#8

* * *

Amelia nyaris terpana dengan suami tampannya. Jujur, ia tidak mau membuang tenaganya untuk membencinya. Justru, ia ingin supaya mereka bisa lebih dekat lagi.

Bayang-bayang mantan masih ada di benak kepala. Namun ia berusaha menepisnya.

Semalam ia keceplosan tidak ingin tidur dengan Arfan, tapi nyatanya dalam hati, ia ingin.

Wanita itu harus bersabar menunggu sang suami peka padanya. Berharap dia tidak balik membencinya karena sikap negatifnya.

Di pagi hari, mereka sama-sama berpakaian. Buru-buru ia melihat suaminya menyiapkan sarapan sembari memakai singlet. Ada apa dengan Arfan? Biasanya pakai kemeja lengkap pagi-pagi buta, tapi kenapa singlet?

"Amel. Kenapa berdiri mematung begitu? Mau bantu?" tanya Arfan menawarkan, sembari bolak-balik di dapur untuk membuat dua hidangan sarapan sekaligus.

"Mau. Tapi bantu ngelihatin aja," jawab Amel terkekeh, lalu duduk di meja makan sambil menopang wajahnya.

"Terserah," ujarnya dingin.

Arfan membiarkan dirinya menjadi tontonan sang istri. Pasti hatinya meleleh melihatnya hanya berpakaian singlet sembari memasak.

Sarapan sederhana ala Arfan sudah jadi. Roti panggang dengan keju parut, dan salad tumis buatannya sendiri.

"Makanlah dahulu. Aku akan pakai baju," pinta Arfan segera, lalu melangkah cepat langsung ke kamarnya.

"Buru-buru banget, sih," omelnya lalu tangannya mengambil setengah roti keju buatan sang suami.

"Enak." Lagi, secara tak sadar ia memuji masakan suaminya. "Kok setiap masakannya enak banget, sih? Kenapa gak jadi chef aja kalau gitu?" batinnya lanjut.

Tak lama setelah ia mengunyah 36 kali, ia melihat suaminya berpakaian modis, serasi dengan pakaiannya yang serba merah maroon.

"Cieee ... baju biru. Tampan sekali suamiku ini," puji Amel menggoda.

Yang dipuji hanya tersenyum nyengir sembari duduk di hadapan Amel.

"Aneh. Sikap kamu kok sudah berubah gitu? Kamu kerasukan apa?" tanya Arfan biasa, mengernyitkan dahi.

"Kamu heran ya kalau sikap aku berubah begini?"

"Ya aku heran lah. Kamu menggantungkan pertanyaanku. Lalu, tiba-tiba semalam kamu mau makan malam sama aku, kemudian tadi kamu memujiku. Apa yang sebenarnya membuat kamu berubah, Mel?"

Haruskah Amel berkata jujur? Tentang apa yang membuatnya marah sejak pertama menjadi istri Arfan?

"Kamu enggak mau jawab?" tanya Arfan terus menatap Amel. "Sampai kapan pertanyaanku kamu gantungkan?"

Amel berdeham sebelum melanjutkan ucapannya. "Nanti saja kujawab. Soalnya aku belum siap. Oke?" jelas wanita glowing di depannya kemudian melahap roti kejunya lebar.

"Aku pergi dulu," sahut Arfan pamit. Tubuhnya bangkit dan mengambil tas punggungnya di sofa.

"Enggak mau ikut? Naik mobil?" tawarnya kemudian menoleh.

"Gak usah. Aku naik ojol saja," jawab Amel berdiri dari tempat duduknya.

"Baiklah. Tolong kunci rumah kamu bawa ya, aku akan datang ke perpustakaan untuk mengambilnya," pinta Arfan, dibalas anggukan dari sang istri.

Rumah hening kembali setelah keduanya berangkat pagi-pagi menuju kampus.

* * *

Wanita beranting berlian itu terbelalak ketika ratusan KTM berada di mejanya. Entah apa yang merasuki atasannya, padahal dia tidak tahu kalau dirinya harus mengurus KTM.

"Tolong bagikan KTM sesuai kelompok mereka masing-masing," sahut Renata dari atas lemari, sedang menyusun bahan pustaka.

"Maksudnya, Bu?"

"Maksudnya KTM mereka dibagi berdasarkan kelompok yang dibentuk pas pengenalan kampus. Siapa tahu mereka mau ngambil KTM, tanya saja 'kelompok berapa?' gitu."

Tugas yang tak menambah beban. Setidaknya ia tidak akan kena semprot Renata hanya karena satu kesalahan saja.

Maka, semua KTM yang tercecer di meja Amel, langsung dikemas dalam kantong plastik hitam kemudian dipindahkan ke meja baca.

"Buat dengan benar, ya." Renata berpesan, seolah memberikan kepercayaan penuh kepada Amelia.

"Iya, Bu."

"Ibu mau ke bagian keuangan dulu. Ada yang Ibu urus soalnya," ucap Renata buru-buru, mengambil sepatu putihnya di rak sepatu, kemudian memakainya di luar perpustakaan.

Amelia sendirian di dalam sambil menyusun KTM. Sedikit susah memang karena harus bolak-balik melihat kertas, memastikan kecocokan antara nama mahasiswa pemilik KTM dengan daftar kelompok yang dimasukinya.

Sudah ada beberapa yang telah selesai disusun. Tapi wanita itu merasa ingin menyerah. Kepalanya sudah puyeng. Ia menghela napas sebentar.

Tiba-tiba, seseorang masuk ke perpustakaan. Tentu orang yang tak asing di mata Amelia, datang menghampirinya.

Lelaki tiang listrik. Ia memanggilnya seperti itu. Karena tingginya saja melebihi tiang listrik, terlebih badan atletis menjadi nilai plus. Sedap mata memandang.

"Arfan. Ngapain kemari?" tanya Amelia penuh kecurigaan.

"Aku minta kunci rumah. Tadi 'kan aku bilang."

"Secepat itu. Kenapa bukan nanti siang, atau nanti malam?"

"Karena siangnya harus ngajar, takutnya enggak bisa ke perpustakaan. Makanya harus cepat."

Amelia bermanggut mengerti, sambil mengerjakan tugas yang nyaris membuatnya frustasi.

"Ngomong-ngomong, kamu sedang apa? Fokus begitu," tanya Arfan yang membuat wanita merona itu sedikit bernapas lega, siapa tahu Arfan bisa jadi bala bantuannya.

"Lagi nyusun KTM. Kamu mau bantuin?" Amel memberi kode supaya Arfan bisa membantu. Kode seperti membuat tangisan dan suasana menyedihkan agar mendorong Arfan.

"Ya sudah, lagipula jam mengajarku siang nanti."

Yes! Sekarang pekerjaan Amel terasa mudah bila ada sang suami.

"Gimana ngerjainnya?" tanya Arfan tidak paham.

"Kamu lihat satu KTM, lalu periksa namanya siapa. Kemudian cari di kelompok mana dia berada. Setelah dapat, taruh KTM-nya sesuai kelompok yang sudah kubagi di hadapan. Paham enggak?"

"Pa--paham. Oke."

Arfan langsung bekerja, sesuai instruksi sang istri. Bagaimanapun, dia kasihan melihat istrinya bekerja sendirian.

Baru beberapa menit, Arfan sudah menyusun banyak KTM. Lincah juga. Kenapa Arfan tidak alih profesi saja jadi pustakawan?

"Oh iya, kamu dosen PA, kan?" tanya Amel lalu mendadak menyodorkan daftar pada Arfan. "Nih, kamu susun sendiri KTM mahasiswa bimbingan kamu. Aku mau beli minum sebentar."

Wanita berambut hitam cokelat itu bangkit kemudian menjauh dari Arfan yang kini bekerja sendirian.

"Kamu mau nitip apa?" tawar Amel mencoba berbaik hati.

"Emm ... thai tea dengan oreo dan bubble."

"Oke," jawab wanita itu singkat sembari membuka pintu lalu pergi berlalu.

Sementara Arfan kembali mengerjakan tugas yang harusnya dikerjakan sang istri. Sekadar membantu tidak masalah buatnya. Berhubung ia juga dosen PA, jadi dia bisa menyusun sendiri KTM untuk para mahasiswanya. Ia hafal betul wajah-wajahnya sehingga ia bisa cepat menyusunnya.

Rasanya pekerjaan Amel bagaikan bekerja di kantor selama 10 menit. Apa yang susah? Padahal cuma disusun berdasarkan daftar kelompok. Sedikit membantu, setidaknya meringankan beban kerja istrinya.

Tak lama kemudian, wanita berkulit kuning langsat itu datang membawa dua minuman berukuran besar. Sesuai permintaan, ia membeli thai tea dengan oreo dan bubble untuk sang suami.

"Waduh, banyak yang selesai rupanya," kata Amel berdecak kagum. "Minum dulu, istirahat sejenak. Kasihan nanti capek, tenaganya dihabisin buat nyusun KTM."

Arfan memang membuang tenaga yang harusnya dipakai untuk mengajar. Tapi mengisi kembali tenaga dengan minum yang menyegarkan adalah hal benar. Tampak Arfan merasa lega begitu ia menyedot minumannya.

"Aku ambil kunci rumah ya. Kamu selesaikan sisanya. Tinggal dikit tuh," ujar Arfan lalu bangkit ke meja sirkulasi, tempat istrinya selalu bekerja.

"Ini, kan?" Arfan menunjuk tempat menaruh kunci rumah, dekat komputer milik Renata.

"Betul. Yang itu," ucap istrinya membenarkan.

"Oke, aku ambil ya."

Arfan mengambil kunci rumah karena sengaja ia ingin pulang sore hari ini. Biasanya ia punya kunci cadangan, namun dengan kebodohannya ia lupa menaruh kunci cadangannya di mana sehingga hilang begitu saja. Tapi ia yakin kuncinya ada di rumah sehingga bisa mencarinya kembali.

Begitu Arfan memakai sepatu hitamnya, mendadak ia berhenti melangkah karena sahutan istrinya.

"Mau tahu, alasan kenapa aku terus marah padamu?"

Arfan menoleh, menatap sang istri. Dari sorot matanya, ia berharap menunggu jawaban yang keluar dari mulut Amel.

"Selain karena perjodohan kita, aku marah karena teringat Umar. Lelaki brengsek itu justru masuk dalam kepalaku, dan kukira kamu bakal jadi seperti dia," ujar Amel jelas, membuat Arfan mengernyitkan dahi.

"Umar? Siapa itu Umar?"

"Mantan pacarku. Dia sama seperti kamu. Awalannya memang lelaki baik, ramah, setia. Pokoknya sama lah. Tapi ujung-ujungnya, dia malah mempermainkan uangku, bukan cintaku. Untuk mencari wanita lain yang dia suka. Makanya, sampai sekarang aku masih trauma terhadap lelaki tipe baik, ramah, setia, kalem. Karena aku malah teringat Umar. Takutnya kamu kayak dia, mempermainkan aku."

Arfan mendengar baik jawaban istrinya, masih terdiam.

"Itu sebabnya juga aku jaga jarak, bahkan terus memarahi kamu tanpa ampun. Memang tidak baik sih, karena aku anggap kamu tidak bersalah. Tapi, aku curiga kamu bakal jadi seperti Umar, makanya aku terus marah, benci, kesal, geram sama kamu. Lama-lama aku bosan. Nyatanya kamu enggak nyakitin aku, seperti Umar. Kamu malah baik dan peduli sama aku. Makanya, aku mulai kembali suka sama kamu."

Arfan masih terdiam. Jujur saja, mendengar jawaban sang istri membuatnya bimbang terhadap hatinya.

"Jadi, bagaimana kalau mulai sekarang kita saling mencintai saja? Kita ulangi lagi seperti awal."

Sorot mata suaminya masih menatap dirinya.

"Kamu mau, kan?"

Sejenak situasi hening. Termasuk Arfan yang pandangannya tak lepas dari Amel.

Tak lama kemudian, Arfan membalas, "Kita bahas di rumah. Aku harus mengajar."

Suara pelan Arfan membuat hati Amel bergetar. Baru pertama mendengar suara itu. Suara berat bercampur rasa yang tulus.

Siapa sangka waktu cepat berlalu? Amelia Kuswanto telah sadar dari kesalahan dan membuatnya berderu rasa bersalah kepada suaminya. Tapi ia percaya, ia menemukan lelaki yang cocok untuknya. Setidaknya ia harus melalui tahap-tahap agar mereka dapat bersatu.

* * *

6 Maret 2020

*

Follow IG --> @repairinglove_wattpadfu84

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top