1. | Oke!
Sejujurnya, memulai cerita baru itu rasanya enggak mudah, terutama kalau cerita sebelumnya ninggalin kesan yang cukup mendalam ... almost a year for me, sejak Lavender Rose tamat terus riset untuk The Deal With Ex lalu menuliskan dan menyelesaikannya ... tetapi memang sebagaimana hidup, we have to move on from the old story.
Well, semoga kalian juga siap move on yaa~
siap bertemu dengan Bapac Kagendra brengshake bin kamfretos yang siap ditraining jadi bucin Ibu Lyre, pfftt
🌃
1. | Oke!
Kirei Beauty Care, Grand Opening
"Menurut lo, gue mending threadlift apa botox lagi, Re?"
Lyre memperhatikan lembaran promo perawatan wajah dengan berbagai tempelan kupon diskon di setiap sudutnya. Ia menyipitkan mata, karena minus dan hari ini tidak sempat memakai lensa kontak. "Diskonnya beda dikit doang, Din."
Andina mengangguk, menyodorkan satu per satu lembaran promo di tangannya. "Emang, yang threadlift normalnya dua koma tujuh, kena diskon jadi dua koma tiga per satu benang. Sementara botox kena seratus dua puluh lima ribu kalau ngambil per sepuluh unit. Kalau dibawah itu kenanya seratus tiga puluh lima ribu per unitnya."
"Emangnya kebutuhan botox lo nyampe sepuluh unit, Din?" tanya Fayyana sambil meletakkan kaca lipat di atas meja, beberapa kali memiringkan wajah untuk memastikan gambar alisnya sudah presisi.
"Dahi gue doang aja butuh lima belas, Yan."
Lyre tidak menyangka dan berseru, "Yang bener, Din?"
"Iya, gue butuh eyebrowlift juga untuk kali ini, antara enam sampai delapan unit." Andina mengangkat tangan dan menunjukkan bagian ujung alis matanya. "Ini udah mau turun lagi, kesel gue kalau selfie jadi agak aneh matanya."
"Tapi dibanding harga, efek sakit akibat perawatannya masih lebih mending yang botox, Din. Ada keterangan nih kalau yang threadlift bisa seminggu lebih, belum risiko pembengkakan." Lyre menunjukkan bagian bawah selebaran.
Andina menghela napas. "Botox juga mesti nunggu, bisa tiga sampai lima hari baru mulai terasa kencengnya ... dan ya, itulah kenapa disebut beauty is pain, Ibu Lyre."
Fayyana mengekeh, mengangkat kaca lipat dari meja dan mengarahkannya ke wajah Lyre. "Susah emang kalau ngomong sama yang cantiknya paripurna secara alami."
"Haish!" protes Lyre sembari menghalangi pantulan wajahnya di kaca milik Fayyana. "Alami apa, orang sama-sama perawatan wajah. Gue mau skin booster, laser juga."
Andina mengangguk dengan takzim. "Kalau lo emang sebutannya perawatan wajah ... sementara gue sama Fayyana ..."
"Permak wajah!" cetus Fayyana sebelum mereka berdua terkekeh bersama.
Lyre hendak mencibir dua sahabatnya itu tatkala suara nada dering mengalihkan perhatian. Ia merogoh ke Fendi Turqoise Crocodile handbag miliknya, mengeluarkan ponsel pintar yang layarnya menyala-nyala, menampilkan identitas pemanggil.
"Eh! Sebentar ya," pamit Lyre sembari beranjak dan membawa ponselnya, menyingkir dari meja ke area lengang di pinggiran ballroom.
"Hallo, selamat siang." Lyre menyapa begitu panggilan tersambung.
"Siang, dengan Ibu Lyre Pradipandya? Kami dari Tjipto Prima Medika Hospital."
Lyre menempelkan ponselnya lebih rapat ke telinga. "Ah, iya, apakah Papi baik-baik saja?"
"Ya, Bapak Arestio dalam keadaan baik. Sebelumnya kami sudah mencoba menghubungi Bapak Kagendra ke ponsel pribadi ataupun nomor telepon asisten yang dicantumkan dalam berkas namun enggak tersambung. Ini mengenai keadaan Bapak Arestio yang menurut dokter bisa dipindahkan dari ICU ke ruang rawat VIP-Plus."
"Oh! Syukurlah," sebut Lyre dengan kelegaan yang membanjiri benaknya. "Iya, Pak Kagendra masih dalam penerbangan menuju Jakarta. Biar saya yang segera ke rumah sakit untuk mengurus berkasnya Papi. Terima kasih atas informasinya."
"Baik, Ibu... kami tunggu kedatangannya. Selamat siang."
Lyre menjawab salam itu sebelum ikut memutuskan sambungan telepon. Ia bergegas kembali ke meja untuk merapikan sisa barangnya.
"Kenapa lo? Ravel kecarian?" tanya Fayyana.
"Enggak, tadi telepon dari rumah sakit. Papi udah bisa dipindah ke ruang rawat. Gue harus pergi urus sisa berkasnya. Papanya Ravel baru landing sekitar setengah empat." Lyre menjelaskan.
Andina meringis, sudah biasa mendapati sahabatnya itu harus undur diri lebih dahulu dari berbagai acara yang perlu mereka hadiri bersama. Jika bukan urusan Kharavela sang anak semata wayang, pasti urusan Papi mertua, atau suaminya yang super sibuk. "Emang idaman banget lo, Re. Serba bisa, urus anak oke, urus mertua oke, urus suami makin oke lagi."
Lyre meringis kikuk. "Udah kewajiban juga."
"Tapi lama juga, ya, Kagendra pergi ke luar kota, udah lewat seminggu ini, 'kan?" Fayyana memastikan sembari mengamati Lyre merapikan isi tas.
"Delapan hari, udah rengek-rengek terus juga Ravel kalau video call sebelum tidur. Untungnya bisa pulang hari ini, lebih leganya lagi, keadaan Papi membaik," ungkap Lyre dengan raut gembira.
Dua minggu yang lalu, ayah mertuanya tiba-tiba tidak sadarkan diri di lokasi pembangunan. Hal itu membuat situasi perusahaan mendadak menjadi begitu genting dan menegangkan. Kagendra yang merupakan suksesor Arestio Pradipandya juga seketika mendapat limpahan kesibukan, demi memastikan setiap bidang usaha mereka tetap stabil.
Kini, Lyre merasa lega karena ada berita baik yang bisa dia sampaikan. "Duluan ya, lusa ketemu di kantor untuk bacain evaluasi event ini," pamit Lyre sembari membungkuk untuk bertukar ciuman pipi dengan Andina dan Fayyana. "Jangan lupa update info ke Dede, ya."
"Sip! Sip! Hati-hati lo, Re..." ujar Andina.
***
"Bapak mau langsung pulang?" tanya Fran Daniel begitu memperhatikan mobil bosnya sudah terlihat.
Kagendra mengangguk, "Capek banget."
"Ibu kirim chat ke saya, info soal Pak Tio sudah dipindah ke ruang rawat VIP-Plus siang tadi. Keadaan Pak Tio juga stabil, untuk suster pendampingnya sudah dipilih suster senior yang cekatan. Bu Kinar yang sekarang gantian menunggu di rumah sakit."
"Good," ujar Kagendra lantas memeriksa ke ponselnya sendiri. Tidak ada kiriman chat terbaru dari sang istri. Terakhir berkomunikasi pagi tadi, sewaktu dirinya mengirimkan informasi tiket dan dibalas dengan foto Ravel pamer Grimlock.
Petugas valet keluar dari mobil dan beralih membuka pintu penumpang belakang untuk Kagendra. "Silakan, Pak."
"Thanks," ujar Kagendra, memasuki mobilnya dan langsung melegakan posisi duduk dengan mengatur sandaran.
Fran yang siap di balik kemudi, memastikan bosnya sudah cukup nyaman sebelum melajukan kendaraan. "Tentang oleh-olehnya ibu yang ketinggalan di-"
"Itu dikirim ke kantor aja, Fran. Yang penting punya Ravel nanti diturunkan dulu," sela Kagendra.
"Baik, Pak."
Usai melalui empat puluh menit perjalanan yang didominasi kemacetan, Kagendra menarik napas panjang begitu bangunan rumahnya terlihat. Ia menegakkan tubuh, memperhatikan petugas keamanan menggeser pintu gerbang. Fran membunyikan klakson sekali dan tidak lama, terlihat pintu utama rumah terbuka.
"Papa! Papa!" seruan berulang itu terdengar antusias.
Fran menghentikan mobil, mematikan mesin dan mendapati bosnya tampak senang, tersenyum-senyum. "Langsung hilang ya, Pak, capeknya?"
"Ajaib emang," jawab Kagendra lalu melepas seatbelt.
Ravel heboh menghambur, meminta peluk dan gendong begitu Kagendra keluar dari mobil.
"Wah! Kok acem banget anak Papa ini?" tanya Kagendra begitu menggendong dan kepalanya bergeser untuk menciumi kening, pipi, dan dagu sang putra.
Ravel tergelak, memegangi kedua pipi ayahnya dan memberi tahu, "Mau mandinya sama Papa, jadi Vel tunggu."
"Tunggunya lama enggak?" tanya Kagendra.
"Lama lho, lamaaa bangeeett..." sebut Ravel dengan raut wajah yang agak dramatis, membuat Kagendra mengekeh.
"Papa lama karena pilih mainan buat Ravel lho," ujar Fran yang kemudian mengeluarkan sebuah kotak mainan.
Kagendra memperhatikan sepasang mata anaknya membulat, sebelum kemudian berbinar dan sebentuk senyum terkembang penuh di wajah yang serupa dengannya itu. "Bilang sayang Papa dulu, yang banyak," pintanya.
Ravel segera ancang-ancang menarik napas dan berseru cepat sembari memeluk leher ayahnya. "Sayang Papa, sayang Papa, sayang Papa, sayang Papa, sayang Papa..."
Fran turut mengulas tawa memperhatikan interaksi ayah dan anak itu. Ia menunggu Kagendra bisa menyeimbangkan posisi gendongan Ravel di satu lengan sebelum menyerahkan kotak mainannya. "Saya langsung pamit pulang ya, Pak."
Kagendra mengangguk, "Iya, lusa masuk pagi ya, Fran."
"Siap." Fran kemudian tersenyum pada Ravel yang melambaikan tangan.
"Dadah, Om Fran," kata Ravel ceria.
"Dadah, Ravel."
Usai memperhatikan asistennya pergi, Kagendra berbalik dan mendapati Lyre keluar dari rumah, memberinya senyum simpul.
"Si paling enggak sabaran," ujar Lyre lantas mendekat, membantu membawakan kotak mainan di tangan suaminya. "Baju gantinya udah aku siapin di kamar Ravel, nanti tehnya aku antar setelah-"
"Air putih aja, dingin," sela Kagendra.
"Oh, oke, aku ambilkan nanti." Lyre begitu saja beranjak, mendahului masuk ke dalam rumah.
Kagendra kembali menarik napas panjang, menoleh pada sang putra yang tampak memperhatikannya dan kembali memasang raut senyum. "Jadi... mandinya mau bawa mainan bebek apa dinosaurs?"
"Dinosaurs..." sebut Ravel dengan antusias.
***
Kagendra begitu lega setelah hampir empat setengah jam terakhir terus menemani sang putra, kini anaknya pulas di atas tempat tidur. Ia mengekeh dalam diam sewaktu Ravel menendang selimut dan menggeliat, mengeluarkan sebelah lengan, menjangkau guling sebelum bergelung.
"Maamm..." gumam Ravel.
Kagendra menundukkan kepala, mencium pipi anaknya lembut. "Sleep well, Kharavela-nya Papa," bisiknya lalu mematikan lampu dan keluar dari kamar anak.
Lyre ada di luar kamar, membawa mug hijau bergambar Stegosaurus.
"Udah tidur anaknya, Re..." ujar Kagendra.
"Seminggu ini kebangun tengah malam karena haus, makanya aku siapin minumnya di dalam." Lyre memasuki kamar anak, meletakkan mug ke meja, menyalakan humidifier, merapikan selimut Ravel.
Kagendra memperhatikan Lyre kemudian beralih membetulkan posisi monitor anak di atas kepala tempat tidur, merapatkan gorden jendela, memasukkan beberapa robot dan mainan di karpet ke kotak, baru keluar dari kamar.
"Mas Ndra, masih mau lanjut kerja apa istirahat?" tanya Lyre setelah menutup pintu kamar Ravel. Saat pengurus rumahnya membawakan tas kerja Kagendra, ada beberapa map-map tebal yang turut dipindahkan ke ruang kerja.
Kagendra memeriksa notifikasi pemberitahuan di layar ponselnya dan menjawab, "Mau bicara sama kamu."
"Sekarang? Di sini?"
Kagendra menggeleng, mengendik ke pintu ganda di seberang kamar anaknya. "Di kamar," katanya dan mengambil langkah pertama menuju ke sana.
Lyre sempat terdiam sejenak, namun akhirnya mengikuti sang suami dan memasuki kamar mereka. Kagendra beralih ke tas kerja yang diletakkan ke kursi baca. Ia mengambil komputer tablet, mengunduh beberapa file kemudian menunjukkannya pada sang istri yang duduk di pinggiran tempat tidur.
Lyre memperhatikan file yang dimaksud, "Itu apa?"
"Berkas rekam medisnya Papi, walaupun mereka berhasil menyelamatkannya tapi pembuluh darah yang pecah termasuk vital dan kemungkinan kondisi koma Papi akan berlangsung lama, bahkan bisa selamanya."
Lyre terkesiap, "Aku temani Papi agak lama tadi dan meski masih pucat, menurut dokter udah enggak kejang lagi."
"Karena strokenya mulai menyebar, tinggal tunggu waktu sampai enggak mampu bernapas secara mandiri."
Lyre memperhatikan raut wajah suaminya yang tampak tenang. "Dokter bilang ada harapan dan aku-"
"Aku inginnya juga mempercayai itu, tetapi sekalipun pulih, kondisi Papi udah enggak akan seperti dulu dan penting untukku tetap fokus pada perusahaan." Kagendra kemudian menunjukkan berkas berikutnya di layar komputer tablet. "Kita dulu menikah karena kehamilanmu ketahuan Papi, dan sekarang kondisi Papi udah begini ... menurutku enggak ada salahnya kita mulai memikirkan kepentingan masing-masing."
"Kepentingan masing-masing?" ulang Lyre dan memperhatikan layar yang menampilkan daftar berkas untuk pengajuan gugatan perceraian.
"Aku udah tanya-tanya Waffa, kalau aku yang mengajukan, prosesnya akan lebih aman dan mudah buat kamu. Menilik situasi perusahaan juga, kita harus menjaga hubungan priba-"
"Ravel?" tanya Lyre cepat.
"Aku sibuk kerja dan dia di bawah umur, udah pasti kamu yang akan dapat hak asuh penuhnya. Meski aku juga akan mengajukan hak berkunjung yang sesuai."
Lyre mengangguk dengan helaan napas lega. "Oke."
Kagendra mencoba tidak terkesiap. Ia memastikan maksud tanggapan istrinya, "Oke?"
"Aku nurut aja, maunya Mas Ndra kayak gimana." Lyre kemudian mengambil alih komputer tablet Kagendra, membaca-baca lebih jauh. "Nanti aku tinggal tanda tangan aja, 'kan? Terus minta kuasa hukum untuk memastikan soal hak asuhnya Ravel."
"I ... iya, tapi dalam prosesnya ada pemeriksaan berkas dulu, ada mediasi, sidang lanjutan dan segala macam. Kurang lebih kata Waffa empat sampai enam bulan."
Lyre mengangguk-angguk. "Oke."
"Kamu sama Ravel harus tetap tinggal di sini selama prosesnya. Kita berdua juga akan sama-sama menghadiri pemeriksaan, sidang mediasi, atau apa pun yang dibutuhkan oleh pengadilan nanti."
Lyre kembali mengangguk. "Oke."
"Aku juga masih akan tinggal di sini." Kagendra sekalian memberi tahu dengan raut serius. Ini harus dipastikan sekarang juga, tidak bisa menunggu lebih lama lagi. "Tidur juga, aku masih sama kamu."
Lyre segera meletakkan komputer tablet di tangannya, lalu mengangkat wajah dan balas memandang suaminya lekat. "Ah ... aku tadi harus beresin itungan gaji suster sama mbak. Jadi, belum sempat mandi dan-"
"Just undress yourself," sela Kagendra sembari melepasi kancing-kancing pakaiannya sendiri. Ia bisa gila jika harus menunggu lebih lama.
[ to be continued ]
🌃
Jangan bingung, ini baru bab pertama ya ... terus yang dalam benaknya bertanyea-tanyea, memangnya bisa begitu, udah ngomongin cermai masih nana-nina ... tinggal bersama (?)
iya masih bisa kok, bahkan udah dalam proses di pengadilan masih banyak pasangan swamik-istri yang tetap tinggal bersama, karena justru dengan begitu diharapkan timbul niat rujuknya
.
at least Kagendra bapak yang baik buat Ravel. Iya, imagenya tertolong di bagian itu sih ... sisanya wasalam bestie 🙏🏻
.
Terima Kasih
Ketemu lagi hari Rabu yay~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top