#7
* * *
Dua lelaki yang sama-sama berkepribadian baik. Arfan dan Hasan. Pantas saja wanita seperti Amelia bimbang, memilih lelaki mana yang cocok dengannya.
Tentu saja rumah tangga mereka masih berproses. Ada kala perasaan wanita itu terus campur aduk. Melihat dengan mata kepalanya sendiri, Arfan terus peduli padanya. Meski ia masih membenci suaminya.
Sekarang, pertanyaan yang membuat Arfan penasaran, digantung oleh Amel sendiri. Ia belum bisa menjawabnya.
Malam hari, Arfan mengemudikan mobilnya melewati jalanan kota. Penglihatannya hanya berada pada mobil atau motor yang menyalipnya dan cahaya lampu jalanan yang menyinarinya.
Dia berpikir, sebenarnya apa yang membuat Amel terus tutup mulut? Mudah saja 'kan mengatakan alasan kenapa sang istri keras padanya. Tapi selalu saja, namanya menghindar tak terelakkan lagi.
Kepalanya hampir saja melepuh karena itu.
Lebih baik, ia pergi saja memenuhi undangan sang kakak untuk acara makan malam bersama. Tempatnya di sebuah hotel di jalan Pettarani. Sebenarnya hanya acara makan malam biasa, yang hanya dihadiri keluarga tertentu saja. Banyak sepupu yang diundang direktur Global Manifest tersebut.
Saat memasuki area parkir hotel, ia didatangi lelaki berbadan kekar layak binaragawan. Tentunya dia adalah jasa valet yang setia membantu untuk memarkirkan mobil Arfan ke tempat parkir.
Arfan turun dari mobil dan memercayakan sepenuhnya pada jasa valet tadi.
Ia mencari sebuah ruangan yang hanya disewa oleh orang-orang kaya, lebih tepatnya ruangan Platinum. Disediakan khusus untuk sang direktur.
"Mencari siapa, Mas?" tanya pelayan laki-laki yang rapi dengan setelan hitamnya.
"Saya mencari Yudha Rian Heriyanto. Benar ruangannya ini?" Arfan menunjuk ruangan yang dimaksud.
"Benar, ruangan yang disewa Pak Yudha. Anda siapanya?" Pelayan laki-laki itu ingin memastikan, supaya dia tidak salah memasukkan sembarang orang ke dalam ruang Platinum.
"Saya adiknya, Arfan."
"Oh, Anda orang yang dicari Pak Yudha daritadi. Silakan masuk."
Pelayan tinggi kurus tadi langsung membimbing Arfan ke ruangan serba mewah yang dimiliki pihak hotel. Memang Arfan anak sultan tapi belum pernah mengunjungi ruangan semewah itu.
Tak lama setelahnya, ia masuk ke ruang makan dan yang duduk di tengah-tengah langsung menyeringai senyum saat orang yang dicarinya datang.
"Maaf, Pak. Ini adik yang sudah dicari oleh bapak."
"Oke, oke. Silakan duduk. Duduk dulu." Yudha bergegas bangkit dari tempat duduknya kemudian membimbing sang adik untuk duduk di kursi kosong pojok kanan.
"Arfan. Daritadi kami menunggu. Kok lama?"
Lelaki berkulit sawo matang itu memasang senyum di depan para sepupu. Aduh, sangking baiknya harus membawa sepupu dari Surabaya ke Makassar. Memang Yudha baiknya tidak ketulungan.
"Yah, tadi macet kak," jawab Arfan seadanya.
"Silakan makan. Ada banyak hidangan khusus untuk kamu," ajak Yudha langsung memutar kaca bulat di meja.
Meja bundar tersedia berbagai macam makanan yang bisa disantap. Mata Arfan tak terlepas dari bihun goreng kesukaannya.
"Kayaknya terlalu jauh nih. Biar kuambilkan." Tampak Yudha tahu apa yang diinginkan adiknya dan kembali memutar meja.
Sajian bihun goreng mewah ala hotel sudah di depan sang adik. Yudha menggoda Arfan dengan menuangkan hidangan lezat tersebut di piring adiknya.
"Kak, enggak usah banyak-banyak. Aku ambil sendiri saja." Arfan mencoba menyingirkan tangan kakaknya karena merasa terlalu memperlakukan dirinya.
"Jangan malu-malu, biarkan kakakmu ini mengambilkannya untukmu." Yudha tak mengindahkan larangan adiknya dan terus menambahkan bihun goreng ke piring.
"Makan yang banyak, kak Arfan," sahut salah satu sepupunya yang masih SMP.
"Segini udah cukup."
Arfan terbelalak melihat makanannya yang bagaikan gunung. Yudha terlalu manis dan memanjakan adiknya terus menerus. Siapa yang mau punya kakak semacam itu?
"Kalau habis 'kan bisa dipesan lagi," ujar Yudha singkat. Lalu menuangkan jus jeruk ke gelas, memberikannya pada Arfan.
"Sebenarnya, kakak memanggilku ke sini hanya sekadar makan malam atau ada hal lain?" tanya Arfan penasaran, sebelum menyantap bihun goreng yang aromanya mengepul di depannya.
"Yah, seperti yang kamu katakan."
Arfan bermanggut. Lalu berpindah pada hidangannya yang terlalu banyak dan sulit dihabiskan.
"Kak, sepertinya bakal mubazir kalau gak ada yang makan. Jadi, bisa bungkuskan setengah untuk Amel?" Arfan meminta sambil mengisyaratkan bagian yang harus dibungkus dan disantap.
Yudha tak bereaksi apa-apa dan menuruti permintaan sang adik. Ia bersiul, memanggil pelayan untuk minta bungkus hidangan yang ia tadah. Sebagiannya dipindahkan ke piring lain untuk disantap Arfan nanti.
"Kalau mau makanan selain tadi, silakan. Aku traktir," kata Yudha lalu mempersilakan yang lain untuk makan.
Arfan mengambil sumpit lalu menyantap bihun gorengnya yang sudah tak menggunung. Tampak ia lahap, menikmati setiap suapan. Makanan kesukaan memang tak tertandingi oleh rasanya. Ia jadi ingin menyuap lagi dan lagi.
* * *
Acara makan malam yang membuatnya puas. Ia pulang dengan perut penuh.
Masuk rumah, mendadak disambut sang anak yang berlari riang gembira. Segera Arfan berjongkok dan memeluk putera kecilnya.
"Ranto, kok belum tidur, sayang?" tanya Arfan heran.
"Aku menunggu ayah. Laper." Bocah berambut mangkok itu memegang perutnya lemas.
"Anak ayah lapar ya? Ayo kita ke meja makan, ayah bawakan sesuatu yang enak untuk kamu." Arfan menggendong sang anak, membawanya ke meja makan.
"Serius?"
"Iya, serius. Nih, ayah bawa apa?" Tangannya mengangkat kantong plastik hitam untuk dipamerkan.
"Wah, makanan. Penasaran sama isinya," kata Ranto antusias, kemudian ia duduk menunggu sang ayah menyiapkan.
"Bihun goreng ini dibagi dua sama ibu ya. Kalau kebanyakan, bisa-bisa kamu sakit perut lagi," ujar Arfan mengingatkan, sembari mengambil piring hitam lonjong untuk memindahkan hidangan tersebut dari wadahnya.
"Ayah baik banget. Saat bawa makanan banyak, ayah selalu ingat sama orang lain," puji Ranto berkata bijak.
Mendengarnya, Arfan hanya menyapu-nyapu kepala sang anak sambil tersenyum.
"Panggil Ibu yuk."
Ranto mengangguk, menerima permintaan ayahnya.
Di saat bocah itu baru turun dari kursinya, ia terkejut saat wanita berpakaian piyama telah berada di lantai bawah sejak semenit. Tak menyadari bahwa dia turun karena lapar.
"Kamu mau makan sama kami?" ajak Arfan dengan intonasi biasa.
"Iya, aku mau," jawab Amelia menerima ajakan sang suami lalu melangkah pelan menuju meja makan.
Arfan menggaruk belakangnya, heran. Biasanya Amelia akan menolak kalau diajak makan. Tapi kali ini dia malah ingin makan dan bergabung. Ada apa dengannya?
Tanpa berpikir panjang, Arfan duduk bersama putera kecilnya, sementara istrinya berada di hadapannya. Hanya menaruh bihun goreng ke piringnya kemudian menyantap dengan nikmat.
"Aku ambilkan jus jeruk untukmu, ya?" ujar Arfan menawarkan diri, lalu bangkit menuju kulkas mengambil jus jeruk ukuran satu liter dan cola berukuran sama. Tak lupa ia mengambil gelas kosong untuk menuangkan minuman.
"Maaf, Arfan. Aku berubah pikiran," sahut Amelia memegang punggung tangan Arfan.
"Kenapa?"
"Aku mau cola."
Padahal ia ingin minum cola itu. Sengaja dikeluarkannya supaya istrinya bisa minum jus jeruk sepuasnya.
"Baiklah. Aku tuangkan segelas."
Arfan tak sungkan menuangkan minuman kesukaannya untuk sang istri. Ia tahu kalau Amel juga ingin mencobanya, tak melulu jus jeruk.
"Makasih."
Suara lembut Amel menggugah hati dan pendengaran Arfan. Walau biasa, namun baru pertama kali lelaki berahang tajam itu melihat Amel berubah. Entah apa yang membuatnya demikian.
Makan malam mereka dihiasi kedamaian, bukan lagi amarah meluap-luap yang membuat Arfan stress. Beruntung selama hampir dua bulan pernikahan, dia masih bisa tahan. Sebab Ranto pula dia bertahan. Menjaga putera kecilnya adalah prioritas utama hidupnya.
* * *
Setelah makan malam, Arfan duduk sendirian di sofa sembari menonton televisi. Jam 10 malam, jam tidurnya Ranto. Ia sudah menidurkan si buah hati sejak 15 menit lalu. Sekarang ia sedang mencari tontonan yang cocok sebelum terlelap.
Kebanyakan yang ia lihat adalah acara berita, drama primetime, acara komedi, dan segala macam acara yang memanjakan pemirsa di waktu malam. Kira-kira apa yang ia tonton?
Pencariannya terhenti saat ia menemukan satu saluran yang menayangkan drama romantis. Tentu saja drama dewasa, drama plus-plus.
Arfan tahu betul alur cerita dari drama yang sedang ditontonnya. Dia punya file-nya dan ditontonnya saat waktu senggang. Pandangan matanya tak lepas dari kedua tokoh utama yang saling melumat bibir dan merangkul leher.
Ia menelan salivanya saat menonton adegan panas dingin tersebut. Sejauh spoiler yang ia dapat, ceritanya sudah sampai di mana mereka saling mencintai, setelah sempat bimbang ke mana arah hubungan mereka.
Tak ada penerangan di ruang keluarga dan hanya menyinari cahaya di televisi membuat Arfan rileks menontonnya, meski ada sesuatu yang mengganjal keluar saat menonton adegan ranjang.
Drama itu memang pantas diberi label Dewasa. Setiap adegan selalu ada yang membuat penontonnya panas dingin. Terutama Arfan. Beberapa kali ia menuangkan cola dingin lalu menenggaknya agar tenggorokannya tidak kering. Rasanya menyegarkan, namun hilang sekejap begitu mempreteli busana mereka.
Tidak mungkin ia salah tontonan. Sebagai lelaki berkepala tiga, wajar saja ia menonton hal-hal begituan. Ia sudah dewasa dan mengerti.
"Arfan. Belum tidur juga? Kamu nonton apa?"
Tiba-tiba suara dari wanita ayu datang menghampirinya. Mendadak ia terbelalak dengan acara tontonan yang disaksikan suaminya. Mengapa di malam hari harus menonton kedua sejoli sedang bergelut di ranjang?
"Amel?"
Spontan, Arfan langsung mematikan televisi lalu bangkit menatap wanita di depannya.
"Kenapa dimatiin? Seru, tau. Aku juga mau nonton," kata Amel mendesak.
"Kamu serius?" tanya Arfan memastikan. "Tontonanku sensitif loh," ucapnya pelan.
"Gak apa-apa, nyalain aja lagi." Amel tak keberatan sambil menaikkan satu kakinya saat duduk.
Bukan bagaimana, hubungan Arfan dan Amelia masih berada di fase terendah. Akrab saja belum, apalagi punya rasa masing-masing. Itulah ungkapannya.
Arfan harus menjaga hatinya supaya tidak salah arah. Walau sebenarnya mereka bisa melakukan 'itu', namun ia tetap harus jaga jarak dan mengendalikan emosinya.
"Baiklah, aku nyalakan lagi."
Lelaki tiang pun duduk kembali dan menyalakan televisi. Adegan masih berjalan, tentunya si pria sedang mencium leher si wanita pujaannya.
Arfan masih fokus menonton. Justru pikirannya ke mana-mana saat menyaksikan adegan ranjang mereka. Ia membayangkan kalau si pria itu adalah dirinya.
Sudah, Arfan! Jangan membayangkan yang tidak-tidak! Kamu bukan dia!
Arfan pun menguap, tentunya dengan cara yang dibuat-buat supaya ia bisa meminta Amel untuk tidur.
"Cepat banget ngantuknya," kata Amel heran.
"Besok harus ke kampus. Kamu juga," ujarnya mengingatkan sambil mematikan televisinya.
Saat bangkit, ia menyadari bahwa kebangaannya terus berdiri kokoh. Rasanya tidak nyaman. Kepalanya mendongkak ke bawah sebentar.
"Aku ke toilet sebentar. Kamu tidur di lantai dua aja," ucap Arwan singkat kemudian melangkah lurus ke tempat yang dituju.
"Eleh, siapa juga yang mau tidur sama kamu? Ge-er."
Mereka mengira bahwa situasi damai dapat mengantarkan mereka bersatu, namun sayang tidak semudah yang mereka kira. Masih ada tahapan-tahapan lain yang harus mereka lalui.
Di toilet, Arfan resah ketika kebangaannya belum lemas juga. Padahal harusnya ia tonton acara lain saja. Ia bisa mengunduhnya besok kalau sudah rilis di internet.
Dengan menonton drama itu bukan menjadi jalannya memuaskan diri dalam masalah seksual. Ia hanya belajar apa yang menjadi kurang dalam dirinya. Sebagai seorang lelaki, bagaimana cara memikat hati seorang wanita. Apa sudah lumayan atau belum?
Ia menatap dirinya di cermin. Bodoh. Kamu bodoh. Tidak bisakah kamu langsung bertanya pada dia, kenapa sikapnya berubah?
Kejantanannya pun lemas dan langsung mencuci wajahnya dan meninggalkan toilet.
* * *
4 Maret 2020
*
Follow IG --> @repairinglove_wattpadfu84
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top