10. | Camping: Day II

Hallo, bestienya Ravel~
Kembali lagi dengan akhir pekan bersama bapak Kagendra yang kampret dan ibu Lyre yang ... yaudahlah sabar aja dulu, pffttt

Enggak terasa ya, sudah di bulan ke delapan untuk tahun 2023 ... masih agak takjub kalau ingat memulai awal tahun ini dengan cerita Aa Hiza si GreenFlag dan justru jelang akhir tahun bikin cerita Mas Ndra si RedFlag, wakakakaka

.

anyway 3.000 kata untuk part ini
dan karena ada sedikit mature scene, diharapkan kebijaksanaannya ya.

under 🔞 warning!

.

I hope you still enjoy the story, thank you.

🌟

10. | Camping: Day II

"Oh, God! I can do this all night."

Lyre tersentak di pangkuan suaminya, dadanya yang masih menegang menaik-turun dengan ritmis sementara paha dan pinggangnya dialiri gemetar pelan. Dua lengan kuat mendekapnya, membuatnya sejenak bisa meletakkan kepala dan mengatur napas di bahu Kagendra. Ini sungguh melenakan, jauh lebih memuaskan dibanding permainan awal mereka.

"Mmm... you like it, huh?" tanya Kagendra, menelusuri punggung telanjang sang istri yang licin dan lembut. "You're still shaking for me..."

Lyre mengabaikan nada bangga itu, mencoba menanggapi ucapan suaminya. "It's enough for tonight."

"Oh! Come on, Rodeo Girl, you just—"

"I'm serious," sela Lyre, menarik kepala dari bahu sang suami untuk menatap lekat sepasang mata yang masih menunjukkan hasrat terhadapnya. "Dan dini hari benar-benar dingin, kita harus sudah mandi sebelum Ravel kebangun."

Kagendra menurunkan lengan, ganti mengelus-elus paha telanjang sang istri. "Kenapa? Kamu terganggu kalau Ravel tahu Mamanya berbau seperti Papa?" tanyanya dan ganti mencondongkan kepala, mencium leher Lyre, mengendus wanginya yang tertinggal di sana.

"Mas ..." sebut Lyre karena kepala suaminya sekarang bergerak turun, mengecupi dada, mulai menjilatinya lagi.

Kagendra menulikan telinga, melanjutkan kegiatan favoritnya. Lyre mudah ditaklukan dan ini adalah awal mula untuk setiap penaklukannya pada sang istri. Dada Lyre sangat sensitif dan hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali mendapatkan respon yang sesuai, melanjutkan percintaan ini sekali lagi.

"Mas Ndra ... aku teriak nih, sampai Ravel bangun."

"Ck!" decak Kagendra sembari menegakkan kepala. Ia paling tidak bisa jika anaknya dilibatkan.

Lyre tidak benar-benar akan melakukan itu, hanya ancaman kosong yang jelas akan membuat suaminya kooperatif. Ia melirik ke tiga bungkusan bekas pengaman di samping sofabed tempatnya bercinta. Itu jumlah yang cukup.

"What do you think about another kids."

Pertanyaan itu membuat Lyre hampir mendelik. Ia segera menggeleng. "No, of course not."

"Explain to me, why not?"

"Karena kita akan bercerai."

"Do you really want it? The divorce?"

Lyre sempat terkesiap karena ini kali pertamanya ditanya tentang hal itu. Bahkan setelah berminggu-minggu mereka melakoni tahap awal proses perceraian.

Apa Kagendra benar-benar mabuk? Makanya agak tidak jelas, suaminya juga memperlakukannya dengan cukup lembut malam ini. Lyre agak curiga atas hal tersebut.

"Re..."

"Iya," jawab Lyre cepat dan memperjelasnya, "Kita sama-sama menginginkannya, iya 'kan?"

Kagendra sekilas mengalihkan tatapan mata. Ia bukan lelaki yang akan menarik kembali keputusan atau perkataannya. Lagipula, untuk apa dirinya mempertanyakan itu? Sudah jelas Lyre tidak akan berusaha bertahan.

"Ya ... yeah, of course." Kagendra segera mengangguk untuk menunjukkan konsistensinya.

"Mas Ndra kepikiran soal Ravel mau adik?"

"And you're not thinking about it?"

Lyre menggeleng, beralih dari atas pangkuan suaminya dan menghela napas panjang. "Menjelaskan tentang perceraian aja udah rumit, apa lagi soal adik-adik yang berbeda ayah atau ibu. Itu bakal menimbulkan issue..."

Kagendra meraih tissue, melepas bekas pengamannya. "Kalau tetap sama? Kita yang ngasih adik buat—"

"No!" sebut Lyre dan kembali geleng kepala. "Pasangan punya anak karena mereka memang menginginkan, bukan karena orang lain yang menginginkan."

"Ravel bukan orang lain bagi kita."

"Dia bahkan belum ada lima tahun, dia enggak paham tentang apa yang dia minta dan itu bakal lebih menjadi issue kalau setelah bercerai, kita justru mengulang kesalahan yang sama, melahirkan another Ravel."

Kagendra terdiam, urung melempar buntalan tissue di tangannya ke tempat sampah. "Another Ravel?"

"Anak di luar hubungan pernikahan."

"What? Menurutmu Ravel seburuk itu? Padahal dia anak yang kita—"

"Oh! Bukan, bukan begitu maksudku. Ravel enggak salah atau buruk, he's the best thing that ever happened in my life." Lyre segera menyela sebelum sang suami salah paham. "Nothing is wrong with him, kita yang semestinya belajar, iya 'kan? Kita melakukan kesalahan ketika mendapatkannya dulu, banyak hal yang kemudian harus kita korbankan untuk memperbaiki keadaan, menjadikannya lebih sesuai sekaligus tepat. Dan setelah sama-sama sepakat terkait perceraian, masa depan tentang keluarga yang harus kita bangun adalah bagaimana Ravel merasa tetap utuh di tengah perpisahan ini."

"You looks so ready for that," ungkap Kagendra sembari memperhatikan sang istri merapikan rambut.

Lyre mengangguk. "I know what I have to do."

"Good," ungkap Kagendra sebelum begitu saja meraup Lyre ke dalam gendongannya. "And I know what we have to do in thirty minutes ... a bathroom quickie."

"Mas!" protes Lyre, serta merta berpegangan.

"Bilang kamu enggak mau," tantang Kagendra sewaktu berhenti melangkah, menoleh untuk memandang sang istri. "Say it, if you don't wanna—"

"Finish it in twenty," sela Lyre cepat sebelum bibirnya kembali menyapu pipi Kagendra.

***

"Mama, kenapa dikasih ini lagi?"

"Namanya lotion anti serangga, biar enggak gatal-gatal main di luar. Ravel juga harus pakai jaket sama topinya sampai nanti kalau udah mau makan siang."

Kagendra membuka mata memperhatikan Ravel sudah rapi. Lyre juga tampak segar dengan rambut panjang diikat ekor kuda. Cocok dengan setelan sweter rajut abu-abu dan celana jeans hitam.

"Apa sarapannya hari ini?" tanya Kagendra sembari bangun, bersandar pada bilah kayu di belakangnya dan meraih ponsel di nakas untuk memeriksa beberapa hal.

"Ravel bubur ayam, Mas Ndra sup ayam, aku udah minta langsung disuwir-suwir aja dagingnya, pakai ketupat setengah, sama minumnya teh poci."

"Oke," kata Kagendra lalu turun dari tempat tidur, merentangkan tangan untuk meraup Ravel dan menciumi pipi beraroma sabun lembut. "Ada yang mau naik kuda, naik kuda..."

Ravel tertawa senang, ganti menunjuk-nunjuk ke pipi Kagendra. "Ada yang belum mandi, belum mandi."

"Papa udah mandi, duluan dibanding Ravel."

"Enggak ... Mama duluan."

"Iya, duluan bareng Papa mandinya," jawab Kagendra sebelum terdiam dan saling pandang dengan sang istri.

Lyre juga sejenak mematung dari kegiatannya menyiapkan pakaian ganti sang suami.

Ravel seketika mengerjapkan mata, bibirnya mengerucut sebelum berujar kesal, "Kenapa enggak bareng Vel juga!"

Kagendra seketika mengembuskan napas lega. "Ravel 'kan udah kemarin sore sama Papa... tadi pagi gilirannya Mama."

"Nanti naik kudanya 'kan Ravel sama Papa," imbuh Lyre yang langsung sukses mengalihkan perhatian anaknya.

Ravel seketika antusias bertanya-tanya tentang jenis kuda dan berapa lama bisa menaikinya. Kagendra menjelaskan sebisanya, sebatas informasi dari brosur yang semalam dibacanya.

"Sini sama Mama dulu, biar Papa ganti baju..."

***

"Tidur?" tanya Lyre saat Kagendra kembali ke penginapan pada pukul setengah dua siang. Usai naik kuda, suami dan anaknya memilih naik sepeda berkeliling kawasan bumi perkemahan. Lyre tidak ikut karena harus memeriksa beberapa file kiriman pengacara.

"Nangis-nangis minta gulali," jawab Kagendra, menjelaskan adanya bekas tangis di wajah anaknya.

Lyre segera beralih dari laptopnya, mengambil tissue basah. Kagendra sudah melepasi jaket, baju dan celana panjang Ravel, sehingga Lyre bisa langsung menyeka, membersihkan tangan sekaligus telapak kaki.

"Agak panas siang ini," kata Kagendra.

"Iya, biar pakai kaus sama celana dalamnya aja." Lyre memperhatikan bulu mata sang anak yang masih tampak basah. Napas tidurnya juga belum sepenuhnya teratur. Itu membuat Lyre segera ikut berbaring.

"Sayang..." panggil Lyre lembut.

Kagendra memperhatikan Ravel yang langsung mengubah posisi ke pelukan Lyre. Tampak punggung anaknya kembali bergerak diikuti isak tangis pelan.

"Mammaaa..."

"Iya, gulali itu sejenis permen, makanya Ravel enggak boleh makan... Papa juga sedih karena enggak ngebolehin Ravel, tapi kalau dikasih nanti batuk-batuk, tenggorokannya sakit, terus badannya panas, nanti enggak sekolah, enggak ketemu Auriga, Altania, sama Ruhito," ucap Lyre dengan lembut.

"Ta... tapi ... Papa bilang makanan kotor, pakai kaleng jelek ..."

Lyre ganti menatap Kagendra yang kini mengangkat bahu, standar higienitas suaminya memang cukup tinggi. Tetapi kejujuran itu bermakna lain untuk Ravel. "O... oh, Papa pasti lupa, kalau anak baik enggak boleh mencela makanan ya."

"Iya! Bikin yang jual sedih!"

"Iya, benar... Papa enggak akan begitu lagi." Lyre memberi tahu dan perlahan anaknya mulai tenang, tertidur dengan suara napas teratur. Lyre membiarkan Kagendra keluar kamar. Ia tetap menemani Ravel sampai yakin tidur anaknya tidak akan terganggu kegelisahan atas hal-hal yang membuatnya sedih.

"Aku enggak bermaksud mencela, tapi memang demikian adanya... kuku penjualnya bahkan hitam-hitam, dia bikin gulalinya langsung dipegang-pegang, dibentuk-bentuk." Kagendra langsung membela diri sewaktu Lyre berjalan keluar dari kamar. "Kalau jadi aku, kamu pasti akan langsung menolak membelikan juga."

"Enggak, aku akan tetap membelikan."

"No way! Kamu lebih strict dan enggak bakal—"

"Ravel penasaran sama bentuk-bentuknya doang, aku akan membelikannya dan bilang ke dia, karena enggak boleh makan permen, kalau udah selesai dimainkan, biar semut yang makan." Lyre memberi tahu dengan raut serius. "Aku sering kasih tahu, larangan untuk Ravel itu akan lebih mudah dimengerti kalau ada penjelasan dan solusinya. Kita emang harus kreatif untuk—"

"Fine, let's say I'm not creative enough."

"Makanya harus terus belajar, co-parenting kita nanti bakal lebih challenging seiring penalaran Ravel juga berkembang... kita harus siap, sebisa mungkin punya jawaban untuk semua hal yang perlu dia pahami dengan baik."

Kagendra mengurut pelipis. Ia yakin bukan ayah yang buruk atau tanpa kontribusi dalam pengurusan anak. Tetapi menanamkan nilai-nilai moral atau pemahaman kebaikan di tingkat yang Lyre tetapkan itu bukan keahliannya. Kagendra tidak akan berkilah, dirinya bukan jenis anak yang baik sewaktu kecil. Justru sangat nakal, seenaknya, dan arogan. Papinya harus memukul atau berteriak-teriak untuk membuatnya menurut. Berkat Lyre, Ravel memang tidak menjalani situasi serupa. Kagendra juga tidak berani memukul atau berteriak untuk mengungkapkan larangan. Paling-paling ketika kehabisan akal hanya membawa Ravel kembali pada Lyre, membuat anaknya justru meraung menangis-nangis seperti kali ini.

"Mas Ndra..." panggil Lyre.

"Iya, nanti aku ngomong lagi sama dia," ujar Kagendra sembari menghela napas panjang.

"Kamu enggak ngomong makanan kotor, pakai kaleng jelek di depan penjualnya langsung, 'kan?" tanya Lyre untuk memastikan.

Kagendra mengerjapkan mata, mengatupkan bibir dan memandang sang istri dengan raut kikuk.

"Mas Ndra... ya ampun."

"Aku sambil jalan pergi, tapi kalau kedengaran biar aja introspeksi atau evaluasi, jualan makanan ya harus bersih lah," sebut Kagendra cepat lalu teralihkan bunyi telepon masuk di ponselnya. "Aku harus angkat ini."

Lyre menghela napas panjang memperhatikan suaminya yang beralih dan langsung sibuk menanggapi informasi pekerjaan yang entah disampaikan oleh siapa.

***

Kagendra berbaring di samping sang anak, memperhatikan jam pada pergelangan tangannya, menunggu dalam diam sampai perlahan terasa gerakan selimut. Ia memiringkan tubuh, tersenyum mendapati bibir Ravel setengah mendecap sebelum sepasang mata bulat jernih itu memandangnya.

"Anaknya Papa," ucap Kagendra sembari mengangkat Ravel berpindah ke atas tubuhnya.

Ravel mengerucutkan bibir, mengucek mata sebelum menoleh sekitar. "Mama?"

"Mama lagi bikinin popstick jelly," ujar Kagendra tahu alasan anaknya terlihat enggan memandangnya atau bermanja kepadanya seperti biasa. "Ravel marah ya sama Papa?"

"Iya."

Kagendra mengangguk, hal pertama yang dipelajarinya sewaktu lancar berkomunikasi dua arah dengan sang anak adalah tidak boleh takut menghadapi kejujurannya. Ketika anak sedih, marah, kesal, bahkan kecewa, itu harus dihadapi olehnya. "Papa enggak bermaksud jahat karena bilang soal makanannya kotor dan pakai kaleng yang jelek ... tapi Papa sekarang udah ngerti kalau hal itu enggak boleh sembarangan diungkapkan, karena mencela makanan itu sikap yang jelek."

"Kalau di sekolah nanti enggak dapat bintang kebaikan."

"O ... oh iya." Kagendra segera mengangguk-angguk. "Papa enggak akan begitu lagi ya..."

"Sekarang mau popstick jelly, Papa," pinta Ravel.

"Boleh Papa dapat cium sayang dulu?"

Ravel menggeser kepala, mencium pipi Kagendra cepat. "Mama bikin popstick jelly berapa? Vel mau dua, ya? Yang warnanya beda, ya ..."

Kagendra tidak tahu menahu tentang itu, karenanya segera bangun, menggendong Ravel turun dari tempat tidur. "Ayo kita lihat, Mama bikin berapa..."

"Engh ... aku enggak pakai baju, enggak boleh keluar kamar. Soalnya aku malu!" Ravel berseru dramatis dan menggeliat di gendongan ayahnya.

"O ... oh, iya." Kagendra yang baru sadar seketika beralih ke kursi pendek dekat meja baca. Lyre menyiapkan setelan kaus dan celana pendek di sana.

"Pipis dulu," ujar Ravel karena sang ayah tampaknya akan langsung membantunya berpakaian.

"Oke," kata Kagendra, membawa anaknya ke kamar mandi, melepas celana dalam Ravel lalu mendudukannya di pinggiran kloset sampai selesai buang air.

"Dingiin..." sebut Ravel, memegangi lengan Kagendra lebih erat karena pantatnya ikut dibasuh.

"Dingin banget, Vel?" tanya Kagendra, segera menekan flush dan meraih handuk, mengelap jejak air di tubuh bagian bawah anaknya.

"Iya," jawab Ravel lalu bersin sekali.

Kagendra segera membawa Ravel kembali ke kamar, memakaikan celana dalam, pakaian yang disiapkan dan sepasang kaus kaki.

"Vel, udah lama enggak main jadi anak kangguru..." usulnya untuk memastikan suhu tubuh sang anak terjaga.

Ravel langsung tersenyum melihat Kagendra meraih jaket. "Mau!" sebutnya antusias.

Kagendra memakai jaketnya, menggendong Ravel di depan tubuhnya dan baru merapatkan ristleting, membungkus tubuh hangat yang kini iseng menggelitik ketiaknya.

"Ehh... aduh, jangan gelitik!" ujar Kagendra sambil membawa Ravel keluar. "Ini tahun depan harus ganti jaket yang lebih besar..."

"Kenapa soalnya?"

"Ravel makin gede, tambah tinggi juga."

"Nanti adik aja yang gantian main anak kangguru sama Papa."

Ha? Kagendra langsung berhenti melangkah, menunduk pada anak yang kini mendongak, menatapnya penuh harap. Kagendra menelan ludah, bagaimana pun harus segera dijelaskan. "Ng ... e... gimana kalau Ravel enggak bisa punya adik?"

"Kenapa enggak bisa?"

Kagendra menjawab singkat, "Uhm, susah bikinnya."

"Emang gimana bikinnya?"

Sialan!
Batin Kagendra dalam hati, karena perkiraan Lyre benar. Raut wajah Ravel juga terlihat sangat penasaran, menantikan jawabannya.

"U ... uhm, tadi Papa bilang 'kalau', jadi ya belum tentu. Hahaha..." kilahnya cepat-cepat, jangan sampai Ravel terus penasaran. Ia harus mengubah topik, "Emangnya Ravel mau banget punya adik?"

"Iya, lima." Ravel kemudian teralihkan, ia mengeluarkan tangan dari lubang jaket ayahnya dan menunjuk. "Mama..."

Kagendra menoleh, mendapati Lyre tengah berfoto dengan beberapa perempuan yang sepertinya sebaya. Ia tidak suka situasi itu.

"Panggil, Vel, yang kencang... Mamaaa."

Ravel melakukannya. "Mamaaaa..."

Lyre sampai hampir terperanjat, namun segera mengangguk sopan, meminta permakluman saat beralih mendekati suami dan anaknya. Kagendra memasang wajah muram setiap kali Lyre melakukan fan service bersama penggemar yang masih setia menantikan kiprahnya di dunia entertainment.

"Lihat, Mama bikin apa?" Lyre memperbarui situasi dengan menunjukkan wadah cetakan berbahan silikon. Ia menarik stik kayu, mengeluarkan jelly berwarna hijau dan kuning berbentuk kepala dinosaurus.

Ravel seketika heboh sendiri. "Mau, dua, Mama ... mau, dua."

"Balik ke penginapan dulu, soalnya mendung, kata ibu-ibu di dapur kemungkinan hujan deras." ucap Lyre lalu memindahkan wadah cetakan di satu tangan, sementara tangan lainnya memegangi lengan Kagendra untuk beranjak pergi.

***

Hujan benar-benar deras, sejak jam empat sore hingga sekarang hampir jam tujuh malam masih tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Menurut jadwal, seharusnya kegiatan api unggun, namun karena tidak memungkinkan, setiap penginapan diantarkan kompor, panggangan dan perlengkapan untuk mini barbeque. Lyre memeriksa bahan makanan, jenis daging, sosis, sampai sayur wrap yang disiapkan.

Sejak sore tadi Kagendra menghabiskan waktu bersama Ravel di kamar. Setelah menandaskan empat popstick jelly, mereka mandi sore dengan air panas, melakukan telepon video dengan Waffa dan Desire. Setelah itu karena Ravel ingin melihat bintang, Lyre memutarkan video interaktif, pengenalan luar angkasa kepada anak. Kagendra menemani menonton sambil sesekali menjelaskan tentang kenapa matahari munculnya hanya siang, kalau malam ganti bulan.

Lyre selesai mengatur peralatan di ruang duduk, memanggil suami dan anaknya untuk makan. "Sosis di piring itu udah agak dingin, suapin buat Ravel dulu..."

"Oke." Kagendra segera duduk memangku Ravel, lebih dulu memberi minum sebelum menyuapkan makanan.

Ravel makan sambil memainkan robot grimlock, berlagak memberinya makan dengan potongan sawi atau timun.

"Enak, Vel?" tanya Kagendra.

Ravel mengangguk, membuka mulut untuk makan lagi.

"Coba, Re?" pinta Kagendra setelah Lyre selesai memanggang beberapa potong sosis dan irisan daging sapi.

Lyre menyuapkannya. "Aku pakai saus barbeque yang dari rumah, terus tambahin kaldu jamur."

Kagendra mengunyah dan mengangguk, cita rasa makanan yang bisa diterima. "Kok kepikiran bawa saus barbeque dari rumah?"

"Ada pilihan menu untuk makan malam, aku memang pengin barbeque untuk hari kedua, mereka nyebutin merk sausnya dan beda, makanya aku inisiatif bawa sendiri." Lyre mengulurkan tangan, menyeka sudut bibir Ravel.

Kagendra hampir kaget saat tangan Lyre beralih menyeka sudut bibirnya juga. Ia mencoba biasa saja, karena berikutnya sang istri juga tampak biasa, kembali memanggang, menyuapi, atau makan sendiri.

***

"Tadi itu siapa? Yang minta foto-foto?" tanya Kagendra usai menidurkan Ravel dan menyusul ke ruang duduk.

Lyre menikmati teh lemon hangat usai membereskan peralatan makan dan memastikan petugas mengambil kembali semua perlengkapan itu beberapa menit yang lalu.

"Pegawai sini, mereka tahu aku, katanya dari data booking udah notice tapi baru tadi berani minta foto."

"Hujannya reda," sebut Kagendra saat memperhatikan jendela dan memperhatikan sang istri memilih saluran film. "Jangan film horor lagi."

"Mas Ndra bukan tipe yang takut setan."

"Pilih action aja, Keanu Reeves atau Tom Cruise."

Lyre tersenyum kecil, memilih film yang dibintangi Keanu Reeves. Kagendra duduk di samping Lyre, memperhatikan opening film dan berujar, "Aku pikir tipe aktor action yang kamu suka itu sejenis Tom Cruise."

"Dia keren, tapi Reeves lebih manusiawi."

"Ya?"

Lyre mengangkat bahu. "Begitulah."

Kagendra tidak bertanya lebih lanjut, ikut menonton dalam diam. Sebenarnya tidak terhitung malam yang pernah dilaluinya bersama Lyre dengan menonton film bersama, tetapi tidak pernah ada yang berubah, bahkan sejak pertama kali melakukannya. Tidak ada sentuhan, rangkulan, apalagi bermesraan sambil membicarakan jalannya cerita. Lyre menonton dengan ketenangan yang menurut Kagendra bisa menyaingi cara bertapa para biksu.

Lyre juga tidak pernah bereaksi berlebihan, tidak tampak memejamkan mata saat ada adegan mengerikan, tidak juga tertawa terbahak ketika mendapati sesuatu yang lucu. Lyre juga tidak sekalipun menunjukkan tanda-tanda kegelisahan jika ada adegan persetubuhan yang terlalu vulgar. Lyre benar-benar tenang, menonton dalam diam.

"Kamu kepikiran untuk kembali berakting?" tanya Kagendra usai setengah bagian film terlewati. Dia tidak betah diam lebih lama.

"Enggak."

"Kenapa?"

"Udah bukan masanya."

"Fadie bilang sayang banget kamu berhenti, menurutnya kamu masih cantik banget," ujar Kagendra, mencoba membaca reaksi Lyre tetapi istrinya itu bergeming, seperti kelewat fokus pada adegan penembakan di layar televisi.

"Re?" panggil Kagendra.

"Pendapat orang lain enggak penting." Lyre menolehkan kepala, menatap Kagendra. "Memangnya Mas Ndra mau aku berakting lagi?"

"Kalau berpotensi enggak punya waktu buat Ravel, jelas enggak boleh."

"Ya udah."

"Tapi bukan berarti aku mematikan mimpi kamu."

"Aku enggak pernah menganggap begitu."

Kagendra menipiskan bibir lalu bersedekap, sudah saatnya serius, memastikan hal yang menjadi penasarannya. "Apa rencana kamu setelah kita bercerai? Dede bilang mau ngenalin temannya yang hot ke kamu. Dia pikir aku bakal cemburu?"

"Dede bilangnya 'teman'," sebut Lyre sembari membuat tanda kutip saat menyebut kata teman.

"Apa maksudnya?"

"Artinya sesuatu yang enggak perlu dipikirin."

"Kalau punya pacar lagi setelah kita bercerai, aku enggak ada pikiran untuk bawa pulang, apa lagi ngenalin ke Ravel. Aku juga enggak berencana menikah lagi. Kamu bagaimana?"

Lyre menyipitkan matanya sejenak. "Aku emang mau fokus sama Ravel dan De.LAF Planner."

"Soal pacar atau pasangan baru?"

"Enggak mau memikirkan soal itu."

"Kenapa?"

Lyre terdiam cukup lama dan menggeleng sejenak. "Aku rasa ini akan penting untuk Ravel di masa depan, menyadari bahwa kita berdua berpisah bukan karena menginginkan orang lain. We just have to ... memang akan rancu kalau dia nanti tahu Mas Ndra bersama orang lain, karena itu seenggaknya salah satu dari kita harus tetap berkomitmen dengan alasan semula."

Kagendra mengerjapkan mata. "Apa dia akan membenciku nanti?"

"Seharusnya enggak kalau dia tahunya setelah cukup paham situasi perpisahan kita berdua," kata Lyre lalu kembali menyimak tayangan film di televisi.

"And you, will you hate me?" tanya Kagendra.

Lyre menggeleng begitu saja.

"Why not?"

"Why should I?" tanya Lyre dan kembali menatap Kagendra. "Aku menerima perceraian ini. Aku sadar kalau setelah perceraian Mas Ndra berhak atas kebebasan untuk menjalin hubungan baru, memulai hidup baru. Jadi, kenapa aku harus membencinya?"

Kagendra diam saja, bukan karena tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Ia balas bertanya, "Kamu juga menginginkannya, 'kan? Kebebasan itu."

Lyre ikut terdiam selama dua detik sebelum mengangguk. "Tentu saja."

Ada satu hal yang kemudian terus Kagendra pikirkan sepanjang sisa malam; jika kebebasan itu sama-sama mereka inginkan, kenapa rasanya hanya dirinya yang harus bersiap untuk kehilangan sesuatu? Atau seseorang.

[ to be continued ]

🌃

Apanya yang kehilangan sesuatu atau seseorang ... begitu cerai, elu tuh kehilangan SEMUANYA, Kagendra.

S-E-M-U-A-N-Y-A

Jadi, mumpung belum diketok palu nih, elu mikir gimana caranya biar tetap bersama Lyre dalam situasi yang baik dan benar ... pffttt

.

Q: Sulit, satunya cinta tapi gengsi ... satunya lagi cinta tapi disakiti. Angel wes angel tenan.
A: Inilah sebab mereka perlu cerai ... karena jenis cintanya berkembang ke arah yang salah. Arah yang sama-sama bikin mereka enggak bisa mengekspresikan dengan benar atau leluasa. Dua-duanya butuh menata ulang pikiran dan perasaan.

Q: Penasaran asli sama keluarganya Lyre, feelingku mereka juga bukan keluarga yang kaleng-kaleng.
A: Emang! Tapi tipe aristokratnya beda sama Kagendra. Papanya Lyre orang penting juga, makanya nih Kagenderuwo aslinya keder ngadepinnya, pfftt

Q: Kak, Universe ini dipanjangin dong, bikin cerita Waffa-Desire atau geng De.LAF lain. Andina sama Faya kayaknya kocak juga, mirip Lulu-Fanya.
A: Ini geng De.LAF berempat enggak ada yang polos kayak Lulu ya, semuanya punya sisi nakal dan ngaco, wakakakaka ... anyway, aku enggak bisa ngeiyain permintaan di atas, karena masih fokus menyelesaikan project Kagendra-Lyre ini. Tapi kalau ada idenya, boleh aja.
Banyak-banyak berdoa deh :))

.


Thank you, Readers

.
.
.
.

NB: KARYA KARSA UPDATE ⤵️

Sebelum ada yang nanya, sama enggak dengan bab yang di wattpad ini, jawabannya tidak sama.

.

Apakah worth to buy?
aku sih merasa layak jual
kalau soal layak beli itu hanya pembaca yang bisa menilai 😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top