggak diurusin dengan semestinya. Kamu ya ngaku kalau sengaja ngebebasin."
Kagendra menelan ludah, ada rasa khawatir yang mendadak menyerangnya. Ia tidak mau dinilai sebagai ayah yang payah.
"Ke Ravel juga, kalau nanti atau besok dia nanya belajar apa ... kamu ya jawab enggak belajar dan begitu dia rewel, cranky, kamu yang urus." Desire kemudian menambahkan satu ultimatum paling meyakinkan untuk mengusik kakak sepupunya. "Dan waktu pulang ke Jakarta, saatnya Ravel sekolah terus ternyata ada kemunduran signifikan dalam proses pembelajaran ... kamu juga yang terima akibatnya. Saat diasuh Lyre, Ravel selalu berprestasi, giliran diasuh kamu malah-"
"Haish!" sela Kagendra sebal, menatap tajam pada adik sepupunya.
"Kamu pikir aku takut? Aku bukan Lyre yang kalau kamu masang muka begitu terus defensif ... lagian aku ngomong yang sebenarnya. You have to face this situation carefully."
"Papa ..." terdengar suara panggilan Ravel, anak itu ada di gendongan Waffa ketika kembali memasuki ruang duduk. "Vel dibeliin buku warna, ada gambar Dilopho yang punya sirip kepala."
"Wahh, coba Tante Dede lihat," pinta Desire dengan antusias, sengaja beralih pada keponakannya.
Waffa menurunkan Ravel di samping tunangannya itu, menahan kagum karena informasi seputar Dilophosaurus dan warna apa saja yang sesuai untuk hewan purba tersebut.
"Vel hari ini belajarnya mewarnai, ya?" tanya Desire, melancarkan aksi pamungkasnya, untuk lebih menyadarkan Kagendra.
"Iya, kalau besok baru pakai flashcard. Mama bilang udah siapin yang topiknya transportation."
Desire mengangguk-angguk. "Karena Mama lagi sakit, berarti besok Vel belajarnya sama Papa dong?"
"Papa, bisa?" tanya Ravel dan langsung menatap sang ayah.
Waffa otomatis tertawa, mengusap kepala Ravel. "Papa emang meragukan banget ya, Vel?"
"Pfftt!" Desire sengaja berlagak menahan tawa, memberi tatapan mengejek.
Sial! Batin Kagendra, tidak ada yang boleh meremehkannya dalam hal apa pun! "Papa bisa dong, selama Mama sakit, Ravel belajar sama Papa ya."
"Oke. Kata Mama karena liburan, boleh lebih lama mainnya, tapi tetap harus belajar ... soalnya nanti masuk sekolah lagi."
"Aduh, pinter banget emang anaknya Mama Lyre ini, cium sayang dulu!" puji Desire penuh kebanggaan, merangkul dan mencium-cium kepala keponakannya.
Sialan! Omel Kagendra dalam hati karena sadar Desire mengatakan itu hanya untuk mengusiknya.
***
"Ndra ... ini baju ganti buat nanti sore sama besok pagi," kata Soraya sewaktu datang, membawa travel bag berisi beberapa stel pakaian. "Terus ini, Mama bawa laundry bag, baju kotor tadi pagi sama nanti sore masukin sini ya... biar nanti malam, Mama bawa pulang lagi."
Kagendra mengangguk, menerima travel bag tersebut lalu memindahkan isinya ke lemari. Ia mengerjapkan mata karena sadar ada barang baru yang ditambahkan; selimut bermotif dinosaurus, kaus kaki yang lebih tebal, dan sandal karet anak.
"Ma ... ini," ucap Kagendra saat menunjukannya.
"Oh, iya, buat Ravel. Dia cuma bawa sepatu sama sepatu sandal. Itu anti slip kok, buat ke kamar mandi juga bisa, ukurannya Mama samakan dengan sepatunya." Soraya kemudian memperhatikan balita yang teralihkan karena kedatangannya.
"Halo, Oma Yaya..." sapa Ravel dan langsung mendekat.
"Halo, Ravel," balas Soraya, otomatis mengulurkan tangan dan sang cucu menyambut untuk menciumnya lembut.
"Terima kasih buat sarapannya tadi pagi. Vel habiskan semuanya!"
Soraya mengangguk, tadi pagi memang meminta sopirnya mengantar sarapan untuk Kagendra dan Ravel. Ia senang karena menerima rantang-rantang kosong saat sopirnya kembali ke rumah.
"Maaf ya, jadinya ngerepotin Tante," ujar Desire yang menyusul untuk mencium tangan Soraya.
"Enggak kok, sekalian masaknya."
"Masakannya Oma Yaya enak! Bagus wortelnya bintang-bintang ... kalau Mama bikinnya kotak-kotak aja."
Senyum Soraya melebar. "Ah, iya ... Oma mau jenguk dan lap Mamanya Ravel dulu."
"Lap?" tanya Kagendra.
"Iya, tadi Papa bilang kalau udah boleh dilap badannya Lyre. Sebentar ya." Soraya kemudian beranjak ke ruang rawat putrinya.
Ravel hendak mengikuti namun teralihkan sandal di tangan Kagendra. "Papa, itu sandalnya siapa? Bentuknya Dino."
"Buat Ravel, dari Oma Yaya."
Sepasang mata Ravel membulat, segera duduk untuk melepas sepatu sandalnya. "Vel mau coba."
"Nih," ucap Kagendra, meletakkan sandal tersebut dan segera dipakai anaknya. Terlihat pas sekaligus nyaman ketika Ravel berjalan mondar-mandir.
"Gemes banget," puji Desire.
"Iya, Vel harus bilang terima kasih," kata Ravel dan bergegas menyusul Soraya, tidak lama terdengar suara Ravel berterima kasih dengan nada ceria, jelas senang punya sandal baru.
"Benar-benar anaknya Lyre," ungkap Desire.
"Anakku tahu!"
"Ravel jelas tahu terima kasih karena diajarin Lyre, ya." Desire sebenarnya geram dengan sikap kakak sepupunya, sangat tidak bisa dicontoh. "Kamu boro-boro berterima kasih, salim ke Tante Yaya aja enggak! Kayak enggak pernah diajarin manner ke orang tua."
"Ck!" Kagendra tidak melakukannya karena memang tidak terbiasa.
"Awas aja kalau kamu sikapnya makin ngaco! Aku ikut Waffa pulang ke Jakarta, biar aja kamu-"
"Iya! Iya! Ck, bawel banget kamu," gerutu Kagendra dan melanjutkan kegiatannya menata pakaian di lemari.
"Mama bilang, sebagaimana Lyre selalu hormat ke Papi dan Mama ... kamu juga harus mengusahakan hal yang sama ke orang tuanya," ucap Desire lalu beralih pada Ravel, mengajaknya kembali ke ruang duduk untuk menyelesaikan proses mewarnai.
***
"Oh!" sebut Soraya tatkala selesai merapikan gaun perawatan baru untuk putrinya dan memperhatikan kantong urin di samping ranjang sudah kosong.
Suster yang membantu Soraya memberi tahu, "Pak Kagendra yang mengurus, saya udah bilang biar saya aja sekalian waktu ganti kateter. Tapi katanya, Bu Lyre enggak suka kalau urusan pribadinya sama orang asing."
Soraya mengangguk, putrinya memang cukup sensitif. "Ya sudah, biarkan saja kalau Kagendra bisa," ujarnya lalu merapikan selimut sang putri. "Papanya Lyre sudah jenguk ke sini?"
"Belum, baru dr. Atiana aja tadi pagi."
"Ravel rewel enggak semalam?"
"Enggak serewel yang pas baru datang itu. Bangunnya juga pagi, saya cek infus setengah tujuh sudah rapi selesai mandi. Pintar lho, Bu Yaya ... selesai sarapan 'kan dibawa keluar ruangan sama Omnya, saya tanyain nama, udah sekolah belum, belajar apa saja, dia langsung jawab."
Soraya tersenyum senang. "Iya, anaknya juga mulai ceria lagi, syukurlah."
"Iya, dari tadi dengar suara tawanya, renyah banget ... semoga Bu Lyre segera bangun. Ravel pasti udah kangen."
"Iya." Soraya mengelus-elus tangan putrinya sejenak, memperhatikan posisi kursi tunggu yang berpindah. "Kursi tunggunya jadi di sebelah kanan."
"Iya, Pak Kagendra yang pindahin, semalam tidurnya duduk di situ..."
"Tidurnya duduk? Enggak temani Ravel di tempat tidur penunggu?"
Suster memelankan suaranya. "Sama dr. Atiana udah dibilang kalau nanti kondisi Bu Lyre menurun, ada sensor yang bakal menyala dan kami di ruang suster akan tahu ... tapi Pak Kagendra bilang enggak apa-apa, katanya dia lebih tenang kalau nungguin langsung."
"Oohh."
Suster tersenyum takjub. "Pak Kagendra pasti cinta banget sama Bu Lyre, ya?"
Soraya menanggapi itu dengan balas tersenyum juga. Ia memang berharap setiap perasaan sang putri terhadap Kagendra berbalas dengan rasa cinta yang sepadan. "Ya sudah, terima kasih bantuannya ya, Sus..."
"Iya, Bu." Suster kemudian mengangguk, beralih membawa trolley perlengkapan keluar dari ruang rawat.
Soraya memperhatikan dari sela pintu geser yang tidak sepenuhnya menutup. Kagendra tengah membujuk Ravel, anak itu rupanya merengek karena ingin ikut Desire dan Waffa membeli makan siang.
"Papa sendirian dong kalau Ravel ikut Tante Dede. Papa mau ditemenin..."
"Inget umur, Ka!" geram Desire.
Soraya paham alasan Kagendra enggan ditinggal sendirian. Menantunya itu canggung, berusaha tetap seperlunya dan menjaga jarak sejak mereka bertemu lagi. Adanya Ravel memang membuat interaksi mereka semakin mudah.
"Mau ikuuuttt..." isak Ravel, kedua tangannya menggapai-gapai ke arah Waffa.
"Ndra, lo nih udah nangis gini," kata Waffa dan balas mengulurkan tangan, mengambil alih Ravel.
"Ndra, kalau kamu mau ikut makan di luar, biar Mama yang tunggu Lyre," ujar Soraya yang berjalan ke ruang duduk.
Kagendra menggeleng, tidak mau meninggalkan Lyre. "Enggak, Ma."
"Oma Yaya bisa temani Papa biar enggak sendirian tunggu Mama," ucap Ravel dengan raut polos.
Desire menggumamkan 'yes!' dan segera menimbrungi ide brilian keponakannya. "Lho, iya! Lagian Papa, kenapa penakut banget sih, ya?"
P... Penakut?
Kagendra nyaris melotot maksimal karena sebutan itu. Jika bukan karena adanya Ravel, dia pasti sudah mengomeli adik sepupunya itu karena bicara sembarangan.
"Oma Yaya, mau ya, temani Papa?" ujar Ravel dan menatap Soraya penuh harap.
"Iya, Ravel maem yang banyak ya." Soraya tersenyum agar cucunya lebih tenang.
"Iya, mau beli susu juga," kata Ravel dan segera melambaikan tangan.
Kagendra menghela napas panjang, balas melambaikan tangan dan seiring anaknya berlalu pergi, segera mengupayakan setiap ketenangan yang bisa didapatnya.
"Tadi Ravel bilang mau beli susu ... bakal butuh gelas sama sendok buat aduk kalau bikin, ya?"
"Biar beli yang kemasan aja."
"Kemasan?"
"Iya, ada yang kemasan sekali minum." Kagendra mengeluarkan ponsel untuk memeriksa. "Ng, kayak gini susunya Ravel."
Soraya memperhatikan, sadar itu bukan susu tumbuh kembang biasa. Produk impor dari Jerman, susu organik, Non-GMO, khusus anak diatas usia tiga tahun. "Harus merk itu ya?"
"Iya kalau kemasan. Tapi seringnya kalau di rumah pakai susu segar ... Lyre sendiri yang olah biar enggak amis atau terlalu encer. Ravel kalau terlalu encer enggak mau, masih kental juga repot, bisa muntah."
"Muntah?"
"Iya." Kagendra tidak menutupi bahwa kondisi yang diturunkan pada Ravel memang tidak biasa. Ia beralih duduk, mengambil komputer tablet Desire. "Ma ... ada yang mau saya bicarakan terkait keadaan Ravel."
Soraya mengangguk, segera duduk di kursi yang berseberangan dengan menantunya. "Kenapa, Ndra?"
"Selama ini Lyre bikin semacam jadwal dan program buat Ravel, lumayan rumit. Yang diurus juga bukan sekadar kepentingan sekolahnya aja, tapi termasuk gizi makanan-snacking time, daily activity apa saja yang harus dibiasakan ke Ravel." Kagendra menyodorkan komputer tablet Desire.
Soraya menerimanya lalu memeriksa dan merasa cukup familiar dengan setiap rincian program itu. Dirinya dulu juga totalitas seperti ini. "Lyre yang buat ini, Ndra?"
"Iya, dia yang selama ini aktif konsultasi. Susternya Ravel juga salah satu spesialis untuk Montessori activity."
Soraya bisa melihatnya, familiar dengan setiap task dan metodologi pembelajaran. "Ravel enggak ada kesulitan mengikuti semua ini, 'kan?"
"Enggak, dia selalu antusias kalau ada task baru. Dia cukup aktif dan memang dibiasakan berkegiatan, enggak ada masalah juga untuk adaptasi dan sosialisasi. Hanya soal makanan."
"Makanan?"
"Ravel cukup picky. Dia enggak bisa makan makanan kalengan, sama sekali. Enggak bisa makan masakan yang dipanaskan berulang. Ada alergi kerang, segala jenis kerang. Seafood lain harus diolah bersih, tanpa duri, enggak boleh amis. Tuna dan salmon hanya makan grade wildcaught. Daging sapi harus giling halus atau dibikin sosis. Daging ayam tanpa kulit, daging bagian dada, enggak bisa kepala, apalagi cekernya. Ravel juga enggak bisa makan jeroan. Kerupuk juga enggak bisa, dia batuk nanti."
Soraya mengerjapkan mata. "Kok bisa, ya? Lyre dulu gampang banget makannya lho."
"Uhm itu ..." Kagendra ragu untuk mengaku bahwa kondisi itu turunan darinya.
"Oh!" Soraya tersadar sendiri. "Kamu ya, Ndra? Yang picky soal makanan?"
Kagendra mengangguk lambat. "Uhm ya, intinya sehubungan dengan itu ... dan karena Ravel cocok sama makanan dari Mama, maka kalau Mama bersedia untuk mengurusnya, itu akan sangat membantu."
Soraya menatap ke layar komputer tablet di tangannya. "Dia snacking dua kali sehari ya, berarti bikin buat sore ini."
"Di rumah Lyre biasanya bikin cookies, pie, roasted nuts, dimsum, atau bikin lolipop dari jus buah. Dia juga sering bikin DinoJelly, atau celupin buah potong ke coklat leleh." Kagendra mengingat beberapa snack anaknya.
"Mama memang bisa mengurus makanannya Ravel."
Kagendra mengangguk dan segera merogoh saku celana, mengeluarkan dompet, menarik salah satu kartu debitnya. "Mama enggak perlu khawatir tentang pengeluaran tambahan karena menyiapkan makanan Ravel, saya bisa membayar semua-"
"Apakah di mata kamu, kami ini terlihat seperti orang tua yang perhitungan? Orang tua yang standar perhatiannya transaksional dengan nominal uang?" Soraya menyela, memberi tatapan lekat pada menantunya.
Kagendra segera sadar telah salah bicara. "Maksud saya bukan begitu, tapi ini hanya-"
"Seorang anak mengatakan tolong kepada orang tuanya, bukan suatu yang hina atau rendah. Begitu juga dengan mengatakan maaf, ketika sadar telah salah berucap atau kelewatan bertindak." Soraya memberi tahu dan meletakkan komputer tablet tersebut ke meja. "Kirimkan file ini ke nomor ponsel Mama."
Kagendra mengangguk, segera melakukannya dan ketika Soraya beranjak untuk memeriksa notifikasi chat yang masuk, ia berujar cepat. "Maaf, kalau saya merepotkan dan tentang hal ini, tolong Mama bersedia menerimanya."
Soraya menoleh, menatap kartu yang Kagendra sodorkan. "Mama punya dua kartu yang seperti itu, menerima satu lagi hanya menuh-menuhin dompet ... lagipula, Mama menyiapkan makanan untuk cucu Mama sendiri, karenanya kamu sebaiknya juga bersikap santai saja."
Kagendra menelan ludah sewaktu mama mertuanya berlalu pergi, memeriksa ke dalam tas tangan untuk mengeluarkan ponsel.
"Ternyata kamu memang punya nomor ponsel Mama, ya," ujar Soraya pelan sambil berjalan keluar ruangan untuk melakukan panggilan telepon.
Kagendra memang memilikinya, nomor ponsel mertuanya. Yang tidak dia miliki hanya keberanian untuk menghubungi dan usaha untuk memperbaiki hubungan dengan mereka.
Kagendra menarik napas panjang, meletakkan kartu debitnya di meja dan bersandar untuk memejamkan mata.
"Papa kamu minta kamu dipulangkan dulu! Aku menolaknya! Siapa yang bisa menjamin kalau dia enggak akan melarikan kamu? Papi bisa makin marah sama aku kalau sampai kejadian begitu! Apalagi setelah lihat hasil Tes DNA ... bisa-bisanya 98% probabilitas!"
"Ini memang anak kamu!"
"Untuk sementara anggap aja gitu. Lahir nanti baru tes DNA ulang. Aku yang akan ambil sample dan tunjuk sendiri lembaganya! Yang lebih kredibel."
"Apa maksudnya?"
"Keluarga kamu dokter lintas generasi, kamu sendiri ada basic pendidikan medis ... kamu tahu hal-hal yang diperlukan untuk mengelabuhi hasil paternitas."
"Mengelabuhi? Aku enggak kurang kerjaan. Aku juga enggak mengada-ada, hanya kamu yang punya potensi menghadirkan anak ini bersamaku."
"Ck! Udahlah, aku capek! Lusa kalau Papa kamu enggak mau kirim berkas-berkasmu, biar diurus pengacara aja untuk dapat legalitas pernikahan."
"Tapi kalau aku menikah, itu harus Papaku yang-"
"Kamu jangan serakah bisa enggak? Aku udah ngalah ya, nurutin Papiku untuk menikahi kamu, mengamankan masa depan anak di perut kamu itu ... Papiku udah anggap dia itu cucunya, kalau kamu mau balik ke Papamu, ya sana! Tapi tinggalin anak itu!"
Kagendra membuka mata, kilasan masa lalunya terkait hubungan dengan orang tua Lyre masih terbayang dengan jelas. Dahulu usai dirinya meneriakkan kalimat itu, Lyre tidak lagi menanggapinya, langsung beranjak pergi. Mereka saling menghindar di hari-hari berikutnya, sampai saat sebelum pernikahan.
"Aku enggak akan serakah terhadap apa pun lagi ... tapi berjanjilah, begitu mengetahui kebenaran tentang anak ini, berikan semuanya, setiap kebaikan, kasih sayang dan perhatian kamu kepadanya."
"Kenapa memangnya?"
"Karena bayiku berhak atas semua itu ... dan hanya dengan itu yang membuatku bersedia bertahan, terus bersamamu."
Kagendra kembali memejamkan mata, menahan luapan kesedihan yang mendadak memenuhi benaknya. Ia geleng-geleng kepala, meyakinkan diri bahwa masa itu sudah lama berlalu.
"Enggak, enggak ... aku memenuhi tugasku. Aku ayah yang baik untuk Ravel." Kagendra mengafirmasi dirinya sendiri.
Tidak lama ia begitu saja beranjak, memasuki ruang rawat dan menggenggam tangan kanan Lyre yang sehat. Kagendra mengatur napas sembari mencium bagian telapak tangan sang istri, memastikan ada kehangatan di sana.
"Re ... please ... wake up for me," pintanya dengan kesungguhan.
Kagendra berusaha setegar mungkin menerima kenyataan atas keheningan panjang yang menyadarkan, bahwa ada jenis penantian yang efeknya sesakit ini.
[ to be continued ]
🌃
Ini masih tokoh lelaki yang sama, yang di awal-awal bab bilang: Pasangan bisa diganti. WAKAKAKAKAKAKAKAKAA
Keberuntungan Kagendra seumur hidup jelas kepake semua saat Lyre mau sama dia ... wakakakaka di dunia nyata, mana ada babi kampret kayak dia dapet spek bidadari.
.
Q: Ravel gumush banget, dia kira-kira kecewa enggak ya kalau tahu Papanya kampret ke Mamanya?
A: Ya elah, perkara sebutan makanan kotor, kaleng jelek aja dia nangis coyy ... sedih. Apalagi tahu Papanya kampret ke Mamanya. Lyre tuh emang nolong buanyak hal soal Kagendra, termasuk pencitraan sempurna depan anak.
Q: Sampai Bab ini masih enggak paham, kenapa Lyre mau sama Kagendra.
A: Awalnya dia coba-coba, lha kok mantap, ya udah akhirnya keterusan ... lhooo~
Q: Ini terus kasus cerainya gimana?
A: Sabar, Bestie ... biar Mama Lyre sadar dulu. Tapi ya, karena udah begini, Kagendra pasti nganu 🙅🏻
.
Edisi Kaka-Dede 🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top