#6
* * *
Amelia masuk kerja jam 12 siang. Ia memasuki perpustakaan dan langsung duduk di mejanya.
Sejenak ia menoleh ke sang atasan yang sedang sibuk membuat KTM untuk para mahasiswa. Rasanya tak enak melihat satu orang yang bekerja sendiri, sementara dirinya ingin membantu walau dilarang sama Renata.
"Kenapa memandang Ibu begitu?" tanya Renata menyadari dirinya dipelototi bawahan. "Mau membantu Ibu lagi?"
Amel menggeleng pelan, "Enggak, Bu."
"Gak enak 'kan kena semprot karena hasilnya jelek?" ujar wanita berbadan tambun itu, mengungkap kinerja jelek Amel ketika mengerjakan KTM yang membuatnya kena marah sampai kena hukuman. "Makanya lebih baik kamu kerja yang sudah Ibu bagi. Jangan sok-sok membantu tapi nyatanya gak bisa. Bikin susah orang lain," oceh Renata kembali tak memandang Amel.
Tangan putih Amel mengambil buku catatan peminjaman bahan pustaka. Matanya berhenti berkeliling dan fokus pada dua orang yang belum juga mengembalikan buku.
"Arfan?" batinnya terkejut. "Hampir satu bulan dia enggak ngembalikan buku?"
Telunjuknya mengarah ke bawah untuk melihat satu orang lagi. Nama yang tercatat paling akhir itu adalah Nana. Mahasiswi semester lima tersebut belum mengembalikan buku selama empat bulan.
Terakhir Nana meminjam buku saat baru semester empat. Menjelang UAS, ia menyerahkan bukunya kepada Amel untuk dipinjamnya. Sampai sekarang buku tersebut belum dikembalikan.
Maka, denda yang diberikan juga berlipat-lipat. Lewat dari tanggal pengembalian buku maka akan kena denda Rp1.000 per hari. Bayangkan kalau empat bulan. Bisa jadi ratusan ribu yang harus dibayar Nana.
"Bu, ada dua orang yang belum kembalikan buku. Apa aku harus tegur dia? Atau bagaimana?" tanya Amel meminta solusi.
"Yah, silakan cari mereka. Mereka harus nurut peraturan perpustakaan," jawab Renata kembali tak menoleh dan fokus memperbaiki tata letak KTM di komputer.
"Kalau orangnya enggak ada, gimana?" Amel kembali bertanya, seolah pesimis.
"Ya cari aja dulu, mereka juga gak bakal lari. Mereka sadar diri kalau punya pinjaman buku belum dikembalikan," terang Renata meyakinkan.
"Tapi selesaikan pekerjaan kamu dulu. Banyak bahan pustaka baru yang belum masuk. Kamu harus data semua," pintanya kembali lalu dibalas anggukan pelan dari Amel.
* * *
Satu jam kemudian, wanita berambut panjang sebahu itu berjalan ke area kampus, mencari-cari gadis yang harus merogoh kocek banyak untuk membayar denda.
Lelah mencari, namun matanya tak sungkan untuk meneliti setiap sudut kampus.
Pencariannya membuahkan hasil. Baru 10 menit, ia menemukan mahasiswi berhijab merah maroon sedang berbicara dengan seorang pria. Tentu saja pria tersebut adalah Arfan, suaminya sendiri.
Wanita itu mengerjap, supaya ia bisa melihat dengan benar. Memang benar, lelaki yang tingginya macam tiang listrik sedang mengobrol dengan gadis belia di sampingnya.
Namun ia tak menargetkan Arfan, justru ia menginginkan Nana. Seolah hewan buas yang telah menemukan mangsa, ia pun menghentakkan kakinya, melangkah lurus kepada target yang ia cari.
"Nana!" serunya memanggil, hingga membuat gadis itu terkejut.
"Bu-- Bu Amel?" tanya Nana pelan, tak mengontrol dirinya.
"Ayo, ikut Ibu ke perpus."
Dengan paksaan, Amel menarik tangan mungil Nana dan menyeretnya. Arfan yang melihatnya berdiri dan menghentikan aksi sang istri.
"Amel. Kamu ngapain? Kenapa tarik-tarik?" seru Arfan kemudian memelintir tangan istrinya.
"Hei, kamu gak usah ikut campur ya. Aku punya urusan sama dia!" sergah Amel kembali menarik lengan Nana.
"Apa masalahnya?" Arfan mulai meninggikan suaranya.
"Nana enggak mengembalikan buku selama empat bulan! Makanya aku mau dia membayar denda!" teriak wanita bermata cokelat itu tak kalah dari suaminya.
"Ma--maafkan saya, Bu. Saya gak punya uang untuk membayar denda."
Suara Nana parau, membuat Arfan kasihan, terlebih mahasiswinya bukanlah anak berada.
"Dendanya berapa?" tanya Arfan menyela.
"Kenapa? Kamu mau bayarin?" Amelia menantang.
"Jangan tanya balik. Jawab saja, berapa?" tanggap Arfan tegas.
Wanita itu terdiam, menatap Nana sebentar lalu menjawab, "130 ribu."
Seolah meremehkan denda yang diberikan, Arfan mengeluarkan dompet hitam branded-nya, lalu memberikan dua lembar uang merah pada Amel.
"Gimana? Cukup?"
Amel tertawa ringan. Hei! Uang segitu sudah cukup, apalagi kasih berlembar-lembar. Pamer saja terus!
"Cukup." Amel langsung mengambil uang yang disodorkan sang suami dengan jempol dan telunjuknya.
Kemudian ia mengalihkan pandangannya ke Nana. "Enak ya kamu. Dapat orang yang bisa menyelamatkan kamu dari denda. Selamat. Lain kali kalau mau pinjam buku lagi, tidak usah dikembalikan ya. Biarkan dendanya sampai satu juta baru dia lagi yang bayarkan. Enak, kan?"
"Mel, hentikan. Jangan membuat dia nangis." Arfan memperingatkan. Matanya memandang mahasiswinya yang tertindas oleh ucapan pustakawati tersebut.
"Kamu tak pantas membuat anak orang menangis. Lebih baik kembali ke kandangmu," bisik Arfan mengusir sang istri dari situasi menegangkan yang dibuat wanita itu.
"Uang yang aku kasih, sudah digabungkan dengan denda buku yang kupinjam. Aku sudah menghitungnya sendiri," lanjut Arfan kembali berbisik lalu tak lama menjauhkan telinga Amel.
Dengan sendirinya, wanita dengan rompi biru navy tersebut langsung berbalik kembali ke perpustakaan.
"Kamu pasti ada kelas, kan? Bapak mau ke sana sebentar, ya," kata Arfan tersenyum, meminta Nana kembali ke dalam gedung kampus.
Tapi tangan putih milik gadis mungil itu langsung menahan lengan kekar Arfan. Nana tentu harus mengucapkan terima kasih karena permasalahan yang dialaminya bisa kelar secepatnya. Dia memang dekat dengan Arfan karena setiap permasalahan akadamik, dia harus menghadap sama Arfan. Terlebih dia sudah menganggap Arfan sebagai kakak atau orang tuanya, mengatasi di setiap permasalahannya.
"Saya ... gak tahu harus membalas apa. Bapak sudah meminta pembatalan mata kuliah saya, dan membayar denda perpustakaan saya. Saya jadi gak enak."
Arfan hanya membalas dengan senyuman lalu melangkah ke suatu tempat yang Nana tak ketahui.
***
"Amel."
Panggilan yang terdengar di telinga wanita merona itu seolah menahannya masuk dalam perpustakaan.
"Apalagi? Mau pamer duit lagi? Atau gimana?" Amelia berbalik dan menantang suaminya lagi. Pikirnya dia belum puas dengan acara pamer duitnya. Huh!
"Bukan," sahut Arfan singkat, kemudian maju satu langkah untuk menatap lebih dekat istrinya. "Kamu bukan cuma keras sama aku, tapi keras juga sama Nana. Maksud kamu apa?"
Jadi sekarang Arfan mau membela Nana? Dia enggak salah dengar? Sepertinya dia harus mengorek telinga lagi supaya bisa mendengar dengan baik.
"Aku keras sama dia, karena dia enggak mengembalikan buku ke perpustakaan selama empat bulan. Bayangin coba, dia bilang enggak punya uang tapi pinjam buku seenaknya? Pikir dong sama aturan perpustakaan."
"Kamu juga gak usah sekeras itu. Di sini bukan tempat untuk membuat anak orang nangis. Aturan ya aturan, tapi bisa bicarakan baik-baik? Jangan marah-marah seperti banteng!"
"Kamu bilang banteng? Jaga mulut kamu ya!"
"Jangan teriak kamu. Ini kampus, bukan rumah." Arfan menunjuk sang istri intens. Tentu saja Amel tahu tempat, sehingga ia membungkam mulut cepat.
"Sekarang aku mau tanya. Kamu keras ke Nana di kampus dengan alasan tidak bisa mengembalikan buku. Tapi kamu keras ke aku di rumah, gak ada alasan apa-apa. Jujur. Semua sudah jelas terkait pernikahan kita, tapi masih saja kamu marah sama aku. Kasih tahu alasannya kenapa? Supaya aku bisa cari solusi."
Pertanyaan yang membuat otak Amel buntu. Dia sendiri tidak tahu kenapa masih saja ia membenci suaminya, padahal tidak ada yang salah.
Beruntunglah Arfan bukanlah seperti suami kebanyakan. Marah sedikit, talak.
Refleks, otak Amel memutar kilas balik terhadap apa yang sebenarnya membuat dia marah pada Arfan.
***
"Jadi, kamu ternyata bermain di belakangku ya, Umar?"
Amel dengan segala outfit kampusnya langsung memukul punggung lelaki berambut klimis itu. Tidak tega kalau pujaannya bersama wanita lain, alih-alih dirinya.
"Kenapa sih kamu melakukannya? Kita janji kalau saling menyayangi, saling mencintai. Tapi nyatanya kamu lebih suka cewek lain daripada aku? Tega kamu!!"
Segala curahan hati dan umpatan keluar dari mulut Amel sembari memukul pacar yang akan segera jadi mantan. Bahkan sampai jatuh dari kursi tempatnya menyantap pasta carbonara.
Hasan yang melihat sahabatnya memukul sang pacar langsung melerai mereka.
"Amel, sudah. Jangan pukul dia. Percuma kalau minta balik, kalau dia sendiri tidak mau sama kamu."
"Dia jahat! Dia cuma obral janji! Katanya mau sayang dan setia sama aku! Tapi nyatanya ...!"
Isak tangisnya tak terbendung lagi, langsung menumpahkan segala isinya sambil meraung.
"Apa sebenarnya kekuranganku sih, Umar? Kenapa sampai tega menusukku dari belakang?"
Ingin rasanya air mata Amel mengalir pada Umar seperti banjir. Muak rasanya bila ada yang mengkhianatinya.
"Amel. Masih ada lelaki lain yang lebih baik dari Umar. Carilah lelaki yang bisa setia sama kamu." Hasan menyarankan. Namun Amel merasa sia-sia mencari. Yang ada malah lelaki yang suka main-main.
Tidak usah ditanya. Dia sudah berpacaran tidak sampai lima kali. Dan semua lelaki yang dipacarinya cuma memanfaatkan uangnya. Memang, siapa yang menolak kalau si cewek adalah anak sultan? Terlebih dia puteri pemilik perusahaan IT terkenal di kota Makassar.
"Aku gak mau mencari lelaki yang awalnya setia tapi ujung-ujungnya kelakuannya busuk! Seperti kamu, Umar!" tunjuk Amel ke bawah, tak segan menciprat air liurnya ke wajah lelaki sok polos itu.
"Ayo kita pergi, Hasan," pinta Amel segera setelah ia bangkit.
"Jangan ngimpi lu, Mel!" Umar mulai bersuara, meledek wanita mainannya.
Lelaki berbadan tinggi 172 cm itu berdiri dan menatap lurus Amel.
"Lu jangan sok bijak deh, Mel. Mau cari lelaki baik sekalipun, dia gak akan mau sama lu. Penampilan saja burik, apalagi kelakuannya."
Tak terima terus diledeki sang mantan, Amelia pun mendaratkan tamparan seperti baru keluar dari oven. Biar tahu rasa seperti apa ditampar dengan tangannya yang panas.
PLAAAKKKKK
"Gimana? Enak? Sakit yang kamu rasakan juga sama seperti aku. Sakit sekali," ucapnya meraung. "Jangan bilang kamu hanya mau uangku, tapi kamu gak mau cintaku. Sia-sia saja aku menyalurkan rasa kasih sayangku padamu, namun nyatanya begini. Sungguh jahat kamu ya."
Sambil memegang pipinya yang panas terkena tamparan, ia justru cengengesan, seolah meremehkan ucapan Amel.
"Gue gak suka sama lu. Gue cuma mau uang lu, itu saja. Buat cari cewek lain, yang bisa membuat gue nyaman."
Amel mengepalkan tangan, menahan emosi yang selama ini dipendam. Ternyata dia baru sadar bahwa Amel hanya menjadi robot untuk Umar. Betapa bodohnya dia saat dipermainkan oleh lelaki tidak tahu diri seperti Umar.
"Sudahlah. Mending lu gak usah pacaran kalau nyerah cari lelaki sesuai kriteria lu. Lebih baik merenung saja sambil cari lowongan kerja. Paling kamu cuma dapat SPG doang!"
"Dasar brengsek!"
Tak tahan dengan omongan menyinggung hati, gadis itu pun berniat menyerang Umar, tak peduli luka membekas.
Namun sayang, Hasan menahan dirinya dan memilih melerai perkelahian yang tak berujung.
"Amel. Lebih baik kita pulang, lalu kita makan nasi goreng pinggir jalan Veteran. Ayo, jangan ladeni dia."
Hasan spontan memegang pundak Amel lalu membawa sahabatnya ke tempat yang mereka suka. Hanya sekadar melupakan lelaki tak tahu diri yang membuat Amel tersakiti.
* * *
2 Maret 2020
*
Follow IG --> @repairinglove_wattpadfu84
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top