11. | Camping: The last day

Hallo, Onty-Ongkel  ...
masih aman 'kan ya tensinya? Sudah ada peningkatan tingkat kesabaran? Yang semula setipis tissue bagi tujuh, sekarang jadi setebal buku? pfftt

.

3.125 kata untuk bab ini
terima kasih untuk yang selalu tinggalin komentar, selalu vote, mau ngeshare & rekomendasi cerita ini ke yang lain ...
I love you pull ❤️‍🔥

.

pertama-tama, tarik napas dulu, tahan lima detik, embuskan perlahan ... selamat membaca & semoga suka~

🌟

11. | Camping: The last day

"Beneran Lyre Sagitta, cantik banget, sumpah!"

Kagendra berhenti berlari, merapatkan penutup kepala yang menyambung ke running jacketnya ketika melewati area restoran utama. Pada pukul tujuh lima belas pagi, udara masih agak lembab, namun kabut sudah menghilang dan sinar matahari yang muncul membuatnya merasa cukup hangat untuk berlari pagi. Tanpa kesibukan kerja, ia butuh olah raga untuk mengalihkan perhatian dari Lyre.

"Enggak kelihatan punya anak, ya? Mana udah agak gede anaknya."

"Dia dulu enggak lanjut season dua Dari Putih Biru ke Putih Abu-abu karena isunya hamil duluan. Suaminya itu anak konglomerat terkenal sejak tahun 50'an, proyek-proyek pemerintah banyak yang jatuh ke perusahaan mereka."

Kagendra melambatkan langkah, para penggosip itu membicarakan dirinya juga.

"Pantesan langsung enggak ada beritanya, padahal Lyre Sagitta lagi booming ... bagus lagi aktingnya, rebelnya tuh khas anak-anak pemberontak, masa pencarian jati diri, makanya seriesnya sukses karena relate."

"Lakinya ketus banget, lihat enggak kemarin pas nyamperin sama anaknya, mukanya suram banget, padahal cuma minta foto doang. Dih! Gue dulu shipper Lyre-Imba."

Imba? Ulang Kagendra dalam pikirannya. Siapa pula keparat yang dibicarakan itu, merusak moodnya saja.

"Imba, Ibrahim Sambara Johrie? Emang ganteng bangeeett ... mana lucu ada lesung pipitnya. Kalau mereka yang jadi, anaknya pasti Arab ganteng-manis gitu ya?"

"Anaknya kemarin ganteng juga, lucu digondrongin rambutnya, cuma bapaknya suram amat. Tua lagi."

Tua? Sebut Kagendra dalam hati, merasa muram seketika. Ia dan Lyre hanya beda usia enam tahun. Mereka sangat serasi, beda tinggi dan berat badan juga sepadan. Kagendra selalu menjaga penampilan, memastikan dirinya tampan di segala situasi, terutama ketika bersama istrinya.

"Coba kalau Lyre enggak ngilang dan nerusin series itu, pasti udah sebesar Marina Yajna atau Coleentia Teja. Apes amat ya nasibnya Lyre, semoga enggak dijebak deh."

Dijebak? Kagendra seketika mendelik. Itu tuduhan yang sangat keterlaluan.

"Kecuali Lyre emang mata duitan, dia 'kan lulus SMA langsung ke Jakarta jadi artis, enggak ada pendidikan lanjutan ... wajar kalau targetnya konglomerat."

Tidak bisa dibiarkan!

"Istri saya bahkan punya kualitas sebagai calon dokter ya! Dia juga lulusan Entrepreneur Bussiness Communication, punya bisnis untuk diurus, makanya enggak tertarik balik ke entertain yang kebanyakan jual sensasi, gosip murahan, atau isu yang enggak ada dasarnya!" Kagendra membuka penutup kepalanya dan memastikan tiga perempuan yang bergosip itu mengenali siapa dirinya. "Anak saya paling ganteng dan lucu sedunia. Saya juga enggak terlalu tua buat Lyre!"

Setelah mengatakan semua itu, Kagendra langsung kembali berlari. Sialan! Dia akan memastikan Fran membeli kawasan ini, lalu mengubahnya menjadi area konservasi atau alih fungsi hutan lindung saja.

***

"Papa..." panggil Ravel semangat.

Di depan area penginapan mereka sudah terlihat jeep yang akan digunakan untuk lava tour. Kagendra seketika melupakan kekesalan, ganti tersenyum memperhatikan penampilan anaknya. Lyre memakaikan jaket kulit dipadu jeans biru dan sepatu boots warna cokelat. Ravel juga memakai penutup kepala berbahan benang rajut yang warnanya senada, ditambah kacamata hitam.

"Keren banget anaknya Papa," puji Kagendra.

"Topinya Mama bikin," sebut Ravel senang lalu menunjukkan sisi bagian belakang. "Ada inisial namanya aku lho, Hayavela Asianda Papanda."

Kagendra tertawa pelan. Saat kecil dulu dirinya juga sulit melafalkan nama sendiri, bahkan tersiksa mengejanya ketika materi spelling di kelas bahasa Inggris. "Kharavela Arsyanendra Pradipandya ... kalau Papa nama panjangnya siapa?"

"Kaganda Aisside Papanda!"

"Kagendra Aristide Pradipandya."

Ravel menghela napas. "Aku makanya panggil Papa aja, enggak panggil nama, soalnya susah."

Ucapan itu membuat Kagendra seketika meraup anaknya, tertawa gembira. Ravel memang menggemaskan. "Lucu, lucu, lucuuu banget ... anakku!"

"Aaaa udaah..." teriak Ravel karena hidungnya diciumi dengan membabi buta.

"Kalau Mama, nama panjangnya siapa?"

"Saitta Lyre Ka—"

"Enggak-enggak," ralat Kagendra cepat. "Sagitta Lyre Pradipandya."

Sepasang mata Ravel membulat. "Ng, tapi—"

"Mas Ndra ..." panggil Lyre pelan, mengalihkan perhatian suami dan anaknya itu. Ia memberi tahu, "Ini harus cek jeepnya dulu sebelum dipakai, karena enggak pakai sopir sini juga harus tes dulu mengemudi dua kali muterin kawasan ini."

"Oke. Aku pakai jaket yang kembar sama Ravel? Nanti buat foto bareng."

Lyre mengangguk. "Iya, udah siap di dalam."

Sambil menunggu Kagendra mandi dan bersiap lava tour. Lyre mengajak Ravel berjalan-jalan sebentar, memberi makan rusa dan kembali memperhatikan zona kelinci. Ia mengambil beberapa foto Ravel, mengirimkannya pada Desire. Usai berfoto-foto bersama, Lyre ganti membuka fitur perekam video dan bertanya, "Vel, kemarin dikasih tahu apa sama Papa soal kelinci?"

"Mamalia!"

"Kenapa disebut Mamalia?"

"Karena melahirkan, terus tubuhnya berbulu dan punya telinga. Kelinci makannya sayuran, aku lagi kasih kangkung, yang kemarin wortel."

Lyre tersenyum senang. "Buku ceritanya Ravel ada juga yang cerita tentang kelinci ya?"

"Ada tiga! Peter Rabbit."

"Kelinci ada warna apa aja? Say it in English, please."

"White, brown, black, and mixed! Itu maksudnya warna campuran... terus kelinci kalau masih anak, telinganya belum tegak sama belum panjang, kayak itu," Ravel langsung menunjuk hewan yang dimaksud.

"Pinternya, besok di sekolah Ravel bisa cerita juga ya."

"Iya."

"Ravel senang enggak liburan kali ini?"

"Senang, bisa naik kuda, lihat rusa, kasih makan hewan sama tidurnya bertiga, tapi maunya Vel di tengah bukan Papa," ujar Ravel dengan cemberut, membuat Lyre meringis.

"Papa soalnya suka dipeluk Ravel sama Mama, makanya tidurnya di tengah." Lyre kemudian mengulurkan tangan, mengusap pipi anaknya. "Ng, habis pulang dari sini, Papa udah ditungguin sama Om Fran sama Om Waffa. Ada pekerjaan, katanya tiga hari sama enam hari."

Ravel seketika cemberut, tidak menutupi rasa sedih karena belum puas menghabiskan waktu bersama orang tuanya. Ini libur panjang sekolahnya. "Enggak mau pulang, Mama."

"Papa harus kerja supaya Ravel bisa sekolah, bisa liburan kayak gini lagi dan karena Opa masih sakit, Papa juga lebih lama kerjanya." Lyre memang sebisa mungkin memberi tahu sejak awal tentang kesibukan Kagendra. Agar Ravel lebih mudah memahaminya. "Ravel di rumah sama Mama, ya?"

Lyre sebisa mungkin menyeimbangkan diri karena sang anak langsung memeluknya. "Sayang..." panggil Lyre lembut, menyimpan ponsel agar leluasa membalas pelukan dan menggendong anaknya.

***

Kagendra mendengar obrolan istri dan anaknya. Dari tempatnya berdiri juga cukup jelas bisa melihat raut sedih Ravel, sekaligus ekspresi wajah tenang Lyre, berusaha memberi pengertian lagi.

Saat ini mereka bahkan belum sampai pada fase sepenuhnya tinggal terpisah, batin Kagendra lalu mundur ke samping mobil jeep dan berlagak memanggil, "Re... ini kuncinya di mana?"

Lyre memutar tubuhnya. "Masih di mobil, Mas."

"Oke, aku cek sama test drive sekarang ... Ravel tunggu Papa, ya," ujar Kagendra sebisa mungkin pura-pura tidak menyadari raut sedih yang masih tersisa di wajah sang anak.

"Iya," kata Ravel.

Kagendra menaiki jeep, menyalakan mesin kemudian sekilas melambaikan tangan saat mengemudikannya. Begitu cukup jauh, ia langsung menghubungi Waffa.

"Panggilan ini senilai dua puluh juta rupiah, apabila—"

"Lo masih butuh restu gue buat nikahin Dede enggak?"

Ultimatum yang seketika membuat Waffa meralat sapaan, "Selamat pagi, ada yang bisa dibantu, Bapak Kagendra yang terhormat?"

"Mendadak gue galau banget, Fa!"

"Galau kenapa? Sensasi bercinta di situ lebih hot?"

"Setan! Bukan itu ... gue dengar Lyre ngasih tahu Ravel, soal gue besok berangkat kerja. Ravel langsung nangis! Ini bahkan kami belum pisah rumah, belum tinggal sendiri-sendiri, gimana nanti—"

"Tunggu! Ravel bukannya udah terbiasa lo tinggal, Ndra."

"Gue pikir juga gitu, setiap gue pamitin selalu manis banget; Papa kerjanya hati-hati ya. Papa nanti malam Vel ditelepon ya. Papa aku udah bilang Om Fran, minta oleh-oleh apa." Kagendra mengulang beberapa kalimat yang kerap Ravel ucapkan kepadanya. "Kalau dia nangis sampai rewel, itu selalu karena gue yang overstay, bukan karena tahu gue harus berangkat kerja kayak barusan gue lihat."

"Nangisnya parah, Ndra?"

"Enggak terlalu, tapi gue tahu dia sedih banget."

"Lyre selama ini enggak pernah ngomongin ke elo?"

"Seperti yang lo tahu juga, gue selalu tahunya urusan apapun itu soal Ravel beres. Ya sekolah, ya di rumah, les atau apa pun." Kagendra mendadak cemas sendiri. "Ini, Lyre enggak bermaksud menguasai Ravel sendiri 'kan. Fa?"

"Menguasai gimana?"

"Ya, gimana kalau Lyre udah lama bikin persiapan begini! Sengaja ngeberesin semua hal soal Ravel, biar pas hidup terpisah nanti Ravel lebih bergantung ke dia daripada gue?"

"Ndra, yang punya ide cerai tuh elo dan udah umum juga anak lebih bergantung ke ibunya! Lo sama gue pengecualian karena entah ibu gue sama mami lo ada di mana."

"Kampret! Ini kalau gue ngotot soal hak asuh, bisa—"

"Jangan ngaco deh!" Waffa segera menegaskan sebelum Kagendra berminat dengan ide mengerikan itu. "Lo mintanya cerai ya, bukan ngehancurin hidupnya Lyre."

Kagendra menghela napas panjang, menenangkan diri. "Gue khawatir kalau nanti Ravel dijauhin dari gue."

"Kalau Lyre mau ngejauhin Ravel dari elo, dia enggak akan ngaku hamil anak lo sejak awal, Babi! Dia enggak bakal mau bertahan hampir lima tahun hidup sama lo."

"Ck!" decak Kagendra, omongan Waffa terlalu telak.

"Ngomong-ngomong gue udah dapat bocoran nih, jadwal mediasi pertama kalian."

Kagendra mendadak menginjak rem kuat-kuat, begitu saja berhenti. "Kapan, Fa?"

"Minggu depan, Ndra ... lo sama Lyre jawabnya jangan ngaco lagi. Petugasnya sampai bolak-balik memastikan keseriusan."

"Ngaco gimana? Kata lo harus jujur!"

"Iya, jujur! Tapi sialan, lo sama Lyre tuh minimal harus ada di posisi yang bersebrangan gitu lho ... apalagi yang sesi besok, kalian dipanggil bareng, lawak kalau suasananya masih mesra aja."

"Gue sama Lyre mesra?"

"Ya mana ada mau urus cerai, paginya masih ML dulu!"

"Lyre lebih suka main pagi jadi sekalian mandinya, sebagai suami yang baik, gue nurut doang."

"Suami yang baik enggak ngomongin cerai ya, Babi."

Kagendra menyerigai. "Khusus di bagian ML itu, gue suami terbaik itungannya."

"Babi mesum! Ngomong-ngomong, agenda lo yang ke Flores itu limpahin aja ke Hakken, terus yang ke Riau tiga hari biar Fran berangkat sama Mama, itu project terakhirnya mendiang Om Danu ... biar Mama yang peresmian." Waffa memberi ide sebelum menambahkan. "Dengan begini lo bisa lebih konsen untuk urus mediasi bareng Lyre. Ravel juga enggak tiba-tiba habis diajak liburan, besoknya ditinggal lama."

"Mediasi bareng yang ditanyain kayak kemarin?"

"Bisa lebih kompleks lagi, masing-masing dari kalian minimal kudu bisa nyebutin kekurangan pasangan, yang memperkuat gugatan itu ... dan supaya hak asuh jatuh ke Lyre, dia juga harus bisa membuktikan beberapa kealpaan lo, poin-poin yang enggak memungkinkan lo untuk dapat hak asuh."

"Harus sampai gitu?"

"Iyalah! Lo baca enggak sih, contoh kasus-kasus yang udah gue kirim buat referensi dasar gugatan?"

"Baca, tapi mereka kasusnya perselingkuhan, KDRT, penelantaran, perseteruan, sampai penipuan finansial. Gue enggak melakukan semua itu, gue cuma mau cerai aja, udah."

"Makanya gue bilang lebih gampang kalau Lyre enggak hadir, nanti bisa diputus verstek, lebih cepat juga."

Kagendra berdecak. Tidak mau melakukan itu. Ia harus menghadapi secara langsung bagaimana Lyre akan membuka fakta, mengutarakan beberapa hal terkait pernikahan mereka. Kagendra harus memastikan dengan mata kepala sekaligus telinganya sendiri.

"Ndra..." panggil Waffa karena belum ditanggapi.

"Lo bilang Mama, soal ide lo tadi," kata Kagendra.

"Mama belum buka blokir nomor lo?"

"Sampai email gue juga diblokir, kata Dede kalau mau dibuka harus cabut gugatan dulu."

"Tapi kalau emang mau nyabut gugatan masih memungkin—"

"Ck! Jangan lupa, nanti sore jemput gue!" tandas Kagendra, mematikan sambungan telepon dan kembali menjalankan jeepnya.

***

"Yeaaayyy..." seru Ravel gembira.

Lyre seerat mungkin memegangi sang anak. Kagendra juga berhati-hati keluar jalur off road, semasa muda hobinya mengebut dan balapan liar. Tetapi sekarang, jangankan mengebut, berniat menaikkan kecepatan saja harus pikir-pikir. Lyre meliriknya setiap kali merasa mobil melaju terlalu cepat.

Satu setengah jam terakhir mereka mengikuti kegiatan lava tour, ada pemandu dengan mobil jeep terpisah, bersama beberapa anggota yang mengawasi. Ravel menjerit-jerit kesenangan setiap kali mereka melewati jalur menerobos genangan air atau kawasan lereng gunung yang agak berbatu. Jalurnya tidak sesulit ketika Kagendra dan Waffa dulu touring di Kruger, namun cukup menantang.

"Yeayyy..."

Kagendra menoleh, tersenyum senang. "Seru ya, Vel?"

"Iya, seru! Lihat gunungnya juga besar banget." Ravel kembali mengangkat tongkat kayu dengan sapu tangan Kagendra yang diikat pada ujungnya, membentuk bendera sederhana. "Wiiihhh... beribar!"

"Berkibar," sebut Lyre, membantu mengeja penyebutannya, sampai diulang dengan benar oleh sang anak.

Kagendra mengangguk singkat ketika mobil pemandu mengklakson dua kali. Mereka  berpisah jalur ketika mencapai jalanan utama. Itu karena Lyre mau mencoba salah satu restoran tepi sawah yang katanya sangat direkomendasikan.

"Aku udah matiin kamera belum, ya?" tanya Kagendra.

"Udah," jawab Lyre, sudah memastikan sebelum memasukkan ke dalam tasnya. Mereka mengambil beberapa foto bersama ketika berhenti di spot estetik lereng gunung.

"Wih! Wih, mau terbang!" sebut Ravel sewaktu mengangkat dua tangan, memiringkan tubuhnya untuk merasakan embusan angin.

Lyre menahan dan mendekap sang anak. "Berdirinya yang baik, karena mencondongkan tubuh keluar mobil itu berbahaya. Lihat Papa sama Mama duduknya baik dari tadi."

"Biar terbangnya bagus benderanya, Mama."

"Dalam berkendara yang terpenting adalah ..." Lyre coba memancing pengetahuan sang anak.

"Selamatan!" sahut Ravel.

"Keselamatan, makanya seharusnya Ravel duduk yang baik seperti Papa sama Mama."

"Aaaaa..." suara rajukan Ravel itu membuat Kagendra menahan tawa.

"Biarin aja, orang jalannya sepi," ujar Kagendra untuk menenangkan sang anak. "Lagian emang ini bagian serunya off road."

"Iya! Seru, Mama!" Ravel mengangguk-angguk.

Lyre menghela napas pendek, memeriksa ke peta digital di ponselnya, memberi tahu Kagendra, "Habis tikungan itu ada jalan masuk, Mas ... enggak sampai dua kilo sampai restoran yang ada sawahnya."

"Oke," kata Kagendra dan sesuai arahan istrinya, kemudian menemukan jalan yang dimaksud. Berbeda dari kebanyakan perempuan yang payah membaca peta digital, Lyre selalu bisa diandalkan.

"Vel, lihat jalan di depan itu enggak rata, duduk ya?" pinta Lyre lebih lembut, karena sejak berangkat anaknya sudah langsung berdiri, selama tour juga menolak duduk. Lyre bukannya pegal memegangi, tetapi antusiasme sang anak seharusnya sudah mulai reda. "Benderanya kasih Mama juga, biar nanti enggak lupa."

"Vel enggak lupa!"

"Kalau gitu pegang yang kuat, biar enggak lepas terus ngenain orang di belakang."

Ravel mengerucutkan bibir. "Enggak ada orang di belakang!"

Kagendra meringis geli. "Mama bawel ya, Vel?"

Ucapan itu membuat Ravel mengerjapkan mata, menoleh untuk memeluk kepala sang ibu dan menciumi wajah Lyre berulang kali. "Enggak, Mama cantik."

Kagendra mengerutkan kening, itu sikap yang agak tidak biasa. Lyre juga sadar ada hal baru yang barusan ditunjukkan Ravel.

"Wah, kenapa ini?" tanya Lyre saat sang anak langsung duduk manis di pangkuannya.

"Kalau Papa bilang Mama galak, Mama nyebelin, atau Mama bawel, aku harus bilang Mama cantik terus kasih cium."

Kagendra seketika heran. "Kenapa memang?"

"Biar enggak jadi marah, kata Oma Kikin kalau Papa sama Mama sampai marah nanti adik aku lama jadinya."

Kagendra hampir menginjak rem mendengarnya. "Kapan Oma Kikin ngomong gitu?"

"Tadi pas telepon bareng Tante Dede, Papa masih lari pagi," sebut Ravel, kembali berseru senang karena bendera buatan di tangannya berkibar terkena angin.

"Kamu tahu soal itu?" tanya Kagendra.

Lyre menggeleng. "Aku tinggal mandi tadi."

"Papa sama Mama enggak marah, 'kan?" tanya Ravel sewaktu kembali memperhatikan kedua orang tuanya.

"Mana pernah Papa marah sama Mama," dusta Kagendra lalu melambatkan laju mobil karena bangunan restoran terlihat.

Ravel seketika antusias. "Berarti adik aku mau jadi?"

"Hah?" sebut Kagendra, sama kagetnya dengan Lyre.

"Aku mau adiknya cewek ya, Papa, yang cantik kayak Mama..." ujar Ravel dan membuat ayahnya seketika menginjak rem kuat.

Kagendra melepas sebelah lengannya dari kemudi, menahan Lyre yang langsung mendekap erat Ravel karena hampir terlonjak. Namun alih-alih kaget, anaknya itu justru kesenangan, berpikir Kagendra melakukannya untuk bermain-main.

"Lagi-lagi," sebut Ravel semangat.

Kagendra menoleh pada anaknya yang bersemangat. "Apanya lagi-lagi, kamu mau Papa jantungan?"

"Apaan itu?"

Lyre memutuskan mengalihkan perhatian sang anak. "Vel, itu patung apa yang di tengah sawah, tuh?"

"Kerbau!" seru Ravel dan atusias menyebutkan beberapa hal yang diketahuinya tentang hewan berkaki empat tersebut.

Disela kesibukan Ravel membicarakan kerbau, Lyre melirik suaminya dengan tatapan datar.

Kagendra sadar arti tatapan itu, kembali melajukan mobil dengan perlahan, memarkirkannya sesuai arahan pegawai restoran dan keluar terlebih dahulu. Ia ganti menggendong Ravel sementara Lyre masih merapikan diri, membawa tas tangan dan kamera.

"Mas, jangan diturunin, konsep restorannya open kitchen dan karena tradisional masih pakai tungku. Dia pasti penasaran masuk-masuk," kata Lyre.

Kagendra menurut, mengikuti istrinya berjalan menuju dua pegawai yang seketika menyambut. Salah satunya tampak ramah, membawa mainan baling-baling dari bambu dan kertas, menunjukkannya pada Ravel.

"Mama, Vel mau..." sebut Ravel.

Si pegawai ramah tersenyum, "Gendong dulu sini, biar Papa sama Mamanya pilih maemnya adik juga."

"Re, boleh?" tanya Kagendra, memastikan.

"Iya," jawab Lyre usai diberi tahu keramahan tersebut memang salah satu ciri khas restoran. Semua pegawainya ramah anak, berusaha memudahkan pasangan orang tua untuk menikmati pilihan sajian makanan.

Kagendra menyerahkan Ravel, ganti memperhatikan begitu banyak sajian lauk dan sayur, berbagai gorengan, atau panganan yang jarang dilihatnya. Ia bingung memilih, karena merasa aneh dan tidak tahu mana yang bakal disukainya.

"Re, kamu pesenin aku apa?"

"Pisang goreng kipas, kopi gula aren, makannya nasi gulai ayam pakai acar. Ravel bagi dua aja sama aku, nasi telur dadar pakai pecel pincuk."

"Apaan itu?"

Lyre sejenak meringis, nada suara atau ekspresi ketika Kagendra bertanya sangat mirip Ravel tadi. "Pincuk itu semacam wadah dari daun pisang dibentuk pakai lidi."

"Aneh-aneh aja," ujar Kagendra lalu memperhatikan anaknya tergelak karena digodai beberapa pegawai. "Re, soal yang tadi dibilang Ravel ... soal adiknya udah mau jadi, itu enggak benar 'kan?"

Kagendra mendadak gugup. Namun, Lyre seperti biasanya tampak tenang menanggapi, "Memangnya ada pengaman yang bocor, rusak?"

"Enggak ada!" Kagendra menyebut yakin.

Lyre kemudian mengangguk, berlalu mengambil beberapa potong buah pepaya dan satu kemasan keripik peyek kacang. "Ya sudah, seharusnya aman kalau gitu."

"Kamu yakin aman juga, 'kan?"

Lyre menoleh dengan tatapan datar. "Aku udah bilang bagaimana situasiku, karena itu sisanya Mas Ndra yang punya tanggung jawab untuk berhati-hati, memastikan pengamannya enggak—"

"Fine! Nanti cari drugstore aja!" Kagendra segera merapat pada sang istri, berujar dengan suara yang lebih pelan. "Aku enggak mau cemas, kita beli Plan-B. Itu efektif sebelum 48 jam, iya 'kan?"

"Iya," balas Lyre singkat sebelum memanggil Ravel agar jangan terlalu jauh membawa mainan baling-balingnya. Karena sang anak justru berlari pergi, Lyre bergegas mengejarnya.

Kagendra mengatur napas, meyakinkan diri situasi akan terkendali. Ia beranjak ke meja yang disediakan, namun agak teralihkan tatapan beberapa pegawai kepadanya.

Salah satu dari mereka mendekat dan bertanya, "Pak, istrinya beneran Lyre Sagitta yang artis itu?"

"Bukan!" tandas Kagendra cepat, menegaskan dengan serius. "Jangan ada yang minta foto atau memotretnya sembarangan, karena tim hukum saya serius menangani masalah pelanggaran privasi."

"Eh, enggak-enggak! Kami juga enggak sembarangan begitu ... sekadar memastikan saja kok," ujar si pegawai lalu mengulas senyum ramah. "Justru, semisal Bapak butuh bantuan mengambil foto, kami bisa bantu."

"Ya?"

"Iya, foto keluarga ... bapak, ibu, sama anaknya. Kami bisa bantu sekalian mengarahkan ke spot foto yang bagus, jam segini masih belum ramai, belum terlalu panas juga, jadi bagus untuk ambil foto bersama."

Kagendra memikirkan ide tersebut. "Ya sudah, nanti setelah makan aja..."

"Siap, Pak ... istrinya beneran mirip artis, anaknya juga ceria banget. Udah sempurna hidupnya Bapak."

Sempurna? Ulang Kagendra dalam hati, memperhatikan pegawai yang kemudian mengangguk sambil undur diri. Ia mengalihkan tatapan pada Ravel yang akhirnya terkejar. Lyre meraup anak itu, mendekapnya sembari menciumi pipi Ravel berulang kali dan keduanya tergelak dalam tawa.

"Sempurna," sebut Kagendra saat memperhatikan wajah riang anak dan istrinya. Ia balas tersenyum sewaktu Lyre melepas dekapan, membiarkan Ravel berlari ke arahnya.

"Papa..." seruan itu membuat Kagendra membungkuk, ganti mengangkat anaknya ke dekapan, memeluk dan menciumnya.

Tidak ada hal yang harus dikhawatirkan, karena Kagendra yakin, selama anak ini ada, ia akan selalu baik-baik saja.

[ to be continued ]

🌃

Tidak ada yang harus dikhawatirkan, pfftt ... ya karena belom aja waktunya disiksa, gimana sih bapak ini 🤣🤣

.

Q: Tadinya aku enggak mau ada orang ketiga, keempat, kelima dsb. tapi setelah baca sejauh ini, pengin ada lelaki greenflag yang menyelamatkan Lyre dari Kagendra.
A: Wah, sorry ... karena Lyre tipe yang survive sendiri, dengan atau tanpa Kagendra di hidupnya.

Q: Ndra kalau kepo sama perasaan istri tuh nanya, ngobrol, bikin pernyataan duluan, bukan malah ngajak cerai!
A: Pfftt ... Kagendra emang tolol~

Q: GUE YAKIN 1000% Lyre pasti dihamilin lagi sama si babi mesum ini!!!!
A: Gimana ya jawabnya 🙈

.

Anyway ada polling di story instagram aku, lumayan lho, jangan lupa berpartisipasi~

Ketemu lagi hari Sabtu~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top